Selesai acara pengenalan CEO baru, Ziandra buru-buru keluar dari aula dan duduk ke kursinya dengan resah. Sambil terus membisiki dirinya sendiri, “Itu tidak mungkin. Pria semalam tidak mungkin bosku.”
Ia menolak keras kebenaran bahwa pria yang tidur dengannya adalah orang yang sama. Sedang mengkhawatirkan hal itu, ia dikejutkan sapaan beberapa teman kantornya yang tiba-tiba saja mengerubungi mejanya.
“Ada apa?” tanya Ziandra mengangkat sebelah alisnya.
Salah satu dari mereka malah menertawakannya. Ia menyentil bahu Ziandra dengan gaya angkuhnya.
“Kudengar bahwa kau dan Elden sudah putus, ya? Astaga, akhirnya Elden sadar juga bahwa kau itu tidak layak bersanding dengannya. Selamat atas kandasnya hubungan kalian, ya,” ejeknya dengan suara sengaja dilantangkan agar semua yang ada di sana mendengar berita itu.
Banyak karyawan yang berasal dari divisi lain ikut menengok ke arah Ziandra ketika tak sengaja berjalan di mejanya, membuat Ziandra tentu saja merasa malu yang teramat sangat karena jadi bahan lelucon atas berakhirnya hubungannya dengan Elden.
Ziandra menggeret lengan wanita yang barusan menertawakannya agar mendekat ke wajahnya. “Tau dari mana kau bahwa aku dan Elden putus?” selidiknya dengan suara berbisik.
“Elden sendiri yang bilang padaku bahwa dia minta putus darimu. Tapi yang membuat aku ikut kesal, yah karena kau masih sempat-sempatnya mengancam Elden. Kalau Elden tetap ingin putus darimu, dia harus membayar untuk kompensasi selama kalian pacaran, benar ‘kan?” tuding wanita itu kembali dengan suara menggelegarnya. Dia pasti sengaja ingin membuat runyam keadaan dengan menyalahkan Ziandra.
Ziandra tersentak dengan berita buruk yang beredar tentangnya. Hey, dia bahkan tak menduga bahwa putusnya hubungannya yang didasari oleh pengkhianatan Elden malah berbalik menyerangnya.
“Dengar, ya! Aku sendiri yang minta putus dari Elden, itu semua karena dia yang berkhianat dariku. Dan soal kompensasi, itu sama sekali tak benar. Aku hanya mengambil hakku karena Elden meminjam uang dariku. Jadi, berhenti menyebar gosip yang tak benar seperti ini!” bentak Ziandra merasa benci dengan kabar miring mengenai dirinya.
Bukannya memahami, mereka semua malah kembali mengejeknya, bilang kalau Ziandra hanya memutar-balikkan fakta sehingga Elden yang terlihat bersalah.
Karena malas berdebat dengan mereka, Ziandra memilih menyerah. Dia abaikan gosip buruk tentangnya meskipun tidak benar sekalipun. Ia berusaha untuk fokus dengan pekerjaannya, daripada membuang waktu untuk mengurusi hal sepele seperti ini.
*****
Seusai pulang dari kantor, Ziandra berpapasan dengan Liona yang sedang bercanda-ria dengan beberapa teman satu divisinya. Inginnya Ziandra pura-pura tak melihatnya dan melanjutkan perjalanan pulang dengan damai, tetapi ucapan teman Liona membuatnya geram.
“Oh, jadi itu mantan pacarnya Elden? Yang katanya suka minta uang pada Elden dan malah menuduhnya selingkuh denganmu, Liona? Ternyata, rupanya tak secantik dirimu. Astaga, kau jauh lebih baik dibanding dirinya.”
Ziandra memutar badannya untuk menatap pria yang baru saja mengatainya. Sambil menatap sarkas, Ziandra berucap lirih dan menekan, “Jika kau tidak tahu yang sebenarnya, jaga mulutmu! Kau itu laki-laki tapi mulutmu sangat cerewet melebihi perempuan.”
