Share

PART TIGA

KEMBANG DESA YANG TERNODA

PART 3

Sungguh kejam kalian memperlakukan anakku seperti binatang, batin Nek Kamsiah mengutuk, air matanya merebak di kedua pipi, membayangkan sakit yang ditanggung Nurlaila. Tak ia sangka putri semata wayangnya yang ia manja bak ratu itu meregang nyawa dengan cara sesadis itu.

Ternyata amarah mereka belum juga tuntas. Tidak lama kemudian, terdengar sorak sorai warga berjalan menuju rumah panggung Nek Kamsiah. Warga yang tadinya berkumpul di halaman rumah Nasir, berpindah ke rumah Nek Kamsiah. Saat ini, wanita tua itu bisa melihat dengan jelas pemandangan di sana, karena ia berada di dataran yang lebih tinggi.

“Musnahkan antek penjajah!” Bergemah suara Nasir menyulut emosi warga. Berkali-kali ia ucapkan kalimat provokasi itu.

Jerigen minyak tanah yang ia ambil sebelumnya dari rumahnya serta merta ia lempar ke  rumah Nek Kamsiah yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu dan berlantaikan kayu. Ia regang obor dari tangan seorang warga dan melemparnya ke rumah tersebut. Tidak butuh waktu lama, api berkobar, menimbulkan asap hitam yang membumbung tinggi. Dalam sekejap, habislah rumah yang menyimpan banyak kenangan keluarga Nek Kamsiah.

Bergidik ngeri Rosidah dan beberapa warga yang masih mempunyai belas kasih menyaksikan peristiwa malam itu, tapi mereka tidak bisa mencegahnya. Bisa-bisa mereka juga akan dituduh sebagai antek penjajah seperti yang digaungkan Nasir di tengah-tengah masyarakat.

“Ndak akan pernah kumaafkan perlakuan kalian.” Bergetar tubuh Nek Kamsiah menahan amarah. Butiran-butiran bening merebak di kedua matanya, membasahi pipinya yang sudah keriput dimakan usia. Tak berkedip matanya menatap sisa-sisa kobaran api yang menghanguskan rumahnya. Rahangnya mengeras menahan amarah. Dadanya bergemuruh hebat. Malam ini, ia telah kehilangan segala hal berharga yang ia punya. Dan ia tau, Nasir adalah biang dari segala yang dialaminya malam ini.

Kalaulah bukan karena cucu dalam gendongannya, tak akan gentar ia menampakkan muka di tengah kerumunan warga dan menusuk kedua bola mata Nasir dengan sembilu, sekali pun akhirnya ia yang Akan menjadi pesakitan.

Dinginnya cuaca malam lereng gunung Marapi, membuat menggigil cucunya yang belum diberi nama itu. Bibir mungilnya sedikit membiru dan terus bergetar. Nek Kamsiah sadar, menyelamatkan cucunya adalah satu-satunya hal terbaik yang harus ia lakukan saat ini. Dan balik lagi ke kampung itu sesuatu yang mustahil ia lakukan.

Nek Kamsiah mendekap erat tubuh mungil cucunya untuk memberi kehangatan. Wanita tua dengan cekung mata menjorok dalam itu takut udara malam akan membahayakan cucunya.  Tadi, tidak sempat ia mengambil pakaian yang sudah disiapkan di dalam tas. Segera ia buka tingkuluak dari kain berwarna putih yang digunakan untuk menutup kepalanya. Lalu ia lilitkan ke tubuh bayi mungil yang hanya berbedongkan kain tipis dan lusuh. Sekarang, terpampanglah rambut panjang tipisnya yang nyaris semuanya putih.

Bertambah hancur hati Nek Kamsiah saat bayi itu membawa tangan mungilnya ke mulut, pertanda haus.

“Oaaak … Oaak … Oeaak …” Tangisan khas bayinya pecah, sambil sesekali menjilat bibirnya yang sudah kering.

“Nak, tadi sore kau masih bebas menyusu sepuasmu. Sekarang, mereka telah merampas apa yang seharusnya menjadi hakmu. Tenanglah, Nak! Inyiak akan membalas semuanya, Jangan menangis, Nak! Nanti mereka tau awak di sini,” lirih Nek Kamsiah sambil mengayun cucunya ke kanan dan ke kiri agar bayi itu berhenti menangis.

