Aula hotel malam itu penuh dengan cahaya lampu gantung yang berkilau. Suara gelas beradu dengan denting musik live band, tawa dan obrolan bercampur jadi satu. Namun, di sudut tertentu, atmosfer berbeda mulai terbentuk. Semua berawal dari satu kalimat Helena yang menusuk.
“Serius nih, Jean? Lo mau bikin kita percaya kalo cowok ini pacar lo?” Helena melipat tangan di dada, matanya menelusuri Nicholas dari kepala sampai kaki. “Please deh. Lo pikir bisa ngibulin orang segampang itu?”
Jeanicka tersenyum kaku. “Kenapa nggak? Lo tanya langsung aja, kalau nggak percaya.”
Helena tertawa pendek, suara tawanya cukup nyaring sampai membuat dua orang di meja sebelah menoleh. “Ya ampun, lo masih aja sama kayak dulu, ya. Suka ngayal. Dari dulu juga kerjaannya cuma ngekorin orang. Gue nggak habis pikir aja, cowok setipe Mas Nicholas mau sama lo. Ngaca, Jean.”
Jeanicka menegakkan bahu. “Helena, hidup gue bukan urusan lo. Kalau lo nggak percaya, itu masalah lo.”
“Masalah gue?” Helena mendengus, lalu menatap Bobby sekilas, seakan mencari dukungan. “Masalahnya lo selalu ngebuat drama. Dari dulu juga gitu. Semua hal harus banget jadi spotlight buat lo. Dan sekarang… pura-pura punya pacar ganteng? Duh, Jean, lo nggak kasian sama diri lo sendiri?”
Stacy, yang sejak tadi menahan emosi, akhirnya ikut bersuara. “Hel, cukup deh. Nggak semua hal harus lo serang.”
Tapi Helena tidak berhenti. Justru semakin lantang. “Nggak semua hal? Dari tadi gue liatin, Jeanicka ini kayak pengen banget nunjukin dia udah sukses. Padahal kerjaannya apa sih? Jadi bawahan doang di kantor gede. Itu pun, kayaknya lebih sering dimarahin daripada dipuji. Gue heran, beneran ada cowok yang tahan sama lo?”
Kata-kata itu berhasil membuat beberapa kepala menoleh lagi. Obrolan di sekitar mulai terhenti sebentar, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Jeanicka meremas jemarinya sendiri, ingin sekali membalas, tapi dadanya terasa berat. Kata-kata Helena memang kasar, tapi tidak sepenuhnya salah. Ia sering dimarahi Nicholas. Ia memang bukan siapa-siapa dibandingkan Helena yang selalu tampak sempurna.
Namun tiba-tiba, genggaman di pinggangnya menguat. Nicholas. Tatapan dingin pria itu tetap terarah lurus ke depan, tenang, seakan tidak terpengaruh sama sekali. Tapi genggaman itu… hangat dan menenangkan, membuat Jeanicka merasa tidak sendirian.
“Helena,” Jeanicka akhirnya membuka suara, meski getar kecil terdengar di nada bicaranya. “Lo boleh hina gue, tapi jangan pernah ngeremehin cara gue bertahan hidup. Gue kerja keras buat diri gue. Dan kalau lo pikir itu hal kecil, silakan. Gue nggak butuh validasi lo.”
Helena mendengus keras, lalu mendekat setengah langkah. “Gila. Lo masih aja drama queen. Jean, sadar diri deh. Dari dulu lo kalah sama gue. Gue punya segalanya—keluarga utuh, karier, cowok mapan. Dan lo? Cuma bisa pura-pura. Nempel sama cowok yang bahkan mungkin nggak kenal lo.”
Kalimat itu membuat Bobby, yang sejak tadi diam, mulai terlihat gelisah. Ia menoleh pada Helena dengan kening berkerut. “Hel, udah deh. Jangan terus-terusan gitu. Lo bikin orang lain nggak nyaman.”
Helena menoleh cepat, tatapannya tajam. “Kamu serius, Bob? Dia yang mulai duluan, sok-sokan pamer cowok!”
“Tapi lo keterlaluan.” Suara Bobby tegas.
Sekeliling mereka semakin ramai berbisik. Beberapa tamu reuni jelas menikmati drama ini lebih dari musik band yang mengalun. Namun Jeanicka justru merasa wajahnya panas. Ia ingin lenyap ditelan bumi.
