Melangkah ke tangga batu, setelah beberapa kali menarik napas untuk menenangkan diri. Aya naik dengan ditemani suara khas sepatunya. Langkahnya dibuat ringan, tapi tangannya menggenggam tali tas lebih erat, berhenti sejenak di depan pintu sebelum mendorongnya terbuka.
“Aya pulang,” serunya lantang. Tapi ia menghentikan langkahnya lagi, mematung di ambang pintu, sedih menyergapnya begitu saja. Kebiasaan yang sudah dibawanya selama dua puluh tujuh tahun hidup di rumah ini. Sekarang, rasanya seruannya itu terasa salah. * Mei mendapati Aya yang masih berdiri di ambang pintu. “Aya udah pulang?” sambutnya dengan wajah sumringah. Tersadar dari lamunannya, Aya mengangkat wajah dan memasang senyum yang manis di bibirnya, “Aya pulang, Mah,” jawabnya. Langkahnya kembali maju, ditutupnya kembali pintu dan melangkah menuju wanita yang selama ini menyayanginya bagai anak kandungnya sendiri. Tangan Mei terulur membawa Aya ke pelukannya. Aya dengan haru menyerbu pelukan itu dan menyandarkan dagu di pundak Mei, “Makasih udah nyambut aku pulang, Mah,” bisiknya. Mengusap punggung Aya, Mei mengangguk, “Ayo kita makan dulu,” ajaknya setelah melepaskan pelukannya. Tapi tangannya tidak melepas tangan Aya, menggenggamnya sambil menarik Aya yang kembali terdiam. Aya bergeming. Mei kembali menoleh. “Kenapa?” tanyanya lembut. Mata Aya menatap wajah Mei yang selama ini selalu diyakininya sebagai wajah mamanya. Namun hidup menghantamnya dengan kenyataan bahwa wanita ini bukan ibunya. Bukan orang yang sudah melahirkannya. Bukan orang yang telah menurunkan gennya. Bukan orang yang punya pertalian darah dengannya. Bukan siapa-siapanya. Tapi dengan tulus menyanyanginya dan merawatnya dengan cinta dan keberlimpahan. “Kenapa Mah?” Aya menahan air matanya. “Kenapa apa, Sayang?” tanya Mei yang mengerti maksud Aya. Tangannya menangkup kedua pipi Aya dan mengusapnya pelan. Menutup matanya sambil merasakan usapan lembut Mama di pipinya, Aya mengangkat tangan, menggengam tangan Mama. Membuka mata dan melihat Mei yang menatapnya tak berubah. Masih sama sebelum Ari datang dan dikenalkan sebagai anak kandungnya. Namun pertanyaan yang berputar di kepalanya sejak tadi akhirnya terucap. “Kenapa merawat aku seperti merawat anak mama sendiri? Kenapa memberikan aku segalanya seakan ngasih ke anak mama sendiri?” Menyadari suara gemetarnya Aya berdeham. Senyum di bibir Mei yang menghilang saat mendengar pertanyaan Aya kembali melengkung di bibirnya. “Kamu nanya apa sih, Sayang?” tanyanya dengan haru yang menghinggapi hatinya. “Kamu masih anak mama, kan?” Aya terisak dan langsung kembali menyerbu mamanya. Memeluk wanita yang begitu baik hati itu. * Setelah mengisi piring milik Chandra, Mei menatap bergantian Carita dan Aya, “Mama kasih Ari duluan, ya, Aya,” ucapnya meminta izin pada Aya. “Mama, ih,” Aya terkekeh pelan, “Ari tuh di suapin, Mah, bukan cuma diambilin,” tambahnya sambil menoleh pada Ari yang sekarang sudah berganti baju dengan setelan Chanel. Mei mengerjap dan Surya terkekeh. “Bener, kan, Pah?” tanya Aya meminta dukungan. “Setuju, Aya. Papa juga belum pernah nyuapin Ari makan, kan?” Aya