KEMBANG DESA YANG TERNODA
PART 4
“Da, apa ndak sebaiknya awak lanjutkan besok saja?” usuk Izan, salah satu pemuda yang ikut mencari Nek Kamsiah. Ia sebenarnya ragu masuk ke hutan itu, tapi paksaan dari Nasir membuatnya mau tak mau harus ikut juga.
“Jika menunggu besok bisa-bisa kehilangan jejak awak, Zan. Kau laki-laki, tapi cepat menyerah,” ledek Nasir sambil memukul pundak Izan, hingga pemuda itu bergeser dari tempat berdirinya.
“Bukannya menyerah, Da. Susah mencari orang di hutan seluas ni, apalagi dalam keadaan gelap serupa ni, bukan Inyiak Kamsiah nanti yang akan awak temukan, Da, tapi inyiak balang (harimau).” Ocehan Izan langsung disambut dengan gelak tawa oleh orang-orang yang berada di sana.
“Sstt, jangan sebut-sebut nama tu, nanti dia ke sini.” Salah seorang warga mengingatkan sembari meletakkan jari telunjuk di bibirnya.
Warga yang tadi tertawa langsung diam, membekap mulut masing-masing. Inyiak Balang adalah sebutan untuk harimau di nagari itu. Mitos di sana, kata-kata “harimau” memang tidak boleh diucapkan sembarangan, apalagi di tengah hutan. Sama saja dengan memanggilnya untuk datang.
“Jangan dipakai juga mental kerupuk tu, Zan. Kapan lagi awak bisa bebas dari penjajahan jika mental kamu saja serupa tu,” ledek Nasir. Izan hanya menunduk. Terpaksa ia ikut melanjutkan perjalanan dari pada menanggung malu dan menjadi bahan olok-olokan teman-temannya. Lagipula, balik seorang diri ke kampung pun ia tak berani karena perjalanan mereka sudah cukup jauh.
Akhirnya, Nasir membagi warga menjadi empat kelompok. Mereka menyisir ke empat arah yang berbeda agar pencarian bisa dilakukan lebih cepat. Izan, Siyon, dan tujuh orang warga di perintahkan mencari ke arah gua, sedangkan Nasir mencari ke tempat lain.
“Licik benar uda tu, giliran ke tempat-tempat menyeramkan, awak yang disuruhnya,” gerutu Izan. Merinding ia memikirkan akan pergi ke gua yang menyeramkan malam-malam seperti ini.
“Sudahlah, Zan. Lakukan sajalah perintah uda tu. Jangan banyak mengeluh. Lagipula awak ‘kan ramai. Kalau kau diculik setan, kami ndak akan tinggal diam,” balas Siyon yang dari tadi pusing dengan gerutu-gerutu Izan.
Mereka melanjutkan perjalanan menuju tempat yang diperintahkan Nasir. Walaupun masing-masing memegang obor, tapi tetap saja beberapa kali mereka terpeleset karena jalanan yang licin sehabis diguyur hujan. Selain itu, di hutan itu sungguh banyak jurang-jurang curam, sehingga mereka harus berjalan dengan sangat hati-hati.
“Da, lihat ndak uda rumput tu bergerak-gerak?” tanya Izan memegang erat lengan Siyon. Matanya tertuju pada setumpuk rumput-rumput kering yang bergerak-gerak ditemaramnya cahaya obor.
Siyon mengarahkan pandangannya ke tempat yang dimaksud Izan, tapi gerakan rumput kering itu langsung terhenti.
“Kau terlalu ketakutan, Zan. Makanya bertambah rabun mata kau tu,” cela Siyon semakin kesal dengan ketakutan Izan yang dianggapnya berlebihan. “Sudahlah, jangan bicara yang aneh-aneh lagi, biar awak cepat menemukan Inyiak tu,” lanjutnya lagi.
