Malam itu, lorong-lorong kastil terasa lebih sunyi dari biasanya. Ana berjalan perlahan menuju kamarnya, langkahnya ringan, tapi hatinya berat.Ia masih mengingat cengkeraman Leon di pinggangnya saat berkuda. Begitu nyata, begitu hangat, meski akhirnya diakhiri dengan kalimat dingin yang menusuk.“Sebuah pertunjukan?” gumam Ana dengan mengigit bibir bawahnya. Hatinya berdenyut pilu kendati ia sadar, mungkin selamanya Pangeran Leon hanya menganggapnya sebagai tawanan.Saat hendak membuka pintu, suara langkah berat mendekat dari arah berlawanan. Pangeran Leonhart berjalan dengan gagah. Bahkan derap sepatu boot yang dipakainya menggema di udara.Ia baru saja kembali dari istal, wajahnya tetap seperti biasanya, tegas, dingin, tak terbaca.Ana menunduk sopan. “Selamat malam, Tuan.”Leon berhenti tepat di hadapannya, menatap lama di balik veil tipis yang masih ia kenakan. Ada jeda panjang, hingga akhirnya bibirnya bergerak. “Kenapa masih memakainya? Ayah sudah kembali ke kamarnya. Tidak ad
Saat Pangeran Leonhart dan Ana Merwin memainkan perannya sebagai sepasang suami istri yang serasi, di balik dinding kamar salah satu pelayan, suara desahan dan racauan terdengar tak karuan.Dinding kokoh dan dingin itu merupakan salah satu saksi bisu di mana telah terjadi pengkhianatan sendiri di dalam Ravensel.Helena, pelayan pribadi yang selama ini dikenal patuh, terbaring di ranjang kamarnya. Rambut panjangnya terurai, wajahnya memerah bukan karena malu, melainkan karena gairah. Di atasnya, Lord Mervyn, sang kanselir kerajaan, menunduk penuh hasrat. Tangannya mencengkeram erat pinggang Helena seolah ia ingin menahan waktu agar tak pernah bergerak.“Bagaimana mungkin… kita bisa terus begini tanpa ada yang curiga?” bisik Helena di sela helaan napasnya. Matanya sayu dan wajahnya memerah.Mervyn terkekeh lirih, menunduk ke telinganya. “Karena semua mata tertuju pada Raja dan Pangeran. Tidak ada yang mengira seorang pelayan dan kanselir bisa menjalin hubungan rahasia.”Helena menatapn
Keesokan harinya,Suara logam beradu terdengar ketika Leon menghunus pedang dari dinding, memeriksanya seakan mencari-cari ketidaksempurnaan. Evander masuk tanpa didahului ketukan, langkahnya ringan namun mantap.“Masih saja kau periksa sendiri semua pedang? Seolah pandai besi tak cukup dipercaya,” kata Evander sambil menyeringai tipis.Leon menoleh sekilas, lalu kembali menatap bilah perak di tangannya. “Kepercayaan mudah diberikan, Evander. Tapi pedang yang tumpul bisa menghabiskan nyawa.”Evander mendekat, matanya mengamati kakaknya. “Kau bicara seakan dunia ini hanya berisi pengkhianat.”Leon menyarungkan pedang dengan gerakan tegas, kemudian menatap adiknya lekat-lekat. “Karena memang begitu. Kau masih muda, Evander. Belum banyak melihat tikaman dari belakang.”Evander terdiam sejenak. Ia ingin menceritakan pertemuannya dengan Lord Mervyn, tapi menahan diri. Hanya ada satu hal yang benar-benar ingin ia sampaikan saat itu. “Aku tidak peduli siapa yang mencoba menebas punggungmu. A
Di tempat yang berbeda, di ruang kerja yang hanya diterangi cahaya lilin, Lord Mervyn menundukkan kepala dalam-dalam, seolah penuh hormat. Namun senyumnya tipis, seperti ular yang siap menyusup.“Paduka Raja,” ucapnya pelan, “saya tidak bermaksud mencampuri urusan keluarga tetapi apa Paduka tidak merasa ganjil? Seorang putri agung dari Velmont, mengapa selalu menutupi wajahnya? Mengapa terlalu sering terdiam, seakan takut berbicara?”Raja Edric menegakkan tubuhnya, menatap Mervyn dengan sorot tajam. “Kau ingin mengatakan apa?”Lord Mervyn segera merendah, tangannya terulur seakan menolak tuduhan. “Tidak, tentu tidak! Hamba hanya khawatir, jika suatu hari Velmont mendengar kabar bahwa sang putri diperlakukan dengan tidak layak… atau mungkin, Paduka sendiri ditipu.”Seketika keheningan turun. Mereka sepemikiran. Namun untuk saat ini pikiran Raja Edric lebih tersita untuk Ravensel. Kerajaannya sedang menghadapi lawan yang tangguh. Kerajaan Dravencort jauh di bawah Kerajaan Ravensel, namu
Ruang pertemuan di sayap timur kastil dipenuhi cahaya lilin yang berderet di dinding batu. Meja panjang dari kayu ek dipenuhi peta, gulungan perkamen, dan pion kayu berbentuk prajurit serta kuda perang. Aroma lilin yang terbakar bercampur dengan bau kulit tua.Raja Edric duduk di kursi utama, wajahnya serius dan sorot matanya tajam. Di sisi kanan, Leon duduk tegap dengan rahang mengeras. Pangeran Evander sibuk menata perkamen di depannya. Sir Juan, pengawal Pangeran Leonhart bersandar dengan kedua tangan di atas meja, sementara Lord Mervyn, kanselir Raja Edric, bangsawan berambut perak dari selatan, tampak gelisah, jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja.Raja Edric pun membuka suara. “Kabar terakhir jelas. Dravencort mengumpulkan sisa pasukan mereka di perbatasan timur. Mereka tidak belajar dari kekalahan.”Evander membetulkan kacamatanya. “Laporan mata-mata menyebutkan mereka juga berusaha membeli senjata dari pelabuhan utara. Bila itu benar, mereka berencana bangkit lebih cepat dar
Perlahan Ana membuka pintu kayu raksasa itu. Dengan setengah mengendap-endap, ia keluar dari kamar Pangeran Leon saat pagi buta. Helaan nafas lega lolos di bibirnya. Ia seperti keluar dari lubang sempit. “Tinggal satu hari lagi tinggal di kamar Pangeran,” gumam Ana yang hanya terdengar oleh dirinya sendiri. Jauh panggang dari api, meskipun ia tidur sekamar dengan Leon namun ia hanya bisa tidur beralaskan lantai yang dingin. Mungkin ia terlalu berharap ketika mereka bisa berada dalam satu ruangan akan tumbuh semacam rasa simpatik padanya. Lebih jauh lagi, Ana sebagai seorang gadis muda berharap bernasib baik dinikahi bangsawan yang lembut hatinya dan perhatian.Ana meremat rambutnya frustrasi. “Apa yang aku pikirkan? Bisa-bisanya aku memikirkan pernikahan ideal. Sadar diri, Ana! Kau hanyalah pelayan. Sampai kapanpun tetap menjadi pelayan. Kecuali … aku menemukan siapa pemilik liontin ini,” gumamnya sembari menarik liontin dari balik dadanya.Dari arah berlawanan terdengar suara lang