Namun, bayi bukanlah anak-anak berakal yang tau nyawanya sedang terancam. Semakin tubuhnya diayun-ayun, semakin keras pula tangisannya. Karena memang bukan ayunan yang ia harapkan, tetapi cairan untuk pelepas dahaganya.

Dalam panik, mata Nek Kamsiah tertuju pada serumpun daun talas di samping pohon beringin yang saat ini ia jadikan tempat berlindung. Tangannya yang sudah menyembul urat-urat kasar segera mengumpulkan tetesan embun yang menempel pada daun talas itu. Lalu ia masukkan ke mulut cucunya yang tiada henti menangis.

Perlahan, tangisan bayi itu mereda menerima minuman terbaik pemberian neneknya saat ini.  Nek Kamsiah sudah bisa bernapas lega. Mereka bisa melanjutkan perjalanan mencari tempat yang aman. Tidak mungkin ia terus-terusan berada di bawah pohon beringin besar ini.

Di bawah sana, tampak oleh Nek Kamsiah warga sudah tak berkerumun lagi. Rumahnya yang sudah menjadi arang sudah ditinggalkan warga.

“Mereka kira awak sudah hancur bersama rumah itu, Nak,” bisiknya kepada cucunya sembari tersenyum getir.

Wanita tua dengan rambut putih tergerai itu berjalan menuju Nagari Koto yang terletak di seberang nagarinya. Di sana ada seorang adik laki-lakinya. Ia berharap  mendapat perlindungan dari adiknya itu. Ia tidak melewati jalan biasa untuk sampai ke sana, melainkan masuk lewat hutan yang tembus ke Nagari seberang. Ia takut Nasir menemukannya jika melewati jalan setapak yang biasa dilewati warga.

Tak terkira sakit di telapak kaki telanjangnya saat duri-duri merengsek masuk, mengoyak kulitnya yang sudah menipis. Namun, sakit itu tak seberapa dibanding bahaya yang mengancam mereka saat ini. Ia berhenti sejenak, melepas duri yang menancap di kakinya, lalu berjalan kembali, tak menghiraukan rasa sakit yang mendera.

“MENYERAHLAH, NYIAK! SERAHKAN BAYI TU!”

Terkesiap Nek Kamsiah mendengar suara bariton yang memecah pekatnya malam. Semakin erat ia memeluk cucunya. Ia menyangka sudah aman dari amukan warga. Rupanya warga tak memberi ampun atas hal yang memang tidak mereka lakukan, mereka mengejar hingga ke sini.

Nek Kamsiah tak tau bahwa tadi ada yang melihatnya keluar dari rumah lewat pintu belakang, lalu melaporkan kepada Nasir. Dan saat ini, mereka berpencar mencari keberadaan wanita tua itu.

Sigap Nek Kamsiah mencari tempat sembunyi. Ia ingat, di ujung hutan sana, ada sebuah gua. Tidak pernah ada warga yang berani masuk ke dalamnya. Mereka takut dengan binatang buas. Namun, tidak ada pilihan lain selain bersembunyi ke tempat itu. Mungkin saat ini binatang buas lebih mempunyai hati daripada manusia, batin Nek Kamsiah.

Tertatih wanita berbaju kurung warna coklat tua itu  menuju gua yang dimaksud. Perjalanan sekitar tiga km, cukup membuatnya ngos-ngosan.

“Di luar atau pun di dalam gua, awak akan tetap mati, tetapi lebih mulia mati diterkam harimau daripada mati di tangan Nasir biadab tu,” rutuknya. Itulah hal yang membuatnya nekat masuk ke dalam.

Dengan tubuh gemetar, ia langkahkan kaki masuk ke dalam gua. Benar saja, banyak sarang laba-laba menutupi mulut gua bagian atas, pertanda tidak dimasuki manusia. Sarang laba-laba yang sangat tebal itu ia singkap dengan sebelah tangannya, sedangkan tangan yang satunya lagi masih mengapit cucu mungilnya dengan kuat.

Udara di dalam gua begitu lembap. Tidak ada sedikit pun sumber cahaya. Benar-benar gelap gulita. Beberapa kali, tetesan air dari bagian atas gua jatuh di kepala dan tangannya, membuat jantungnya makin berdegup tak karuan. Dengan kaki meraba-raba, wanita itu mencari posisi yang ia perkirakan nyaman. Ia kemudian bersandar di dinding gua dengan perasaan was-was.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status