Memang, dari tadi Izan sering melihat hal-hal aneh. Sebelumnya ia juga berteriak karena melihat sesosok mirip manusia menggantung di pohon pisang, hingga teman-temannya yang lain ketakutan dan lari tunggang langgang. Setelah dicek Siyon, ternyata sosok mirip manusia itu adalah daun pisang kering yang menjuntai dari batangnya. Jikalau bukan karena drama yang dibuat Izan, mungkin mereka sudah sampai di atas bukit sana.
“Da, tolonglah uda perhatikan lagi. Awak indak berbohong. Memang rumput tu bergerak-gerak,” rengek Izan seperti anak kecil.
“Ondeh mande, Zan, lebih baik tadi kau indak ikut daripada mengacau terus seperti ni,” balas Siyon dibarengi gelengan kepala teman-temannya yang lain.
Dengan kesal Siyon mendekati rumput itu, lalu mengobrak abrik dengan kakinya agar Izan puas dan perjalanan mereka segera lanjut.
Saat kesekian kalinya kaki Siyon menendang rumput kering itu, menguiklah seekor babi hutan seukuran anak sapi dari dalamnya, dibarengi dengan suara-suara beberapa ekor anaknya. Tampaknya babi itu baru saja melahirkan. Pucat pasi wajah mereka saat saling bertatapan dengan induk babi. Siyon yang tepat berada di depan hewan itu tak bisa mengelak dari serudukannya, hingga membuatnya jatuh terlentang. Sedangkan teman-temannya yang lain lari ke atas pohon menghindari amukan binatang itu.
Habislah Siyon diseruduk babi hingga luka di beberapa bagian tubuhnya. Setelah puas melampiaskan amarah, babi itu pergi bergerombol dengan anaknya yang masih merah.
***
Siyon dan teman-temannya akhirnya sampai di puncak bukit di dekat gua. Mereka telisik bagian-bagian sekitar gua, di lokasi-lokasi yang kemungkinan bisa dijadikan tempat persembunyian. Beberapa kali mereka meneriaki nama Nek Kamsiah, meminta wanita tua itu menyerah, tapi Nek Kamsiah bukanlah wanita yang lemah. Semakin kencang teriakan memanggil namanya, semakin ia eratkan pelukan ke cucunya. Iya yakin, untuk saat ini gua itu adalah tempat persembunyian terbaik.
“Siapa yang akan masuk ke dalam?” tanya Siyon menatap temannya satu per satu. Ia sendiri tampak ragu melontarkan pertanyaan itu. Serangan babi hutan tadi membuat nyalinya sedikit ciut.
Tak ada yang menanggapi pertanyaan Siyon. Mereka hanya menunjukkan ekspresi bergidik sambil melihat ke sekelilingnya. Jangankan malam-malam seperti ini, siang pun tak ada yang berani menapaki gua itu.
“Kalau uda saja yang masuk sendiri bagaimana?” tawar Izan dengan polosnya, membuat teman-temannya yang lain menyembunyikan senyum.
“Yang benar saja, Zan,” balasnya sambil menepuk keras bahu Izan.
Akhirnya demi keadilan, mereka memutuskan untuk masuk ke dalam gua bersama-sama. Menepis rasa takut tak berkesudahan. Berjejer mereka berjalan, sambil memegang bahu temannya. Siyon berada di posisi paling depan, menunjukkan kalau ia adalah orang paling berani di kelompok itu.
Sedangkan Nek Kamsiah, samar-samar mendengar rencana Siyon untuk tetap masuk ke dalam gua. Saat ini, tak ada yang bisa ia lakukan selain berdoa. Ia sudah berusaha semampunya untuk menyelamatkan nyawa cucunya, selebihnya, ia serahkan kepada sang Pemilik Jiwa mereka.
