( PoV Asmara )
"Selamat pagi anak-anak." Pak kepala sekolah masuk ke dalam kelas kami bersama dengan seorang wanita yang memakai pakaian kerja formal. Wanita itu membawa tas kerja berwarna merah marun, dan juga buku-buku besar di tangannya. Mungkin beliau adalah seorang guru. Bisa jadi beliau guru baru di kelas kami. Mungkin."Selamat pagi Pak." Jawab kami serentak dengan begitu keras. Kompak sekali memang."Anak-anak! Pagi ini, Bapak membawa seorang guru baru buat kalian semua. Silahkan Bu, perkenalkan diri Anda." Aku seratus persen benar. Beliau adalah guru baru kami. Entah mata pelajaran apa yang akan dibawakannya. Namun aku akui, guru baru ini begitu cantik. Aku yakin, tak butuh waktu lama untuknya menyesuaikan diri di sekolah ini. Dan aku yakin, semua orang akan dengan mudah menyukainya, karena kecantikannya."Selamat pagi anak-anak! Bagaimana kabar kalian hari ini?" Guru cantik itu menyapa kami dengan begitu lembut. Senyumnya begitu manis. Tutur katanya juga benar-benar menyenangkan. Ah, sempurna sekali memang."Baik Bu!" Kami kembali menjawab dengan begitu kompak dan serentak. Apalagi siswa lelaki. Mereka begitu bersemangat menjawabnya. Bagaimana tidak, di hadapan mereka kini berdiri seorang bidadari tanpa sayap. Sempat ku perhatikan mereka satu per satu. Tak ada yang berkedip. Mereka seakan terhipnotis dengan kecantikan wanita yang ada di depan mereka saat ini. Geli sekali aku melihatnya."Perkenalkan, nama saya Bu Andira. Panggil saja Bu Dira. Saya akan mengajar mata pelajaran kesenian, menggantikan Pak Reza yang sudah di pindahkan menjadi kepala sekolah di sekolah cabang di Bandung." Beliau mulai memperkenalkan dirinya. Andira. Nama yang begitu cantik, sama seperti wajahnya yang menawan.Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Tampaknya aku pernah bertemu dengan beliau. Aku tak asing dengan wajahnya setelah lama aku perhatikan. Ah, tapi aku tak ingat, kapan dan dimana aku bertemu dengan beliau ya? Biar ku ingat-ingat lagi."Selamat pagi Bu Andira!" Lagi-lagi anak laki-laki yang paling keras suaranya. Aku tak ikut menjawab. Hanya memandang Bu Dira sambil mengingat-ingat."Em, kalau begitu saya pamit ke kantor dulu ya Bu. Masih banyak pekerjaan yang harus saya kerjakan. Jenengan bisa langsung ngajar di kelas ini sekarang. Atau mau kenal-kenalan sama anak-anak dulu juga boleh.." Kata Pak Kepsek sambil mengulurkan tangannya, berniat menjabat tangan Bu Dira."Iya, makasih Pak." Bu Dira menunduk, memberi salam kepada Pak Kepsek sambil menyambut uluran tangan Pak Kepsek, yang kemudian keluar dari kelas kami dan menghilang dengan cepat dari pandangan."Eh, Ra. Guru barunya kok sekilas mirip sama kamu ya." Deren, ketua kelas kami yang duduk tepat di belakangku, mencolek lenganku."Masak sih? Cantikan Bu Dira lah! Aku masih bocah ingusan. Hihi." Aku terkekeh. Karena menurutku lucu saja. Bu Dira begitu cantik dengan penampilan yang membuatnya terlihat begitu anggun dan dewasa. Sedangkan aku, aku memang artis, namun penampilanku terbilang seperti bocah yang masih mentah, memakai make up dan pakaian istimewa hanya ketika aku kerja. Selebihnya, aku biasa saja."Beneran lho. Kayak kakak adek." Ku lirik Deren yang nggak berkedip menatap Bu Dira."Woi. Dasar playboy. Tuh ngeces." Aku menepuk pundaknya keras, memberinya sedikit kejutan karena air liurnya hampir saja menetes. Haha."Gila Lo!" Aku kembali terkekeh melihat si playboy itu sedikit sewot sambil menutup mulutnya rapat dengan tangannya."Kayak pernah lihat deh. Tapi di mana ya." Aku kembali mengingatnya. Dari tadi belum juga ku temukan jawabannya."Ya iyalah pernah lihat. Orang Bu Dira ini sering banget ngajarin les musik di komplek perumahan kita." Sahut Deren, ketua kelas sekaligus tetanggaku itu, yang akhirnya memberiku jawaban."Ah! Iya! Aku baru ingat. Beliau wanita yang di malam hujan kala itu meneduh di seberang jalan depan rumahku. Akhirnya. Yang waktu itu pulangnya di jemput mobil bagus. Suaminya kali ya.""Dia belum nikah. Sugar daddy nya kali. Haha.""Ngaco." Aku membalikkan badanku, kembali menatap Bu Andira. Akhirnya, aku bertemu kembali dengannya. Wanita sepertiku.