Share

Part 3 Merasa Aneh

Saat hendak kembali ke kamarnya, Agatha melihat beberapa pengawal yang telah membawanya. Ia menghampiri para pengawal berjas hitam itu. 

Menyadari kedatangan Agatha, salah seorang pengawal dengan postur tubuh yang lebih tinggi dibandingkan yang lainnya menghampiri Agatha.

“Ada yang bisa saya bantu Nona?” tanya pengawal itu dengan suara maskulinnya. Sementara Agatha menatapnya dengan tajam. Ia masih merasa kesal kepada para pengawal yang membawanya begitu saja.

“Antar saya ke pub!” perintah Agatha membuat para pengawal yang mendengarnya kaget karena tidak biasanya Adiva ingin diantar ke tempat itu.

“Maaf Nona tapi ….” 

Agatha menghela nafas kasar dan segera memotong ucapan pengawal itu. “Okay, okay saya paham.” 

Setelah berpikir sejenak, Agatha tersenyum dan membisikkan sesuatu di telinga pengawal itu.

“Tapi ….”

“Tidak ada tapi, saya akan pergi ke pub sekarang juga bagaimanapun caranya kalau kamu tidak menuruti apa yang saya minta,” tegas Agatha dengan seringai di wajahnya.

Mau tidak mau pengawal itu memenuhi permintaan Agatha. Setelah mendapatkan apa yang ia inginkan, gadis itu kembali ke kamarnya. 

Agatha menutup pintu kamarnya rapat, ia melangkah menuju balkon dan menikmati semilir angin malam kota London. Ia mulai meneguk wine yang ada di tangannya. Agatha tersenyum sambil sesekali kembali meneguk minumannya. 

Tak terasa, sebotol wine di genggaman Agatha sudah hampir habis. Ia berniat masuk ke dalam kamar ketika menyadari tubuhnya sudah mabuk. Wajah gadis itu sudah mulai memerah dan langkahnya terhuyung-huyung. 

Rafka tiba-tiba saja datang dan menangkap tubuh Agatha saat tubuh gadis itu nyaris akan menyentuh lantai. 

“Hey Sayang. Kamu kemana aja? aku tunggu kamu dari tadi,” celoteh Agatha dengan mata yang hampir tertutup. 

Rafka tidak merespon ucapan Agatha dan langsung menggendong tubuh gadis itu lalu membawanya masuk ke dalam kamar. Perlahan ia memindahkan tubuh Agatha ke atas kasur. 

I'm sorry Sean. I hope you can forgive me,” gumam Agatha sebelum ia tertidur.

Samar-samar Rafka dapat mendengar suara gadis itu. Untuk sementara Rafka menatap wajah Agatha yang terlihat damai. Ia membelai wajah gadis itu dengan lembut lalu mencium keningnya cukup lama sebelum ia menarik selimut dan menutup tubuh gadis itu kemudian melangkah keluar.

Rafka memanggil para pekerja dan juga pengawal. “Sejak kapan Adiva mengonsumsi ini?” tanya Rafka sambil menunjukkan botol wine di tangannya. 

“Maaf Tuan, tadi saya yang memberikannya. Nona Adiva bersikeras ingin pergi ke pub, tetapi saya menolaknya,” jawab salah satu pengawal.

“Apakah ini yang selalu Adiva lakukan?” tanya Rafka lagi.

“Saya menugaskan kalian semua di sini bukan hanya untuk mengawasinya, tetapi juga menjaganya.”

“Maaf Tuan, biasanya Nona tidak begini, ini pertama kalinya Nona meminta minuman itu kepada saya,” jawab pekerja wanita bernama Linda. 

“Iya Tuan, sejak kembali saya merasa Nona sedikit berbeda,” sahut salah seorang pengawal.

“Baiklah, mulai sekarang saya ingin kalian melaporkan setiap detail yang dilakukan Adiva,” pungkas Rafka sebelum pergi.

 ***

Keesokan paginya, Agatha bangun dengan kepala yang terasa berat. Selama beberapa menit ia masih terbaring di kasur untuk mengumpulkan kesadarannya. 

Tak lama, seorang pelayan mengetuk pintu dan masuk sambil membawakan sup hangat dan juga madu untuknya.

“Selamat pagi Nona, Tuan menyuruh saya memberikan ini,” ujar pelayan itu dengan ramah.

“Taruh saja di sini!” balas Agatha sambil menunjuk nakas di sampingnya.

“Terima kasih,” lanjut Agatha setelah pelayan itu menaruh nampan berisi makanan di tempat yang ia tunjuk tadi.

