( PoV Asmara )
"Ma, Mara datang Ma!" Albert berteriak ketika kami memasuki pintu rumahnya sepulang kami dari sekolah. Rumah model american house dengan dua lantai yang begitu besar. Rumah yang selama empat tahun belakangan ini aku tempati sebagai anak angkat dari Om Anggara dan Tante Astia. Ah. Rindu juga aku dengan rumah ini."Ma!" Albert yang tak mendapat jawaban dari Tante Astia, meletakkan tas sekolahnya di sofa ruang keluarga, kemudian menaiki tangga, mencoba mencari tahu di mana Tante Astia berada.Aku menatap Albert yang sedikit berlari, seakan tak sabar ingin mempertemukan aku kembali dengan mama angkatku itu. Aku tersenyum kecil melihatnya.Ku edarkan pandanganku ke segala penjuru ruangan. Mencoba mencari kembali kenangan yang dulu begitu banyak aku kumpulkan, hingga akhirnya aku terpaksa harus meninggalkannya. Demi cinta.Entahlah. Entah mengapa akhirnya aku harus pergi. Padahal, tak sedikitpun aku tak merasa bahagia berada di rumah ini. Sebaliknya, aku layaknya seorang tuan putri yang begitu di sayang oleh kedua orang tua dan juga kakak angkatku.Aku menarik napas panjang. Tiba-tiba napasku terasa mencekik. Rasanya kerinduan akan keluarga yang hangat itu kini muncul kembali. Ku belai lembut sofa dan meja yang ada di dekatku. Ku ambil tas milik Albert yang tergeletak di atasnya. Ku peluk tas berwarna hijau tua itu. Perlahan ku langkahkan kaki menuju ke kamar Albert, sambil menjelajahi sekeliling rumah yang masih tak berubah semenjak kepergianku beberapa bulan lalu.Sesampainya di depan kamar Albert, napasku semakin sakit. Hiasan tempel di pintu kamar Albert yang bertuliskan "Kamar Kakak Baik" masih terpasang rapi. Hiasan itu adalah hiasan yang aku buat sendiri untuk ulang tahun Albert yang ke lima belas, dua tahun yang lalu. Aku ingat bagaimana bahagianya Albert kala itu. Dia tertawa sambil mengatakan kepadaku kalau hiasan itu adalah hadiah terbaik yang pernah dia terima seumur hidupnya. Dan aku masih sangat mengingatnya ketika Albert tiba-tiba mengecup kedua pipiku bergantian sambil mengucapkan kata "Thank You Dek", hingga membuatku memerah tak karuan. Karena jujur, baru pertama kali itu, ada seorang anak laki-laki yang menciumku.Tak terasa air mataku menetes. Air mata yang sepertinya tak akan pernah menetes seandainya aku masih tinggal di rumah ini. Aku merasa begitu egois. Aku merasa kalau aku jahat karena meninggalkan keluarga ini demi seorang Aksara.Ya! Aksara lah alasan ku satu-satunya untuk pergi dari rumah Tante Astia. Aksara yang memintaku. Dia tak ingin aku dekat dengan Albert setelah aku bercerita kepadanya bahwa Albert menyatakan perasaannya kepadaku.Sebenarnya berat untukku meninggalkan keluarga ini. Namun, bagi seorang gadis remaja yang sedang jatuh cinta, tak ada yang lebih berharga baginya selain cintanya saat ini. Itulah mengapa akhirnya aku menurut saja.Ku buka pintu kamar Albert pelan. Perlahan, aku melangkah masuk ke dalam ruangan besar bercat abu-abu itu. Tak ada yang berubah. Air mataku semakin deras mengalir. Dulu, kamar Albert adalah tempat paling favorit bagiku. Setiap saat, aku selalu berada di sini. Bermain bersama Albert, belajar bersama, bersantai bersama, bahkan juga sering sekali aku terlelap bersamanya."Ra." Albert mengejutkanku yang sedang menikmati kenanganku di sini. Aku segera menghapus air mataku dan membalikkan badanku. Ku lihat dirinya sudah berdiri di belakangku."Tante Astia mana Al?" Albert datang sendirian. Tanpa Tante Astia."Mama nggak di rumah Ra. Ada siaran sore sepertinya. Aku telepon dari tadi juga nggak nyambung. Ponselnya mati. Biasanya Mama memang suka matiin ponsel kalau lagi siaran. Padahal aku udah ngechat lho kalau kamu mau main ke sini tadi." Ku lihat Albert yang juga masih kebingungan. Mungkin karena tak menemukan Tante Astia di rumah. Tante Astia memang sudah sangat jarang melakukan siaran karena alasan kesehatan beliau yang akhir-akhir ini bermasalah. Hanya sesekali saja, ketika beliau benar-benar rindu dengan pekerjaannya. Menjadi seorang reporter berita."Ya udah nggak apa-apa Al." Aku membalikkan badanku kembali, berjalan perlahan menuju meja belajar Albert dan meletakkan tas milik Albert yang sedari tadi aku bawa."Sini." Aku duduk di atas tempat tidur Albert dan memintanya untuk turut serta bersamaku."Aku anter pulang ya." Albert membalikkan badannya dan segera berjalan keluar. Aku menarik napas panjang. Aku memang keterlaluan. Tak seharusnya tetap memaksa Albert untuk bersikap biasa saja, setelah aku meninggalkannya.