***( PoV Asmara )"Sayang, ada guru baru lho di sekolahku. Wanita. Cantik banget lagi orangnya." Aku memeluk Aksara dengan begitu erat di balkon kamarku, ruang favorit kami dulu. Mencoba menikmati setiap momen kebersamaan dengannya yang akhir-akhir ini begitu langka aku dapatkan. Bagaimana tidak, Aksara mengaku sedang sibuk sekali menjalankan bisnis keluarganya dan juga bisnis keluarga Amanda, istrinya. Mau tak mau aku harus bersabar. Entahlah, aku merasa dia berubah. Mungkin dia memang sedang sibuk. Tapi, kesibukannya kini menjadi alasannya untuk selalu menghilang dan tak datang menemuiku."Oh ya? Siapa namanya?" Aksara melipat kedua tangannya di dada. Dia tak memelukku. Dia juga tak membelai rambut hitam panjangku yang selama ini selalu dia lakukan. Dia hanya menatap lurus ke arah depan. Dia bahkan tak mau menatapku."Namanya Bu Dira. Guru kesenian. Sumpah deh, kamu jangan sampai ketemu sama Bu Dira. Kamu nggak akan kuat. Aku aja yang perempuan, ngelihat Bu Dira itu udah spechless. Ngga
( PoV Asmara )"Hai!" Aku rebahkan tubuhku di samping Albert yang sedang asyik mendengarkan musik di atas tempat tidurnya. Aku datang untuk menemui Tante Astia karena aku merasa kesepian setelah Aksara pergi begitu saja dan tak ada kabar. Setidaknya di rumah ini, aku tak merasa sendiri. Namun sepertinya Albert tak menyadari kehadiranku. Buktinya dia sama sekali tidak keluar kamar, padahal aku sudah sekitar tiga puluh menit ngobrol bersama Tante Astia di ruang keluarga. "Mara? Kapan dateng?" Albert duduk dan langsung melepas earphonenya. Dia tampak terkejut melihatku yang tiba-tiba berada di sampingnya. Ku amati ekspresi wajah Albert, dia tampak kembali seperti semula. Dia tak tampak murung seperti saat terakhir kali aku bertemu dengannya. Berarti dia sudah tak marah denganku. "Udah setengah jam aku ngobrol sama Tante Astia. Kamu ngapain sih, sampai nggak tahu aku dateng?" Aku bangkit dan duduk di samping Albert. Aku tersenyum. Bahagia rasanya melihat Albert sudah tak menekuk wajahnya
( PoV Asmara )"Wah, bagus banget Al." Seperti cerita di dalam novel-novel romantis, Albert membawaku ke tempat yang romantis, dimana aku bisa melihat bintang di atas langit dan lampu di sepanjang jalan ibu kota yang begitu indah. Penasaran di mana tempatnya? Di atas gedung Rumah Sakit milik keluarga Albert. Entah aku lupa atau aku memang tak menganggap penting untuk mengingatnya, jujur aku sudah pernah ke tempat ini. Ketika Albert menyatakan perasaannya kepadaku waktu itu. Namun sepertinya malam itu tak seindah malam ini. Benar-benar berbeda. "Kan udah pernah ke sini." Albert menata tikar dan kasur lantai yang kami bawa dari rumah. Kami memang berniat ingin berkemah di tempat ini. Kami juga membawa tenda. Namun Albert belum memasangnya. "Iya sih. Tapi dulu rasanya biasa aja." Aku berjalan ke arah Albert. Berniat membantunya memasang tenda yang kini sudah di keluarkannya dari tas bawaannya. "Bukannya dulu ke sininya sama aku dan sekarang sama aku lagi? Kok bisa beda rasanya?" "Ih,
( PoV Asmara )"Apa kabar kamu Ra? Kamu aman kan di rumah kamu? Yah, meskipun setiap hari ketemu, aku tetap tak tenang memikirkan kamu yang sendirian di rumah itu." Albert mengelus rambutku yang berbaring di sampingnya. "Emmmm. Mungkin aku bisa di bilang menyesal karena sudah meninggalkan keluarga angkatku yang begitu baik kepadaku. Tapi setidaknya aku bisa berjuang untuk hidupku sendiri. Kalau di tanya kabar, kabar aku baik Al. Dan ya, kehidupanku aman-aman saja. Tapi jujur, aku sering merasa kesepian." Aku menatap lurus ke arah langit melihat gemerlap bintang di malam ini. Aku jadi rindu dengan teman-teman di panti asuhan. Seperti inilah kegiatan kami dulu setiap malam. Menatap bulan dan bintang. Belajar memaknai kehidupan. Kata Ibu Panti, belajarlah dari langit. Langit selalu membawa banyak pelajaran. Salah satunya tentang konsekuensi dalam sebuah pilihan. Ketika kita takut akan gelap dan ingin merasakan terang di siang hari, kita harus menerima terik sinar matahari yang terkadang
