Pacar Toxic 1
"Maaf nggak bisa, Yang. Aku lagi di lokasi proyek sama klien," tolakku halus pada Raymond, kekasihku. Seperti biasa, dia mengajakku mana siang tiap jam istirahat. Dia akan menjemputku di kantor, lalu kami akan makan berdua di rumah makan dekat-dekat kantor. Tapi, masalahnya sekarang aku sedang di lapangan, bertemu klien. Jadi dengan berat hati aku menolak ajakannya. "Ini kan jam istirahat, masa nggak boleh sih? Kerja kok ada istirahatnya, kayak kerja rodi aja," sergah Raymond di seberang sana. Dia memang posesif banget, semua kegiatanku harus atas sepengetahuannya. Dan yang bikin sebel, dia sering mengajakku keluar saat aku masih bekerja. Tak peduli aku ini bekerja untuk orang lain, bukan bos yang bisa mengatur waktuku sendiri. "Ini kami lagi makan bareng, sama saja istirahat, kan?" jelasku kemudian. "Kamu bilang lagi di proyek, kok, malah makan-makan? Jangan-jangan kamu nggak lagi sama klien, tapi sama laki-laki lain!" bentak Rey. Aku memijit keningku, kepalaku terasa pusing tiap adu debat dengan cowok itu. Bingung aku, harus bagaimana menjelaskan ke dia, kalau aku sedang kerja. Bukan sedang main-main, hingga bisa seenaknya pergi begitu saja. Memangnya kantor ini punya nenek moyangku, apa! "Nggak, Yang. Aku beneran lagi ada di proyek sama klien. Kebetulan di seberang jalan ada rumah makan, meetingnya lanjut di sana, sekalian makan. Aku juga nggak sendirian kok, ada Diani dan Pak Bos juga," paparku, berharap agar Rey mengerti posisiku saat ini. Hhh... aku hanya bisa menarik nafas panjang lalu mengembuskannya pelan-pelan. Reymond selalu saja begitu, suka memaksakan kehendak, kalau tidak dituruti dia menuduhku yang macam-macam. Hari ini dia ngajak makan siang, tapi aku sedang ada meeting dengan klien. Jelas aku menolak ajakannya, tapi dia marah-marah tidak terima. Padahal setiap hari kami juga makan bareng. Sebenarnya aku senang punya pacar perhatian kayak dia, tapi kalau posesif gini bikin repot juga. "Sudah ya, Yang. Aku nggak enak sama Pak Bos. Lagi meeting sama klien malah asik telfonan sama kamu," pungkasku, tanpa menunggu jawaban darinya, ku akhiri panggilan. "Siapa? Rey lagi?" sinis Diani, dia yang baru keluar dari toilet menatapku tak bersahabat. Kami sedang berada di toilet, padahal aku tidak sedang ingin buang hajat. Tapi demi mengangkat panggilan dari Rey, agar cowok itu terus menerorku dengan miscall. "Iya, Di," jawabku singkat. Aku buru-buru memasukkan ponsel ke dalam tas, siap kembali ke dalam. "Sebenarnya pacarmu itu kerjaannya apa sih? Nggak pagi, nggak siang, nggak sore, nelfooon.... aja kerjanya?" lanjut Diani dengan nada sinis. Kalau ditanya apa pekerjaan Rey, aku sendiri bingung. Cowok itu kerjanya pindah-pindah, nggak krasan alasannya. "Namanya juga sayang, wajarlah kalau ingin tahu pacarnya lagi apa," sahutku. Meski sebenarnya aku juga merasa tertampar dengan ucapan temanku itu. "Sayang, sih, sayang. Tapi nggak segitunya keles! Masa apa-apa harus laporan, sampai urusan kerja aja diatur-atur sama dia," sinis Diani. Bener juga kata Diani, Rey terlalu posesif, semua kegiatanku dipantaunya. Di mana, sedang apa, dengan siapa, semua harus se-pengetahuan-nya. Kadang aku merasa