Evander kembali bersuara sambil menyesap anggur. “Lalu bagaimana menurutmu, Kak? Apakah Putri Clarissa betah di Ebony? Atau ia lebih merindukan kehidupan di Velmont?”Ana tahu ia tak bisa diam. Dengan suara lembut, ia menjawab, “Kastil Ebony… keras, tapi indah. Aku belajar banyak di sini. Dan aku bersyukur bisa berada di sisi Pangeran Leon.”Dalam hati, Ana merutuk keras! Kastil Ebony adalah neraka, awalnya. Sekejap ruangan kembali hening. Raja Edric menatapnya lama, sebelum akhirnya mengangguk kecil. “Jawaban yang bijak.”Leon menyembunyikan desahan lega di balik tatapan dinginnya. Ia tidak menyangka jika gadis buruk rupa itu bisa memiliki pemikiran yang cukup cemerlang. Sisi lain, Ana berusaha menahan gejolak emosinya, menormalkan perasaannya. Di luar ia tampak laksana danau yang tenang. Namun di dalam batinnya, ia laksana angin tornado yang bergemuruh riuh.Sementara itu Helena di sudut ruangan hampir menggertakkan giginya karena Ana berhasil menutupinya dengan baik. Tanpa sadar,
Ana terkesiap, buru-buru menunduk. “I-itu… aku hanya jatuh waktu di istal. Bekas jelaga. Tidak penting.”Tapi Diana mengerutkan kening, bibirnya terbuka seakan hendak berteriak. “Astaga! Pantas saja kulitmu tampak kusam. Kukira… oh! Kukira memang seperti itu wajahmu! Ternyata wajahmu–”Gadis itu memegang dadanya, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ana menegang, wajahnya panas. “Jangan berisik! Kau mau seluruh kastil tahu?” bisiknya keras, nada nyaris putus asa.Diana menutup mulutnya dengan kedua tangan, lalu cekikikan kecil. “Hhh, maaf, maaf! Aku hanya terkejut. Wajahmu ternyata… sebenarnya lebih cantik dari dugaan. Wah, kalau dibersihkan total, Pangeran mungkin akan—”“Diam.” Ana langsung memotong, matanya menyipit. Ada campuran takut dan malu dalam suaranya.Diana menunduk cepat, tapi bibirnya masih menahan senyum. “Baiklah, baiklah… aku akan rias dengan serius. Tapi rahasiamu aman denganku. Asal kau tak keberatan kalau aku… sedikit kagum.”Ana menelan saliva, lalu menghela n
Malam itu terasa lebih lama dari biasanya. Ana tidur di kamar Leon atas perintahnya. Ia tidak protes, kenapa tidak esok hari saja ia tidur di sana, toh, Raja Edric baru tiba di sana esok.Namun Leon tetaplah pangeran yang impulsif. Melakukan segala sesuatu menurut keinginannya. Tidak ada satupun yang berani membantahnya. Di kamar mewah itu, Ana hanya berani membentangkan selimut tipis di lantai, tepat di sisi ranjang. Ia menunduk terus, tak berani menatap Leon. Hatinya bergemuruh, namun lidahnya kelu.Leon melepas mantel dan pedangnya, matanya sempat melirik ke arah Ana. “Jangan harap aku akan memberimu ranjangku,” katanya datar, penuh penghinaan.Sudah Ana duga. Pria itu tetap kejam.Ana menunduk lebih dalam, kedua tangannya meremas ujung selimut. “Baik, Tuan…” suaranya nyaris tak terdengar.Leon mendengus kecil lalu duduk di tepi ranjang, menatap Ana seperti menilai seekor binatang asing. “Setidaknya kau tahu tempatmu. Itu bagus.”Ana berbaring perlahan di lantai dingin itu. Selimu
Ana menarik napas panjang, menegakkan tubuhnya kembali. Namun baru saja ia ingin melanjutkan pekerjaannya, suara berat Leon terdengar dari belakang. “Aku dengar kau membantah?”Ana terkejut, menoleh cepat. Leon berdiri dengan tangan bersedekap, tatapannya menusuk. Wajahnya tampak lebih dingin dari biasanya. Membantah? “Bukan, Pangeran… hamba hanya—”“Diam.” Leon melangkah mendekat, jaraknya kini hanya sejengkal. “Mulai hari ini, jangan sekali pun aku mendengar kau berdebat, apalagi dengan pelayan lain. Kau pikir posisimu sudah aman di sini? Jangan bodoh, Ana.”Ana menelan saliva, hatinya bergetar hebat. Sepertinya telah terjadi kesalahpahaman. Pasti Helena mengadu yang tidak-tidak pada pangeran Leonhart.“Besok ayahku tiba,” lanjut Leon, suaranya lebih rendah namun penuh ancaman. “Dan jika kau membuat sedikit saja kesalahan, bukan hanya kau… tapi aku juga yang akan dipermalukan.”Ia berbalik, jubah hitamnya berkibar, meninggalkan Ana yang membeku di tempat.Di kejauhan, dua kuda jant
Sir Juan hanya bisa mendesah pelan melihat amarah sang tuan. Sementara itu, Ana masih mematung namun dengan wajah yang menunduk dalam.Suasana tegang itu tiba-tiba pecah ketika seorang pelayan berlari tergesa dari arah koridor. Napasnya memburu, wajahnya pucat. “Pangeran Leonhart!” serunya, hampir terjatuh karena terburu-buru. Beberapa kali ia menarik nafas lalu mengembuskannya perlahan.Leon menoleh, alisnya berkerut. “Apa sekarang juga kau berani membuat keributan?”Pelayan itu menunduk, suaranya bergetar. “A—ampun, Tuanku… tapi ini berita penting. Ada kabar dari Ravensel. Raja Edric… Yang Mulia, ayahanda Anda… akan datang.”Kata-kata itu membuat Leon terdiam sejenak. Seolah dadanya dihantam gelombang besar. Ia menatap pelayan itu tajam, berusaha memastikan ia tidak salah dengar. “Ayah… akan datang?” ulangnya, suaranya lebih rendah, namun jelas menyimpan kepanikan yang ia tutupi dengan dingin.Sungguh, pria itu belum sanggup berhadapan dengan sang ayah setelah apa yang terjadi. Sete
“Ana Merwin, ayo semangat!” Ana bersenandika, menyemangati dirinya. Jangan tanya apakah ia merasa letih? Ia hanya tidur tiga jam-an karena harus membantu para prajurit dalam membangun kembali istal kuda.Pekerjaan Ana bertambah berat. Selain harus merawat beberapa kuda terluka dan traumatis, ia harus membantu para prajurit yang tengah merenovasi bangunan-bangunan yang rusak di sana akibat serangan Pasukan Blamefire.Ana tidak tahu jika hukumannya semakin berat akibat ulah campur tangan dari Helena, pelayan senior yang sudah mengabdi di kastil itu sudah lama.Debu beterbangan di udara ketika Ana menyusuri reruntuhan istal. Kayu hangus dan balok patah berserakan di lantai, setiap langkahnya harus diatur dengan hati-hati. “Ana! Ambilkan balok itu!” pekik salah satu prajurit tatkala melihat Ana lewat. Padahal ia baru saja membawa dua ember air penuh untuk memberi minum para kuda.Tanpa basa-basi, Ana mengangguk patuh. Dengan langkah mendugas, ia berlari kecil untuk mengambil balok kayu