Nancy datang dengan tergesa ke Rumah Sakit setelah mendapat kabar kalau operasi yang dijalankan oleh Janggala sudah selesai. Dia sempat ke kantor polisi untuk menyelesaikan beberapa hal, seperti laporan dan lain-lain.
Lavani dan kedua orangtuanya berpamitan pulang dan berjanji akan pulang setelah operasi Janggala selesai.
Nancy sedikit berlari menuju ruang rawat inap Janggala, namun ketika dia sampai Janggala tidak ada disana.
“Bu Nancy..” Direktur Rumah Sakit memanggilnya, pria paruh baya itu mendekat pada Nancy di dampingi oleh empat dokter.
“Bagaimana dengan Gala?” Tanya Nancy tergesa, suaranya bergetar.
“Biar dokter Salim yang menjelaskan.” Ucap sang Direktur mempersilahkan dokter yang bertugas mengoperasi Janggala.
Dokter itu menunduk, memberi hormat pada Nancy sebelum mulai bicara.
“Saya yang bertugas mengoperasi tuan muda Janggala, nama saya dokter Salim.” Dia memperkenalkan diri dengan sopan, “Operasinya berjalan dengan lancar.”
Satu kalimat itu membuat Nancy yang sedari tadi tegang langsung merasa lega, kedua lututnya terasa lemas dan dia jatuh terduduk di lantai. Ketujuh orang termasuk dengan Evelin serta bodyguardnya reflek menopangnya.
Mereka kemudian melipir ke sebuah bangku besi dan membiarkan wanita tua itu duduk disana, Eveline segera membuka botol air mineral, mempersilahkan majikannya untuk meneguk isinya sebelum mendengar lebih lanjut penjelasan dokter.
“Puji Tuhan! Operasinya lancar..” Nancy bergumam setelah dia rasa sudah jauh lebih baik.
“Maaf nyonya, operasinya memang berjalan dengan lancar. Tapi kami ingin menyampaikan permintaan maaf sebesarnya..” Dokter itu berkata dengan suara lirih dan pelan, Nancy yang sedari tadi menunduk mulai menengadahkan kepalanya, menatap dokter itu.
Keningnya berkerut menimbulkan tambahan kerutan di wajahnya yang memang sudah terlihat menua.
“Permintaan maaf?” Nancy mengulang ucapan sang dokter.
“Ada terjadi kerusakan di bagian otak tuan muda, kami berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan bagian itu. Tapi..” Dokter itu menjeda kalimatnya.
“Tapi…?” Nancy menunggu.
“Kemungkinan besar tuan muda akan kehilangan ingatannya..”
Nancy terdiam, ucapan yang dilontarkan oleh si dokter membuat tubuhnya membeku. Isi kepalanya nyaris kosong, tubuhnya bergetar dan airmata turun lagi. Dia menangis tersedu-sedu.
“Untuk ingatan yang hilang, kami belum tahu akan seberapa jauh hilangnya ingatan itu. Kami berusaha menyelamatkan bagian-bagian yang sangat krusial.”
Nancy tidak mampu lagi mendengarkan penjelasan dokter itu, dia menangis dengan kencang sehingga Eveline meminta Direktur beserta para dokter untuk tidak menyampaikan berita itu lebih lanjut.
Mereka mengerti dan juga bersimpati dengan apa yang sudah terjadi sehingga mengundurkan diri dari ruangan. Nancy ditemani oleh Eveline menangis di dalam kamar rawat inap.
“Ini semua karena Dirra! Kalau saja Janggala tidak pernah bertemu dengan wanita miskin itu!” Ujarnya sambil mengelap airmata dengan tisu yang Eveline berikan. “Wanita itu pembawa sial bahkan sampai akhir kepergiannya!” Dia bergumam dengan wajah memerah.
“Dokter bilang harus menunggu sampai tuan muda siuman, baru mereka bisa tahu kira-kira memori apa yang hilang dari tuan muda.”
Nancy mencengkram tisu dalam genggamannya.
“Dimana Gala sekarang?”
“Ruang ICU.” Jawab Eveline.
Dengan langkah tertatih Nancy berusaha berjalan menuju ruang ICU yang dimaksud oleh Eveline. Sebelum para dokter itu pergi, mereka menjelaskan banyak hal pada Eveline dan wanita muda itu hanya memberi tahu intinya saja pada Nancy.
Nancy berjalan dan langkahnya terhenti ketika dia melihat Sivan tengah berada diluar ruang ICU, pria itu tengah menunduk sambil merapatkan kedua tangannya. Mulutnya komat kamit berdoa.
“Untuk apa kamu disini?” Suara Nancy terdengar setengah berbisik namun nada tidak sukanya jelas sampai pada telinga Sivan. Matanya menatap lurus melewati jendela ICU pada sosok yang terbaring dengan banyak selang dan infus sekujur badan.