terkekang juga, tapi itu kuanggap sebagai bentuk perhatiannya padaku, meski sedikit berlebihan. "Lah, malah bengong? Buruan! Tuh, bos sudah merhatiin kita dari tadi!" sentak Diani, seraya melangkah meninggalkan aku. Aku pun mengikuti langkah Diani, menuju meja di mana bos dan klien sudah menunggu. "Maaf Pak, tadi ada telfon penting," bohongku, Pak Bos hanya merespon dengan anggukan dan senyum tipis. Sementara klien hanya menatapku sekilas. "Jadi begini, klien kita ini minta furniture diganti. Beliau merasa tidak cocok dengan furniture yang kita rekomendasikan, dia ingin melihat contoh lain. Diani, kamu bawa katalognya, kan?" tanya Pak Bos, Diani menyerahkan buku tebal itu pada Pak Bos. "Luk, coba perlihatkan gambar furniture yang kamu rekomendasikan, biar Pak Maher bisa memilih furniture yang beliau inginkan," ucap Pak Bos padaku. Tapi tiba-tiba ponselku kembali berbunyi, buru-buru kutekan tombol merah, begitu melihat nama yang tertera dalam layar Rey lagi. Pak Bos melirikku tidak suka, Diani memutar bola mata malas, sementara klien menatapku dengan tatapan dingin. Aku jadi merasa tidak enak. Rey benar-benar keterlaluan, tidak bisakah dia menunggu nanti? Toh, tidak ada hal mendesak, keluhku dalam hati. "Ini Pak, silahkan," ucapku mengatasi kegugupanku. Aku mereview furniture yang aku pilihkan untuk Pak Maher, dari bahan, kualitas, harga, hingga usia pemakaian. Pak Maher terlihat puas dengan penjelasanku. Selama aku memberi penjelasan, ponselku terus saja berdering. Hingga membuat Pak Bos dan Pak Maher menatapku jengah. Tak ingin mendapat masalah, buru-buru aku menonaktifkan benda pintar itu, agar tak menganggu meeting kali ini. "Saya mau yang ini." Pak Maher menunjukkan gambar yang dia pilih, "tapi saya mau bahannya dari jati kualitas P, lepas mata, dan lepas alur minyak, bisa?" ucap Pak Maher, dia menatapku seolah meragukan kemampuanku. "Bisa Pak, saya akan menghubungi pengrajin, agar membuat sesuai pesanan Bapak," jawabku yakin. "Tolong dipastikan semua furniturenya selesai tepat waktu, dan sama persis seperti yang saya sebutkan tadi. Saya tidak mau dikecewakan," ucap Pak Maher tegas, tak mau dibantah. "Bapak tidak usah khawatir, saya jamin semua sesuai keinginan anda," ucapku yakin. "Saya pegang kata-kata anda." Pak Maher menatap ke dalam mataku, membuatku seperti terintimidasi. Sejurus kemudian dia beralih pada Pak Bos. " Oke, terima kasih atas kerja samanya. Pak Tema, saya pamit undur diri, permisi," ucap Pak Maher. "Oh ya, silahkan. Terima kasih Pak Maher, senang bekerja sama dengan anda," balas Pak Bos. Pria awal empat puluhan itu mengangguk hormat, setelah selesai berjabat tangan. "Luluk, lain kali matikan telefon ketika sedang meeting." Ucap Pak Bos setelah Pak Maher menjauh. Belian menatapku tajam. "Saya tidak mau kejadian seperti ini terulang lagi, paham?" lanjut Pak Bos, kemudian meninggalkan aku dan Diani. "Kayaknya kamu perlu ngomong sama pacarmu, itu deh! Bilang sama dia, jangan terlalu posesif jadi orang," ketus Diani, dia pun meninggalkan aku sendiri. Tak ingin tertinggal, aku menyusul Diani. "Di, Tunggu!" Aku menjajari langkah gadis itu. "Kamu marah ya, Di?" tanyaku setelah berada disamping