Share

Membuntuti Rie

Bab 4 

Davin hanya tersenyum demi menghargai Rie. Tenggorokannya tercekat, sampai tidak bisa mengeluarkan suara. Akhirnya lelaki itu mengangguk, takut Ariela tersinggung. 

"Kok, kalian gak jabatan tangan?" tanya Rie sambil menatap ke arah Davin. 

Gadis itu menoleh ke samping, tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya sebatang pohon kelapa yang berdiri tertiup angin, namun tatapannya berubah jadi lembut dan penuh perasaan. Ia tersenyum sangat manis.

"Ya, sudah gak papa. Kalau kamu tidak mau bersalaman," ucap Rie. 

Gadis itu menepuk bahu Orion. Membuat Davin tercengang, ketika melihat tangan Rie melayang di ruang kosong. 

Perasaan Davin menjadi sangat tidak menentu. Ia berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya, karena tidak ingin menyakiti hati gadis itu. Dan Jauh di lubuk hatinya ia sangat terenyuh, melihat keadaan Rie. 

Davin menghela napas panjang. Di hadapannya gadis itu masih asyik bercengkrama dengan pacarnya, yang tak terlihat oleh lelaki itu. 

Matahari mulai naik, membuat laut terlihat berkilau terkena cahayanya. Lampu-lampu resort dan penginapan mulai padam, begitu juga dengan lampu jalan. 

Aktifitas di pinggir pantai mulai terlihat, para pedagang membuka kiosnya. Serombongan ibu-ibu yang membawa tikar, mulai menyebar di seluruh penjuru. Sedangkan penjaga pantai berganti shift, dan menempati posisinya masing-masing. 

Raut cemas dan khawatir terlihat jelas di wajah Davin, lelaki itu mengedarkan pandangannya. Untunglah letak mereka berdiri jauh dari pintu masuk, jadi belum ada siapa-siapa kecuali mereka berdua.

Pantai ini sengaja di desain dengan satu akses untuk keluar masuk, dan tidak boleh membawa kendaraan. Para pelancong yang datang rombongan dengan menaiki bus, mereka diberikan tempat parkir khusus. 

Sedangkan yang membawa kendaraan roda empat, lebih memilih untuk menaruhnya di resort tempat mereka menginap. Yang berbaris memanjang tepat di pintu masuk pantai. 

"Rie, mau pulang? Bareng, yuk?" ajak Davin.

"Kamu duluan aja," tolaknya tanpa menoleh menatap lelaki itu.

Serasa ada yang menggores hatinya, saat Ariela mengabaikan lelaki itu. Ia merasa Ariela lebih antusias, untuk berbicara dengan pacar khayalannya dari pada dengannya. Yang jelas-jelas nyata.

Davin mengembuskan napas. Ia berbalik melangkah untuk pulang, cahaya matahari menerpa wajahnya memberi kehangatan. Bagaimana nanti jika ada yang melihat Ariela, dan melihat ia berbicara sendiri. Hati kecil Davin berbicara.

Lelaki itu terdiam sejenak, batinnya bergejolak. Sebetulnya ia juga khawatir, semakin banyak yang melihat keanehan Rie. Semakin menegaskan kalau dia memang gila, dan Davin tidak mau itu terjadi. 

Akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke tempat Rie berada. Dengan adanya dia di situ, keanehan Rie bisa tersamarkan. Dan orang biarlah orang berpikir kalau gadis itu berbicara dengannya. 

Belum juga lelaki itu menyusul, Rie tengah berjalan ke arahnya. Ia menunggu gadis itu sampai di tempatnya.

"Loh, ikutan pulang?" tanya Davin pura-pura polos.

"Iya. Terus kamu ngapain nungguin aku," sahutnya dengan nada ketus. 

"Dih, siapa yang nungguin. Ge-er," jawab lelaki itu spontan. Bibir gadis itu mengerucut, wajahnya tampak kesal. 

"Kalau gak nunggu, kenapa ada di sini?" timpalnya sambil tersenyum. 

Davin salah tingkah, lelaki itu gelagapan. Bingung harus menjawab apa, Ariela masih berdiri di hadapannya. Menanti jawaban dari mulut Davin, tubuhnya bergoyang-goyang dengan tangan yang terpaut di belakang badannya. 

Lelaki itu menelan luda, jakunnya turun naik. Ada sesuatu yang mekar di dalam hatinya, ia berusaha menormalkan debaran jantungnya. Yang tiba-tiba saja berdetak sangat cepat. 

"A, aku tadi liat ada kulit kerang. Makanya berhenti," ucapknya berdusta. 

Ariela menunduk ke bawah, rambutnya yang panjang menutupi wajahnya. Davin menahan tangannya, yang ingin sekali menyingkirkan mahkota berwarna emas itu. Lalu menyelipkannya di telinga Rie. 

"Tidak ada apa-apa," ucapnya tersenyum penuh kemenangan. Pipinya yang putih terlihat memerah, karena tersehat matahari.

"Udah, yuk, pulang!" ajak Davin. Kemudian melangkah berpura-pura meninggalkan gadis itu. Ariela menghentakkan kakinya, lantas berjalan menyusul Davin.  

"Ternyata semua cowok sama saja" gumam Ariela. Kakinya menendang pelan butiran pasir. 

Jarak Davin dan Ariela hanya setengah meter, ucapan gadis itu terdengar di telinganya. Membuat langkahnya terhenti seketika, Rie yang berjalan menunduk lantas menabrak tubuh lelaki. 

Ada yang bergelenyar di dada lelaki itu, saat mereka bersentuhan. Tubuhnya seketika membeku, gadis itu refleks melangkah mundur. 