mengangguk dan bersorak senang. Sedangkan Ari sudah bersemu. Ia menatap bergantian wajah-wajah yang tersenyum menggodanya. Chandra juga sudah tersenyum. “Kamu juga mau Kakak suapin?” Ari menggeleng. “Aku belum pernah, Kak,” Aya mendelik. “Preman kayak kamu gak pantes disuapin ah, nanti aku digigit,” Chandra memeletkan lidah. Ujung bibir Aya mengeriting kesal. “Iya deh, yang adiknya cakep banget dan anggun gitu,” jawabnya sambil terkekeh kembali menatap Ari. Di matanya, Carita Paramita memang terlihat anggun dan lembut. Khas gadis desa yang santun. Benar-benar bertolak belakang dengan Aya yang gerasak-gerusuk. Senyum malu-malu milik Ari terlihat semirip Mama mereka. Aya tersenyum. “Ari cantik banget kayak Mama,” gumam Aya saat Mei menyendokkan rendang ke piringnya. Mei tersenyum, “Mama terbang kamu tanggung jawab ya?” Aya tekekeh lagi, “Aku jemput pake selendang bidadari,” jawabnya ngaco, “pinjem punya bidadarinya Papa,” tambahnya sambil menaik turunkan alisnya menatap Ari. Tatapan Mei pada Aya melembut, tadi setelah terisak di pelukannya, Aya bilang terima kasih berkali-kali. Berterima kasih atas semua yang sudah diberikan padanya, semua yang Mei rasa tidak perlu Aya sebutkan satu-satu. Selain karena pemikiran bahwa anaknya akan diperlakukan baik jika ia memperlakukan Aya dengan baik, nyatanya Aya yang manis dan penurut juga baik dan cantik itu juga sudah mencuri hatinya. Mei memang berharap karma baik untuk anaknya yang entah di mana itu. Namun ia juga menyayangi Aya sebegitu besarnya. Kesalahan rumah sakit biarlah menjadi kesalahan di masa lalu, sekarang, anaknya sudah kembali dan ia tidak perlu mencemaskan apa lagi. Kecuali satu, Aya. Ari mengikuti arah pandang Mei yang tertuju pada Aya yang sedang berebut sendok sambal hijau dengan Chandra. Mei yang tersenyum, lalu beralih menoleh padanya. Ari tersenyum, menatap Mamanya yang ternyata memang secantik yang Aya bilang tadi. “Biarin aja tuh tom and jerry, kalau udah lapar berhenti juga mereka,” ucapnya tak acuh, sudah tidak aneh lagi dengan Aya dan Chandra. Ari terkekeh, melirik pada dua orang di seberang meja. “Kakak, aku juga mau itu!” “Ambil sendiri bisa, gak?” “Nyebelin, ya!” “Kakak, Aya,” suara Papa terdengar membuat Aya dan Chandra berhenti, kompak diam menunduk pada piringnya masing-masing. Lirikan Mei pada kedua anaknya di seberang itu menyiratkan kekehan pelan yang teredam, “Ari mama suapin, ya?” Aya dan Chandra kembali kompak mengangkat kepala, menatap Ari yang tersenyum dan mengangguk pada Mei. Ada haru di hati Mei saat melihat Ari yang lahap makan dari tangannya. Hal yang tidak pernah ia berikan padanya. Air mata menetes dari ujung matanya. Terisak sendiri di tengah heningnya meja makan. “Mah?” suara Ari membuat Mei mengangkat wajahnya. Surya berdiri dan menepuk-nepuk punggung Mei, “Mama pasti terharu,” komentarnya. Tangan Ari melingkari pundak Mei, membawanya ke dalam pelukan. “Makasih udah menemukan aku, ya, Mah, Pah,” katanya dengan senyum melebar di bibirnya. Kelegaan terpancar dari wajahnya yang berseri. Ikut melingkarkan tangan, Surya membawa Ari dan Mei ke dalam pelukannya. Chandra tersenyum, menyikut Aya yang air matanya sudah ikut merembes sejak isakan Mei terdengar. Dengan suara yang bergetar, dalam pelukan dobel dari Ari dan suaminya, Mei mengangguk, “Selamat datang, Sayang, terima kasih sudah mau pulang.” *Tangan Aya kembali terangkat untuk menutup mulutnya yang menguap.