Share

5 —Ikut Bobo Bareng

Penulis: Purple Bubble
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-05 10:50:40

Mata Ari melebar menatap berkeliling kamar Aya. Melihat dengan matanya sendiri bahwa ruangan bernuansa putih dan kuning itu terasa mewah dan cantik. Sebuah ranjang king size berada di sisi kiri, lalu dipan tv di seberangnya, dengan sofa empuk di antaranya. Ari terperangah saat Aya membawanya masuk ke dalam walk in closet yang lebih besar dari ruang kamar itu sendiri.

“Kita tidur bareng dulu malam ini, kan? Kamar kamu belum siap banget.”

Ari menoleh saat Aya mendekatinya dan membawakan sepasang baju tidur dan celana panjang dari balik salah satu pintu lemari. Dilihatnya lemari-lemari yang tertutup, lalu pada lemari kaca yang menampilkan tas-tas yang dipajang seperti di toko, lalu deretan sepatu di rak bawah yang beragam warna dan bentuk. Lalu di salah satu sisi terdapat cermin tinggi dan meja rias yang diatasnya penuh dengan peralatan make up.

Semua hal yang pernah Ari lihat dalam bentuk KW nya kini ia lihat yang aslinya.

Tangan Aya menyerahkan setelan baju tidur dan berdiri di depan Ari.

“Itu asli?” tanya Ari sambil menunjuk Lady Dior berwarna pink di balik pintu kaca.

Aya mengerjap.

“Aku sering liat tapi yang palsu,” Ari tersenyum kaku.

“Oh,” Aya tersenyum, berjalan ke arah lemari kaca, dibukanya pintu dan diambilnya lady dior pink yang sudah sering dipakainya kemana-mana. “Kamu mau lihat?”

Tangan Ari terulur menerima tas dari tangan Aya. Menatap tas di tangannya.

“Kamu suka warna pink?” Aya berdiri dengan senyum mengembang.

Ari mengangguk masih menunduk menatap tangannya. Kepalanya kembali terangkat, menatap berkeliling pada ruangan penuh barang-barang yang tidak pernah ia kenal namanya itu. Berjalan lebih dalam ke ruangan itu, meninggalkan Aya yang berdiri di belakangnya sekarang.

“Harusnya semua ini punyaku,” gumamnya pelan sambil menatap nanar pada deretan tas di depannya.

“Apa?” Aya menghampiri Ari, “Kamu mau yang ini?”

“Ini bekas kamu,” Ari menoleh.

Kening Aya mengerut, ia tidak salah mendengar?

“Ini punya kamu, Aya,” ucap Ari lagi sambil mengembalikan tas di tangannya pada Aya, bibirnya menyunggingkan senyum kecil itu lagi.

Mata Aya menatap wajah tersenyum Ari yang terlihat kesal. Menelan liurnya untuk membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba kering, Aya mengangguk, “Ini punya kamu kalau kita gak tertukar,” katanya kemudian. Menyimpan kembali tasnya, lalu berdiri di depan Ari yang terlihat marah.

Ujung bibir Ari terangkat, “Kamu cukup tau diri,” katanya kemudian dengan seringai kecil dan tatapan yang langsung tertuju ke mata Aya.

Aya tidak menyangka gadis di depannya akan berkata dengan cukup lantang. Ia pikir salah dengar saat mendengar dua gumaman Ari tadi. Ternyata telinganya tidak salah tangkap. Ari memang mengatakannya. Tambah jelas dengan ucapan tegasnya.

“Kita tertukar bukan salahku, Ari,” Aya mengatakannya dengan lembut, berusaha agar Ari tidak terpancing emosi.

“Benar.” Ari mengangguk, “Tapi kamu menikmati semua hal ini.”

Aya tersenyum kecil, “Aku hanya tau kalau aku anak mama dan papa,” katanya sambil melangkah mendekat, meraih tangan Ari, “aku udah berpikir untuk pergi,” tandas Aya.

“Lalu kenapa masih di sini?” sinis Ari sambil menarik tangannya sendiri, melepaskan diri dari ganggaman Aya.

