Mata Ari melebar menatap berkeliling kamar Aya. Melihat dengan matanya sendiri bahwa ruangan bernuansa putih dan kuning itu terasa mewah dan cantik. Sebuah ranjang king size berada di sisi kiri, lalu dipan tv di seberangnya, dengan sofa empuk di antaranya. Ari terperangah saat Aya membawanya masuk ke dalam walk in closet yang lebih besar dari ruang kamar itu sendiri.
“Kita tidur bareng dulu malam ini, kan? Kamar kamu belum siap banget.” Ari menoleh saat Aya mendekatinya dan membawakan sepasang baju tidur dan celana panjang dari balik salah satu pintu lemari. Dilihatnya lemari-lemari yang tertutup, lalu pada lemari kaca yang menampilkan tas-tas yang dipajang seperti di toko, lalu deretan sepatu di rak bawah yang beragam warna dan bentuk. Lalu di salah satu sisi terdapat cermin tinggi dan meja rias yang diatasnya penuh dengan peralatan make up. Semua hal yang pernah Ari lihat dalam bentuk KW nya kini ia lihat yang aslinya. Tangan Aya menyerahkan setelan baju tidur dan berdiri di depan Ari. “Itu asli?” tanya Ari sambil menunjuk Lady Dior berwarna pink di balik pintu kaca. Aya mengerjap. “Aku sering liat tapi yang palsu,” Ari tersenyum kaku. “Oh,” Aya tersenyum, berjalan ke arah lemari kaca, dibukanya pintu dan diambilnya lady dior pink yang sudah sering dipakainya kemana-mana. “Kamu mau lihat?” Tangan Ari terulur menerima tas dari tangan Aya. Menatap tas di tangannya. “Kamu suka warna pink?” Aya berdiri dengan senyum mengembang. Ari mengangguk masih menunduk menatap tangannya. Kepalanya kembali terangkat, menatap berkeliling pada ruangan penuh barang-barang yang tidak pernah ia kenal namanya itu. Berjalan lebih dalam ke ruangan itu, meninggalkan Aya yang berdiri di belakangnya sekarang. “Harusnya semua ini punyaku,” gumamnya pelan sambil menatap nanar pada deretan tas di depannya. “Apa?” Aya menghampiri Ari, “Kamu mau yang ini?” “Ini bekas kamu,” Ari menoleh. Kening Aya mengerut, ia tidak salah mendengar? “Ini punya kamu, Aya,” ucap Ari lagi sambil mengembalikan tas di tangannya pada Aya, bibirnya menyunggingkan senyum kecil itu lagi. Mata Aya menatap wajah tersenyum Ari yang terlihat kesal. Menelan liurnya untuk membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba kering, Aya mengangguk, “Ini punya kamu kalau kita gak tertukar,” katanya kemudian. Menyimpan kembali tasnya, lalu berdiri di depan Ari yang terlihat marah. Ujung bibir Ari terangkat, “Kamu cukup tau diri,” katanya kemudian dengan seringai kecil dan tatapan yang langsung tertuju ke mata Aya. Aya tidak menyangka gadis di depannya akan berkata dengan cukup lantang. Ia pikir salah dengar saat mendengar dua gumaman Ari tadi. Ternyata telinganya tidak salah tangkap. Ari memang mengatakannya. Tambah jelas dengan ucapan tegasnya. “Kita tertukar bukan salahku, Ari,” Aya mengatakannya dengan lembut, berusaha agar Ari tidak terpancing emosi. “Benar.” Ari mengangguk, “Tapi kamu menikmati semua hal ini.” Aya tersenyum kecil, “Aku hanya tau kalau aku anak mama dan papa,” katanya sambil melangkah mendekat, meraih tangan Ari, “aku udah berpikir untuk pergi,” tandas Aya. “Lalu kenapa masih di sini?” sinis Ari sambil