Dan di saat itu, Nicholas akhirnya bergerak. Tanpa berkata apa-apa, ia menundukkan kepala, mendekat pada wajah Jeanicka. Nafasnya terasa di sisi telinganya, membuat bulu kuduk gadis itu meremang.
Suara baritonnya terdengar rendah, tapi cukup keras untuk ditangkap orang-orang terdekat. “Sayang, aku ambilin minuman buat kamu ya.”
Seakan dunia berhenti sejenak.
Helena ternganga. Stacy membekap mulutnya menahan teriakan kecil. Bobby mengerjap, jelas terkejut. Dan Jeanicka—pipinya langsung memanas, jantungnya berdegup gila.
Ia bisa saja menyangkal, bisa saja menarik diri. Tapi genggaman Nicholas di pinggangnya terlalu kokoh. Tatapan dingin pria itu, meski tak menoleh padanya, terasa jelas: ia serius memainkan peran ini.
Jeanicka menelan ludah, tubuhnya kaku. Ia hanya bisa berdiri mematung, sementara Nicholas perlahan melepaskan genggamannya, lalu benar-benar berjalan menuju meja minuman.
Seisi aula kembali dipenuhi bisik-bisik heboh. Sementara Helena, wajahnya memerah, tak mampu menutupi betapa jengkel dan malunya ia saat ini.
Dan Jeanicka—dalam hati ia hanya bisa menjerit: Astaga, apa yang baru saja terjadi?
“Apakah ada yang lebih penting dari pekerjaan untuk dibicarakan pagi ini?”Suara itu dalam, dingin, dan bergema ke setiap sudut lantai 12. Seketika, semua bisik-bisik yang tadi meriah seperti pasar malam langsung padam. Seolah tombol mute ditekan bersamaan.Tidak ada yang berani menoleh. Tidak ada yang berani bernapas terlalu keras. Nicholas tidak perlu teriak, tidak perlu marah. Tatapan matanya saja sudah cukup untuk membungkam satu lantai penuh karyawan.Matanya bergerak perlahan, menyapu barisan demi barisan meja kerja. Seperti spotlight yang mencari tersangka di panggung gelap. Dan akhirnya, berhenti di satu titik.Jeanicka.Jantung Jeanicka seakan berhenti berdetak. Tenggorokannya kering, lidahnya seperti menempel di langit-langit mulut. Ia menelan ludah dengan susah payah, pipinya panas sampai rasanya bisa masak telur dadar.Tatapan itu terlalu lama. Terlalu menusuk.Baru setelah Nicholas mengalihkan pandangan, melangkah lagi dengan langkah mantap menuju lift, Jeanicka bisa bern
Begitu sampai di lobi gedung PT. Orama Group, suasana terasa agak aneh. Biasanya pagi-pagi suasana sudah ramai dengan karyawan yang lalu-lalang sambil menenteng kopi, tapi kali ini ada bisik-bisik kecil yang sepertinya… aneh.Jeanicka langsung menyadarinya, apalagi setelah mereka masuk lift. Beberapa orang sempat melirik, terus buru-buru berbisik ke temannya. Stacy yang sadar pertama kali langsung menyikut lengan Jeanicka pelan.“Eh, lo sadar nggak? Orang-orang pada bisik-bisik kalo ngeliat lo.”Jeanicka panik setengah mati. “Ya Tuhan… jangan bilang gosipnya udah nyebar sampai sini.”“Udah jelas lah.” Stacy menatap dengan ekspresi gue-udah-bilang. “Pantes tadi di Transjakarta ada dua anak magang Orama yang ikutan bisik-bisik sambil liatin layar HP. Fix, itu pasti foto lo.”Jeanicka rasanya hampir pingsan di tempat. “Gue nggak siap, Stace. Sumpah gue nggak siap.”Stacy malah ngakak. “Ya lo siap nggak siap, reality show lo udah mulai, Jean.”Lift berhenti di lantai 12. Pintu terbuka, da