"Ish, kamu sengaja, ya," serunya. Davin berbalik menghadapnya. 

"Maaf, gak sengaja," ucapannya dengan wajah biasa saja. Rie mencebikkan bibirnya, membuat Davin ingin sekali menciumnya. 

"Maksud perkataan kamu tadi apa?" tanya lelaki itu. Kali ini mereka berjalan beriringan.

Suara pluit penjaga pantai dan mesin kapal yang dinyalakan, memecah kesunyian pagi. Para pelancong mulai berdatangan, mereka berjemur di pinggir pantai menggunakan kacamata hitam.

Beberapa bocah berlarian, membuat para ibu berteriak histeris. Saat kaki anak-anak itu, tersapu ombak. Mungkin mereka takut buat hatinya terseret ke laut. 

"Semua lelaki tukang bohong," tegasnya dengan wajah mengeras. Davin sedikit terkejut melihat perubahannya, ada pancaran dendam di mata gadis cantik itu. 

"Tidak semua Ariela. Itu tergantung pribadinya," jelas Davin membela kaumnya. 

"Buat aku semua sama, buktinya kamu tadi. Hanya Orion yang berbeda," ucapnya dengan berseri-seri.

Davin tersenyum kecut. Dia dibandingkan dengan sesuatu yang tidak ada, perasaannya sedikit nelangsa. Mereka berjalan pulang dalam diam. 

Ketika keluar di pintu utama, Bu Ratih sedang berdiri di gang tepat di tengah dua resort. Itulah pintu masuk ke perumahan yang ditempati oleh Ariela dan Davin. Berada di belakang resort. 

Wanita tua ingin menyeberang untuk mencari Ariela, namun dia urungkan karena gadis itu sudah terlihat. Ia sedikit penasaran dengan siapa Ariela berjalan, Bu Ratih menatap dari jauh dengan pandangan curiga. 

Ia takut lelaki itu hanya mengambil kesempatan, atau memainkan perasaan putrinya. Pikiran wanita itu terlalu jauh, sampai ia tidak sadar. Kalau anak gadisnya sudah berdiri di hadapannya. 

"Bunda ngapain?" tanya Rie dengan pandangan heran. Melihat wanita berdiri sambil melamun di pinggir jalan.

 "Tadinya mau nyari kamu, tapi gak jadi," jawabnya sambil tersenyum.

"Ini siapa?" Kali ini pandangan Bu Ratih mengarah ke Davin. 

Lelaki itu terlihat gugup, ia tidak menyangka akan bertemu dengan ibunya Rie. 

"Saya Davin, Tante," jawabnya sambil menelan ludah. 

Bu Ratih menatap Davin dari atas sampai ke bawah. Lelaki itu lumayan tampan, dengan kulit bersih. Badannya tegap, dengan rambut panjang sebahu yang dikuncir. 

"Kamu temannya, Rie?" tanya Bunda Rie menyelidik. 

"Ayo, Bun, Cepat! Aku udah gerah, nih, mau mandi," seru gadis itu, lalu berjalan mendahului mereka. 

Davin membiarkan Bu Ratih melangkah lebih dulu. wanita yang selalu merasa cemas itu, masih melirik dengan ekor mata.

Mereka menyusuri jalan yang berkerikil, di kiri kanan berjejer rumah-rumah penduduk. Sebagian sudah permanen, beberapa masih mempertahankan rumah dari kayu namun dengan sentuhan modern. 

Sebagian besar penghuni komplek ini, adalah para pedagang dan pemilik resort. Jalanan perumahan ini hanya cukup dua motor bersisian, jika ada yang mempunyai mobil. Biasanya ditaruh bagian belakang komplek, dekat dengan jalan besar yang menuju pusat kota. 

"Kamu belum menjawab pertanyaan saya," ulang Bu Ratih. 

"Iya, saya teman Rie," jawabnya singkat. Lelaki itu merasa deg-degan, sekaligus takut. 

"Kenal di mana?" cecar Bu Ratih lagi. 

Davin mengusap kepalanya dengan kedua tangan, apa yang dia pikirkan benar. Bu Ratih sedang menggali informasi tentang lelaki itu. 

"Di TK, waktu itu saya sekelas sama Ariela," jawabnya. 

Mereka sampai di depan rumah  Davin. Lelaki itu menghentikan langkah lalu pamit pada Bu Ratih dan juga Ariela. 

"Saya duluan, Tante. Ariela," ucapnya sambil mendongakkan wajah, melihat gadis itu.

"Kamu tinggal di sini?" tanya Bu Ratih tidak percaya. 

"Iya, Tante," jawabnya. 

Wajah Bu Ratih berubah menjadi ramah dan bersahabat, ia memberikan senyumnya pada Davin. Di dalamnya hatinya wanita itu sangat bersyukur, ada seseorang dari masa kecil putrinya. 

Setidaknya gadis itu tidak akan kesepian, dan siapa tahu ia bisa melupakan Wiily. Lalu hidup normal seperti gadis lainnya. 

"Salam buat mamamu," ucap Bu Ratih lalu berjalan ke arah Ariela, yang menunggu di tengah jalan.

"Eh, Tante tunggu sebentar," cegah Davin.

Lelaki itu sebetulnya takut Bu Ratih tersinggung, namun  ia tidak bisa mengabaikan rasa penasarannya. Ia sungguh peduli dengan keadaan gadis itu, dan bertekad akan mencari tahu. 

"Iya." 

"Maaf, sebetulnya apa yang terjadi dengan Ariela?" 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status