***( PoV Asmara )"Kok diem aja Al?" Aku keluar dari kamar setelah selesai mandi dan mengganti pakaianku. Ku amati Albert yang tampak hanya menunduk di sofa ruang tamuku. Di luar hujan deras. Itulah mengapa akhirnya aku meminta Albert untuk mampir ke rumah setelah mengantarkanku pulang dari rumahnya sore tadi. "Nggak apa-apa." Albert tak bergeming. Dia masih duduk dan menunduk. Menyatukan dan menggosok kedua tangannya yang tampak pucat karena kedinginan. Dia basah kuyup. Kami memang sempat kehujanan tadi di jalan. "Ayo ganti baju." Aku menarik tangannya. Aku tak tahan melihatnya menderita menahan rasa dingin yang juga begitu aku benci. Aku sudah memintanya sedari tadi untuk mengganti pakaiannya. Kebetulan ada banyak sekali pakaian Aksara di rumahku. Tak ada salahnya jika dia memakainya, sementara aku mencuci dan mengeringkan pakaiannya yang basah kuyup. "Nggak usah. Aku balik aja." Albert menghempaskan tanganku kasar. Aku kaget. Tak biasanya dia seperti ini. Ada apa dengannya? Sumpah!
( PoV Asmara )"Mbak Mara nggak kenapa-kenapa?" Dengan raut wajah yang begitu panik, Bik Yuli masuk ke dalam kamarku. Menanyakan keadaanku. "Nggak apa-apa Bik. Ada Albert yang nolongin aku." Aku tersenyum kepada Bik Yuli. Sempat ku lirik Albert yang hanya menunduk. Dia hampir saja keluar, menolak permintaanku yang menginginkannya untuk membantuku mengusir ketakutanku malam ini, sebelum akhirnya Bik Yuli masuk ke dalam kamarku. "Ah. Syukurlah. Dasar anak-anak nakal memang. Malam-malam hujan-hujan, masih aja main petasan." Bik Yuli bersungut-sungut. Beliau seakan tak terima. Jelas saja. Petasan itu masuk ke dalam pagar rumahku. Untung saja hujan deras, jadi apinya kecil dan tak menyebar kemana-mana. Kalau seandainya tak ada hujan, pasti sudah lain lagi ceritanya. Masalahnya, suaranya benar-benar bikin jantungku hampir saja terlepas. "Anak-anak? Bukannya ini kawasan elite ya Bik? Mana ada anak orang kaya yang main petasan malam-malam gini? Apalagi ini hujannya deres banget. Kayaknya ng
( PoV Asmara )"Selamat pagi anak-anak." Pak kepala sekolah masuk ke dalam kelas kami bersama dengan seorang wanita yang memakai pakaian kerja formal. Wanita itu membawa tas kerja berwarna merah marun, dan juga buku-buku besar di tangannya. Mungkin beliau adalah seorang guru. Bisa jadi beliau guru baru di kelas kami. Mungkin. "Selamat pagi Pak." Jawab kami serentak dengan begitu keras. Kompak sekali memang. "Anak-anak! Pagi ini, Bapak membawa seorang guru baru buat kalian semua. Silahkan Bu, perkenalkan diri Anda." Aku seratus persen benar. Beliau adalah guru baru kami. Entah mata pelajaran apa yang akan dibawakannya. Namun aku akui, guru baru ini begitu cantik. Aku yakin, tak butuh waktu lama untuknya menyesuaikan diri di sekolah ini. Dan aku yakin, semua orang akan dengan mudah menyukainya, karena kecantikannya."Selamat pagi anak-anak! Bagaimana kabar kalian hari ini?" Guru cantik itu menyapa kami dengan begitu lembut. Senyumnya begitu manis. Tutur katanya juga benar-benar menyena
( PoV Asmara )"Sayang, ada guru baru lho di sekolahku. Wanita. Cantik banget lagi orangnya." Aku memeluk Aksara dengan begitu erat di balkon kamarku, ruang favorit kami dulu. Mencoba menikmati setiap momen kebersamaan dengannya yang akhir-akhir ini begitu langka aku dapatkan. Bagaimana tidak, Aksara mengaku sedang sibuk sekali menjalankan bisnis keluarganya dan juga bisnis keluarga Amanda, istrinya. Mau tak mau aku harus bersabar. Entahlah, aku merasa dia berubah. Mungkin dia memang sedang sibuk. Tapi, kesibukannya kini menjadi alasannya untuk selalu menghilang dan tak datang menemuiku."Oh ya? Siapa namanya?" Aksara melipat kedua tangannya di dada. Dia tak memelukku. Dia juga tak membelai rambut hitam panjangku yang selama ini selalu dia lakukan. Dia hanya menatap lurus ke arah depan. Dia bahkan tak mau menatapku."Namanya Bu Dira. Guru kesenian. Sumpah deh, kamu jangan sampai ketemu sama Bu Dira. Kamu nggak akan kuat. Aku aja yang perempuan, ngelihat Bu Dira itu udah spechless. Ngga
