LOGIN
“Jeanicka, mana jadwal saya hari ini?”
“Jeanicka, kenapa berkas ini belum ada?”
“Jeanicka, kamu udah berapa tahun kerja sama saya, kenapa kayak gini aja masih salah?”
“Jeanicka—”
“Jean…”
“JEANICKA! BANGUN! ITU HP LO BUNYI TERUS! BOS LO NELFON!”
Jeanicka terlonjak. Rambut awut-awutan, mata masih sembab, pipi berbekas bantal. Dengan gerakan setengah panik ia meraih ponsel. Belum sempat dijawab, panggilan terputus, berganti notifikasi pesan masuk.
“Ya Tuhan… hari Sabtu loh, kenapa sih?” ia mendesis sambil membaca pesan.
Stacy menyembul dari pintu, ngikik. “Gue rasa bos lo tuh nggak punya konsep libur.”
Jeanicka merengut. “Dia nyuruh gue ikut malam ini. Nggak tau ngapain.”
“Lah! Kita kan ada reuni hari ini!”
“Yaudah bodo amat. Gue matiin notif.” Jeanicka melempar bantal.
Stacy menatapnya iba.
Jeanicka mendengus, menepis beban yang menempel di dadanya. Suara mendiang ibunya sempat terngiang: ‘Berdirilah untuk diri sendiri.’ Itu cukup membuat dia bangkit.
“Jean, jangan bengong! Buruan siap-siap! Lo kan mau ketemu Bobby!” seru Stacy.
Nama itu membuat wajah Jeanicka langsung cerah.
Bobby.
Setidaknya, masih ada manis di hidupnya.
***
Reuni penuh tawa. Aula dihiasi lampu hangat, meja panjang penuh makanan ringan dan minuman bersoda. Orang-orang sibuk nostalgia, tertawa keras setiap kali ada cerita konyol masa kuliah diungkit.
Jeanicka baru melangkah masuk, tapi pandangannya langsung tertumbuk pada pemandangan pahit: Bobby, pria yang dulu selalu membuat hatinya berdebar, menggenggam mesra tangan Helena.
Helena. Saudara tiri menyebalkan yang sudah cukup lama jadi sumber luka.
“Jean…” Stacy memandang khawatir.
Jeanicka menarik napas panjang. “Kenapa harus dia—”
Belum selesai Jeanicka meratapi pedihnya hati, yang dituju ternyata lebih dahulu menghampiri.
“Jean! Stacy! Gimana kabar lo berdua?” sapa Bobby sesaat setelah ia dan kekasihnya berdiri di hadapan mereka.
“Gue baik, Bob,” Jeancika terdengar canggung. “Lo sendiri gimana? Lama nggak ketemu, dateng-dateng udah ada gandengan aja.”
Bobby tidak sempat membalas ucapan Jeancika, sebab perempuan yang berdiri di sisinya masuk ke dalam obrolan. “Halo, Jeanicka.”
“Hai, Helena,” Jeanicka berusaha agar suaranya terdengar ramah. “Kalian pacaran? Sejak kapan?”
“Belum lama. Ya ‘kan, sayang?” balas Helena manja. Satu tangannya mengusap lengan Bobby, seolah memberi isyarat bahwa ia berhasil memenangkan pria itu.
Untuk saat ini, Jeanicka tidak sedang sakit hati. Yang ia rasakan justru jauh lebih menusuk—kesal, muak, dan tidak habis pikir. Bagaimana mungkin, dari sekian banyak perempuan di muka bumi ini, Bobby justru memilih Helena?
Helena. Perempuan paling menyebalkan seantero kehidupannya. Perempuan yang seharusnya sudah ia kubur dari segala urusan, seharusnya sudah tidak pernah muncul lagi di jalannya.
Tapi kenyataan selalu kejam. Helena bukan sekadar masa lalu yang mengganggu, ia adalah luka yang membekas. Perempuan itu telah merenggut habis seluruh kebahagiaan yang pernah Jeanicka miliki. Dan seolah belum cukup, kini ia datang lagi—mengulangi hal yang sama dengan cara berbeda.
Apa Helena tidak puas setelah merebut kasih sayang ayahnya, merobek keluarganya yang pernah utuh? Apa sekarang dia juga harus merampas Bobby, satu-satunya pria yang sempat membuat Jeanicka percaya pada kemungkinan kebahagiaan baru?
“Kalau lo, Jean, gimana? Pacar lo mana?” nada Helena terdengar santai. Namun, Jeanicka tahu itu merupakan sindiran baginya.