Anak laki-laki yang dia sayangi itu terlihat begitu menyedihkan, Janggala terbungkus dengan banyak kassa, kaki dan tangan kirinya di gips.
Sivan tidak menjawab pertanyaan Nancy, dia masih terus melanjutkan doanya.
“Doamu tidak akan pernah Tuhan kabulkan, kalian bukan kakak adik satu rahim.” Kata Nancy lagi.
“Saya gak peduli.” Sivan bersuara, membuat Nancy mengalihkan pandangannya pada pria itu yang bayangannya terpantul di jendela ICU. “Saya gak peduli apakah doa saya didengar atau tidak, saya hanya ingin adik saya selamat.”
Nancy tertawa sinis, mencibir.
“Adik? Tidak usah belagak kamu peduli pada Janggala. Aku yakin dalam hatimu, kamu senang melihat bagaimana anak itu terbaring antara hidup dan mati.”
Sivan terdiam, tidak ingin menimbulkan debatan baru dengan Nancy.
“Kamu dan almarhumah ibumu tidak jauh berbeda, kalian sama-sama menginginkan kehancuran oranglain demi kehidupan yang kalian idamkan.”
Sivan mengepalkan tangannya, Nancy mulai menyinggung mendiang ibunya. Seharusnya dia sudah terbiasa dengan hal ini karena sejak dulu Nancy selalu menjelek-jelekkan mendiang ibunya di depan Sivan.
Hanya saja, hatinya tidak bisa berbohong.
Dia terluka.
Dia yang tahu bagaimana ibunya ditipu oleh sang ayah dan kemudian menjadi istri simpanan. Ibunya yang miskin itu rela menjual harga dirinya demi cinta dan juga kekayaan sesaat.
“Sampai kapanpun kamu tidak akan pernah memiliki akses masuk ke TANTRA WIBAWA. Jangan pernah bermimpi.” Nancy berkata dengan ketus, dia memalingkan wajahnya, menatap Janggala yang terbaring di dalam ruangan.
Sivan tidak banyak bicara, pria itu hanya pergi begitu saja dari ruang tunggu ICU. Nancy bisa melihat kepergiannya dari sudut mata, dia tidak bisa memaafkan Sivan begitu saja meskipun tahu perselingkuhan itu bukan salah Sivan.
Sivan sama saja seperti seorang korban, dia anak yang tidak tahu menahu apa-apa.
“Kenapa dia ada disini? Kenapa dia bisa tahu soal kecelakaan Gala?” Tanya Nancy pada Eveline yang berdiri di belakangnya.
“Dia ada di dalam kontak darurat tuan muda.”
Nancy mengerenyitkan dahinya, menoleh pada Eveline yang masih menunduk.
“Gala memasukkannya sebagai nomor darurat?” Ujarnya tidak percaya.
Eveline menjawab sambil mengangguk, “Selain tuan muda Sivan, ada nomor nyonya juga..”
“Juga?”
“Dirra. Dirra Gauri.”
Dirra menatap dirinya sendiri di depan cermin, dia baru saja memoles bibirnya dengan sebuah lipbalm berwarna merah muda yang samar. Tidak ingin terlalu mencolok, dia memilih warna yang tidak begitu nampak dari kejauhan.Dia juga merapikan rambutnya yang dikuncir, berulang kali dia menatap dirinya sendiri di depan cermin sampai Dalenna datang menghampirinya dengan tangan yang dia lipat di dada dan wajah yang berkerut.“Ibu kesana kemari terus depan kaca, memang ada apa di depan kaca?” Tanya bocah itu penuh telisik, bibirnya maju ke depan dan matanya menatap Dirra seolah menghakimi.Dirra terlonjak mendengar pertanyaan itu, dia mengutuk dirinya sendiri. Siang ini Nancy mengirimkannya pesan, memberitahu kalau Janggala akan makan malam dan tidur di rumahnya, dia tidak bisa menemani makan malam karena ada urusan ke Beijing.Dia langsung memikirkan makanan apa yang akan dia masak untuk Janggala, dan karena itulah dia jadi terbawa suasana.Per
“Mungkin segitu aja yang bisa saya jelaskan untuk sekarang, selebihnya kalau ada masalah apapun bisa menghubungi sekretaris saya terlebih dahulu.” Janggala menutup rapat ketiganya hari ini, waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore ketika akhirnya dia ditinggalkan sendirian di ruang rapat yang besar.Siska membuka pintu ruang rapat ketika Janggala tengah menutup kedua matanya dengan tubuh yang menempel pada kursi, wanita itu membawa sebungkus makanan dari restoran cepat saji di sekitar untuk makan siang Janggala yang tertunda.“Pak, makan dulu..” Katanya sambil membuka kotak berisi roti isi sayur dan daging. Ada kotak salad juga dan minuman energi yang dikemas dengan sangat rapi.Janggala menghela napas, sebenarnya dia sudah muak makan-makanan seperti ini. Dia sedang ingin makan-makanan Indonesia rumahan.“Kenapa kamu gak belikan saya nasi?”Siska menoleh dan terdiam sesaat, “Tapi bapak suka menolak kalau say