“Tanggung jawab,” Aya menghela napas, berbalik dari hadapan Ari, duduk di stool bunga tempat biasa ia duduk saat memakai sepatu.

Ari mengikuti Aya dengan tatapannya.

“Aku masih punya banyak pekerjaan yang belum selesai. Rasa tanggung jawab itu yang bikin aku belum bilang untuk pergi sama Mama dan Papa,” Aya duduk dengan tegak, menatap Ari yang masih menatapnya seperti tadi, “Kamu kira aku gak mau ketemu sama Abah?”

Ari mendengus, berbalik untuk pergi.

“Kenapa Ama meninggal?”

Langkah Ari terhenti, “Kamu bisa tanya Abah kalau udah bertemu dengannya.”

Bibir Aya mengatup sambil menatap punggung Ari yang berbelok keluar dari walk in closet-nya. “Aku harap kita berteman, Ari,” serunya setelah mendengar pintu kamar mandi yang terbuka.

Blam!

Aya berkedip saat pintu kamar mandi kembali tertutup dan tidak mendengar jawaban apapun dari Ari.

Itu memang keinginan yang terlalu muluk untuk mereka berdua. Hubungan mereka bisa saja baik-baik saja. Tapi bisa juga berakhir lebih buruk dari bayangannya. Aya menghela napas. Ini tidak akan mudah. Baginya juga bagi Ari.

Aya mengerjap, menatap berkeliling ruangannya lalu tersenyum. Sebuah ide tercetus di kepalanya. Ia berdiri dan berjalan keluar kamarnya.

*

Tok! Tok! Tok!

Ceklek.

Aya menoleh pada pintu, Mamanya terlihat berdiri di ambang pintu dengan bantal di pelukannya. Wajahya terperangah, lalu terkekeh geli.

“Aya belum tidur?” tanya Mei malu-malu.

Kepala Aya menggeleng, bibirnya masih tersenyum, “Mama mau kemana?”

Sambil menutup pintu dengan punggungnya, Mei tersenyum, “Mama kabur dari kamar dan mau ikut bobo bareng sama anak-anak gadis Mama,” katanya dengan bahu terangkat tak acuh. Mencoba tidak menanggapi wajah Aya yang terang-terangan menggodanya.

Aya berdiri menyambut Mamanya dan memeluknya pelan, “Ari udah tidur dari tadi,” bisiknya sambil mengacungkan jempol ke arah kasur. Tidak mau mempermasalahkan sikap ketus Ari padanya tadi. Bahkan setelah mandi dan memakai baju tidur Aya, gadis itu masih cemberut padanya.

Sungguh Aya mengerti dengan kemarahan Ari. Namun ia berusaha tidak membawanya ke dalam hati. Wajar sekali Ari marah padanya yang menikmati semua kemewahan ini di saat Ari mungkin sedang berjuang di entah dimana. Saat tangannya menggenggam tangan Ari tadi, Aya bisa merasakan tangan Ari yang kasar. Mungkin Ari sudah banyak bekerja.

“Kamu kenapa belum tidur?” tanya Mei menyadarkan lamunan Aya.

“Karena besok mau libur,” jawab Aya dengan cengirannya.

“Besok Mama gak bisa ikutan,” Mei cemberut mengingat ide dari Aya yang tadi diberitahukan padanya.

Aya terkekeh, “Mama tunggu kita di sana aja, nanti aku jemput pulang,” katanya sambil mengelus lengan Mei dengan lembut.

“Bener, ya?”

Anggukan Aya semangat membuat Mei terkekeh dan mengusap pipi Aya dengan sayang. Tatapannya pada anak gadis yang selama ini membersamainya itu berubah haru.

“Mama mau bicara sesuatu sama aku?” Aya mengerti tatapan itu. Ia juga sama. Ada banyak hal yang ingin disampaikannya pada wanita hebat di depannya ini. ada banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan padanya. Ada banyak terima kasih yang harus ia haturkan pada mamanya itu.

“Maafkan, Mama, Aya,” ucap Mei kemudian.

Aya terperanjat dengan air mata yang meluncur dari sudut mata Mei. Bibirnya sukses melengkung melihat air mata itu, “Enggak, Mah, enggak,” katanya sambil kembali menghambur di pelukan Mei.

