Share

5. Pulang ke Rumah

( PoV Asmara )

"Ma, Mara datang Ma!" Albert berteriak ketika kami memasuki pintu rumahnya sepulang kami dari sekolah. Rumah model american house dengan dua lantai yang begitu besar. Rumah yang selama empat tahun belakangan ini aku tempati sebagai anak angkat dari Om Anggara dan Tante Astia. Ah. Rindu juga aku dengan rumah ini.

"Ma!" Albert yang tak mendapat jawaban dari Tante Astia, meletakkan tas sekolahnya di sofa ruang keluarga, kemudian menaiki tangga, mencoba mencari tahu di mana Tante Astia berada.

Aku menatap Albert yang sedikit berlari, seakan tak sabar ingin mempertemukan aku kembali dengan mama angkatku itu. Aku tersenyum kecil melihatnya.

Ku edarkan pandanganku ke segala penjuru ruangan. Mencoba mencari kembali kenangan yang dulu begitu banyak aku kumpulkan, hingga akhirnya aku terpaksa harus meninggalkannya. Demi cinta.

Entahlah. Entah mengapa akhirnya aku harus pergi. Padahal, tak sedikitpun aku tak merasa bahagia berada di rumah ini. Sebaliknya, aku layaknya seorang tuan putri yang begitu di sayang oleh kedua orang tua dan juga kakak angkatku.

Aku menarik napas panjang. Tiba-tiba napasku terasa mencekik. Rasanya kerinduan akan keluarga yang hangat itu kini muncul kembali. Ku belai lembut sofa dan meja yang ada di dekatku. Ku ambil tas milik Albert yang tergeletak di atasnya. Ku peluk tas berwarna hijau tua itu. Perlahan ku langkahkan kaki menuju ke kamar Albert, sambil menjelajahi sekeliling rumah yang masih tak berubah semenjak kepergianku beberapa bulan lalu.

Sesampainya di depan kamar Albert, napasku semakin sakit. Hiasan tempel di pintu kamar Albert yang bertuliskan "Kamar Kakak Baik" masih terpasang rapi. Hiasan itu adalah hiasan yang aku buat sendiri untuk ulang tahun Albert yang ke lima belas, dua tahun yang lalu. Aku ingat bagaimana bahagianya Albert kala itu. Dia tertawa sambil mengatakan kepadaku kalau hiasan itu adalah hadiah terbaik yang pernah dia terima seumur hidupnya. Dan aku masih sangat mengingatnya ketika Albert tiba-tiba mengecup kedua pipiku bergantian sambil mengucapkan kata "Thank You Dek", hingga membuatku memerah tak karuan. Karena jujur, baru pertama kali itu, ada seorang anak laki-laki yang menciumku.

Tak terasa air mataku menetes. Air mata yang sepertinya tak akan pernah menetes seandainya aku masih tinggal di rumah ini. Aku merasa begitu egois. Aku merasa kalau aku jahat karena meninggalkan keluarga ini demi seorang Aksara.

Ya! Aksara lah alasan ku satu-satunya untuk pergi dari rumah Tante Astia. Aksara yang memintaku. Dia tak ingin aku dekat dengan Albert setelah aku bercerita kepadanya bahwa Albert menyatakan perasaannya kepadaku.

Sebenarnya berat untukku meninggalkan keluarga ini. Namun, bagi seorang gadis remaja yang sedang jatuh cinta, tak ada yang lebih berharga baginya selain cintanya saat ini. Itulah mengapa akhirnya aku menurut saja.

Ku buka pintu kamar Albert pelan. Perlahan, aku melangkah masuk ke dalam ruangan besar bercat abu-abu itu. Tak ada yang berubah. Air mataku semakin deras mengalir. Dulu, kamar Albert adalah tempat paling favorit bagiku. Setiap saat, aku selalu berada di sini. Bermain bersama Albert, belajar bersama, bersantai bersama, bahkan juga sering sekali aku terlelap bersamanya.

"Ra." Albert mengejutkanku yang sedang menikmati kenanganku di sini. Aku segera menghapus air mataku dan membalikkan badanku. Ku lihat dirinya sudah berdiri di belakangku.

"Tante Astia mana Al?" Albert datang sendirian. Tanpa Tante Astia.

"Mama nggak di rumah Ra. Ada siaran sore sepertinya. Aku telepon dari tadi juga nggak nyambung. Ponselnya mati. Biasanya Mama memang suka matiin ponsel kalau lagi siaran. Padahal aku udah ngechat lho kalau kamu mau main ke sini tadi." Ku lihat Albert yang juga masih kebingungan. Mungkin karena tak menemukan Tante Astia di rumah. Tante Astia memang sudah sangat jarang melakukan siaran karena alasan kesehatan beliau yang akhir-akhir ini bermasalah. Hanya sesekali saja, ketika beliau benar-benar rindu dengan pekerjaannya. Menjadi seorang reporter berita.

"Ya udah nggak apa-apa Al." Aku membalikkan badanku kembali, berjalan perlahan menuju meja belajar Albert dan meletakkan tas milik Albert yang sedari tadi aku bawa.

"Sini." Aku duduk di atas tempat tidur Albert dan memintanya untuk turut serta bersamaku.

"Aku anter pulang ya." Albert membalikkan badannya dan segera berjalan keluar. Aku menarik napas panjang. Aku memang keterlaluan. Tak seharusnya tetap memaksa Albert untuk bersikap biasa saja, setelah aku meninggalkannya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status