“Mencurigai?” Dalal —Ayah Lavani— menoleh pada Sivan yang tengah duduk di ruangannya dengan pandangan terkejut, wajah tuanya yang berkeriput itu mengerut dengan sempurna.Sivan tengah mengunjungi kediaman Lavani, semenjak dia dan keluarga Hanggara memiliki rencana untuk masuk dan mengambil alih keluarga Tantra, mereka tidak lagi bertemu di perusahaan JANJI HANGGARA.Terlalu riskan.Banyak faktor yang menyebabkan mereka beraktivitas diluar selain di kediaman pribadi keluarga Hanggara. Seperti biasanya, Sivan selalu datang setiap bulan selain untuk melaporkan progress rencana mereka juga membicarakan apa yang terjadi di keluarga inti maupun di kantor utama.Sivan baru saja memberitahu Dalal perihal kecurigaan Lavani mengenai Nancy yang tengah menyelidiki keduanya.“Saya rasa mama sudah mendapatkan berkas mengenai tragedi JANJI HANGGARA dan TANTRA WIBAWA beberapa tahun lalu kemudian memberitahukan hal itu pada Janggala, k
Lavani baru saja landing ketika dia menghidupkan ponselnya dan mendapat beberapa notifikasi pesan yang kebanyakan berasal dari pekerjaan. Ada beberapa telepon masuk dari klien serta Sivan dan satu nama membuat dia berhenti, Janggala?Selama pernikahan mereka yang sudah hampir lima tahun tidak pernah sekalipun pria itu meneleponnya ketika dia pergi untuk urusan ‘bisnis’ keluar negeri, ini kali pertamanya pria itu beberapa kali menelepon.Lavani mengerenyitkan dahinya sambil terus berjalan untuk mengambil koper, selesai dengan urusan koper dia menuju pintu keluar dan lagi-lagi dia dibuat terkejut.Pria tinggi itu melambaikan tangannya dengan senyum lebar di wajahnya, Janggala.“Gala?” Lavani berkata, mendekat ke arah Janggala sambil menyeret kopernya.“Kamu baca pesanku?” Tanyanya, mengambil alih koper Lavani.“Belum, baru saja aku lihat ada pemberitahuan kamu meneleponku..”
Janggala terjaga ketika telinganya mendengar suara-suara yang agak jauh, dia memicingkan matanya tatkala sinar matahari langsung menyorot wajahnya. Pantas saja dia merasa panas, seluruh tubuhnya kini bermandikan sinar matahari.Dia duduk di sofa, melepas jaketnya ketika dia menyadari kalau ini adalah rumah Dirra.Suara itu terdengar lagi, suara gelak tawa anak kecil. Tawanya begitu renyah.“Lenna bisa kok bu sendiri pasangnya..”“Gak boleh, ibu yang pasang. Walaupun jarumnya kecil, tetap bahaya..” Sahut Dirra.“Lenna ‘kan sudah besar!” Suara Dalenna kini terdengar dengan nada yang manja.“Oh, yang sudah besar tapi makan buah-buahannya gak pernah habis..”“Ibuuu!”Rengekan itu terdengar, percakapan ibu dan anak itu terjadi di ruang makan yang agak jauh ke dalam dekat dapur. Janggala mendengarnya dengan samar-samar, dia mengecek jam di dinding. Pukul delapan pagi.
Dirra terbangun pukul tengah malam, sudah terbiasa mengecek gula darah Dalenna. Dia membuka matanya pelan dan turun dari kasur, malam ini anak itu meminta tidur di kamarnya sendiri.Ya, Nancy membuatkan kamar untuk Dalenna di rumah ini yang tentu saja selama di desa Permadani tidak dimiliki oleh Dalenna. Bocah itu berjingkrak riang ketika pintu terbuka, tempat tidur dengan hiasan menggemaskan, warna tembok dengan tone lembut, pojok membaca serta meja belajar cukup besar, ditambah ada banyak boneka yang besar dan lembut.“Bu, Lenna mau bobok di kamar Lenna..” Katanya ketika baru saja selesai menyikat gigi di kamar mandi Dirra.“Memang gak takut?”Dalenna terdiam sebentar kemudian menoleh menatap Dirra lekat-lekat, “Boleh tidak ibu temani Lenna dulu?”Dirra terkekeh geli, mata bulat itu menatapnya penuh harap, bahasa yang Dalenna pilih selalu santun buah dari meniru orang-orang di sekitar