Share

Istana

Author: Nunaaaa
last update Huling Na-update: 2025-10-02 12:04:42

“Uang ini tidak perlu Tuan Kecil kembalikan.”

Di luar, identitas Su Xiaobao tidak boleh diungkap, sehingga Lin Zhengqing selalu memanggilnya dengan sebutan “Nona Kecil”.

Su Xiaobao berpikir sejenak, lalu berkata manis, “Kalau begitu, nanti setelah aku menanam sayuran enak, akan kuberi sebagian untukmu.”

Lin Zhengqing hanya tersenyum mengiyakan, namun dalam hatinya tidak terlalu memedulikannya.

Bagaimana mungkin seorang anak berusia tiga tahun bisa menanam apa pun, apalagi di dalam istana?

Setelah membeli semua barang yang ia inginkan, Su Xiaobao tidak lagi meminta macam-macam.

Anak kecil itu duduk manis dan tenang, mengikuti perjalanan dengan kereta kuda dalam pengawalan Lin Zhengqing dan para prajurit menuju ibu kota.

Awalnya, Xiaobao merasa sangat bersemangat. Ia menempelkan wajah mungilnya di jendela kereta, matanya berkilauan penuh rasa ingin tahu sambil menikmati pemandangan sepanjang jalan.

Namun, tak lama kemudian… senyum di wajahnya menghilang.

Kereta kuda zaman kuno sama sekali tidak memiliki peredam kejut, sementara jalanan juga sangat bergelombang. Tubuh mungil Su Xiaobao seakan mau rontok karena guncangan.

Ia pun merindukan kehidupannya yang dulu—meski tanpa tubuh, setidaknya ia bisa terbang ke mana pun sesuka hati.

Dari semula duduk tegak di kursi kereta, kini ia terkulai lemas, berusaha mencari posisi ternyaman. Itu pun baru setengah hari perjalanan.

Meski lantai kereta dilapisi kulit binatang yang lembut, Xiaobao tetap merasa tersiksa.

Namun demi tidak menambah beban rombongan, dan demi menemukan ayahnya, anak kecil itu menggigit bibir mungilnya, menahan diri dengan tegar.

Setelah dua hari perjalanan, Lin Zhengqing mulai menyadari perubahan. Nona kecil yang tadinya bersemangat kini seperti layu.

Dengan suara manja dan mata berkaca-kaca, Xiaobao bertanya, “Masih lama kah kita baru sampai?”

Melihat wajah memelas itu, Lin Zhengqing pun menjawab lembut, “Tidak lama lagi. Sekitar satu jam perjalanan lagi.”

“Satu jam lagi!”

Xiaobao langsung berseri-seri, kepalanya yang semula lemas kini kembali tegak.

Akhirnya! Ia hampir menjerit lega. Ia bersumpah tidak akan pernah lagi penasaran dengan kereta kuda.

Beberapa saat kemudian, jalanan menjadi semakin rata.

Xiaobao mengintip keluar jendela, dan matanya berbinar ketika melihat dari kejauhan sebuah dinding kota yang tinggi dan megah menjulang.

“Sudah sampai, ya? Itu sudah sampai, kan?”

Anak kecil itu menoleh penuh harap pada Lin Zhengqing yang menunggang kuda di samping kereta.

“Benar.” Lin Zhengqing mengangguk.

Mendapat jawaban itu, Xiaobao berseri penuh semangat, wajahnya kembali bersinar ceria.

Akhirnya, di tengah harapannya, mereka tiba di depan gerbang kota.

Lin Zhengqing mengeluarkan sebuah tanda khusus. Para penjaga segera memberi jalan tanpa banyak bertanya.

Kota metropolitan begitu makmur, dipenuhi para bangsawan dan orang kaya. Dalam keyakinan masa itu, kaisar adalah naga sejati, titisan langit. Siapa pun tentu berharap bisa tinggal sedekat mungkin dengan “naga” tersebut.