menarik tangannya sendiri, melepaskan diri dari ganggaman Aya. “Tanggung jawab,” Aya menghela napas, berbalik dari hadapan Ari, duduk di stool bunga tempat biasa ia duduk saat memakai sepatu. Ari mengikuti Aya dengan tatapannya. “Aku masih punya banyak pekerjaan yang belum selesai. Rasa tanggung jawab itu yang bikin aku belum bilang untuk pergi sama Mama dan Papa,” Aya duduk dengan tegak, menatap Ari yang masih menatapnya seperti tadi, “Kamu kira aku gak mau ketemu sama Abah?” Ari mendengus, berbalik untuk pergi. “Kenapa Ama meninggal?” Langkah Ari terhenti, “Kamu bisa tanya Abah kalau udah bertemu dengannya.” Bibir Aya mengatup sambil menatap punggung Ari yang berbelok keluar dari walk in closet-nya. “Aku harap kita berteman, Ari,” serunya setelah mendengar pintu kamar mandi yang terbuka. Blam! Aya berkedip saat pintu kamar mandi kembali tertutup dan tidak mendengar jawaban apapun dari Ari. Itu memang keinginan yang terlalu muluk untuk mereka berdua. Hubungan mereka bisa saja baik-baik saja. Tapi bisa juga berakhir lebih buruk dari bayangannya. Aya menghela napas. Ini tidak akan mudah. Baginya juga bagi Ari. Aya mengerjap, menatap berkeliling ruangannya lalu tersenyum. Sebuah ide tercetus di kepalanya. Ia berdiri dan berjalan keluar kamarnya. * Tok! Tok! Tok! Ceklek. Aya menoleh pada pintu, Mamanya terlihat berdiri di ambang pintu dengan bantal di pelukannya. Wajahya terperangah, lalu terkekeh geli. “Aya belum tidur?” tanya Mei malu-malu. Kepala Aya menggeleng, bibirnya masih tersenyum, “Mama mau kemana?” Sambil menutup pintu dengan punggungnya, Mei tersenyum, “Mama kabur dari kamar dan mau ikut bobo bareng sama anak-anak gadis Mama,” katanya dengan bahu terangkat tak acuh. Mencoba tidak menanggapi wajah Aya yang terang-terangan menggodanya. Aya berdiri menyambut Mamanya dan memeluknya pelan, “Ari udah tidur dari tadi,” bisiknya sambil mengacungkan jempol ke arah kasur. Tidak mau mempermasalahkan sikap ketus Ari padanya tadi. Bahkan setelah mandi dan memakai baju tidur Aya, gadis itu masih cemberut padanya. Sungguh Aya mengerti dengan kemarahan Ari. Namun ia berusaha tidak membawanya ke dalam hati. Wajar sekali Ari marah padanya yang menikmati semua kemewahan ini di saat Ari mungkin sedang berjuang di entah dimana. Saat tangannya menggenggam tangan Ari tadi, Aya bisa merasakan tangan Ari yang kasar. Mungkin Ari sudah banyak bekerja. “Kamu kenapa belum tidur?” tanya Mei menyadarkan lamunan Aya. “Karena besok mau libur,” jawab Aya dengan cengirannya. “Besok Mama gak bisa ikutan,” Mei cemberut mengingat ide dari Aya yang tadi diberitahukan padanya. Aya terkekeh, “Mama tunggu kita di sana aja, nanti aku jemput pulang,” katanya sambil mengelus lengan Mei dengan lembut. “Bener, ya?” Anggukan Aya semangat membuat Mei terkekeh dan mengusap pipi Aya dengan sayang. Tatapannya pada anak gadis yang selama ini membersamainya itu berubah haru. “Mama mau bicara sesuatu sama aku?” Aya mengerti tatapan itu. Ia juga sama. Ada banyak hal yang ingin disampaikannya pada wanita hebat di depannya ini. ada banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan padanya. Ada banyak