Jeancika membalasnya dengan tersenyum. Ingin sekali ia berkata jujur, namun karena emosi yang terlanjur menumpuk, tanpa pikir panjang, Jeanicka berkata, “Gue ada pacar kok. Lagi ke toilet,” katanya mantap.
“Oh ya? Mana? Kenalin dong ke kita. Kita juga mau ketemu pacar lo. Bener ‘kan sayang?” Helena tersenyum dengan mata yang berbinar.
Jeancika pun tahu bahwa itu tatapan penuh penghinaan.
Dengan tekad yang sudah bulat, Jeancika kali ini tidak boleh mengalah. Ia harus membalas perlakuan Helena.
Jadi, dengan tersenyum santai, Jeancika membalas, “Bisa. Tunggu, ya. Gue samperin dulu dan ajak ke sini.”
Jeanicka keluar aula dengan napas tercekat. Astaga, Jean… lo ngapain sih barusan? Mana ada pacar? Tapi langkahnya sudah kepalang jalan.
Koridor hotel lengang, hanya ada beberapa orang yang lalu-lalang. Musik reuni masih terdengar samar. Jeanicka mengedarkan pandangan dengan panik. Bagaimana bisa Jeanicka menemukan pria untuk diajak kerja sama?
Dan seakan semesta bercanda, matanya langsung menangkap sosok jangkung dengan jas rapi. Wajah dingin, sorot mata tajam.
Itu … Nicholas.
Bos gila yang bahkan di hari libur masih bisa membuat hidupnya berantakan.
Tapi kali ini—dia justru hadir seperti seorang penyelamat.
Jeanicka berlari kecil, jantungnya hampir meledak. Tanpa pikir panjang, ia maju dan meraih lengan Nicholas, memegangnya erat, dengan sedikit bergetar dia berkata,
“Pak Nicholas, tolong bantu saya!”
Senin pagi di Orama Group tidak pernah damai. Tapi pagi ini… terasa lebih gila dari biasanya.Jeanicka nyaris menabrak resepsionis karena berlari sambil menenteng map, laptop, dan dua cangkir kopi yang hampir tumpah. Telepon di meja depan berdering tanpa jeda, printer meraung, dan suara langkah sepatu tumit bergema di koridor panjang yang didominasi kaca. Semua orang sibuk. Semua wajah tegang.Sementara itu, di ujung lorong, ruang kerja Nicholas Wiratama berdiri bagai zona waktu tersendiri — senyap tapi mengancam.Jeanicka mengetuk pintu dua kali, mengatur napasnya yang sudah ngos-ngosan. “Pak, ini laporan revisi tender dari divisi procurement.” Tanpa menoleh, Nicholas hanya menggumam, “Taruh di meja saya.”Suaranya rendah, berat, tapi tanpa emosi. Ya Tuhan, pikir Jeanicka.Ia menatap punggung Nicholas yang tegak di balik kaca besar. Pria itu tampak sedang menatap layar, satu tangan menyelip di saku celana, satu lagi memegang pulpen. Gerakannya presisi, nyaris seperti mesin.Tidak ad
Jeanicka berdiri kaku di ruang tamu yang terasa asing meski dulu tempat itu pernah jadi dunianya. Debu tipis menempel di pigura kecil yang ia ambil dari meja sudut, pigura berbingkai kayu tua yang warnanya mulai memudar. Di dalamnya ada foto lama: ia yang masih berusia delapan tahun, tersenyum lebar diapit ayahnya dan ibunya. Sang ibu merangkul erat bahunya, wajahnya bercahaya penuh kasih. Sedangkan ayahnya—yang kini hanya menyisakan dingin dan jarak—masih tampak hangat dalam foto itu.Tangannya bergetar saat menyentuh kaca pigura. Ada gumpalan sesak yang tak bisa ia telan. Foto itu bagai bukti kecil bahwa dulu ia punya rumah. Bahwa sebelum Juwita masuk, sebelum semua kata-kata tajam dan penghukuman datang, ia pernah punya keluarga.Tapi kenangan manis itu cepat berubah getir. Seolah foto itu adalah portal, membawanya kembali pada malam-malam penuh luka.*** (Flashback) Jeanicka remaja duduk di meja belajar. Matanya bengkak karena habis menangis, di depannya rapor terbuka, angka-ang
