Share

7. Aku yang Berubah

( PoV Asmara )

"Mbak Mara nggak kenapa-kenapa?" Dengan raut wajah yang begitu panik, Bik Yuli masuk ke dalam kamarku. Menanyakan keadaanku.

"Nggak apa-apa Bik. Ada Albert yang nolongin aku." Aku tersenyum kepada Bik Yuli. Sempat ku lirik Albert yang hanya menunduk. Dia hampir saja keluar, menolak permintaanku yang menginginkannya untuk membantuku mengusir ketakutanku malam ini, sebelum akhirnya Bik Yuli masuk ke dalam kamarku.

"Ah. Syukurlah. Dasar anak-anak nakal memang. Malam-malam hujan-hujan, masih aja main petasan." Bik Yuli bersungut-sungut. Beliau seakan tak terima. Jelas saja. Petasan itu masuk ke dalam pagar rumahku. Untung saja hujan deras, jadi apinya kecil dan tak menyebar kemana-mana. Kalau seandainya tak ada hujan, pasti sudah lain lagi ceritanya. Masalahnya, suaranya benar-benar bikin jantungku hampir saja terlepas.

"Anak-anak? Bukannya ini kawasan elite ya Bik? Mana ada anak orang kaya yang main petasan malam-malam gini? Apalagi ini hujannya deres banget. Kayaknya nggak mungkin deh Bik kalau anak kecil yang main." Nah! Albert benar. Akupun berpikir seperti itu. Tempat tinggalku ini termasuk kompleks perumahan elite, yang mana tak ada satupun anak-anak yang akan berkeliaran di malam hujan seperti ini. Mereka hanya keluar rumah jika akan pergi ke sekolah atau les saja. Selebihnya, mereka hanya berdiam diri di dalam rumah. Setidaknya itulah yang aku amati selama beberapa bulan pindah di rumah ini.

"Nggak tahu juga sih Mas. Soalnya nggak ada orang pas Pak Sukur dan Pak Sabar ngejar."

"Terus kenapa langsung menyimpulkan kalau itu anak-anak Bik? Nggak ada yang curiga gitu kalau ini teror? Tiba-tiba ada petasan nyelonong ke dalam rumah. Apalagi pelakunya nggak ketemu. Bisa jadi dia masih sembunyi di sekitar rumah ini. Pak Sabar sama Pak Sukur nggak ada yang lapor polisi?" Ku tatap Albert. Aku jadi merinding mendengar perkataannya. Apa benar kalau aku sedang di teror? Kalau memang iya, siapakah pelakunya?

"Nggak Mas." Kali ini ku alihkan pandanganku ke Bik Yuli. Beliau tampak bingung. Mungkin beliau memang baru menyadari kalau apa yang Albert katakan itu benar. Mungkin beliau sama denganku, tak berpikir sampai sejauh itu.

"Gila ya. Ya udah biar aku aja yang lapor polisi." Albert hendak mengambil ponsel yang ada di dalam sakunya, ketika aku akhirnya berhasil meraih tangannya dan mencegahnya. Aku hanya tak ingin ini menjadi panjang.

"Nggak usah Al. Nggak usah di perpanjang. Gimana kalau memang anak-anak. Kita nggak tahu kan?"

"Kalau nggak, gimana? Karena aku ngerasa nggak enak Ra. Perasaanku nggak enak."

"Kalau gitu, temenin aku." Aku menarik tangannya lebih kuat. Entah kenapa aku tak merasa risih seperti biasanya saat Albert ada di dekatku.

"Em, Bik, minta tolong hubungi Pak Aksara ya. Suruh dia cepetan pulang. Bilang aja kalau Mbak Mara kena teror. Soalnya aku harus pulang." Albert bahkan tak menjawab perkataanku. Dia lebih senang berbicara dengan Bik Yuli daripada denganku.

"Iya Mas." Bik Yuli bergegas keluar dari kamar. Mungkin menuruti kemauan Albert, menghubungi Aksara.

"Aku ngomong sama kamu Al!" Aku menarik kembali tangannya. Ingin sekali aku menangis. Albert, kenapa kamu seperti ini tiba-tiba? Bukankah setiap hari kamu selalu antusias untuk bersama denganku? Kenapa denganmu hari ini?

"Aku nggak bisa Ra."

"Kenapa?"

"Kamu nggak suka kalau aku deket-deket kamu kan? Mulai hari ini aku akan mencobanya."

"Tapi, Al..."

"Maaf." Albert menggenggam tanganku dan menjauhkannya darinya. Tanpa banyak kata, dia keluar dari kamarku. Pergi meninggalkanku.

"Kak..." Lirih ku panggil dia. Aku selalu memanggilnya seperti itu dulu sebelum akhirnya aku berubah. Ya! Akulah yang berubah. Bukan dia. Dia hanya mengikutiku permainaku saja. Menuruti setiap keinginanku. Tak terasa air mataku menetes. Aku merasa aku sendirian. Aku bahkan tak memiliki Aksara sepenuhnya. Aku sendiri.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status