Dalam ketakutan, Nek Kamsiah memberanikan diri mengangkat dagunya, ia edarkan pandangan ke seluruh sisi gua yang gelap gulita. Gua yang dari dulu, bahkan dari semenjak Nek Kamsiah kecil, sudah terkenal dengan keangkerannya. Konon cerita yang didapat oleh Nek Kamsiah dari orang tuanya dan warga kampung, gua itu menjadi tempat tinggal binatang-binatang buas dan makhluk halus. Seumur hidup Nek Kamsiah, tidak pernah ia mendengar ada orang yang berani masuk ke sana. dan malam ini, ia tak menyangka bisa berada di tempat yang sangat ditakuti orang-orang itu, sebagai buronan yang entah sebentar lagi akan tertangkap.
Dari luar, Siyon memasukkan sedikit ujung obornya ke dalam mulut gua, hingga tampaklah sisi bagian depan gua, membuat rasa takut mereka sedikit berkurang karena tidak terlihat sesuatu yang mengerikan di dalam sana. Mereka terus melangkah pelan ke sisi bagian dalam, tempat di mana Nek Kamsiah meringkuk memeluk cucunya.
“Itu adalah Surah yang sering Inyiak lafazkan dulu.” Zahara terguguh, ikut bersimpuh di belakang Nurlian. Ia sengaja mengikuti Nurlian karena melihat gelagat aneh cucunya itu dari kemarin. Tadinya ia berniat menghukum Nurlian karena telah berani menemui Aswir secara sembunyi-sembunyi seperti ini. Tapi keindahan suara Aswir membacakan Surah At-tin beserta terjemahan malah membuat jiwanya bergetar. Zahara ingat, Surah itu adalah surah yang ia baca saat menghatamkan Al-quran pertama kali. Angannya berputar ke masa lalu. Puluhan tahun silam, derap langkah sejumlah anak-anak terlihat mantap melangkah menuju surau untuk mengikuti Khatam Al-quran. Satu di antaranya adalah Kamsiah kecil. Bagi masyarakat sana, prosesi khatam Alquran dihelat dengan cukup meriah. Anak-anak yang telah tamat mengaji 30 juz akan diarak keliling kampung diiringi tabuhan rebana, sebagai wujud dari rasa syukur. Laki-laki mengenakkan pakaian kebesaran berupa gamis ditambah sorban. Sedangkan perempuan memakai gaun dipa
“Apa tujuanmu datang ke sini?” tanya Zahara dengan tatapan sinis. Dilihatnya Aswir sedang duduk di pojok ruang penjara yang sempit. Seketika laki-laki itu berdiri melihat Zahara datang.“U-uni …,” lirih Aswir. Ia terkesiap mendapati Nurlian ada di belakang wanita dengan tumit menghadap ke depan itu.Kemarin, Ia melihat Nurlian masuk ke dalam gua, lalu diam-diam mengikutinya. Sementara Basri memilih untuk lebih dulu meninggalkan hutan. Ia tak berani mengikuti Aswir masuk ke dalam gua yang nyata-nyata banyak menyimpan cerita misteri.Sesampainya di dalam gua, Aswir tak menemukan lagi gadis itu. Padahal tak ada jalan lain masuk ke sana selain mulut gua bagian depan. Dari situ, mengertilah Aswir ada sesuatu yang aneh dengan orang yang sedang diikutinya.Rumor masyarakat tentang orang bunian penghuni gua langsung terlintas di benaknya. Namun, nalurinya mengatakan bahwa Nurlian bukanlah orang bunian. Nurlian manu
