Rafka mengemudi dengan begitu cepat, tak lama mereka sampai di apartemen. Rafka kembali menggendong Agatha dan menaruh tubuhnya dengan lembut ke atas tempat tidur dan menutup tubuhnya dengan selimut. Saat ingin berbalik, Agatha menarik kerah Rafka dan langsung mencium bibirnya. Semakin lama ciuman itu semakin menuntut. Rafka sempat kehilangan kendali, tetapi ia langsung menarik tubuhnya. Rafka tidak ingin melakukan apa pun terhadap gadis itu, apalagi saat ini ia tengah berada di bawah pengaruh alkohol.
Rafka segera bangkit dan keluar kamar, tidak lupa untuk menutup pintunya.
Keesokan paginya, Agatha terbangun dan merasakan kepalanya begitu pusing. Ia menatap ke sekitar, matanya terbuka lebar saat menyadari apa yang telah terjadi malam tadi. Ia mengingat bahwa dia berada di hotel bersama pria asing. Agatha memukul kepalanya karena ia tidak ingat apa yang terjadi setelahnya dan siapa yang membawanya kembali.
“Sial! bodoh banget sih! umpat Agatha kepada dirinya sendiri.
Setelah mengumpulkan kesadarannya selama beberapa menit lalu bangkit ke kamar mandi untuk menyegarkan diri.
Beberapa menit kemudian, Agatha keluar. Ia terkejut saat melihat Rafka berada di meja makan seperti tengah menunggunya.
“Hai, good morning,” sapa Agatha sambil berusaha tersenyum.
Rafka hanya terdiam, tiba-tiba suasana menjadi terasa dingin dan menegangkan bagi Agatha.
“Aduh mampus nih,” batin Agatha.
“Duduk, aku udah buatin sup untuk kamu,” ujar Rafka sambil menatap Agatha.
Mau tidak mau Agatha duduk di hadapan Rafka, tanpa berani menatapnya, Agatha langsung memakan sup di depannya dengan cepat.”
“Pelan-pelan,” pungkas Rafka.
Setelah menghabiskan supnya, Agatha menarik nafas panjang, lalu memberanikan diri untuk menjelaskan kepada Rafka.
“Aku mau minta maaf … soal semalam. Aku salah, maaf!” ucap Agatha sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada.
“Iya, aku paham. Mungkin selama ini aku terlalu menekan kamu dan belum bisa kasih kebebasan yang kamu mau. Tapi, aku cuma mau minta satu hal, Div. Aku mau mulai sekarang kamu kasih tahu aku apa pun yang kamu inginkan,” tegas Rafka sambil menatap Agatha tajam.
“Oke, aku minta maaf sekali lagi, aku cuma bosen aja. Aku suka kebebasan, tapi kamu tenang aja aku akan jaga kepercayaan kamu mulai sekarang,” ujar Agatha sambil mengusap punggung tangan Rafka.
“Oh ya, kamu nggak berangkat kerja hari ini?” tanya Agatha.
“Hari ini aku mengosongkan semua jadwal,” jawab Rafka.
“Kenapa?”
“Aku udah baikan,” lanjut Agatha.
“Aku mau ajak kamu keluar malam ini. Apa kamu mau?” tanya Rafka.
“Oke,” jawab Agatha tanpa bertanya kemana Rafka akan membawanya.
Malamnya Rafka dan Agatha pergi keluar, di perjalanan Rafka belum memberi tahu kemana ia akan membawa Agatha. Setelah beberapa menit, mobil yang dikendarai Rafka berhenti di sebuah bar mewah.
“Kamu serius ajak aku ke sini?” tanya Agatha dengan antusias.
“Ya, aku pikir kamu menyukai tempat seperti ini akhir-akhir ini.”
Tanpa merespon ucapan Rafka, Agatha langsung melompat ke arah Rafka dan memeluknya lalu mencium pipinya singkat.
“Maaf, aku cuma terlalu happy,” gumam Agatha lalu keluar dari mobil diikuti Rafka.
Agatha dan Rafka melangkah memasuki kelab itu, Agatha begitu senang melihat tempat yang sangat berkelas itu. Tak lama, pelayan datang untuk menerima pesanan.
“Saya pesan tinto de verano ya mas,” pesan Agatha kepada pelayan itu.
“Kamu pesan apa?” tanya Agatha pada Rafka.
“Aku nggak pesan, aku harus bawa mobil nanti.” Agatha mengangguk lalu pandangannya kembali fokus melihat sekitar.
