LOGINSuasana aula yang tadinya ramai dengan musik dan obrolan ringan mendadak terasa lebih berat. Beberapa pasang mata sudah sempat melirik sejak Helena terus melontarkan komentar sinisnya. Jeanicka berusaha tetap tenang di samping Nicholas, tapi hatinya jelas bergemuruh. Sedikit saja salah sikap, Helena pasti akan semakin puas menginjak harga dirinya.
Nicholas masih dengan tenang merengkuh pinggang Jeanicka, seakan tak terganggu. Tatapannya dingin, Netra hitam itu sekali-sekali melirik ke arah Helena dan Bobby.
“Sayang,” suara Nicholas terdengar rendah, cukup jelas terdengar oleh mereka yang berdiri dekat, “Kita mau pergi aja?”
Jeanicka menoleh spontan. Suara itu terdengar lembut. Sementara itu, Helena terperangah mendengar Nicholas menyebut Jeanicka dengan panggilan penuh kepemilikan. Bobby yang sedari tadi memasang wajah jengah hanya menghela napas panjang, seolah makin malas mendengar perdebatan yang tak berkesudahan.
Tanpa memberi kesempatan Helena membalas, Nicholas menggandeng tangan Jeanicka. Gerakannya mantap, seakan mengikat janji tak kasatmata: dia tidak akan membiarkan perempuan di sampingnya dipermalukan lebih jauh.
Baru beberapa langkah, Nicholas tiba-tiba berhenti. Tubuh tingginya berbalik. Sorot matanya kini menusuk langsung ke arah Helena. Tatapan dingin itu memaku semua orang yang melihatnya. Suasana di sekitar mereka mendadak hening.
Nicholas tidak berkata apa-apa. Tubuhnya tetap tegak sempurna, seperti patung marmer yang berwujud manusia. Namun, ketika tatapan Helena mulai menajam ke arah Jeanicka, Nicholas bergeser setengah langkah, berdiri sedikit lebih dekat hingga bayangannya menutupi tubuh Jeanicka. Gerakan kecil, tapi jelas: Jeanicka ada di bawah naungannya.
Helena terdiam, bibirnya terbuka tapi tak ada suara keluar.
Helena, yang biasanya lantang, hanya bisa menelan ludah. Tatapan Nicholas terlalu menusuk, terlalu mendominasi untuk ia lawan.
Jeanicka sendiri merasa tubuhnya merinding. Seumur hidup, belum pernah ada yang membela dirinya dengan cara setegas itu. Ada perasaan campur aduk antara terharu, kaget, sekaligus... hangat.
Stacy, yang sedari tadi berdiri agak jauh, buru-buru menghampiri. “Jean, tungguin gue!” katanya sambil tergesa mengekor. Ekspresinya terlihat canggung, antara ingin mendukung sahabatnya sekaligus ingin menjauh dari medan ledakan antara Helena dan Nicholas.
Helena masih terpaku di tempatnya. Tangannya mengepal di sisi gaun, rahangnya mengeras. Ia benci perasaan ditundukkan di depan banyak orang. Tapi, entah kenapa, sorot mata Nicholas masih membekas dalam kepalanya. Dingin. Tegas. Tak memberi ruang untuk membantah.
Bobby menghela napas sekali lagi. “Helena...” ucapnya pelan.
Helena menoleh cepat, matanya melotot. “Lo diem aja deh, Bob!” Tapi suaranya jelas bergetar, kehilangan kekuatan yang biasa ia gunakan untuk menjatuhkan orang lain.
***
Udara balkon terasa lebih sejuk dibanding riuhnya aula. Lampu taman di halaman hotel berkelip, angin malam berhembus lembut, tapi jantung Jeanicka masih berdentum kencang. Nicholas belum melepaskan genggamannya di pinggangnya, membuat Jeanicka kaku sekaligus... anehnya, aman.
Stacy mendesah, berdiri di belakang mereka. “Jean, gue tinggal dulu ya. Ada temen seangkatan yang belum gue sapa.” Tatapannya bergantian ke Jeanicka dan Nicholas, lalu melengkungkan senyum geli sebelum kabur. “Enjoy, lovebirds.”
Jeanicka refleks ingin protes, tapi Stacy sudah lenyap ke balik pintu kaca. “Astaga...” gumamnya sambil mengusap wajah.
Matanya menoleh pada sosok pria jangkung di hadapannya. Sial, jangankan berterima kasih, Nicholas bahkan tidak meliriknya sedikit pun. Hanya tatapan kosong ke arah kota yang gemerlap.
“Pak Nicholas,” Jeanicka memberanikan diri membuka suara. “Makasih banyak.”
Nicholas menoleh sepersekian detik, lalu kembali ke pemandangan kota. “Tidak perlu berterima kasih.”