Karena itu, ibu kota begitu luas dan ramai. Jalan-jalan besar berlapis batu rata, cukup lebar untuk dua kereta mewah berjalan sejajar, sementara orang-orang tetap bisa berlalu-lalang tanpa berdesakan. Benar-benar berbeda jauh dengan kota kecil yang pernah dilihat Xiaobao sebelumnya.

Matanya terus bergerak penuh rasa ingin tahu. Setiap kali melihat makanan, ia hampir meneteskan air liur. Saat melihat pertunjukan akrobat, tubuh mungilnya hampir saja merangkak keluar jendela, ingin bertepuk tangan layaknya anjing laut kecil yang bersemangat.

Melihat tingkahnya, Lin Zhengqing pun sengaja memperlambat laju kereta. Karena ia tahu, setelah masuk ke dalam istana, kesempatan untuk keluar akan sangat jarang.

Tetapi bagaimanapun, kereta mereka tetap akhirnya berhenti di depan gerbang istana.

Xiaobao ternganga menatap gerbang megah yang jauh lebih indah dan megah dibandingkan gerbang kota. Matanya membesar, penuh rasa takjub.

“Apakah ini… tempatku tinggal nanti? Besar sekali…”

Kabar pun tersebar: Putri tunggal Dinasti Daxia akhirnya dibawa kembali ke istana.

Saat itu, Kaisar Daxia sedang berada di arena latihan.

Seorang pria tampan dengan wajah dingin nan kejam berdiri sambil memegang pedang berlumur darah. Ia mengenakan pakaian perang hitam, sorot matanya panjang dan tajam, dipenuhi kekejaman, tanpa sedikit pun kehangatan. Bahkan ketika mendengar kabar tentang putrinya, tatapannya tetap tanpa emosi.

Di hadapannya tergeletak seorang pria dengan lengan tertebas, tubuhnya berlumuran darah dan kejang sekarat. Para pelayan istana dan pengawal berlutut di sekelilingnya, gemetar ketakutan.

Lin Zhengqing, dengan pakaian lengkap sebagai kepala pasukan pengawal, berdiri hormat di samping kaisar, melaporkan kabar tentang putri kecil itu. Ia sudah terbiasa mengabaikan jeritan mengerikan di tanah—sebuah pemandangan yang bukan pertama kalinya ia saksikan.

Setelah mendengarnya, Kaisar Nangong Shiyuan hanya berkata dingin, “Mengerti. Carikan tempat untuk merawatnya saja.”

Seolah-olah yang ia bicarakan bukanlah anak kandungnya sendiri, melainkan seekor binatang peliharaan yang tak penting.

Lin Zhengqing terdiam sejenak. Meski sudah menduga akan seperti ini, hatinya tetap merasakan sedikit kekecewaan. Namun ia tak berani menunjukkan perasaan itu, hanya menunduk dan menjawab dengan hormat, “Baik.”

“Bawa orang ini pergi.”

Sambil berkata demikian, Nangong Shiyuan melemparkan pedang berlumuran darah itu ke samping. Kepala pelayan segera menyodorkan sapu tangan bersih.

Kaisar melangkah keluar dengan tenang, menghapus noda darah di tangannya dengan gerakan lambat namun penuh tekanan.

Lingkaran hitam samar tampak di bawah matanya, bibirnya terkatup rapat, alisnya berkerut tajam, dan sorot matanya tetap kelam, penuh kekejaman. Seusai adegan pembantaian barusan, tak seorang pun pelayan berani bernapas keras.

Barulah ketika ia menaiki tandu dan pergi, suasana sedikit mereda.

Lin Zhengqing lalu memberi perintah, “Bawa orang ini untuk diinterogasi, cari tahu siapa yang mengirimnya.”

Kaisar yang sekarang haus peperangan. Tahta ini ia rebut sendiri dari tangan ayahnya melalui kudeta berdarah yang hingga kini masih membuat banyak orang bergidik.

Sejak usia dua belas tahun, ia hidup bersama prajurit biasa: makan, tidur, dan bertempur bersama mereka. Ia lebih gagah berani daripada siapa pun.