*

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pacarku Direbut, Juragan Teh Menjemput   51. —Rencana Aya

    Tangan Aya kembali terangkat untuk menutup mulutnya yang menguap.“Maaf, Pah, Mah,” katanya sekali lagi sebelum menyuapkan dada ayam panggang saus madu yang dimintanya sejak subuh tadi ke dapur rumah. Mengunyah sambil mencuri-curi pandang pada ipad di pangkuannya.“Kamu keliatan gak sehat,” Chandra menaruh punggung tangannya di kening Aya.Sedikit panas.“Kamu demam,” Chandra menoleh pada Aya sekarang.“Istirahat aja, Ya,” ucap Papa.Sedangkan Mama sudah berjalan kepadanya. Melakukan hal yang sama seperti Chandra, “Bentar, Mama ambil dulu thermometer,” ucap Mama.Tangan Aya meraih tangan Mei yang sudah hendak pergi.“Aya gak apa-apa, Mah,” katanya pelan.“Kamu demam,” jawab Mei.Tangan Aya memindahkan ipad di pangkuannya ke atas meja, ia berdiri. Meraih Mei ke dalam pelukannya. “Aya gak apa-apa, Mah,” katanya sekali lagi. Ia menopangkan dagu di pundak kiri Mei.Wanita yang sudah menjadi ibunya selama dua puluh tujuh tahun itu membawa Aya ke dalam pelukannya. “Beneran?” tanyanya memast

  • Pacarku Direbut, Juragan Teh Menjemput   50. —Yang Mereka Butuhkan

    ‘Bagaimana bisa anak manis yang selalu ia jahili dan menjahilinya balik ini ternyata bukan adiknya?’Chandra tertegun sendiri melihat Aya yang membungkuk di depan wastafel dan membasuh wajah dan matanya yang perih. Tangannya memegangi rambut panjang Aya yang terurai ke atas wastafel basah, menahannya di pundak Aya.“Oke sekarang udah gak perih lagi,” Aya mengangkat wajah. Meraih handuk bersih dari gulungan teratas di atas meja. Mengelap wajah yang sudah bersih.Senyumnya mengembang melihat Chandra masih di sana dan memegangi rambutnya.“Tengkyu, Kak,” ucapnya sekalian meraih rambutnya, lanjut mengeringkan ujung rambut yang kebasahan.“Kok bisa sih kalau di kantor kamu jadi keren gitu?” tanya Chandra kemudian.Aya mengerjap, melirik Chandra yang berbalik keluar dari kamar mandi. “Tanya sama diri sendiri, deh, Kak. Kenapa kalau di kantor jadi galak banget,” Aya mengembalikan pemikiran Chandra pada kakaknya sendiri.Lelaki itu menghentikan langkah, menoleh di ambang pintu dan menatap Aya

  • Pacarku Direbut, Juragan Teh Menjemput   49. -Sisi Bodoh Aya

    Ari tidak terima! Kenapa kesannya Aya memutuskan Zayn karena kasihan padanya? Kenapa rasanya seperti Aya sengaja melakukannya karena ia adalah anak kandung Mama dan Papanya? Kenapa rasanya seperti bukan kemenangan yang ia banggakan siang tadi?Benar, ia mendengar smeua perkataan Aya dan Tris di tangga tadi.Entah apa yang sudah mereka berdua bicarakan berdua di mobil, tapi dari yang Ari dengar di dekat tangga. Kedua orang itu sedang membicarakan apa yang Ari bisa mengerti. Tentang Tris yang keberatan karena Aya sama sekali tidak memedulikan apa yang Zayn perbuat padanya.Ari dengan kesalnya menyetujui apa yang Tris ucapkan.Bahwa Aya tidak seharusnya tenang dan pasrah melihatnya dengan Zayn.Karena yang Ari butuhkan juga bukan reaksi semacam itu. Ia ingin melihat Aya kalah. Ia ingin melihat Aya tidak berdaya. Sesuatu hal yang sama seperti dirinya. Ketidakberdayaan.Tapi gadis itu bahkan tidak menunjukan emosi apapun saat Ari kembali dari makan siangnya dengan Zayn. Aya sama sekali tid

