Share

Bab 5

last update Last Updated: 2025-09-29 17:35:37

“Sekarang kamu ikut saya.”

Kalimat itu jatuh begitu saja dari bibir Nicholas. Dingin. Datar. Tanpa drama. Tapi buat Jeanicka—itu seperti sirene bahaya, alarm kebakaran, bahkan trompet kiamat.

“I-ikut, Pak?” Jeanicka terlonjak dari kursi rotan, tubuhnya nyaris terpeleset kalau saja tangannya tidak cepat-cepat meraih sandaran. “Tunggu, tunggu. Ikut ke mana, Pak?”

Nicholas menatapnya lurus. Diam. Tidak berkedip.

Jeanicka menatap Nicholas, matanya membulat. “Pak… maksudnya… saya—”

Kata-katanya terhenti di udara.

Mata Nicholas tidak bergeming—dingin, tajam, tanpa sedikit pun keraguan. Tatapan itu seperti menelanjangi pikirannya, menguliti lapisan demi lapisan sampai tak ada lagi ruang buat pura-pura.

Jeanicka merasakan tenggorokannya kering. Ia menelan ludah, tapi rasa takut itu tak ikut tertelan. Apa-apaan ini? Kenapa rasanya seperti berdiri di depan hakim, bukan atasan?

Otaknya berputar cepat, mencari logika di balik sikap Nicholas. Apa dia sedang mengujinya? Atau… benar-benar bermaksud menyeretnya ke sesuatu yang gila?

Astaga, jangan bilang beneran hal ilegal.

Jantungnya berdegup tak karuan. Dia ingin bicara, ingin menolak, tapi bibirnya kelu. Setiap langkah Nicholas yang maju setengah, membuat napasnya terhenti setengah.

Langkah itu tenang—terlalu tenang—seolah laki-laki itu tahu persis efek yang ditimbulkannya.

Jeanicka mundur setapak.

Tubuhnya kaku. Antara takut, bingung, dan entah kenapa... sedikit terpikat pada cara Nicholas menatapnya seperti sesuatu yang tidak boleh kabur.

Tiba-tiba, tanpa aba-aba, Nicholas mengulurkan tangan. Genggamannya menangkap pergelangan Jeanicka. Hangat, tapi begitu kuat, seolah menegaskan bahwa kata-katanya barusan bukan ajakan, melainkan perintah.

“Eh—Pak?! Pak, tunggu! Saya bisa jalan sendiri kok, nggak usah ditarik juga!” Jeanicka meronta kecil, tapi langkah Nicholas tetap mantap. Tarikannya membuat tubuh Jeanicka otomatis mengikut, seperti boneka kecil yang digiring tuannya.

Mereka meninggalkan balkon. Gaun Jeanicka sempat tersangkut di kursi rotan, dan dia nyaris tersandung sebelum buru-buru menarik ujungnya. “Ya ampun, Pak! Pelan-pelan dikit, baju saya nyangkut, nih!”

Nicholas tidak menoleh. Tidak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Hanya genggaman tangannya yang tetap erat, menuntunnya keluar dari balkon menuju lorong hotel.

Jeanicka mendesah pelan, menyerah pada langkah besar yang menyeretnya. Dia melirik ke tangan Nicholas yang masih menahan erat pergelangannya. Wajahnya panas, dadanya sesak, dan entah kenapa, rasa panik bercampur aneh dengan sesuatu yang lain—sesuatu yang tidak mau ia akui keras-keras.

Langkah mereka terdengar bergema di lantai marmer yang dingin. Lampu-lampu lorong memantulkan bayangan tubuh mereka, seakan seluruh hotel sedang jadi saksi bisu. Nicholas berjalan tegak, langkahnya panjang dan stabil, sama sekali tidak terpengaruh oleh protes atau tarikan kecil Jeanicka. Dia menoleh kanan-kiri, melihat tamu hotel sesekali melirik mereka dengan penasaran. Ya Tuhan, mereka pasti mikir aku cewek nakal yang kabur sama sugar daddy. Pipinya semakin panas.

"Pak, kita mau ke mana sih ini?" Jeanicka coba bertanya sekali lagi. Dan Nicholas tetap diam, dingin, tidak menoleh ataupun menjawab. Sumpah dah, kalo bukan bos gue, nih orang udah gue tabok dari tadi. Ditanya baik-baik, bukannya jawab, malah nyeret-nyeret begini! Jeanicka merutuk dalam hati.