Meskipun kini sudah menjadi penguasa tertinggi, ia tetap gemar bertarung. Arena latihan itu khusus dibangun demi hobinya, dan ia sering memerintahkan orang untuk bertanding dengannya—bahkan melawan beberapa orang sekaligus.

Karena itu, para pembunuh kerap memanfaatkan kesempatan ini untuk mencoba menghabisinya.

Lin Zhengqing sudah terbiasa menghadapi hal semacam itu. Baginya, ini bukan pertama kalinya—dan pasti bukan yang terakhir.

Terlalu banyak orang yang menginginkan kematian kaisar. Namun anehnya, ia sendiri tidak pernah berusaha benar-benar menyingkirkan semua mata-mata yang menyusup ke pasukan pengawal, seakan sengaja membiarkan mereka tetap ada.

Lin Zhengqing tidak berani menebak alasan di balik sikap itu.

Setelah urusan mata-mata selesai, barulah ia teringat kembali akan Su Xiaobao. Saat itu, sudah lima hari berlalu sejak mereka masuk ke istana. Hatinya diliputi kecemasan—entah bagaimana keadaan sang putri kecil sekarang.

Dan selama lima hari ini, sang ayah, Kaisar Nangong Shiyuan, sama sekali belum pernah menemuinya. Seolah-olah putri yang dibawa kembali dari luar itu sudah lama ia lupakan begitu saja.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • PUTRI CANTIK KESAYANGAN KERAJAAN   Ayahmu Tidak Menginginkanmu Lagi

    Sejak hari pertama masuk ke dalam istana, Su Xiaobao setiap hari duduk di ambang pintu, menatap ke luar dengan penuh harap, ingin melihat sosok ayahnya.Namun, hari demi hari berlalu, ia tetap kecewa. Hingga kini, ia belum juga melihat bayangan ayahnya.“Gulu… gulu…”Perut kecilnya berbunyi kelaparan. Bibir mungilnya mengerucut ke bawah, sepasang mata besarnya yang bening berair, tampak layaknya anak anjing malang yang dibuang.“Hei, ternyata putri kita masih menunggu Yang Mulia, ya.”Suara sinis penuh ejekan terdengar. Su Xiaobao menoleh, ternyata itu adalah pelayan istana yang setiap hari membawakan makanannya.Pada hari pertama tiba, makanannya masih enak. Hari kedua pun sama. Namun, mulai hari ketiga, ia mendapati makanan yang dibawa sudah dingin. Meski begitu, selama masih bisa dimakan, ia tetap bersyukur dan tidak pernah mengeluh.Yang lebih parah, pagi ini makanan yang diberikan sudah basi, bahkan tanpa lauk. Jelas tidak bisa dimakan sama sekali. Karena itu, Xiaobao sampai kela

  • PUTRI CANTIK KESAYANGAN KERAJAAN   Istana

    “Uang ini tidak perlu Tuan Kecil kembalikan.”Di luar, identitas Su Xiaobao tidak boleh diungkap, sehingga Lin Zhengqing selalu memanggilnya dengan sebutan “Nona Kecil”.Su Xiaobao berpikir sejenak, lalu berkata manis, “Kalau begitu, nanti setelah aku menanam sayuran enak, akan kuberi sebagian untukmu.”Lin Zhengqing hanya tersenyum mengiyakan, namun dalam hatinya tidak terlalu memedulikannya.Bagaimana mungkin seorang anak berusia tiga tahun bisa menanam apa pun, apalagi di dalam istana?Setelah membeli semua barang yang ia inginkan, Su Xiaobao tidak lagi meminta macam-macam.Anak kecil itu duduk manis dan tenang, mengikuti perjalanan dengan kereta kuda dalam pengawalan Lin Zhengqing dan para prajurit menuju ibu kota.Awalnya, Xiaobao merasa sangat bersemangat. Ia menempelkan wajah mungilnya di jendela kereta, matanya berkilauan penuh rasa ingin tahu sambil menikmati pemandangan sepanjang jalan.Namun, tak lama kemudian… senyum di wajahnya menghilang.Kereta kuda zaman kuno sama seka