  • Pacarku Direbut, Juragan Teh Menjemput   48. —Selesai Artinya Selesai

    “Makasih udah jemput,” Aya tersenyum pada Tris yang duduk di balik kemudi.“Makasih juga udah dipinjemin mobilnya,” jawab Tris dengan senyum terpaksa yang harus ia berikan pada Aya dengan alasan kesopanan.Hari ini ia memang menerima tawaran meminjam mobil Aya. Setelah kemarin pergi dengan pesanan ojolnya. Aya menyerahkan kunci mobilnya pagi tadi setelah sarapan yang penuh huru-hara.Alasannya tidak lain tidak bukan adalah karena Aya yang putus dengan Zayn.Mama heboh memeluknya, papa bertanya apakah dirinya baik-baik saja atau tidak, dan Ari yang mengatakan kalau Zayn mengkhawatirkan Aya karena tadi malam mereka berpisah begitu saja di taman komplek. Aya menjawab semuanya dengan satu jawaban yang sama. Kalau ia baik-baik saja.Namun ada yang membuat Aya sedikit aneh. Kakaknya, Chandra, lelaki itu sama sekali tidak berkomentar apa-apa. Sebenarnya, daripada memikirkan yang sudah selesai, Aya lebih memikirkan itu. Ada apa dengan kakaknya?Tidak mungkin masih marah karena insiden kemarin,

  • Pacarku Direbut, Juragan Teh Menjemput   47. —Sama tapi Beda

    Mengingat semua yang Aya beritahukan padanya dalam pelajaran pertama hari sabtu kemarin. Duduk dengan punggung tegak, memakai garpu dan pisau untuk memotong steaknya. Memakannya dengan anggun dan tidak terburu.“Maaf ngerepotin kamu tadi malem,” Zayn berkata dengan nada menyesal.Membuat Ari mengalihkan pandangan matanya dari potongan daging di atas piringnya. Kepala gadis itu menggeleng kecil, “Aku sama sekali gak repot, kok,” jawabnya ringan.Senyum Ari membuat Zayn ikut tersenyum, “Makasih, Ari, kamu bahkan menawarkan diri buat nemenin Aya. Meskipun ternyata Aya udah punya temen lain,” katanya dengan bahu terangkat kecil.“Aku harusnya yang minta maaf, Mas,” lirih Ari, “karena mau ngasih liat keadaan Aya yang baik-baik aja, jadi bikin kamu liat Aya sama Tris.”Zayn tersenyum kecut.“Aku kepikiran semaleman setelah liat lagi foto yang aku kirim. Sorry,” ucapnya lagi.Kepala Zayn menggeleng kecil, tangan kanannya terulur menyentuh punggung tangan kiri Ari yang berada di atas meja. Me

  • Pacarku Direbut, Juragan Teh Menjemput   46. —Rasanya Menang

    “Sama kayak ini, Kang,” Aya menunjukan Chanel 25 miliknya. Ia sempat-sempatnya kembali ke mobilnya dan mengambil tas sebelum naik ke rumah dan duduk dengan Tris di sofa teras belakang.Tris memandangi tas Aya.“Ini tas, itu tas. Sama. Fungsinya juga sama,” Aya menjelaskan sambil menunjuk ransel yang berada di samping Tris.“Hm,” Tris mengangguk.“Harga tas ini lebih dari seratus juta,” ucap Aya yang membuat Tris membelalak.Ekspresi Tris membuat Aya mengikik kecil.“Gimana rasanya bawa tas harga ratusan juta, Aya?” tanya Tris.“Rasanya kayak bawa tas,” jawab Aya dengan kerlingan kecil di matanya.“Aya,” Tris menghela napas.Menghentikan kikikannya, Aya menggeleng, “Kayak yang aku bilang, Kang, ini bukan soal tas, bukan soal teh, ini soal nama yang dibawa sama tas ini dan teh itu. Bukan tentang bentuk yang bisa di lihat. Tapi tentang nilai yang dibawanya.”Wajah Tris yang mengerti kemudian menatap Aya dengan anggukan kecil kepalanya. “Bukan soal benda, tapi apa yang ada di dalamnya dan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status