“Sudah berapa lama kau mengenal manusia?” Zahara menekan suaranya. Takut masalah itu di dengar Dewi atau pelayan istana.Tentulah pimpinan Orang Bunian itu akan murka jika mengetahui warganya berhubungan dengan manusia di luar sana.” Oh, pantaslah kau sering ke hutan tu belakangan ni, ya. Ada sesuatu rupanya di sana,” tuduhnya tak memberi kesempatan Nurlian bicara. Sementara gadis itu hanya menunduk, takut membela diri. Ia mendengar saja ocehan neneknya.“Kau mau dicelakai? Kau mau diperkosa? Atau dibakar seperti ibumu?” Wanita itu terus melontarkan pertanyaan, tapi tak memberi kesempatan Nurlian untuk menjawab.“Indak Nyiak, orang tu ndak berbuat jahat pada Nur. Bahkan mereka telah menyelamatkan nyawa Nur,” balas Nurlian gemetaran saat punya celah untuk menjawab.“Belum taukah kau manusia punya banyak muka? Mereka banyak menyimpan kebusukan di balik topeng kebaikannya. Hari ini mereka baik, esok atau lusa mer
“Jangan keluar dulu, Nur. Kau belum benar-benar pulih.” Zahara mencegat saat Nurlian hendak keluar dari kamarnya. Ia ingin gadis itu istirahat hingga benar-benar segar.“Nur sudah mulai pulih, Nyiak. Di kamar terus malah akan membuat semakin sakit. Nur butuh udara bebas,” jawabnya.“Dengarkanlah inyiak! Minumlah obat ni. Inyiak merasa indak enak dengan Dewi jika ritualmu terus diundur!” Wanita bermata bulat itu menarik lengan Nurlian, dan menuntunnya ke bibir ranjang. Segelas ramuan herbal diulurkannya ke mulut Nurlian. Aromanya yang menyengat membuat Mual gadis belia itu. Tetapi Zahara terus memaksa menghabiskannya.“Nyiak, bolehkah Nur bermain di hutan lagi?” tanyanya setelah menyesap hingga tandas segelas ramuan pahit itu.“Kau indak boleh ke mana-mana lagi hingga ritual dilaksanakan!” Cepat Zahara menjawab. “Inyiak taku
“Nyiak, apakah ndak ada seorang pun manusia yang baik?” selidik Nurlian tiba-tiba saat Kamsiah hendak beranjak meninggalkannya. Bayangan Aswir selalu membuntuti ke mana ia pergi. Terlebih aroma khas laki-laki itu masih melekat di tubuhnya. Membuatnya menjadi semakin penasaran dengan manusia.“Kenapa kau tiba-tiba menanyakan itu?” Kamsiah balik bertanya, mengerti ke mana arah pertanyaan Nurlian. Berkerut kening wanita itu menunggu jawaban dari cucunya. Ia tampak tak senang. Kamsiah memang tak pernah bercerita tentang kebaikan manusia.“Apakah kau meragukan ceritaku selama ini?” lanjutnya, balik menodong Nurlian dengan pertanyaan.“B-bukan begitu, Nyiak. Nur hanya ingin meyakinkan diri, bahwa ini adalah pilihan yang tepat. Hingga di kemudian hari ndak ada lagi penyesalan terkait asal usul Nur. Bagaimanapun ini adalah keputusan yang besar.” Nurlian memegang kedua tangan
Dalam posisi demikian genting, Aswir menatap wajah Nurlian yang saat ini tepat berada di bawah wajahnya. Jantungnya berdegup tak karuan. Ini adalah kali pertamanya ia berada dalam posisi yang begitu dekat dengan wanita, hingga menimbulkan debaran-debaran aneh di hatinya. Walaupun perempuan dengan hidung mancung dan bibir merah muda itu terus saja memejamkan mata.Ia lalu memalingkan wajahnya dan berulang kali beristigfar, memohon ampunan Allah karena harus bersentuhan seperti itu dengan wanita yang tak seharusnya ia sentuh.Aswir terus berusaha naik dan mengerahkan segenap tenaga, bulir-bulir keringat yang membasahi wajahnya jatuh di pelupuk mata Nurlian, memberikan dorongan pada Nurlian untuk membuka kelopak matanya yang terbingkai bulu mata panjang nan lentik. Merona pipinya menyadari saat ini wajahnya saling bersitatap dengan wajah Aswir. Laki-laki yang ia takuti, pun tak ia pungkiri ketampanannya.Kali ini Aswir fokus kepada tebin