terima kasih yang harus ia haturkan pada mamanya itu. “Maafkan, Mama, Aya,” ucap Mei kemudian. Aya terperanjat dengan air mata yang meluncur dari sudut mata Mei. Bibirnya sukses melengkung melihat air mata itu, “Enggak, Mah, enggak,” katanya sambil kembali menghambur di pelukan Mei. *“Gak mau di volume lagi? Udah mulai turun nih,” ucap Mas Alle, hair stylish yang biasa menangani rambut Aya.Gadis itu menggeleng, “Saya cuma mau keramas dan blow aja, malam ini udah harus pergi soalnya. Hemat waktu,” jawab Aya sambil tersenyum.“Kalau ada waktu kita kebut volume lagi tapi ya?”Aya mengangguk-angguk di depan cermin besar.Ia kemudian menurut saat staff mengarahkannya ke ruang cuci rambut. Ari sudah kebih dulu berada di sana, sedang dibilas. Mereka belum bicara apa-apa lagi setelah Vanny pamitan karena merasa canggung dan bilang kalau ia akan menghubungi Aya nanti.Aya duduk di kursi wash bak dan membiarkan rambutnya diambil alih. Ia menutup mata saat air hangat mulai mengalir di kulit kepalanya, hangat di sela-sela rambutnya.“Kenapa?”Mata Aya terbuka saat mendengar pertanyaan Ari. Melirik gadis di sampingnya itu, “Kenapa? Kenapa?” tanyanya ringan lalu kembali menutup mata.Ari menghela napas, “Kenapa kamu bilang gitu di depan teman kamu sendiri?”Alis Aya bertaut, k
“Gila, kamu?” Ari mendesis.“Apaan sih kok bilang aku gila?” jawab Aya tak terima.“Gak perlu dicoba kali,” Ari menyerahkan lagi satu setel bra dan celana dalam yang Aya ulurkan padanya.“Ya kamu bilang gak tau ukuran, kan?” sewot Aya masih tidak terima disebut gila. “Aku gak mungkin nyamai ukuran kita. Punya kamu lebih kecil!”“Aya, ih, tutup mulut!” Ari melirik kiri dan kanan yang padahal tidak ada orang. “Punya aku gak sekecil itu juga kali! Kamu aja yang kegedean.”Aya mencibir, “Ini aset buat suami gue, ya. Kita perawatan bareng deh nanti biar punya kamu lebih gede,” ucapnya kemudian.Mata Ari mengerjap, “Perawatan?”“Iyalah, selain muka, ini juga perlu,” jawab Aya menggebu seperti sales asuransi sambil menunjuk kedua bolanya dalam balutan vest knitt yang mempertegas lekukan dan tonjolan tubuhnya.“Emang bisa?” tanya Ari polos.“Bisa, dong,” jawab Aya dengan lirikan misterius.“Caranya?”“Ya gitu,” Aya berusaha menyembunyikan cengirannya.Ari melihatnya, “Jahat ih, mentang-mentan
Tangan Aya membukakan pintu penumpang Mercy putih itu, mengingat Maserati-nya ditinggalkan di kantor karena tadi malam diantar pulang oleh Zayn. Senyumnya mengembang pada gadis yang masih menatapnya dengan tatapan kesal itu. “Ayo, kita mau ketemu Mama di Mahkota Clinic,” Aya meraih tangan Ari dan menariknya ke mobilnya.Ari sekali lagi menarik tangannya dan dengan anggun jalan sendiri lalu masuk ke mobil Aya.Ujung bibirnya tertarik dan Aya melihat Ari yang duduk dengan anteng di dalam mobilnya, setelah menutup pintu untuk Ari, Aya berjalan ke pintu pengemudi dan dengan riang melajukan mobilnya ke arah salah satu mall terbesar di kota.*Mata Ari sedari tadi mencuri lirik pada Aya yang dengan lihai memutar roda kemudi, belok kanan belok kiri mengerti harus pergi kemana. Hatinya kembali teriris. Ia sendiri tidak tahu apapun. Bahkan apa yang dilakukan Mamanya dan Aya yang ternyata sudah janjian untuk bertemu itu.Sedih sekali.Ari tahu ini bukan salah Aya. Namun begitu melihat Aya yang