Jeanicka terdiam, bibirnya terbuka lalu tertutup lagi. Helaan napasnya terdengar jelas di ruang yang sepi itu. Tubuhnya masih kaku, jari-jarinya bahkan tak berhenti meremas ujung roknya. Degup jantungnya terlalu cepat, seakan masih terjebak dalam ketegangan beberapa menit lalu.
“Oke… baik, Pak,” celetuknya lirih akhirnya, lebih untuk menutupi rasa kikuknya sendiri daripada berharap mendapat respons.
Nicholas tidak menanggapi lagi. Tubuhnya tegak sempurna, kedua tangan terselip santai di saku celana, wajahnya tak bergeming. Tatapan bola mata hitam itu tetap sama—dingin.
Hening makin menekan. Ruangan yang tadi dipenuhi suara terasa beku, seakan hanya ada mereka berdua, dipisahkan oleh dinding es yang mustahil dijangkau. Nicholas tetap tak bergeming, wajahnya tenang, seperti gunung yang berdiri kokoh tanpa perlu menanggapi badai kecil di sekitarnya.
Jeanicka akhirnya bersandar, membiarkan punggungnya menempel kuat pada kursi. Pandangannya terlempar ke luar jendela, langit malam hitam pekat tak memberi jawaban. Tenggorokannya bergetar saat ia berusaha mengatur napas, tapi rasa tertekan itu tak juga surut. Bibirnya sempat terbuka, tapi tak ada kata yang sanggup keluar. Pada akhirnya hanya ada bisikan lirih, nyaris tak terdengar, sekadar menyalurkan rasa sesak yang menumpuk.
“Tapi saya serius, Pak. Terima kasih banyak. Saya nggak tau harus gimana kalau tadi Bapak nggak muncul.”
Nicholas baru bergerak. Tubuhnya berbalik, langkahnya menghampiri Jeanicka yang masih duduk. Jeanicka otomatis menegang, menatapnya dengan campuran gugup dan penasaran.
Pria itu berhenti tepat di hadapannya, menunduk sedikit hingga sorot matanya jatuh langsung ke mata Jeanicka. Tidak ada senyum, tidak ada kelembutan—hanya dingin yang menusuk.
“Sekarang kamu ikut saya.”
Senin pagi di Orama Group tidak pernah damai. Tapi pagi ini… terasa lebih gila dari biasanya.Jeanicka nyaris menabrak resepsionis karena berlari sambil menenteng map, laptop, dan dua cangkir kopi yang hampir tumpah. Telepon di meja depan berdering tanpa jeda, printer meraung, dan suara langkah sepatu tumit bergema di koridor panjang yang didominasi kaca. Semua orang sibuk. Semua wajah tegang.Sementara itu, di ujung lorong, ruang kerja Nicholas Wiratama berdiri bagai zona waktu tersendiri — senyap tapi mengancam.Jeanicka mengetuk pintu dua kali, mengatur napasnya yang sudah ngos-ngosan. “Pak, ini laporan revisi tender dari divisi procurement.” Tanpa menoleh, Nicholas hanya menggumam, “Taruh di meja saya.”Suaranya rendah, berat, tapi tanpa emosi. Ya Tuhan, pikir Jeanicka.Ia menatap punggung Nicholas yang tegak di balik kaca besar. Pria itu tampak sedang menatap layar, satu tangan menyelip di saku celana, satu lagi memegang pulpen. Gerakannya presisi, nyaris seperti mesin.Tidak ad
Jeanicka berdiri kaku di ruang tamu yang terasa asing meski dulu tempat itu pernah jadi dunianya. Debu tipis menempel di pigura kecil yang ia ambil dari meja sudut, pigura berbingkai kayu tua yang warnanya mulai memudar. Di dalamnya ada foto lama: ia yang masih berusia delapan tahun, tersenyum lebar diapit ayahnya dan ibunya. Sang ibu merangkul erat bahunya, wajahnya bercahaya penuh kasih. Sedangkan ayahnya—yang kini hanya menyisakan dingin dan jarak—masih tampak hangat dalam foto itu.Tangannya bergetar saat menyentuh kaca pigura. Ada gumpalan sesak yang tak bisa ia telan. Foto itu bagai bukti kecil bahwa dulu ia punya rumah. Bahwa sebelum Juwita masuk, sebelum semua kata-kata tajam dan penghukuman datang, ia pernah punya keluarga.Tapi kenangan manis itu cepat berubah getir. Seolah foto itu adalah portal, membawanya kembali pada malam-malam penuh luka.*** (Flashback) Jeanicka remaja duduk di meja belajar. Matanya bengkak karena habis menangis, di depannya rapor terbuka, angka-ang