“Maaf, Pah, Mah,” katanya sekali lagi sebelum menyuapkan dada ayam panggang saus madu yang dimintanya sejak subuh tadi ke dapur rumah. Mengunyah sambil mencuri-curi pandang pada ipad di pangkuannya.“Kamu keliatan gak sehat,” Chandra menaruh punggung tangannya di kening Aya.Sedikit panas.“Kamu demam,” Chandra menoleh pada Aya sekarang.“Istirahat aja, Ya,” ucap Papa.Sedangkan Mama sudah berjalan kepadanya. Melakukan hal yang sama seperti Chandra, “Bentar, Mama ambil dulu thermometer,” ucap Mama.Tangan Aya meraih tangan Mei yang sudah hendak pergi.“Aya gak apa-apa, Mah,” katanya pelan.“Kamu demam,” jawab Mei.Tangan Aya memindahkan ipad di pangkuannya ke atas meja, ia berdiri. Meraih Mei ke dalam pelukannya. “Aya gak apa-apa, Mah,” katanya sekali lagi. Ia menopangkan dagu di pundak kiri Mei.Wanita yang sudah menjadi ibunya selama dua puluh tujuh tahun itu membawa Aya ke dalam pelukannya. “Beneran?” tanyanya memast
‘Bagaimana bisa anak manis yang selalu ia jahili dan menjahilinya balik ini ternyata bukan adiknya?’Chandra tertegun sendiri melihat Aya yang membungkuk di depan wastafel dan membasuh wajah dan matanya yang perih. Tangannya memegangi rambut panjang Aya yang terurai ke atas wastafel basah, menahannya di pundak Aya.“Oke sekarang udah gak perih lagi,” Aya mengangkat wajah. Meraih handuk bersih dari gulungan teratas di atas meja. Mengelap wajah yang sudah bersih.Senyumnya mengembang melihat Chandra masih di sana dan memegangi rambutnya.“Tengkyu, Kak,” ucapnya sekalian meraih rambutnya, lanjut mengeringkan ujung rambut yang kebasahan.“Kok bisa sih kalau di kantor kamu jadi keren gitu?” tanya Chandra kemudian.Aya mengerjap, melirik Chandra yang berbalik keluar dari kamar mandi. “Tanya sama diri sendiri, deh, Kak. Kenapa kalau di kantor jadi galak banget,” Aya mengembalikan pemikiran Chandra pada kakaknya sendiri.Lelaki itu menghentikan langkah, menoleh di ambang pintu dan menatap Aya
Ari tidak terima! Kenapa kesannya Aya memutuskan Zayn karena kasihan padanya? Kenapa rasanya seperti Aya sengaja melakukannya karena ia adalah anak kandung Mama dan Papanya? Kenapa rasanya seperti bukan kemenangan yang ia banggakan siang tadi?Benar, ia mendengar smeua perkataan Aya dan Tris di tangga tadi.Entah apa yang sudah mereka berdua bicarakan berdua di mobil, tapi dari yang Ari dengar di dekat tangga. Kedua orang itu sedang membicarakan apa yang Ari bisa mengerti. Tentang Tris yang keberatan karena Aya sama sekali tidak memedulikan apa yang Zayn perbuat padanya.Ari dengan kesalnya menyetujui apa yang Tris ucapkan.Bahwa Aya tidak seharusnya tenang dan pasrah melihatnya dengan Zayn.Karena yang Ari butuhkan juga bukan reaksi semacam itu. Ia ingin melihat Aya kalah. Ia ingin melihat Aya tidak berdaya. Sesuatu hal yang sama seperti dirinya. Ketidakberdayaan.Tapi gadis itu bahkan tidak menunjukan emosi apapun saat Ari kembali dari makan siangnya dengan Zayn. Aya sama sekali tid