( PoV Asmara )"Hai!" Aku rebahkan tubuhku di samping Albert yang sedang asyik mendengarkan musik di atas tempat tidurnya. Aku datang untuk menemui Tante Astia karena aku merasa kesepian setelah Aksara pergi begitu saja dan tak ada kabar. Setidaknya di rumah ini, aku tak merasa sendiri. Namun sepertinya Albert tak menyadari kehadiranku. Buktinya dia sama sekali tidak keluar kamar, padahal aku sudah sekitar tiga puluh menit ngobrol bersama Tante Astia di ruang keluarga. "Mara? Kapan dateng?" Albert duduk dan langsung melepas earphonenya. Dia tampak terkejut melihatku yang tiba-tiba berada di sampingnya. Ku amati ekspresi wajah Albert, dia tampak kembali seperti semula. Dia tak tampak murung seperti saat terakhir kali aku bertemu dengannya. Berarti dia sudah tak marah denganku. "Udah setengah jam aku ngobrol sama Tante Astia. Kamu ngapain sih, sampai nggak tahu aku dateng?" Aku bangkit dan duduk di samping Albert. Aku tersenyum. Bahagia rasanya melihat Albert sudah tak menekuk wajahnya
( PoV Asmara )"Wah, bagus banget Al." Seperti cerita di dalam novel-novel romantis, Albert membawaku ke tempat yang romantis, dimana aku bisa melihat bintang di atas langit dan lampu di sepanjang jalan ibu kota yang begitu indah. Penasaran di mana tempatnya? Di atas gedung Rumah Sakit milik keluarga Albert. Entah aku lupa atau aku memang tak menganggap penting untuk mengingatnya, jujur aku sudah pernah ke tempat ini. Ketika Albert menyatakan perasaannya kepadaku waktu itu. Namun sepertinya malam itu tak seindah malam ini. Benar-benar berbeda. "Kan udah pernah ke sini." Albert menata tikar dan kasur lantai yang kami bawa dari rumah. Kami memang berniat ingin berkemah di tempat ini. Kami juga membawa tenda. Namun Albert belum memasangnya. "Iya sih. Tapi dulu rasanya biasa aja." Aku berjalan ke arah Albert. Berniat membantunya memasang tenda yang kini sudah di keluarkannya dari tas bawaannya. "Bukannya dulu ke sininya sama aku dan sekarang sama aku lagi? Kok bisa beda rasanya?" "Ih,
( PoV Asmara )"Apa kabar kamu Ra? Kamu aman kan di rumah kamu? Yah, meskipun setiap hari ketemu, aku tetap tak tenang memikirkan kamu yang sendirian di rumah itu." Albert mengelus rambutku yang berbaring di sampingnya. "Emmmm. Mungkin aku bisa di bilang menyesal karena sudah meninggalkan keluarga angkatku yang begitu baik kepadaku. Tapi setidaknya aku bisa berjuang untuk hidupku sendiri. Kalau di tanya kabar, kabar aku baik Al. Dan ya, kehidupanku aman-aman saja. Tapi jujur, aku sering merasa kesepian." Aku menatap lurus ke arah langit melihat gemerlap bintang di malam ini. Aku jadi rindu dengan teman-teman di panti asuhan. Seperti inilah kegiatan kami dulu setiap malam. Menatap bulan dan bintang. Belajar memaknai kehidupan. Kata Ibu Panti, belajarlah dari langit. Langit selalu membawa banyak pelajaran. Salah satunya tentang konsekuensi dalam sebuah pilihan. Ketika kita takut akan gelap dan ingin merasakan terang di siang hari, kita harus menerima terik sinar matahari yang terkadang
( PoV Albert ) 'Braaakkk!!!' Ku lempar semua yang ada di atas meja belajarku dengan begitu kerasnya. "Di mana sih obat itu?" Ku remas rambutku. Aku sudah putus asa. Sudah sekitar satu jam semenjak aku pulang sekolah, aku mencari benda itu, namun tak aku temukan juga. Benda yang begitu berharga untukku. Benda yang membuatku bisa menjadi lelaki baik di saat aku bersama dengan Asmara. Benda penting itu. Benda itu tak boleh hilang. Kembali ku kelilingi seluruh bagian dari kamarku untuk yang ke sekian kalinya, namun aku tetap tak menemukannya. "Sial! Siapa sih yang nyembunyiin obat itu? Aku lagi butuh banget!" Kali ini almari pakaianku yang menjadi sasaranku. Pakaian yang tertata begitu rapi itu pun tak lepas dari amukanku. Ku obrak-abrik semuanya. Tak ada satupun yang boleh tertinggal di dalam almari sehingga aku bisa dengan leluasa melihat ke dalamnya, apakah obat itu ada di dalam atau tidak. "Ah!!!" Aku membanting pintu almariku dengan amarah yang membara. Hingga pintu yang awalnya