“Lihat siapa yang datang,” Helena menyeringai, menyandarkan tubuhnya di kusen pintu. “Anak tersesat akhirnya pulang.” Nada suaranya manis, tapi setiap kata berlumur racun.Jeanicka menelan ludah. “Gue diundang Ayah.” “Oh, tentu.” Helena mengedikkan bahu, lalu menambahkan dengan suara lebih keras, cukup untuk terdengar ke dalam. “Mah, Pah, tahu nggak? Jean ternyata punya pacar loh sekarang.”Jeanicka menegang. Lidahnya kelu, sama seperti malam reuni itu. Bagian terburuknya adalah—dia tahu Helena sengaja memancing. Dan ia benci karena sekali lagi, dirinya tidak punya kekuatan untuk melawan.Tak lama, Juwita muncul dari ruang tengah. Wanita itu masih sama: anggun dengan cara yang membuat orang lain merasa kecil, senyumnya samar, matanya dingin. “Jean.” Hanya satu kata, tapi sarat dengan penilaian. “Kamu datang juga akhirnya. Ayahmu sudah menunggu.”Jeanicka mengangguk pelan. Hatinya merosot. Tidak ada pelukan hangat, tidak ada ucapan “senang kamu pulang.” Hanya tatapan meneliti, seperti
Hari Minggu itu seharusnya damai. Tidak ada notifikasi email dari kantor, tidak ada suara berat Nicholas yang menuntut laporan, tidak ada tumpukan berkas yang menggunung di meja. Untuk sekali ini, Jeanicka bisa bernapas lebih lega—setidaknya ia pikir begitu. Ia duduk di sofa apartemen sambil memeluk bantal, menonton drama yang tidak terlalu ia ikuti alurnya, sekadar mencari pengalih pikiran.Udara sore masuk dari jendela yang setengah terbuka, membawa aroma hujan tipis yang baru saja reda. Rasanya seperti dunia sedang memberi jeda: berhenti sejenak, mengizinkannya merasakan sedikit kehangatan yang jarang ia miliki. Jeanicka menutup mata, mencoba menikmati ketenangan itu, seolah hari ini hanyalah miliknya seorang.Namun ketenangan itu buyar ketika ponselnya bergetar di atas bantal. Nama yang muncul di sana membuat darahnya seketika surut ke ujung kaki: Wiraguna. Nama yang sudah lama ia kubur bersama dengan luka-luka masa lalunya. Tangannya refleks ingin menekan tombol merah, mengakhiri
Jeanicka langsung menyendok nasi, padahal mulutnya kering kerontang. Ia mencoba mengunyah perlahan, tapi setiap suapan justru makin terasa berat. Suara sendok beradu dengan piring jadi terlalu nyaring di telinganya, menandakan betapa tegangnya suasana di antara mereka berdua.Sementara itu, bisik-bisik di kantin kembali ramai, meski lebih pelan dari sebelumnya. Seolah seluruh karyawan mencoba pura-pura tidak peduli, padahal jelas-jelas semua mata menyorot ke arah mereka. Dari pantulan kaca dinding, Jeanicka bisa melihat beberapa kepala condong ke arah mereka, pura-pura sibuk dengan ponsel, tapi jelas ingin tahu.Ia menunduk makin dalam, makan dengan hati yang tidak enak. Rasanya seperti menyantap makanan terakhir sebelum vonis hukuman pancung. Setiap kunyahan nasi seakan berubah jadi butiran pasir yang kering. Di luar, hujan gerimis mulai turun, suaranya samar tapi cukup untuk menambah kekacauan di dalam dadanya.Tiba-tiba, ponselnya bergetar di atas meja. Jeanicka kaget hampir tersed
Jeanicka menelan ludah. Ia buru-buru mengembalikan tumpukan berkas yang baru saja disortir ke meja bosnya, jari-jarinya sedikit gemetar karena masih malu akibat drama perutnya yang bersuara. Nicholas tidak menoleh sama sekali, hanya bangkit dari kursinya, lalu merapikan kemeja dengan mengancingkan jas kerjanya. Gerakannya rapi, efisien, nyaris seperti robot yang diprogram tanpa cela.Jeanicka hanya bisa refleks mengikutinya. Batinnya menjerit. Ia berjalan terburu-buru di belakang Nicholas, seakan sedang jadi asisten pribadi yang tak punya hak bicara.Mereka masuk ke lift. Jeanicka berdiri di belakang, tak berani bersuara. Nicholas menatap angka-angka panel lift dengan wajah datar. Tidak ada penjelasan, tidak ada clue. Jeanicka makin resah. Perutnya mulas lagi.Begitu lift berbunyi dan pintu terbuka, mereka sampai di lantai dasar. Jeanicka semakin bingung. Namun, Nicholas tetap berjalan lurus, langkahnya panjang dan mantap. Dan dugaan-dugaan gilanya terbukti salah total ketika Nichol