Tetapi, Liona yang sebelumnya hanya diam saja dan tersenyum melihat Ziandra dihina langsung turun tangan. Ia melangkah lebih maju untuk menghadapi Ziandra yang memberinya tatapan sangar.
“Yang dikatakan temanku memang benar. Kau itu hanya parasit bagi Elden yang sukanya minjam uang saja.”
Ziandra meremas tali tasnya sambil menggertakkan giginya. Ia tak sangka bahwa Elden dan Liona bekerja sama untuk memfitnahnya seperti ini.
“Kalau memang aku parasit, lalu kau itu apa? Kau malah berani main gila dengan Elden yang berstatus pacarku di ruang rapat semalam. Jadi, biar kutanyakan, siapa di sini yang jauh lebih rendahan? Kau apa aku, hah?” tantang Ziandra dengan suara menggelegar menunjukkan kemarahannya.
‘PLAK’
Tamparan keras Liona layangkan ke pipi kanan Ziandra hingga membuatnya sempat terhuyung ke belakang. Ziandra yang mendapatkan perlakuan itu hanya tersenyum miring untuk mengejek Liona.
“Jika saja kubeberkan video asusila kau dengan Elden kepada semua orang di kantor, mungkin mereka akan balik menyerangmu. Kau mau coba merasakannya, hem?” kekeh Ziandra kembali membuat keadaan makin runyam.
Semua yang berdiri di belakang Liona diam menanti kelanjutan pertikaian keduanya. Tak ada yang berani menyela karena merasa sedikit percaya dengan ucapan Ziandra.
Liona menoleh ke belakang dan melihat raut keraguan dari teman-temannya. Ia berkeringat dingin, lalu sesaat kemudian ia menatap Ziandra dengan marah. Segera saja ia menjambak rambut Ziandra dengan kasar.
“Lepaskan rambutku, Wanita Pelacur!” raung Ziandra berupaya untuk lolos dari Liona.
“Berhenti bicara omong kosong!” pekik Liona makin kuat menjambak rambut Ziandra.
Ditengah keributan itu, Elden yang baru pulang bersama teman-temannya dibuat panik melihat Ziandra serta Liona berkelahi di lobi kantor dan menjadi pusat perhatian banyak karyawan. Mereka yang awalnya mau pulang malah berhenti untuk menikmati tontonan itu.
“Hey, kalian itu apa tidak malu dilihati banyak orang? Cepat hentikan!” seru Elden yang sudah mendekat dan langsung berusaha memisahkan kedua wanita itu.
Terdengar bisik-bisik yang membuat telinga Elden terganggu.
“Itu pasti cowok yang lagi diperebutkan mereka, ‘kan?”
Berusaha untuk tidak menanggapi, Elden dengan lebih kasar menarik tangan Liona dan Ziandra sehingga mereka bisa terpisah. Liona langsung menyentak kasar tangan Elden yang ada di bahunya.
“Urus mantan gilamu itu, El! Dia sungguh membuatku malu,” sinis Liona lalu menyabet tasnya yang terjatuh di lantai dan pergi dengan amarah membumbung.
Ziandra menata rambutnya yang berantakan dan memberikan tatapan intimidasi pada Elden yang masih mencekal lengannya. “Kau yang berhutang, tapi aku yang menanggung malunya. Di mana otakmu itu, sih?” desisnya membuat Elden langsung menjauh darinya.
Elden buru-buru pergi untuk mengejar Liona, membiarkan Ziandra mematung sendirian dengan rasa malu yang masih melekat pada dirinya.
“Pasti mantannya itu jauh lebih menyukai Liona daripada dirinya. Kasihan sekali, ya? Tapi memang Liona itu definisi wanita cantik dengan karier cemerlang, tentu saja para pria akan tergila-gila padanya.”
Ziandra menatap sengit seorang wanita yang baru saja bicara itu. Sambil menuding dengan telunjuknya, Ziandra berjalan mendekat. “Biar kutegaskan padamu, kalau aku yang memutuskan Elden bukan sebaliknya. Berhenti bicara seolah-olah aku yang paling terhina!”