“Stace, gue pamit dulu ya. Ada urusan sama Nicholas,” ucap Jeanicka sambil mencoba terlihat santai, padahal jantungnya sudah kayak marching band—suaranya membuat kupingnya sendiri panas.Stacy langsung sumringah, senyumnya seterang lampu sorot panggung konser. “Oke, oke! Jangan khawatirin gue, Jean. Enjoy your date, lovebirds!” Dia bahkan melambaikan tangan dengan gaya drama ala sinetron, lengkap dengan ekspresi sok haru.Jeanicka mau protes, lidahnya sudah siap menembak kalimat “bukan date, oi!” tapi belum sempat. Nicholas sudah menggandeng tangannya lagi, langkahnya mantap, aura garangnya membuat orang-orang yang melihat otomatis menyingkit. Beberapa kepala bahkan menoleh penasaran, bisik-bisik kecil mulai terdengar di antara para tamu.Mereka melewati ballroom dengan cahaya lampu kristal yang berkilauan, musik pesta yang masih riuh. Kontras dengan suasana hati Jeanicka yang justru makin kacau. Setiap langkah terasa bagaikan spotlight yang menempel di kepalanya. Dia bisa merasakan t
“Sekarang kamu ikut saya.”Kalimat itu jatuh begitu saja dari bibir Nicholas. Dingin. Datar. Tanpa drama. Tapi buat Jeanicka—itu seperti sirene bahaya, alarm kebakaran, bahkan trompet kiamat.“I-ikut, Pak?” Jeanicka terlonjak dari kursi rotan, tubuhnya nyaris terpeleset kalau saja tangannya tidak cepat-cepat meraih sandaran. “Tunggu, tunggu. Ikut ke mana, Pak?”Nicholas menatapnya lurus. Diam. Tidak berkedip.Jeanicka langsung panik. “Oke, saya tahu saya bilang bakal lakuin apa aja buat Bapak. Apa pun. Iya, iya. Tapi itu bukan berarti saya mau melakukan segala tindakan kriminal, Pak! Saya tegasin, bukan Tindakan kriminal!”Mata Nicholas masih menusuk, dingin seperti es Arktik.“Kriminal tuh bahaya, Pak. Serius. Saya nggak mau jadi kaki tangan drug dealer. Jangan-jangan Bapak tuh sebenernya bukan CEO, tapi gembong narkoba? Hah? Orama Group cuman kedok doang? Astaga… saya nggak siap masuk BNN list.”Nicholas tidak menjawab. Tatapannya lurus, menusuk, seakan menembus sampai ke dasar piki
Suasana aula yang tadinya ramai dengan musik dan obrolan ringan mendadak terasa lebih berat. Beberapa pasang mata sudah sempat melirik sejak Helena terus melontarkan komentar sinisnya. Jeanicka berusaha tetap tenang di samping Nicholas, tapi hatinya jelas bergemuruh. Sedikit saja salah sikap, Helena pasti akan semakin puas menginjak harga dirinya.Nicholas masih dengan tenang merengkuh pinggang Jeanicka, seakan tak terganggu. Tatapannya dingin, Netra hitam itu sekali-sekali melirik ke arah Helena dan Bobby.“Sayang,” suara Nicholas terdengar rendah, cukup jelas terdengar oleh mereka yang berdiri dekat, “Kita mau pergi aja?”Jeanicka menoleh spontan. Suara itu terdengar lembut. Sementara itu, Helena terperangah mendengar Nicholas menyebut Jeanicka dengan panggilan penuh kepemilikan. Bobby yang sedari tadi memasang wajah jengah hanya menghela napas panjang, seolah makin malas mendengar perdebatan yang tak berkesudahan.Tanpa memberi kesempatan Helena membalas, Nicholas menggandeng tanga
Aula hotel malam itu penuh dengan cahaya lampu gantung yang berkilau. Suara gelas beradu dengan denting musik live band, tawa dan obrolan bercampur jadi satu. Namun, di sudut tertentu, atmosfer berbeda mulai terbentuk. Semua berawal dari satu kalimat Helena yang menusuk.“Serius nih, Jean? Lo mau bikin kita percaya kalo cowok ini pacar lo?” Helena melipat tangan di dada, matanya menelusuri Nicholas dari kepala sampai kaki. “Please deh. Lo pikir bisa ngibulin orang segampang itu?”Jeanicka tersenyum kaku. “Kenapa nggak? Lo tanya langsung aja, kalau nggak percaya.”Helena tertawa pendek, suara tawanya cukup nyaring sampai membuat dua orang di meja sebelah menoleh. “Ya ampun, lo masih aja sama kayak dulu, ya. Suka ngayal. Dari dulu juga kerjaannya cuma ngekorin orang. Gue nggak habis pikir aja, cowok setipe Mas Nicholas mau sama lo. Ngaca, Jean.”Jeanicka menegakkan bahu. “Helena, hidup gue bukan urusan lo. Kalau lo nggak percaya, itu masalah lo.”“Masalah gue?” Helena mendengus, lalu me