Tatapan para tamu hotel dan staf semakin menusuk, ditambah langkah Nicholas yang panjang tidak bisa diimbangi oleh Jeanicka yang mengenakan stilleto. Dia sesekali mengaduh dan hampir tersandung karpet hotel, tapi Nicholas tetap menariknya. Sampai akhirnya, mereka hampir tiba di pintu aula hotel tempat reuni berlangsung. Nicholas melambatkan langkahnya dan Jeanicka akhirnya bisa mengimbangi. Setelah sedikit merapikan rambut dan gaunnya, Jeanicka menggandeng Nicholas masuk ke dalam aula hotel, berharap tidak berpapasan dengan dua sejoli Helena-Bobby lagi untuk sisa malam ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pak Bos, Mau Jadi Pacar Bohongan?   Bab 15

    Senin pagi di Orama Group tidak pernah damai. Tapi pagi ini… terasa lebih gila dari biasanya.Jeanicka nyaris menabrak resepsionis karena berlari sambil menenteng map, laptop, dan dua cangkir kopi yang hampir tumpah. Telepon di meja depan berdering tanpa jeda, printer meraung, dan suara langkah sepatu tumit bergema di koridor panjang yang didominasi kaca. Semua orang sibuk. Semua wajah tegang.Sementara itu, di ujung lorong, ruang kerja Nicholas Wiratama berdiri bagai zona waktu tersendiri — senyap tapi mengancam.Jeanicka mengetuk pintu dua kali, mengatur napasnya yang sudah ngos-ngosan. “Pak, ini laporan revisi tender dari divisi procurement.” Tanpa menoleh, Nicholas hanya menggumam, “Taruh di meja saya.”Suaranya rendah, berat, tapi tanpa emosi. Ya Tuhan, pikir Jeanicka.Ia menatap punggung Nicholas yang tegak di balik kaca besar. Pria itu tampak sedang menatap layar, satu tangan menyelip di saku celana, satu lagi memegang pulpen. Gerakannya presisi, nyaris seperti mesin.Tidak ad

  • Pak Bos, Mau Jadi Pacar Bohongan?   Bab 14

    Jeanicka berdiri kaku di ruang tamu yang terasa asing meski dulu tempat itu pernah jadi dunianya. Debu tipis menempel di pigura kecil yang ia ambil dari meja sudut, pigura berbingkai kayu tua yang warnanya mulai memudar. Di dalamnya ada foto lama: ia yang masih berusia delapan tahun, tersenyum lebar diapit ayahnya dan ibunya. Sang ibu merangkul erat bahunya, wajahnya bercahaya penuh kasih. Sedangkan ayahnya—yang kini hanya menyisakan dingin dan jarak—masih tampak hangat dalam foto itu.Tangannya bergetar saat menyentuh kaca pigura. Ada gumpalan sesak yang tak bisa ia telan. Foto itu bagai bukti kecil bahwa dulu ia punya rumah. Bahwa sebelum Juwita masuk, sebelum semua kata-kata tajam dan penghukuman datang, ia pernah punya keluarga.Tapi kenangan manis itu cepat berubah getir. Seolah foto itu adalah portal, membawanya kembali pada malam-malam penuh luka.*** (Flashback) Jeanicka remaja duduk di meja belajar. Matanya bengkak karena habis menangis, di depannya rapor terbuka, angka-ang

  • Pak Bos, Mau Jadi Pacar Bohongan?   Bab 13

    “Lihat siapa yang datang,” Helena menyeringai, menyandarkan tubuhnya di kusen pintu. “Anak tersesat akhirnya pulang.” Nada suaranya manis, tapi setiap kata berlumur racun.Jeanicka menelan ludah. “Gue diundang Ayah.” “Oh, tentu.” Helena mengedikkan bahu, lalu menambahkan dengan suara lebih keras, cukup untuk terdengar ke dalam. “Mah, Pah, tahu nggak? Jean ternyata punya pacar loh sekarang.”Jeanicka menegang. Lidahnya kelu, sama seperti malam reuni itu. Bagian terburuknya adalah—dia tahu Helena sengaja memancing. Dan ia benci karena sekali lagi, dirinya tidak punya kekuatan untuk melawan.Tak lama, Juwita muncul dari ruang tengah. Wanita itu masih sama: anggun dengan cara yang membuat orang lain merasa kecil, senyumnya samar, matanya dingin. “Jean.” Hanya satu kata, tapi sarat dengan penilaian. “Kamu datang juga akhirnya. Ayahmu sudah menunggu.”Jeanicka mengangguk pelan. Hatinya merosot. Tidak ada pelukan hangat, tidak ada ucapan “senang kamu pulang.” Hanya tatapan meneliti, seperti