Diani. "Nggak, buat apa marah? Aku nggak ada hak untuk itu," jawab Diani datar. "Nggak marah tapi kok ketus gitu?" Diani menghentikan langkah, lalu menatapku tajam. "Aku hanya kasihan sama kamu, kalian baru pacaran, tapi dia sudah ngatur-ngatur gitu. Gimana kalau kalian menikah? Bisa tersiksa hidup kamu. Kalau aku punya pacar kek gitu, sudah kuputusin dari dulu-dulu." Ucapan Diani ada benernya juga, Reymond memang berlebihan. Aku sendiri kadang merasa tidak nyaman, dengan sikap posesifnya itu. Tapi pernah sedikit pun. terlintas dalam fikiranku untuk berpisah. Gimana lagi? Aku sudah terlanjur sayang. Next?Ekstra part 2 Pov Tema. "Aaa.... " Jeritan Luluk menarik paksa kesadaranku dari alam mimpi. Ku tengok istriku tengah duduk dengan nafas memburu, tangannya memegang dada. Sudah beberapa hari ini dia sering menjerit ketakutan dalam tidurnya. Entah mimpi buruk apa yang tengah menterornya, hingga istriku ketakutan seperti ini. "Mimpi buruk lagi?" Tanya lembut, seraya memeluknya. Luluk mengangguk dalam dekapanku. Aku merasa tidak ada masalah dalam hidup kami. Hubungan kami baik-baik saja, malah sedang mesra-mesranya. Ezra sudah mandiri sekarang, sudah berani tidur di kamarnya sendiri. Jadi aku dan Luluk kembali seperti pengantin baru lagi. Lalu masalah apa hingga membebani pikiran Luluk, hingga terbawa dalam mimpi? "Memang kamu mimpiin apa?" Tanyaku lagi. Kuelus lembut punggungnya. "Mas nggak marah, kan? Kalau aku cerita?" Aku terkekeh mendengar jawaban Luluk. Masak iya aku marah hanya karena dia mimpi buruk? Ada-ada saja istriku ini. "Memang kamu mimpi apa? Selingkuh? Kalau
Pacar Toxic 53 Extra Part Sehari setelah kedatangan Tante Rumi, aku Diani mengabarkan bahwa Raymond meninggal. Aku dan Mas Tama sepakat mengirim karangan bunga, sebagai pengganti kehadiran kami. Datang ke pemakaman mantan, bukan opsi yang tepat untukku yang masih menyimpan trauma. Diani yang selama ini mengikuti kasus Raymond, menceritakan bahwa harusnya mantan pacarku itu sudah mendapat vonis, dan menjalani hukuman. Namun karena kondisi yang tidak memungkinkan, kasus ditunda menunggu sampai Raymond sadar. Aku sempat heran, kenapa Diani begitu up-to-date terhadap kasusnya Raymond. Padahal Mas Tema yang punya kepentingan saja, sudah angkat tangan. Dia bilang padaku. "Awalnya aku dendam banget, Bund. Pengen menjebloskan dia di penjara lebih lama, kalau perlu menuntut dia dengan hukuman mati. Tapi pernyataan dokter yang menyatakan lucknut itu sudah mati batang otak, aku memilih tak peduli. Buat apa? Orang sudah nggak ada harapan gitu. Orang tuanya saja yang bodoh, buang-buan
Pacar Toxic 52 "Sayang, hati-hati nanti jatuh!" ujar Mas Tema, seraya mengejar putra kami yang berlarian di kebun belakang. "Hap! Ketangkap kamu!" tawa bapak dan anak itu berderai bersama, kemudian mereka bergulingan di rumput. Pemandangan ini hanya bisa kunikmati di akhir pekan, senin sampai jumat, Mas Tema akan sibuk di kantor atau proyeknya. Meski hanya bisa memiliki dia seutuhnya di akhir pekan, kami sangat bahagia. "Ayo! Kita lomba nangkap Bunda, siapa yang menang boleh nyium dan meluk Bunda." Ada-ada saja kelakuan bapak dua anak itu. Mana ada lomba seperti itu, jelas dia lah pemenangnya. Kalau pun kalah tetap saja dia tak ngalah sama anaknya, berebut peluk dan cium aku. "Adek enan! Adek enan!" Dengan suara cadelnya dia berseru senang. Diciumnya wajahku berkali-kali, hingga wajah ini basah oleh air liurnya. "Papa juga mau cium Bunda, dong!" Mas Tema merangsek ke arah kami, tapi dihalangi Erza. "Ndak boyeh!" Tangan mungilnya menahan wajah Mas Tema. "Kal