“Lihat siapa yang datang,” Helena menyeringai, menyandarkan tubuhnya di kusen pintu. “Anak tersesat akhirnya pulang.” Nada suaranya manis, tapi setiap kata berlumur racun.Jeanicka menelan ludah. “Gue diundang Ayah.” “Oh, tentu.” Helena mengedikkan bahu, lalu menambahkan dengan suara lebih keras, cukup untuk terdengar ke dalam. “Mah, Pah, tahu nggak? Jean ternyata punya pacar loh sekarang.”Jeanicka menegang. Lidahnya kelu, sama seperti malam reuni itu. Bagian terburuknya adalah—dia tahu Helena sengaja memancing. Dan ia benci karena sekali lagi, dirinya tidak punya kekuatan untuk melawan.Tak lama, Juwita muncul dari ruang tengah. Wanita itu masih sama: anggun dengan cara yang membuat orang lain merasa kecil, senyumnya samar, matanya dingin. “Jean.” Hanya satu kata, tapi sarat dengan penilaian. “Kamu datang juga akhirnya. Ayahmu sudah menunggu.”Jeanicka mengangguk pelan. Hatinya merosot. Tidak ada pelukan hangat, tidak ada ucapan “senang kamu pulang.” Hanya tatapan meneliti, seperti
Hari Minggu itu seharusnya damai. Tidak ada notifikasi email dari kantor, tidak ada suara berat Nicholas yang menuntut laporan, tidak ada tumpukan berkas yang menggunung di meja. Untuk sekali ini, Jeanicka bisa bernapas lebih lega—setidaknya ia pikir begitu. Ia duduk di sofa apartemen sambil memeluk bantal, menonton drama yang tidak terlalu ia ikuti alurnya, sekadar mencari pengalih pikiran.Udara sore masuk dari jendela yang setengah terbuka, membawa aroma hujan tipis yang baru saja reda. Rasanya seperti dunia sedang memberi jeda: berhenti sejenak, mengizinkannya merasakan sedikit kehangatan yang jarang ia miliki. Jeanicka menutup mata, mencoba menikmati ketenangan itu, seolah hari ini hanyalah miliknya seorang.Namun ketenangan itu buyar ketika ponselnya bergetar di atas bantal. Nama yang muncul di sana membuat darahnya seketika surut ke ujung kaki: Wiraguna. Nama yang sudah lama ia kubur bersama dengan luka-luka masa lalunya. Tangannya refleks ingin menekan tombol merah, mengakhiri
Jeanicka langsung menyendok nasi, padahal mulutnya kering kerontang. Ia mencoba mengunyah perlahan, tapi setiap suapan justru makin terasa berat. Suara sendok beradu dengan piring jadi terlalu nyaring di telinganya, menandakan betapa tegangnya suasana di antara mereka berdua.Sementara itu, bisik-bisik di kantin kembali ramai, meski lebih pelan dari sebelumnya. Seolah seluruh karyawan mencoba pura-pura tidak peduli, padahal jelas-jelas semua mata menyorot ke arah mereka. Dari pantulan kaca dinding, Jeanicka bisa melihat beberapa kepala condong ke arah mereka, pura-pura sibuk dengan ponsel, tapi jelas ingin tahu.Ia menunduk makin dalam, makan dengan hati yang tidak enak. Rasanya seperti menyantap makanan terakhir sebelum vonis hukuman pancung. Setiap kunyahan nasi seakan berubah jadi butiran pasir yang kering. Di luar, hujan gerimis mulai turun, suaranya samar tapi cukup untuk menambah kekacauan di dalam dadanya.Tiba-tiba, ponselnya bergetar di atas meja. Jeanicka kaget hampir tersed
Jeanicka menelan ludah. Ia buru-buru mengembalikan tumpukan berkas yang baru saja disortir ke meja bosnya, jari-jarinya sedikit gemetar karena masih malu akibat drama perutnya yang bersuara. Nicholas tidak menoleh sama sekali, hanya bangkit dari kursinya, lalu merapikan kemeja dengan mengancingkan jas kerjanya. Gerakannya rapi, efisien, nyaris seperti robot yang diprogram tanpa cela.Jeanicka hanya bisa refleks mengikutinya. Batinnya menjerit. Ia berjalan terburu-buru di belakang Nicholas, seakan sedang jadi asisten pribadi yang tak punya hak bicara.Mereka masuk ke lift. Jeanicka berdiri di belakang, tak berani bersuara. Nicholas menatap angka-angka panel lift dengan wajah datar. Tidak ada penjelasan, tidak ada clue. Jeanicka makin resah. Perutnya mulas lagi.Begitu lift berbunyi dan pintu terbuka, mereka sampai di lantai dasar. Jeanicka semakin bingung. Namun, Nicholas tetap berjalan lurus, langkahnya panjang dan mantap. Dan dugaan-dugaan gilanya terbukti salah total ketika Nichol





![Malam Itu, Bos! [Hasrat Yang Tak Terpadamkan]](https://acfs1.goodnovel.com/dist/src/assets/images/book/43949cad-default_cover.png)