  • Pak Bos, Mau Jadi Pacar Bohongan?   Bab 12

    Hari Minggu itu seharusnya damai. Tidak ada notifikasi email dari kantor, tidak ada suara berat Nicholas yang menuntut laporan, tidak ada tumpukan berkas yang menggunung di meja. Untuk sekali ini, Jeanicka bisa bernapas lebih lega—setidaknya ia pikir begitu. Ia duduk di sofa apartemen sambil memeluk bantal, menonton drama yang tidak terlalu ia ikuti alurnya, sekadar mencari pengalih pikiran.Udara sore masuk dari jendela yang setengah terbuka, membawa aroma hujan tipis yang baru saja reda. Rasanya seperti dunia sedang memberi jeda: berhenti sejenak, mengizinkannya merasakan sedikit kehangatan yang jarang ia miliki. Jeanicka menutup mata, mencoba menikmati ketenangan itu, seolah hari ini hanyalah miliknya seorang.Namun ketenangan itu buyar ketika ponselnya bergetar di atas bantal. Nama yang muncul di sana membuat darahnya seketika surut ke ujung kaki: Wiraguna. Nama yang sudah lama ia kubur bersama dengan luka-luka masa lalunya. Tangannya refleks ingin menekan tombol merah, mengakhiri

  • Pak Bos, Mau Jadi Pacar Bohongan?   Bab 11

    Jeanicka langsung menyendok nasi, padahal mulutnya kering kerontang. Ia mencoba mengunyah perlahan, tapi setiap suapan justru makin terasa berat. Suara sendok beradu dengan piring jadi terlalu nyaring di telinganya, menandakan betapa tegangnya suasana di antara mereka berdua.Sementara itu, bisik-bisik di kantin kembali ramai, meski lebih pelan dari sebelumnya. Seolah seluruh karyawan mencoba pura-pura tidak peduli, padahal jelas-jelas semua mata menyorot ke arah mereka. Dari pantulan kaca dinding, Jeanicka bisa melihat beberapa kepala condong ke arah mereka, pura-pura sibuk dengan ponsel, tapi jelas ingin tahu.Ia menunduk makin dalam, makan dengan hati yang tidak enak. Rasanya seperti menyantap makanan terakhir sebelum vonis hukuman pancung. Setiap kunyahan nasi seakan berubah jadi butiran pasir yang kering. Di luar, hujan gerimis mulai turun, suaranya samar tapi cukup untuk menambah kekacauan di dalam dadanya.Tiba-tiba, ponselnya bergetar di atas meja. Jeanicka kaget hampir tersed

  • Pak Bos, Mau Jadi Pacar Bohongan?   Bab 10

    Jeanicka menelan ludah. Ia buru-buru mengembalikan tumpukan berkas yang baru saja disortir ke meja bosnya, jari-jarinya sedikit gemetar karena masih malu akibat drama perutnya yang bersuara. Nicholas tidak menoleh sama sekali, hanya bangkit dari kursinya, lalu merapikan kemeja dengan mengancingkan jas kerjanya. Gerakannya rapi, efisien, nyaris seperti robot yang diprogram tanpa cela.Jeanicka hanya bisa refleks mengikutinya. Batinnya menjerit. Ia berjalan terburu-buru di belakang Nicholas, seakan sedang jadi asisten pribadi yang tak punya hak bicara.Mereka masuk ke lift. Jeanicka berdiri di belakang, tak berani bersuara. Nicholas menatap angka-angka panel lift dengan wajah datar. Tidak ada penjelasan, tidak ada clue. Jeanicka makin resah. Perutnya mulas lagi.Begitu lift berbunyi dan pintu terbuka, mereka sampai di lantai dasar. Jeanicka semakin bingung. Namun, Nicholas tetap berjalan lurus, langkahnya panjang dan mantap. Dan dugaan-dugaan gilanya terbukti salah total ketika Nichol

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status