  • PUTRI CANTIK KESAYANGAN KERAJAAN   Peri Kecil yang Sial

    Ia melambaikan tangan, seorang pelayan di belakangnya segera menyerahkan bungkusan kertas minyak berisi bakpao putih yang hangat dan gemuk.“Ini untukmu.”Seperti yang diduga, mata si kecil di depannya langsung berbinar terang.“Terima kasih~”Kali ini, ia memeluk sendiri bakpao itu. Kedua tangannya yang mungil dan putih bersih merangkul erat sebuah bakpao besar, hampir sebesar wajahnya sendiri. Gigitan pertamanya membuat pipinya yang putih lembut menggembung bulat, tampak seperti sebuah kue ketan kecil yang empuk. Ia makan dengan begitu serius, begitu bahagia.Pemandangan itu membuat Lin Zhengqing tanpa sadar menoleh lagi. Bakpao ini benar-benar seenak itu kah?Mereka tak bisa berlama-lama di sini. Begitu Su Xiaobao kenyang, Lin Zhengqing bersiap membawa orang-orangnya berangkat.Namun, ketika hendak beranjak, Su Xiaobao menahan ujung jubahnya dan dengan hati-hati bertanya,“Boleh tidak kalau aku beli sedikit saja sesuatu? Xiaobao hanya butuh sebentar.”Lin Zhengqing berjongkok, meng

  • PUTRI CANTIK KESAYANGAN KERAJAAN   Hukuman

    Lin Zhengqing bertanya pada Xiaobao, bagaimana ia ingin menghukum mereka.Xiaobao memeluk papan arwah ibunya, alis mungilnya berkerut rapat. “Kita pergi saja.”Lin Zhengqing terkejut. “Kau tidak ingin membalas dendam untuk dirimu sendiri?”Xiaobao mengisap hidungnya. “Mereka memang sering membuat Xiaobao kelaparan dan memukul Xiaobao, tapi bagaimanapun juga mereka masih keluarga Ibu. Mulai sekarang Xiaobao tidak mau mereka lagi. Paman, biarkan saja mereka tidak makan seharian. Perut kosong itu rasanya sangat tidak enak, huh!”Melihat wajah mungil itu bersungut-sungut namun penuh kepuasan, seolah sudah memberi hukuman teramat berat dan berhasil melampiaskan amarahnya, Lin Zhengqing tidak kuasa menahan senyum. Betapapun, ia hanyalah seorang anak kecil.Suaranya terdengar lembut. “Baiklah, biar mereka tidak makan dua hari.”Mata Su Xiaobao segera berbinar. Memeluk papan arwah ibunya, ia menengadahkan wajah kecilnya yang masih kotor, sorot matanya penuh harap.“Kalau begitu, ayo kita cepa

  • PUTRI CANTIK KESAYANGAN KERAJAAN   Sang Putri

    “Xiaobao, dasar anak nakal! Ke mana saja kau berkeliaran, malas tidak mengurus pekerjaan? Ayam-ayam belum diberi makan, pakaian juga belum dicuci. Kalau ketahuan sama aku, lihat saja, aku bikin kau mampus!”Pagi hari di sebuah desa kecil yang tenang. Kabut gunung masih menggantung, ayam jantan baru saja berkokok, namun seorang perempuan gemuk berbalut kain kasar sudah berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang, mulutnya terus memaki.Sedangkan gadis kecil yang dipanggil itu, kini sedang bersembunyi di sudut gudang kayu. Tangan kecilnya yang kotor menggenggam erat sebuah buah mentah, diam-diam ia menggigitnya.“Hmm… pahit sekali.”Anak perempuan itu baru berusia tiga tahun. Tubuh mungilnya tampak lusuh, rambut hitamnya berantakan. Namun, di balik kotoran itu masih bisa terlihat kulitnya yang putih halus, dengan raut wajah mungil yang cantik. Terutama matanya—besar, bulat, sebening mata rusa kecil, memancarkan kepolosan dan kejernihan seorang anak.Ia duduk meringkuk di lantai yang

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status