Mata Ari melebar menatap berkeliling kamar Aya. Melihat dengan matanya sendiri bahwa ruangan bernuansa putih dan kuning itu terasa mewah dan cantik. Sebuah ranjang king size berada di sisi kiri, lalu dipan tv di seberangnya, dengan sofa empuk di antaranya. Ari terperangah saat Aya membawanya masuk ke dalam walk in closet yang lebih besar dari ruang kamar itu sendiri.“Kita tidur bareng dulu malam ini, kan? Kamar kamu belum siap banget.”Ari menoleh saat Aya mendekatinya dan membawakan sepasang baju tidur dan celana panjang dari balik salah satu pintu lemari. Dilihatnya lemari-lemari yang tertutup, lalu pada lemari kaca yang menampilkan tas-tas yang dipajang seperti di toko, lalu deretan sepatu di rak bawah yang beragam warna dan bentuk. Lalu di salah satu sisi terdapat cermin tinggi dan meja rias yang diatasnya penuh dengan peralatan make up.Semua hal yang pernah Ari lihat dalam bentuk KW nya kini ia lihat yang aslinya.Tangan Aya menyerahkan setelan baju tidur dan berdiri di depan A
Melangkah ke tangga batu, setelah beberapa kali menarik napas untuk menenangkan diri. Aya naik dengan ditemani suara khas sepatunya. Langkahnya dibuat ringan, tapi tangannya menggenggam tali tas lebih erat, berhenti sejenak di depan pintu sebelum mendorongnya terbuka.“Aya pulang,” serunya lantang. Tapi ia menghentikan langkahnya lagi, mematung di ambang pintu, sedih menyergapnya begitu saja. Kebiasaan yang sudah dibawanya selama dua puluh tujuh tahun hidup di rumah ini.Sekarang, rasanya seruannya itu terasa salah.*Mei mendapati Aya yang masih berdiri di ambang pintu.“Aya udah pulang?” sambutnya dengan wajah sumringah.Tersadar dari lamunannya, Aya mengangkat wajah dan memasang senyum yang manis di bibirnya, “Aya pulang, Mah,” jawabnya. Langkahnya kembali maju, ditutupnya kembali pintu dan melangkah menuju wanita yang selama ini menyayanginya bagai anak kandungnya sendiri.Tangan Mei terulur membawa Aya ke pelukannya.Aya dengan haru menyerbu pelukan itu dan menyandarkan dagu di p
Menatap gemerlap lampu dari balik jendela kantornya di lantai dua puluh lima, selepas magrib tadi ia berdiri dan belum berniat untuk pulang. Aya terpekik kaget karena satu tangan yang melingkari perutnya dan membawanya ke pelukan seorang di belakangnya.“Ini aku,” ucap suara itu.“Zayn?”“Siapa lagi yang bisa peluk-peluk kamu kayak gini,” Zayn menunduk membenamkan wajahnya pada lekukan leher Aya. Lalu mendaratkan bibirnya di sana.Gadis itu terperanjat geli, lalu melepaskan diri, “Ini di kantor, Pak Zayn,” tolaknya pada sikap Zayn yang selalu menyentuhnya tak kenal tempat.“Tapi gak ada siapa-siapa,” jawab Zayn dengan cueknya langsung menyambar pinggang Aya dan membawanya mendekat, tangan kanannya meraih pipi kiri Aya dan mendaratkan bibirnya di bibir Aya.Tangan Aya yang terangkat menepuk pundak Zayn, mengalihkan perhatian. Zayn memundurkan wajahnya dan menatap Aya dengan wajah kesal.“Aku kangen,” ucap lelaki itu dengan manjanya.“Tapi aku mau ngomong dulu. Boleh?” tanya Aya sambil