Sejak hari pertama masuk ke dalam istana, Su Xiaobao setiap hari duduk di ambang pintu, menatap ke luar dengan penuh harap, ingin melihat sosok ayahnya.Namun, hari demi hari berlalu, ia tetap kecewa. Hingga kini, ia belum juga melihat bayangan ayahnya.“Gulu… gulu…”Perut kecilnya berbunyi kelaparan. Bibir mungilnya mengerucut ke bawah, sepasang mata besarnya yang bening berair, tampak layaknya anak anjing malang yang dibuang.“Hei, ternyata putri kita masih menunggu Yang Mulia, ya.”Suara sinis penuh ejekan terdengar. Su Xiaobao menoleh, ternyata itu adalah pelayan istana yang setiap hari membawakan makanannya.Pada hari pertama tiba, makanannya masih enak. Hari kedua pun sama. Namun, mulai hari ketiga, ia mendapati makanan yang dibawa sudah dingin. Meski begitu, selama masih bisa dimakan, ia tetap bersyukur dan tidak pernah mengeluh.Yang lebih parah, pagi ini makanan yang diberikan sudah basi, bahkan tanpa lauk. Jelas tidak bisa dimakan sama sekali. Karena itu, Xiaobao sampai kela
“Uang ini tidak perlu Tuan Kecil kembalikan.”Di luar, identitas Su Xiaobao tidak boleh diungkap, sehingga Lin Zhengqing selalu memanggilnya dengan sebutan “Nona Kecil”.Su Xiaobao berpikir sejenak, lalu berkata manis, “Kalau begitu, nanti setelah aku menanam sayuran enak, akan kuberi sebagian untukmu.”Lin Zhengqing hanya tersenyum mengiyakan, namun dalam hatinya tidak terlalu memedulikannya.Bagaimana mungkin seorang anak berusia tiga tahun bisa menanam apa pun, apalagi di dalam istana?Setelah membeli semua barang yang ia inginkan, Su Xiaobao tidak lagi meminta macam-macam.Anak kecil itu duduk manis dan tenang, mengikuti perjalanan dengan kereta kuda dalam pengawalan Lin Zhengqing dan para prajurit menuju ibu kota.Awalnya, Xiaobao merasa sangat bersemangat. Ia menempelkan wajah mungilnya di jendela kereta, matanya berkilauan penuh rasa ingin tahu sambil menikmati pemandangan sepanjang jalan.Namun, tak lama kemudian… senyum di wajahnya menghilang.Kereta kuda zaman kuno sama seka
Ia melambaikan tangan, seorang pelayan di belakangnya segera menyerahkan bungkusan kertas minyak berisi bakpao putih yang hangat dan gemuk.“Ini untukmu.”Seperti yang diduga, mata si kecil di depannya langsung berbinar terang.“Terima kasih~”Kali ini, ia memeluk sendiri bakpao itu. Kedua tangannya yang mungil dan putih bersih merangkul erat sebuah bakpao besar, hampir sebesar wajahnya sendiri. Gigitan pertamanya membuat pipinya yang putih lembut menggembung bulat, tampak seperti sebuah kue ketan kecil yang empuk. Ia makan dengan begitu serius, begitu bahagia.Pemandangan itu membuat Lin Zhengqing tanpa sadar menoleh lagi. Bakpao ini benar-benar seenak itu kah?Mereka tak bisa berlama-lama di sini. Begitu Su Xiaobao kenyang, Lin Zhengqing bersiap membawa orang-orangnya berangkat.Namun, ketika hendak beranjak, Su Xiaobao menahan ujung jubahnya dan dengan hati-hati bertanya,“Boleh tidak kalau aku beli sedikit saja sesuatu? Xiaobao hanya butuh sebentar.”Lin Zhengqing berjongkok, meng
Lin Zhengqing bertanya pada Xiaobao, bagaimana ia ingin menghukum mereka.Xiaobao memeluk papan arwah ibunya, alis mungilnya berkerut rapat. “Kita pergi saja.”Lin Zhengqing terkejut. “Kau tidak ingin membalas dendam untuk dirimu sendiri?”Xiaobao mengisap hidungnya. “Mereka memang sering membuat Xiaobao kelaparan dan memukul Xiaobao, tapi bagaimanapun juga mereka masih keluarga Ibu. Mulai sekarang Xiaobao tidak mau mereka lagi. Paman, biarkan saja mereka tidak makan seharian. Perut kosong itu rasanya sangat tidak enak, huh!”Melihat wajah mungil itu bersungut-sungut namun penuh kepuasan, seolah sudah memberi hukuman teramat berat dan berhasil melampiaskan amarahnya, Lin Zhengqing tidak kuasa menahan senyum. Betapapun, ia hanyalah seorang anak kecil.Suaranya terdengar lembut. “Baiklah, biar mereka tidak makan dua hari.”Mata Su Xiaobao segera berbinar. Memeluk papan arwah ibunya, ia menengadahkan wajah kecilnya yang masih kotor, sorot matanya penuh harap.“Kalau begitu, ayo kita cepa
“Xiaobao, dasar anak nakal! Ke mana saja kau berkeliaran, malas tidak mengurus pekerjaan? Ayam-ayam belum diberi makan, pakaian juga belum dicuci. Kalau ketahuan sama aku, lihat saja, aku bikin kau mampus!”Pagi hari di sebuah desa kecil yang tenang. Kabut gunung masih menggantung, ayam jantan baru saja berkokok, namun seorang perempuan gemuk berbalut kain kasar sudah berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang, mulutnya terus memaki.Sedangkan gadis kecil yang dipanggil itu, kini sedang bersembunyi di sudut gudang kayu. Tangan kecilnya yang kotor menggenggam erat sebuah buah mentah, diam-diam ia menggigitnya.“Hmm… pahit sekali.”Anak perempuan itu baru berusia tiga tahun. Tubuh mungilnya tampak lusuh, rambut hitamnya berantakan. Namun, di balik kotoran itu masih bisa terlihat kulitnya yang putih halus, dengan raut wajah mungil yang cantik. Terutama matanya—besar, bulat, sebening mata rusa kecil, memancarkan kepolosan dan kejernihan seorang anak.Ia duduk meringkuk di lantai yang