(ノ≧∀≦)ノ♥ Nah ini bab terakhir hari ini, ya! Besok Chinta usahakan update yang banyak lagi, terima kasih atas dukungan kalian semua!!! Sayang kalian banyak-banyak dan selamat bermalam minggu!!! Happy weekend! ♡\( ̄▽ ̄)/♡
Saat sampai di mejanya Alisha membuang napas kasar dan meletakkan tasnya di atas meja dengan sedikit membantingnya. “Menyebalkan sekali!” gumamnya kesal. Pagi-pagi sudah membuat kepalanya pusing. Dan saat melihat Restia rasanya ingin sekali dia menjambak rambut wanita itu, hanya saja dia sadar membalas orang seperti itu bukan dengan cara yang bar-bar! Setidaknya harus elegan dan terhormat, bukankah dia seorang Nyonya Zayden Wicaksana? Bodoh sekali kalau harus bertengkar, sama saja menjatuhkan harga dirinya. Cara yang paling tepat ya membalasnya dengan menekan, seperti yang dilakukan Zayden pada orang-orang, setidaknya dia bisa belajar dari sikap kejam Zayden ini. “Ini diminum dulu,” ucap Zayden meletakkan secangkir teh di meja Alisha. Hal ini membuat Alisha menarik dirinya dari pikirannya yang kesal ini. “Kamu buatin teh?” Alisha menaikkan sebelah alisnya menatap Zayden yang berdiri di depan mejanya. “Tentu saja. Sepertinya suasana hati istriku sedang tidak baik, apa ada yang men
Keesokan hari berjalan seperti biasa, Zayden sudah pergi lebih dulu ke kantor, sementara Alisha memilih untuk berjalan kaki. Baru sampai lobi kantor Tika menepuk pundaknya hingga membuatnya terkejut.“Tika, kamu ngagetin aja!” seru Alisha.Tanpa banyak bicara, Tika menarik tangan Alisha dan membawanya ke area tangga darurat.“Al, sebenarnya apa yang terjadi, sih? Kok kamu sampai bisa tidak tahu kalau sebenarnya Pak Zayden itu tidak suka dengan perayaan ulang tahunnya?” tanya Tika penasaran.Alisha langsung mengeryitkan keningnya. Yang dialaminya waktu itu, saat semua sudah bersiap untuk memberi kejutan Zayden marah, tetapi … rasanya tidak mungkin Tika tahu sampai sedetail itu kalau dia tidak mendengar gosip.“Zayden tidak suka ulang tahunnya dirayakan?” Alisha berpura-pura seolah tidak mengerti dengan pertanyaan Tika barusan.Tika mengangguk cepat. “Bukankah kemarin itu Pak Zayden marah karena dia tidak suka dengan perayaan ulang tahunnya?” tanyanya lagi.“Tahu dari mana kamu gosip se
Alisha membuka matanya, suasana kamar tidak terlalu terang, cukup redup dan juga … dia merasakan kalau Zayden sudah tidak ada lagi di sampingnya, di sebelahnya terasa kosong. Namun, saat dia melihat ke arah jendela besar yang ada di sudut ruangan terlihat Zayden sedang duduk di sofa menghadap ke arah luar, pandangannya jauh ke arah luar. Mungkin pria itu menyadari Alisha yang sudah bergerak bangun dan langsung menoleh ke arah kasur dan tersenyum lebar. “Sayang, kalau kamu lapar makanannya sudah ada, tapi kalau masih mengantuk tidur lagi juga tidak apa-apa.” Alisha masih diam di atas tempat tidur sambil memperhatikan Zayden tanpa menjawab. Kemudian, Zayden beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke arah tempat tidur. Mengelus pelan kepala Alisha. “Aku lapar …,” ucap Alisha dengan nada suaranya yang terdengar manja, membuat Zayden tersenyum mendengarnya. “Tapi aku malas bergerak.” “Tidak baik makan di atas tempat tidur,” ucap Zayden lalu mengangkat tubuh Alisha dengan mudahnya
“Zayden,” panggil Alisha lagi. Menepuk pelan wajahnya yang terasa panas. Pria itu masih memejamkan matanya. Alisha lalu menarik napas dalam dan melepaskan pelan genggaman tangan pria itu. “Tunggulah sebentar, aku akan menghubungi rumah sakit untuk–” “Tidak perlu ini hanya sakit ringan, aku cuma butuh istirahat sebentar. Hubungi pihak hotel untuk minta penurun panas saja.” Zayden berkata dengan nada lemah dengan mata setengah terbuka. “Tapi kalau ada apa-apa bagaimana?” Alisha berkata dengan sedikit tenang, sebenarnya dia agak panik hanya tidak mungkin dia bersikap seperti itu. “Penawarnya itu kamu, jadi lebih baik kamu tidak perlu jauh-jauh dariku. Di sini saja.” Zayden berkata dengan serak. Permintaan pria ini terdengar tidak masuk akal, hanya saja Alisha tidak mempermasalahkannya. “Ya sudah aku akan meminta penurun demam. Tapi … kamu yakin tidak apa-apa?” tanya Alisha memastikan. Zayden mengangguk. Dua jam berlalu, setelah Alisha mengompres tubuh pria itu dan memberinya obat