“Ada apa ini?”
Sebuah suara menginterupsi Ziandra yang masih ingin bicara panjang lebar untuk menjelaskan kondisi yang sebenarnya. Ziandra bermaksud memaki orang yang mengacau itu dengan bentakan marah, tapi ketika dirinya melongokkan kepala untuk melihat orangnya ... tubuhnya membeku.
“Dia, ‘kan?” bisik Ziandra gemetar ketakutan.
“Kenapa kamu membuat keributan di jam pulang seperti ini?” tanya orang itu yang sudah berjalan mendekat dan semua karyawan membukakan jalan supaya bisa berhadapan dengan Ziandra.
“Sa—saya minta maaf sudah membuat keributan. Saya mohon izin pulang,” pekik Ziandra sedikit tergagap. Ia buru-buru membungkukkan badan dan langsung berlari untuk pergi.
Ziandra sungguh tak peduli dengan pandangan terkejut orang-orang yang melihatnya lari tunggang-langgang di depan Sang CEO baru mereka. Ia hanya ingin menghilang saat ini juga.
Pagi di perusahaan dimulai seperti biasa, dengan langkah-langkah cepat para karyawan, suara pintu lift yang terbuka dan tertutup, serta dering telepon yang bersahutan. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari sosok Angga pagi ini. Wajahnya tidak sekeras biasanya, tak ada sorot tajam atau aura tekanan yang kerap memancar setiap kali ia memasuki lantai kerja.Senyum tipis tampak di wajahnya, seperti ada cahaya yang meredupkan bayang-bayang lelah di bawah matanya. Ia menyapa beberapa staf yang berpapasan dengannya, bahkan sempat mengangguk sopan saat seseorang memberi salam pagi. Hal-hal kecil yang selama ini jarang ia lakukan.Begitu sampai di ruangannya, Angga membuka jas, menggantungnya di balik pintu, lalu duduk di kursi kerja dengan gerakan santai. Jemarinya membuka layar ponsel yang dari tadi menggetar pelan.[Kira-kira foto ini cocok diberi caption apa? Bagaimana kalau ‘Menantu dan Mertua yang Sedang Berdamai bersama dengan pagi’ menurutmu bagus,
Malam itu, Ziandra masih terbaring dalam posisi yang sama. Mata terpejam, namun pikirannya belum benar-benar tertidur. Bayangan kata-kata Angga terus terulang di benaknya, tentang ayahnya yang akhirnya mengakui kesalahan, tentang cinta yang terus ia perjuangkan, dan tentang dirinya yang akhirnya benar-benar dianggap.Pintu kamar kembali terbuka. Aroma lezat yang menguar dari luar perlahan menyusup masuk, menggoda indera penciumannya.Langkah kaki Angga terdengar ringan kali ini, seperti sedang menyimpan sesuatu yang istimewa.“Ziandra ...,” panggilnya pelan, nyaris seperti membangunkan anak kecil.Perempuan itu membuka matanya perlahan, lalu berbalik menatap suaminya yang kini berdiri di sisi tempat tidur dengan nampan di tangan.“Aku tahu kau belum makan apa-apa sejak siang tadi. Kau boleh pura-pura tidur seharian, tapi jangan pura-pura kenyang. Aku tidak mau kau sakit,” ucap Angga dengan lembut.Ziandra tersenyum ti
Langkah kaki Angga terdengar pelan saat ia dan Ziandra memasuki halaman rumah keluarga besarnya. Suasana rumah itu lengang, seolah menyesuaikan dengan hati mereka yang masih dipenuhi sisa emosi dari pertemuan di taman tadi.Mobil baru saja diparkir. Angga sempat ingin langsung menggandeng tangan istrinya masuk ke dalam, namun pandangannya terhenti saat melihat seseorang duduk sendiri di taman belakang. Ayahnya.Pria tua itu mengenakan jaket hangat dan selimut tipis yang menutupi pahanya. Duduk diam di atas kursi roda, memandangi kolam kecil yang hampir mengering. Raut wajahnya kosong, seperti memandangi masa lalu yang hanya bisa ia sesali diam-diam.Beberapa hari sejak kepulangannya dari rumah sakit, Pak Yuda memang lebih sering diam. Tidak banyak bicara, tidak juga menunjukkan kemarahan seperti biasanya. Tapi itu justru membuat suasana rumah semakin aneh.Angga hanya menatap sekilas ke arah ayahnya, lalu mengalihkan pandangan dan bersiap masuk ke dalam.