Pelayan itu menganggukan kepalanya. “Kalau begitu Saya permisi dulu. Jika Nona butuh sesuatu bisa panggil saya. 

Setelah pelayan itu pergi, Agatha mengambil sup di sampingnya dan mulai menyeruputnya dengan dua tangan. Dalam beberapa menit, mangkuk berisi sup itu sudah habis tak tersisa. Sup itu berhasil meredakan pengarnya. 

Agatha turun dari kasur  bersiap untuk mandi saat tiba-tiba Rafka masuk ke dalam kamar. Agatha menelan salivanya ketika Rafka berjalan mendekat ke arahnya dengan keringat yang membasahi tubuhnya. Sepertinya pria itu baru saja melakukan olahraga. 

Agatha mundur secara perlahan sampai Rafka menarik pinggangnya. “Apa yang sedang kamu lakukan? tanya Agatha sambil memejamkan matanya saat merasakan posisi tubuh mereka yang sudah begitu dekat. 

Rafka tak menjawab, ia menempelkan tangannya di kening Agatha. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Rafka dengan lembut. 

“Semalam adalah pertama kalinya dalam hidupku melihat kamu mabuk,” sambung Rafka, sementara Agatha hanya tersenyum canggung sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. 

“Hmm i-itu ….” Rafka langsung menarik Agatha ke dalam pelukannya. 

“Maafkan aku Div, mungkin aku belum bisa membahagiakanmu sepenuhnya. Tapi, aku akan selalu berusaha untuk menjadi suami yang bisa kamu andalkan. Aku hanya minta kamu tetap di sampingku,” ucap Rafka dengan begitu tulus membuat jantung Agatha berdetak tak karuan.

“Saya mau mandi,” lontar Agatha sambil mendorong dada bidang Rafka agar menjauh lalu langsung berlari masuk ke dalam kamar mandi.

Rafka yang melihat tingkah Agatha hanya tersenyum kemudian keluar dari kamarnya. 

Lima belas  menit kemudian Agatha keluar dari kamar mandi lalu mengganti pakaiannya dengan menggunakan dress selutut berwarna biru milik Adiva. Sambil mengeringkan rambutnya, Agatha tampak sibuk menelpon seseorang menggunakan ponsel baru yang tiba-tiba saja sudah ada di kamarnya. 

“Halo Pa,” ucap Agatha saat panggilannya sudah tersambung.

“Halo ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang wanita yang menjawab teleponnya. 

“Kamu siapa?” tanya Agatha setelah mendengar suara wanita yang cukup asing di telinganya.

“Saya sekretaris barunya Tuan Darren, apakah ada yang bisa saya bantu?”

“Saya perlu bicara dengan Papa … maksud saya Tuan Darren,” jelas Agatha.

“Maaf kalau boleh tahu anda siapa ya?” tanya sekretaris itu

“Saya anaknya dan saya ingin bicara dengan Papa saya sekarang juga,” kesal Agatha sambil menghela nafasnya.

“Anaknya?” 

“Astaga … kamu tidak paham ucapan saya huh?”

“Maaf setahu saya Tuan Darren hanya memiliki seorang putri. Saat ini Tuan sedang makan siang dengan Nona Agatha di ruangannya. Anda jangan coba-coba menipu saya ya!” ujar sekretaris itu dengan nada yang mulai kesal. 

Tak lama terdengar suara yang sangat familiar di telinga Agatha. “Ada apa Li, siapa yang berbicara? Mengapa kamu tampak kesal?”

“Maaf Tuan, ada seorang perempuan yang tiba-tiba menelepon dan berbicara omong kosong. Dia mengaku sebagai anak Tuan,” jawab Sekretaris itu yang masih bisa didengar jelas oleh Agatha.

“Siapa dia? sini biar saya yang bicara.” 

“Halo,” kata Darren yang berhasil membuat mata Agatha berkaca-kaca. Sudah berbulan-bulan Agatha tidak menemui Darren, bukan karena ia tidak ingin bertemu dengannya. Namun, hubungannya dengan sang papa memang sedang tidak baik-baik saja. Selama ini Darren selalu menyuruhnya untuk pulang dan mulai mengurus perusahaan, tetapi Agatha selalu menolaknya karena ia sama sekali tidak tertarik untuk meneruskan bisnis yang telah dibangun oleh Darren. Agatha hanya menginginkan kebebasan untuk memilih hal yang ia sukai, sementara Darren bersikeras agar gadis itu meneruskan bisnisnya. 