Pacar Toxic 51 Pov Tema "Kalau Mama tidak melarang Luluk makan rujak, pasti dia tidak seperti itu. Dia ngejar tukang rujak, pasti karena pengen banget," sesal Mama. Sejak datang Mama terus saja menangis, melontarkan semua penyesalan, atas sikapnya yang terlalu protektif terhadap Luluk, soal makanan. Mama orang yang paling merasa bersalah. "Namanya ngidam, kan, memang susah ditahan. Orang yang mau bukan dia, tapi bayinya. Mama juga pernah merasakan ngidam, tahu rasanya kalau lagi pengen sesuatu itu kayak apa. Harusnya Mama menuruti Luluk, bukan malah melarang dia makan makanan yang dia inginkan. Jadi tersiksa kan, dia. Terus ngejar tukang rujak, sampai ninggalin kantor," lanjut Mama. "Nggak ada yang salah, Ma. Semua yang terjadi sudah jadi kehendak-Nya. Kita doakan saja, semoga dokter bisa menyelamatkan anak dan istriku." Aku hampir tak bisa menahan tangis ketika berkata. Bayangan Luluk tengah bertaruh nyawa di meja operasi, membayang di pelupuk mata. Luluk dalam keadaan tida
Pacar Toxic 50 Pov Tema "Nyari Luluk, Mas?" tanya Diani ketika aku mendatangi ruangannya. Saat tiba di kantor, Luluk pamit ke ruangan Diani. Kangen katanya. Tentu saja aku tidak melarang. Dua sahabat itu sudah lama tidak bertatap muka, biarlah kangen-kangenan. Setelah Luluk melahirkan nanti, momen seperti itu akan sulit mereka temukan. Luluk akan sibuk dengan anak kami, apalagi kalau kemudian Diani menikah. Makin susah mereka buat ketemuan. Biarlah mereka menikmati kebersamaan ini. Begitu pikirku. Sementara Luluk melepas kangen dengan Diani, aku memeriksa beberapa berkas sebelum ditandatangani, dan menerima laporan secara online dari beberapa proyek yang masih dalam proses pengerjaan. Setelah selesai, aku menyusul Luluk. Aku sudah janji akan mengantarnya membeli perlengkapan anak kami. Sudah mepet waktu melahirkan. Sudah lama juga kami tidak pernah keluar berdua. Anggap saja kami pacaran lagi, sebelum disibukkan dengan kehadiran si kecil. "Tadi dia kesini, kan?" Agak aneh, ti
Pacar Toxic 49 "Gue nggak mau ikut campur, kalau sampai bos ngamuk. Yang lo lakuin ini bahaya tau, nggak? Kita harusnya menghindari masalah, biar nggak berurusan dengan polisi. Eh, elu malah cari gara-gara." "Gue cuma memanfaatkan kesempatan yang ada, Bro. Santai dikit, lah!" "Elo memang susah dibilangin! Masuk lagi tau rasa, lo!" "Tenang, Bro! Semua bakal aman, tempat ini masih steril." "Bos, Rey. Bos! Lo pikir dia nggak tahu tempat ini?" "Asal lo nggak ngomong, Bos gak bakal tahu. Lagipula aku yakin, Bos tidak akan marah. Toh, kita sudah mengerjakan tugas yang dia berikan dengan baik." "Terserah, Lo. Yang penting jangan libatkan gue." "Iya! Khawatir banget, sih, lo." "Oke, kalau begitu gue pergi sekarang. Ingat! Jangan bawa-bawa nama gue, kalau ada apa-apa." "Sip! Thanks bantuannya, Bro." "Gue cabut!" Lamat-lamat kudengar orang berbincang, entah siapa dia. Aku tak kenal suaranya. Meski terasa lengket, aku tetap berusaha membuka mata. Aku terkejut, mendapati diri ten