“Makasih udah jemput,” Aya tersenyum pada Tris yang duduk di balik kemudi.“Makasih juga udah dipinjemin mobilnya,” jawab Tris dengan senyum terpaksa yang harus ia berikan pada Aya dengan alasan kesopanan.Hari ini ia memang menerima tawaran meminjam mobil Aya. Setelah kemarin pergi dengan pesanan ojolnya. Aya menyerahkan kunci mobilnya pagi tadi setelah sarapan yang penuh huru-hara.Alasannya tidak lain tidak bukan adalah karena Aya yang putus dengan Zayn.Mama heboh memeluknya, papa bertanya apakah dirinya baik-baik saja atau tidak, dan Ari yang mengatakan kalau Zayn mengkhawatirkan Aya karena tadi malam mereka berpisah begitu saja di taman komplek. Aya menjawab semuanya dengan satu jawaban yang sama. Kalau ia baik-baik saja.Namun ada yang membuat Aya sedikit aneh. Kakaknya, Chandra, lelaki itu sama sekali tidak berkomentar apa-apa. Sebenarnya, daripada memikirkan yang sudah selesai, Aya lebih memikirkan itu. Ada apa dengan kakaknya?Tidak mungkin masih marah karena insiden kemarin,
Mengingat semua yang Aya beritahukan padanya dalam pelajaran pertama hari sabtu kemarin. Duduk dengan punggung tegak, memakai garpu dan pisau untuk memotong steaknya. Memakannya dengan anggun dan tidak terburu.“Maaf ngerepotin kamu tadi malem,” Zayn berkata dengan nada menyesal.Membuat Ari mengalihkan pandangan matanya dari potongan daging di atas piringnya. Kepala gadis itu menggeleng kecil, “Aku sama sekali gak repot, kok,” jawabnya ringan.Senyum Ari membuat Zayn ikut tersenyum, “Makasih, Ari, kamu bahkan menawarkan diri buat nemenin Aya. Meskipun ternyata Aya udah punya temen lain,” katanya dengan bahu terangkat kecil.“Aku harusnya yang minta maaf, Mas,” lirih Ari, “karena mau ngasih liat keadaan Aya yang baik-baik aja, jadi bikin kamu liat Aya sama Tris.”Zayn tersenyum kecut.“Aku kepikiran semaleman setelah liat lagi foto yang aku kirim. Sorry,” ucapnya lagi.Kepala Zayn menggeleng kecil, tangan kanannya terulur menyentuh punggung tangan kiri Ari yang berada di atas meja. Me
“Sama kayak ini, Kang,” Aya menunjukan Chanel 25 miliknya. Ia sempat-sempatnya kembali ke mobilnya dan mengambil tas sebelum naik ke rumah dan duduk dengan Tris di sofa teras belakang.Tris memandangi tas Aya.“Ini tas, itu tas. Sama. Fungsinya juga sama,” Aya menjelaskan sambil menunjuk ransel yang berada di samping Tris.“Hm,” Tris mengangguk.“Harga tas ini lebih dari seratus juta,” ucap Aya yang membuat Tris membelalak.Ekspresi Tris membuat Aya mengikik kecil.“Gimana rasanya bawa tas harga ratusan juta, Aya?” tanya Tris.“Rasanya kayak bawa tas,” jawab Aya dengan kerlingan kecil di matanya.“Aya,” Tris menghela napas.Menghentikan kikikannya, Aya menggeleng, “Kayak yang aku bilang, Kang, ini bukan soal tas, bukan soal teh, ini soal nama yang dibawa sama tas ini dan teh itu. Bukan tentang bentuk yang bisa di lihat. Tapi tentang nilai yang dibawanya.”Wajah Tris yang mengerti kemudian menatap Aya dengan anggukan kecil kepalanya. “Bukan soal benda, tapi apa yang ada di dalamnya dan