Saat sedang minum, Agatha melihat seorang perempuan menghampiri Rafka.
“Hai, Raf. Apa kabar?” tanya perempuan itu.
“Wah aku nggak nyangka ketemu kamu di sini,” lanjutnya lagi.
“Hai Li, kabar baik,” balas Rafka dengan cukup ramah.
Melihat Rafka berbicara dengan perempuan itu, ada perasaan cemburu di hati Agatha. Akhirnya Agatha minta permisi untuk pergi ke kamar mandi. Ia sengaja melewati perempuan itu sambil menatapnya dengan pandangan dingin.
Saat akan keluar, Agatha menabrak seorang pria yang jelas sudah sangat mabuk.
“Maaf, aku akan lewat sini ….”
“Mau kemana kamu, cantik?” goda pria itu.
“Tolong minggir!” seru Agatha.
“Aku rasa aku tidak mau,” balas pria itu.
Pria itu maju ke arah Agatha tapi sebuah tangan melingkari pinggangnya.
“R-rafka!”
“Hei sayang, kamu nggak apa-apa?” tanya Rafka.
Senyum rafka yang penuh kasih sayang berubah menjadi keras ketika menatap pria yang mengganggu Agatha.
“Tinggalkan istri saya … sekarang!” seru Rafka dengan tegas dan penuh penekanan.
Pria itu pergi ketakutan, sementara Rafka mendesah dan cengkeraman di pinggang Agatha mengencang.
“Kamu baik-baik aja kan?” tanya Rafka sambil menatap Agatha.
“Y-ya … terima kasih,” ujar Agatha.
Rafka menunduk, matanya memandang bibir Agatha, sementara gadis itu merasakan detak jantungnya semakin meningkat.
Rafka menatapnya dengan mata penuh air mata. Tangannya yang besar dan kuat menggenggam tangan Agatha dengan lembut. "Aku mencintai kamu. Aku selalu mencintai kamu, dan aku akan terus mencintai kamu, Tha."Agatha merasa hatinya hangat mendengar kata-kata itu. Meskipun dalam kondisi yang rapuh, cinta mereka tetap mengalir begitu kuat di antara mereka. Agatha menatap mata Rafka dengan pandangan lembut, bibirnya terangkat dalam senyuman yang penuh makna. "Aku juga mencintai kamu, Rafka."Tangan mereka saling berpegangan erat, menyampaikan dukungan, cinta, dan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Agatha merasakan kehangatan dalam genggaman tangan Rafka, seolah-olah itu adalah tali yang mengikat hati mereka.Agatha merasakan rasa sakit yang semakin memburuk. Dia tahu bahwa waktu mereka sangatlah terbatas. Dengan suara yang lemah, ia berbicara lagi, kali ini dengan serius, "Rafka, kamu harus kuat."Rafka menatap Agatha dengan rasa takut yang tidak tersembunyi. "Apa yang kamu bic
Beberapa hari berlalu, kondisi Agatha tetap kritis. Rafka terus menghabiskan waktu di rumah sakit, bergantian menjaga bayi perempuannya dan mengunjungi Agatha. Dia merasa seolah hidupnya berada dalam titik balik yang kritis. Perasaannya bercampur antara rasa harapan dan kegelisahan yang tak terbayangkan.Selama berhari-hari ini, Rafka terus menjaga putrinya dengan penuh kecintaan dan tekad. Dia bersama keluarganya dan keluarga Agatha bergantian menjaga Agatha, berdoa dan berharap agar wanita itu segera pulih dan bisa bersama mereka lagi.Ruang perawatan Agatha juga menjadi tempat di mana para keluarga mereka bergantian menjaga. Karina dan Ravindra, yang penuh kehangatan, seringkali mengambil giliran menjaga Agatha ketika Rafka perlu beristirahat sejenak. Adiva juga ada di sana, membantu dengan segala hal yang dibutuhkan. Meskipun situasinya tidak mudah, atmosfer di dalam ruangan itu penuh dengan kasih sayang dan semangat perjuangan.Ketika hari beranjak malam, Rafka masih terjaga, mem