( PoV Albert ) 'Braaakkk!!!' Ku lempar semua yang ada di atas meja belajarku dengan begitu kerasnya. "Di mana sih obat itu?" Ku remas rambutku. Aku sudah putus asa. Sudah sekitar satu jam semenjak aku pulang sekolah, aku mencari benda itu, namun tak aku temukan juga. Benda yang begitu berharga untukku. Benda yang membuatku bisa menjadi lelaki baik di saat aku bersama dengan Asmara. Benda penting itu. Benda itu tak boleh hilang. Kembali ku kelilingi seluruh bagian dari kamarku untuk yang ke sekian kalinya, namun aku tetap tak menemukannya. "Sial! Siapa sih yang nyembunyiin obat itu? Aku lagi butuh banget!" Kali ini almari pakaianku yang menjadi sasaranku. Pakaian yang tertata begitu rapi itu pun tak lepas dari amukanku. Ku obrak-abrik semuanya. Tak ada satupun yang boleh tertinggal di dalam almari sehingga aku bisa dengan leluasa melihat ke dalamnya, apakah obat itu ada di dalam atau tidak. "Ah!!!" Aku membanting pintu almariku dengan amarah yang membara. Hingga pintu yang awalnya
( PoV Asmara ) "Ternyata ini penyebab kamu selalu nyuekin aku dan nggak ngebolehin aku menyentuh kamu Ra?" Aku terkejut. Sepagi ini Aksara sudah ada di rumahku? Apakah tadi malam dia kembali lagi setelah memarahiku, pergi dan tak bisa di hubungi? "Kamu kapan datang? Ini kan masih pagi banget." Aku mencoba mengalihkan pembicaraannya. Aku tahu dia pasti akan marah ketika tahu kalau aku menghabiskan waktuku semalaman bersama dengan Albert. Berkemah bersamanya."Di apain aja sama Albert?" Aksara tang tadinya duduk di atas sofa ruang tamuku, kini berdiri. Berjalan perlahan menghampiriku dengan kedua tangannya dia lipat di atas dadanya. "Apa sih? Udah ah. Aku mau mandi. Nggak mau telat ke sekolahnya." Aku tak menghiraukannya. Aku melanjutkan langkahku. Berniat masuk ke dalam kamar dan mengganti baju ku yang sudah bau bantal ini dengan seragam sekolah. "Kamu tahu kan kalau aku nggak suka di cuekin?" Aksara menggenggam tanganku. Dia menarikku dengan begitu kencang. Hingga tubuhku terbantin
( PoV Albert ) "Eh, ada istrinya Pak Aksara tuh." Suara riuh anak perempuan di kelas. Seketika ku letakkan botol minumku di atas meja. Aku langsung berdiri dan bergabung bersama dengan teman-teman ku yang kini sudah berdiri di dekat jendela, menyaksikan kedatangan Bu Amanda, istri Aksara yang merupakan anak dari pemilik yayasan dari sekolah elite kami ini. Aku terkejut sekaligus takut. Baru kali ini aku melihat beliau ada di sini. Apa yang sebenarnya beliau lakukan di tempat ini? Mungkinkah ini ada hubungannya dengan Asmara? Mungkinkah beliau mengetahui hubungan gelap antara Aksara dan Asmara? "Tumben ya, Bu Boss main ke sekolah ini. Ada apa ya?" Jelas ku dengar celotehan teman-teman di kelasku. Sama sepertiku. Mereka tampaknya heran dengan kehadiran Bu Amanda di sekolah ini. Dan tentu saja penasaran."Iya ya. Nggak biasanya. Ada apa ya?" Mereka masih menerka-nerka. "Halah, palingan juga mau ngelabrak selingkuhannya Pak Aksara di sekolah ini." Deg! Aku langsung menatap ke arah siap
( PoV Albert ) "Al!" Amel mengejarku dan menarik tanganku dengan begitu keras, hingga aku akhirnya menghentikan langkahku tepat di depan kelas Asmara yang memang bersebelahan dengan kelas ku. "Amel, please! Jangan kamu coba menguji kesabaranku." Ku hempaskan genggaman tangannya di lenganku. Aku tak ada waktu untuk meladeni dia. Keselamatan Asmara jauh lebih penting bagiku saat ini jika di banding dengan ocehannya yang tak bermutu. "Jangan terus mengabaikanku kalau kamu ingin rahasia cewek fake itu tetap aman." Amel menatapku tajam. Tatapan yang semakin hari semakin tak aku kenal. Karena Amel yang dulu aku kenal, tak memiliki tatapan setajam saat ini. "Jangan terus mencampuri urusanku jika kamu tak ingin aku membencimu." Mungkin aku sudah cukup berlemah lembut kepadanya. Dia sudah lama membuatku merasa begitu tak nyaman. "Kamu pacar aku Al! Kita belum putus!" Amel semakin tajam menatapku. Kali ini, di sertai dengan genangan air di pelupuk matanya yang aku tahu maknanya. Genangan ai