Liam turun dari sepedanya dan dengan semangat berlari ke arah bangku taman tempat ibunya dan Ziandra duduk. Napasnya masih terengah karena terlalu banyak tertawa dan berlari, namun wajahnya bersinar penuh keceriaan.“Mama! Tante Ziandra! Tadi seru banget aku main sepedanya! Papa jago banget naik sepeda dan latih aku!” serunya antusias.Ziandra hanya tersenyum kecil, berusaha menanggapi dengan hangat meskipun dadanya sesak melihat antusias Liam yang begitu polos memanggil Angga dengan sebutan ‘Papa’.Tanpa banyak bicara, Liam langsung memanjat ke pangkuan Belvina, meringkuk manja sambil terus mengoceh tentang hal-hal kecil yang ia alami bersama Angga—tentang balapan sepeda, membeli es krim di minimarket, hingga memberi makan ikan di kolam kecil taman lain yang sempat mereka lewati.Belvina mengelus kepala anaknya perlahan. Wajahnya hangat, meski ada sisa-sisa haru yang belum hilang dari sorot matanya. Ia melirik ke arah Ziandr
Langit sore memayungi taman kecil di dekat rumah Jenna. Suasana teduh dan angin yang berembus lembut menciptakan ketenangan semu. Beberapa anak terlihat berlarian di kejauhan, tawa mereka menyatu dengan suara gemericik air dari pancuran kolam di tengah taman.Ziandra duduk di bangku kayu di bawah pohon besar. Jemarinya saling menggenggam di pangkuan, menanti dalam diam. Tatapannya lurus ke depan, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Entah karena gelisah, atau karena mencoba menyiapkan hatinya untuk sesuatu yang belum ia pahami.Saat suara langkah kaki mendekat dari arah kanan, Ziandra langsung menoleh. Belvina berjalan perlahan ke arahnya, mengenakan blouse sederhana.Ziandra hampir saja berdiri, berniat menyambut atau sekadar menunjukkan sopan santun, namun Belvina mengangkat tangannya pelan. “Tidak usah berdiri. Duduk saja.”Ziandra mengangguk pelan, menahan napas. Ia tahu pertemuan ini tidak akan mudah, tapi ia tidak menyangka detik pert
Langkah kaki Belvina dan Jenna menghilang di ujung lorong, menyisakan keheningan yang kembali jatuh di antara mereka. Angga berdiri membatu, mematung di tempat dengan pandangan kosong, seolah belum bisa memproses kata-kata terakhir yang diucapkan Ziandra.Apa kau tidak ingin memeluk anakmu sebentar, Angga?Kalimat itu menggema kembali dalam kepalanya, menyanyat seperti bilah tajam yang menembus jantungnya. Suara istrinya tadi terdengar lembut, nyaris seperti bisikan. Tapi justru karena kelembutannya itu, hatinya semakin terasa remuk. Ziandra sedang menahan terlalu banyak rasa, dan ia tahu dirinya menjadi penyebab paling besar dari semua itu.Angga menunduk, menatap lantai rumah sakit yang dingin dan mengkilap. Jemarinya mengepal di sisi tubuh, menggigil tanpa sebab. Ia ingin bergerak. Ingin mengejar Liam dan memeluk anak itu seperti yang diminta Ziandra. Tapi kakinya terasa berat. Hatinyalah yang menolaknya. Bukan karena ia tak ingin, melainkan karena i