Rafka berusaha untuk tenang dan kuat di hadapan Ayra. Gadis kecil itu masih belum paham betapa seriusnya situasi ini, dan Rafka ingin melindungi perasaannya. Dia menundukkan badan untuk berada pada tingkat mata Ayra ketika gadis kecil itu menatapnya dengan mata penuh pertanyaan. "Papa, apa yang terjadi sama Mama?" tanyanya dengan nada khawatir.Rafka membungkukkan tubuhnya untuk berada sejajar dengan Ayra. Dia menyeka air mata yang hampir jatuh dari mata kecil Ayra dengan lembut, mencoba memberikan senyum lembut. "Ayra, Mama sedang sakit dan sedang dirawat oleh dokter. Papa dan semua orang sedang berusaha yang terbaik untuk membantu Mama."Ayra menggigit bibirnya, terlihat cemas. "Mama akan baik-baik saja, kan, Papa?" tanyanya dengan penuh harapan.Rafka mengecup kening Ayra lembut. "Kita berdoa bersama-sama, sayang. Mama sangat kuat dan Mama juga ingin cepat kembali bersama kita."Tak lama kemudian, semua keluarga berdatangan ke rumah sakit. Karina dan Ravindra datang dengan wajah pe
Agatha terus menjalani rawat inap di rumah sakit, dipantau dengan ketat oleh para dokter dan perawat. Setiap detik waktu terasa berharga bagi Rafka dan semua orang yang peduli dengan Agatha. Rafka duduk di samping tempat tidur Agatha, matanya tidak pernah lepas dari wanita yang sedang berjuang ini. Dia merasakan ketidakpastian yang semakin mendalam, kekhawatiran yang tak terkendali.Agatha terbaring lemah di tempat tidurnya, wajahnya pucat dan matanya terlihat letih. Pendarahan yang dialaminya telah membuat kondisinya semakin memburuk. Meskipun Agatha mencoba menjaga semangatnya, tetapi tubuhnya semakin tak mampu mempertahankan. Rafka merasa frustasi karena merasa tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu Agatha. Dia ingin sekali bisa menghapus semua rasa sakit yang Agatha rasakan, namun dia tahu dia hanya bisa berdoa dan berharap yang terbaik.Rafka menggenggam tangan Agatha dengan erat, merasakan getaran kelemahan dalam genggaman itu. Dia merasa hatinya teriris melihat Agatha yang
Di dalam ruang perawatan yang hening, mata Agatha perlahan terbuka dan tatapannya memandang wajah lelah Rafka. Luka lebam di pipi pria itu memperoleh perhatiannya, dan segera Agatha mengeluarkan pertanyaan khawatir dari bibirnya. "Wajah kamu kenapa?"Namun, jawaban yang ia terima bukanlah tentang luka lebam itu. Rafka hanya menatapnya dengan ekspresi yang rumit, seolah ada banyak hal yang ingin ia sampaikan, tetapi dia kesulitan menemukan kata-kata yang tepat. Agatha bisa merasakan kecemasan yang menghantui Rafka, dan ia tahu bahwa saat ini mereka harus menghadapi kenyataan bersama."Bagaimana kondisimu?" tanya Rafka, suaranya lembut namun penuh dengan kekhawatiran. Agatha terpancar kekaguman dalam tatapannya saat melihat perasaan Rafka yang terangkum dalam raut wajahnya.Agatha mencoba tersenyum lemah, meskipun rasa sakit dan kebingungannya masih menghantui. "Aku baik-baik saja," jawabnya pelan.Namun, perhatian Rafka beralih dari kesehatannya sendiri dan dengan penuh kekhawatiran ia
Dalam keheningan ruang perawatan, setelah berbicara dengan Agatha, Ivan merasa seolah dia tenggelam dalam gelombang perasaan yang tak tertahankan. Dia berusaha memproses semua yang telah terjadi, memahami pilihan-pilihan yang sulit yang telah dibuat oleh Agatha, dan merasa terhempas oleh kemungkinan terburuk yang dapat terjadi pada wanita itu dan bayi yang dikandungnya.Namun, pandangannya tiba-tiba terganggu oleh sosok yang mendekat dari kejauhan. Rafka, dengan wajah yang penuh kekhawatiran, berjalan menuju Ivan dengan langkah tergesa-gesa. Ivan bisa merasakan adanya ketegangan di udara saat Rafka semakin mendekat. Tatapan mereka bertemu dalam keheningan yang berat.Tak lama setelah Rafka berada di depan Ivan, pria itu seolah melepaskan semua ketegangan yang ada dalam dirinya. Ia langsung mencengkeram kerah baju Ivan dengan kasar, menggeramkan pertanyaan yang memancar dari dalam hatinya. "Apa yang kamu lakukan kali ini?"Ivan menatap tajam Rafka, mencoba membaca perasaan yang ada di