Alhasil Agatha hanya terdiam mendengar suara ayahnya. Ia seperti tidak mampu mengeluarkan kata apapun. Agatha mencoba mengumpulkan keberaniannya untuk menjawab. Namun, sayangnya saat dia ingin mengatakan sesuatu terdengar suara wanita yang cukup mirip dengan suaranya.

“Ayo Pa, aku sudah lapar banget,” ujar wanita itu dengan cukup keras sehingga mampu Agatha dengar. 

“Sebentar sayang.” Hati Agatha begitu tak terima dan cemburu mendengar perkataan Darren.

“Halo.” Darren kembali bersuara dan mengulangi perkataannya, tetapi kali ini Agatha memutuskan sambungan teleponnya begitu saja.

“Siapa gadis itu? Mengapa sekarang dia ingin mengambil kehidupanku? tanya Agatha dengan kesal sambil mengepalkan tangannya.

Sesudah menenangkan diri, Agatha keluar dari kamar Adiva. Ia berhenti saat melewati kamar Rafka, samar-samar ia mendengar Rafka tengah berbincang dengan seseorang lewat sambungan telepon. 

Agatha mendekatkan telinganya di depan pintu karena rasa penasarannya yang begitu kuat. 

“Rafka belum bisa Ma, Rafka masih ada urusan di sini.”

“Mama nggak mau tahu ya Raf, Papamu marah karena kamu tidak datang. Kesehatan Papamu sedang menurun Raf, untuk itu Mama mohon sama kamu jangan kecewakan Papamu lagi.” 

Rafka tampak menghela nafasnya panjang. “Baik Ma, Rafka akan segera menyelesaikan urusan Rafka.”

Agatha begitu terkejut saat salah seorang pekerja yang ia temui kemarin menepuk pundaknya. 

“Ada yang bisa saya bantu Nona?” Agatha tampak menyunggingkan senyumnya dan memberi isyarat agar pekerja itu pergi.

Saat Agatha hendak melangkah pergi, Rafka keluar dari dalam kamarnya dan melihat Agatha yang berdiri di luar. 

“Ada sesuatu yang ingin katakan Div,” ucap Rafka saat itu juga sambil menarik Agatha masuk ke kamarnya.

“Mama ingin aku pulang secepatnya Div karena Papa sakit,” jelas Rafka.

Agatha sangat bingung sekarang, ia sama sekali tidak tahu apa yang Rafka bicarakan. Jadi, yang Agatha lakukan hanyalah mengusap pundak Rafka.

“Kalau begitu kenapa kamu tidak pulang saja.” Agatha merutuki ucapannya yang terdengar seperti mengusir Rafka.

“Maksudnya kamu harus pulang karena Papa sakit,” sambung Agatha berusaha meralat ucapannya.

“Ya … benar karena Papa sakit, Papa sakit,” gumam Agatha kepada dirinya dengan suara yang sangat pelan.

“Aku ingin kamu juga pulang Div. Aku tahu sudah sejak lama kamu ingin kembali.” Agatha hanya terpaku di tempatnya, ia kembali memikirkan bagaimana nasib hidupnya nanti. 

“Pulang?” tanya Agatha

“Iya, kita akan pulang.”

“Kamu pulang saja, temui Papamu, tidak perlu memikirkan saya. Saya akan baik-baik saja,” pungkas Agatha berusaha tersenyum.

“Aku akan lebih tenang kalau kita bersama Div,” ucap Rafka dengan tatapan tulus penuh harap yang membuat Agatha sulit menolaknya.

mungkin aku akan mendapatkan sesuatu tentang gadis itu.”

“Baiklah kalau begitu, Tapi ….” 

“Tapi apa?”

“Tapi, saya mau belanja dan jalan-jalan dulu boleh?” tanya Agatha dengan menyunggingkan senyumannya.

Rafka terdiam sejenak lalu mengacak rambut Agatha. “Kamu? mau belanja? Jalan-jalan?” Rafka tampak tidak bisa menghentikan senyumannya sambil menatap wajah Agatha.

It’s okay kalau nggak boleh,” kesal Agatha saat melihat sikap Rafka.

“Nggak … bukan begitu maksud aku. Kamu boleh belanja apapun yang kamu mau. Aku cuma agak aneh aja, nggak biasanya kamu minta pergi untuk belanja.”

Agatha hanya cemberut, ia merasa kesal dengan situasi dan keadaan yang terjadi kepadanya. Entah bagaimana kehidupan gadis yang bernama Adiva itu, di mata Agatha dia hanyalah gadis yang sangat membosankan dan juga sangat licik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status