Pacar Toxic 48 Sejak tahu aku hamil, sikap Mas Tema semakin posesif padaku. Apa-apa nggak boleh, ini itu dilarang. Sudahlah nggak diijinin kerja, nggak dibolehin kemana-mana pula. Suruh anteng di rumah, bahkan ngantar jemput Syina sekolah juga dilarang. Dia pikir aku nggak bosen apa? Parahnya lagi, dia minta bantuan ibuku buat mantau aku di rumah. Bahkan dia datangkan Ibu dari Kudus, demi menemani aku ketika dia acara di luar kota. Bukan hanya sampai disitu, karena Ibu masih aktif sebagai ASN, maka tak bisa berlama-lama di Jakarta. Setelah Mas Tema pulang, Ibu langsung kembali ke Kudus. Sebagai gantinya, Mas Tema mendatangkan Mama. Kebangetan, nggak? Kalau sama Ibu, aku masih berani membantah bahkan mendebat. Tapi Mama? Aku langsung mati kutu. Tak mau dicap sebagai menantu durhaka, akhirnya aku hanya bisa manut pada wanita sebaya ibuku itu. Apalagi awal hubungan, Mama sempat tidak merestui. Alhasil aku harus berkata dan bersikap hati-hati, demi tidak menyinggung perasaan wanita
Pacar Toxic 47 Pov Tema Hampir setiap hari Luluk muntah-muntah, setiap makanan yang masuk ke perutnya langsung dikeluarkan. Ditambah lagi dia tidak mau dekat-dekat aku, katanya aku ini bau. Padahal sudah mandi, dan pakai minyak wangi. Yang terakhirnya dia mengeluh lemas, nggak bisa melakukan aktivitas apapun. Karena merasa khawatir, akupun membawanya ke dokter. Tapi sama dokter umum disarankan periksa ke Obsgin. Dan disinilah kami sekarang. "Wah.... Selamat ya, Pak. Sudah delapan minggu, ini," ucap dokter debat tag name dr. Anita Kusuma Wardani itu. Spog. itu. Delapan minggu? Apa artinya Luluk sudah hamil delapan, atau bagaimana? Ucapan dokter yang menurutku ambigu itu, membuatku bingung. "Maksudnya dokter?" Luluk menyenggol lenganku. "Aku hamil delapan minggu, Mas," bisik Luluk di tekingaku, tentu saja disertasi pelototan. Akhi-akhir ini dia berubah jadi galak. "Istri saya hamil, Dokter?" tanyaku memastikan. Bukannya tidak senang mendapat kabar istri lagi hamil, aku ha
Pacar Toxic 46 Pov Tema "Sayang, sudah dong.... Ngambeknya.... Aku kan sudah minta maaf tadi," pintaku dengan wajah semelas mungkin, berharap hati istriku luluh dan menghentikan aksi tutup mulutnya. Namun bukannya tersentuh, Luluk malah mlengos dan berniat meninggalkan kamar. Tapi aku tak tinggal diam, kupeluk tubuhnya dari belakang untuk menggagalkan niatnya. "Lepas!" Luluk berusaha menipis tanganku, tapi aku semakin mengeratkan pelukan. Bukan hanya memeluk, aku pun menciumi tengkuknya. "Lepas, geli, ih!" Luluk terus meronta. Apa aku akan menuruti permintaannya? Tentu saja tidak. Perempuan ngambek butuh dirayu, bukan ditinggal sendiri. "Nggak mau, kalau kamu belum maafin aku." "Ih, jauh-jauh sana! Aku benci sama kamu!" ketusnya. Bibirnya boleh bilang benci, tapi hatinya bucin setengah mati. Buktinya, gara-gara aku kedatangan tamu wanita cantik dan seksi, dia langsung ngambek. Cemburu buta nggak jelas seperti ini. Padahal wanita itu datang atas nama perusahaan, yang ka