Mendengar pernyataan Zayden barusan membuat Alisha tertawa miris. “Aku merekrutnya masuk ke perusahaan karena tahu kemampuannya memang sebagus itu dalam hal mengelola manajemen sumber daya manusia di sebuah perusahaan. Kemampuannya sudah diakui, tapi aku tidak menyangka kalau dia malah membuat ulah seperti ini.” Zayden menghela napas dalam. “Dia sahabat mantan pacarmu, mungkin dia ingin tahu apa kamu masih mengingat sahabatnya atau tidak. Apakah dia tidak tahu kalau kamu sudah menikah?” Alisha berkata sambil meminum air putihnya. “Tahu, hanya saja seperti permintaanmu, dia tidak tahu dengan siapa aku menikah.” Zayden berkata tenang. Hanya … tatapan mata Zayden masih tidak lepas dari Alisha. Alisha mengangguk pelan. “Biasanya … sehari setelah hari ulang tahun ini, aku dan Restia akan datang ke makamnya.” Zayden menambahkan hal itu membuat Alisha mengurungkan niatnya untuk menyuapkan nasi gorengnya, meletakkan kembali sendok itu ke piring. “Itu artinya hari ini?” tanya Alisha lagi.
Zayden mengembangkan senyum. “Aku akan mengatakan padanya kalau pemilik hatiku Alisha.”Alisha mengernyitkan keningnya dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kamu berani mengatakan hal itu karena kamu tahu dia sudah benar-benar mati dan tidak mungkin kembali, kan?”Kata mati terlontar begitu saja dari mulut Alisha, baginya sedikit kejam tidak masalah, toh, selama ini Zayden juga sering berkata tajam padanya. Seharusnya membalas sedikit sakit hati ini tidak masalah.Terdengar desahan samar dari Zayden. “Aku hanya akan menjadi suamimu, dan kamu akan menjadi istriku satu-satunya sampai aku mati.” Zayden berkata dengan penuh penekanan. Hanya saja Alisha tertawa sangsi.“Ya, ini tentang sebuah status, Zayden. Tapi … hati tidak ada yang tahu milik siapa.” Alisha kembali berkata terus terang. Dia hanya mencoba untuk melindungi dirinya.“Milikmu.” Zayden berkata cepat. “Segala yang menjadi milikmu aku akan melindunginya, Alisha.” Tatapan Zayden penuh penegasan, hanya saja … tidak mudah untuk Al
Alisha menatap Zayden dalam-dalam. Kalau dia mengingat kejadian itu, sebenarnya dia merasa lucu. Seharusnya saat itu dia ingin menenangkan diri, tetapi dia malah menenangkan orang lain. Kemudian, Alisha menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri dan tertawa kecil. “Awalnya… aku memang sempat mikir buat mati,” ucapnya pelan, hampir seperti gumaman. Tawa Alisha terhenti. Sorot matanya melembut, sementara Zayden mengangkat sudut bibirnya dalam senyum miris. “Tapi… aku pengecut. Aku takut,” lanjutnya, sambil menundukkan kepala. “Takut kalau aku benar-benar melakukan ha itu.” Hening sejenak. “Aku bahkan bertanya pada diri sendiri. Apa aku benar harus selesai di situ?” ucapnya lagi. Suaranya terdengar berat. Zayden menarik napas dalam, lalu menghela perlahan. “Dan tiba-tiba… ada seorang wanita. Entah dari mana, datang.” Kepalanya terangkat, mata itu menatap langsung ke arah Alisha. “Datang, ceramah, sok akrab, seperti sudah kenal lama.” Dia tertawa kecil. Zayden menggeleng pelan, seaka
Alisha langsung mengernyitkan keningnya mendengar ucapan Zayden barusan, jelas saja dia ingat kejadian itu, hanya saja … rasanya saat itu pria itu tidak memiliki tampang Zayden sama sekali. “Hei, Sad boy bodoh! Hidup ini begitu indah dan kamu mau memilih mati?!” ucap Zayden membuat Alisha makin terperangah. “Kalimat pertama wanita yang baru saja naik di atap saat melihatku. “Padahal saat itu aku juga masih takut untuk mati.” Zayden lalu terkekeh ringan. “I-itu beneran kamu?!” Alisha membolakan matanya. Zayden mengangguk. “Kenapa? Apa jauh berbeda dengan yang kamu lihat waktu itu?” Jelas Alisha mengangguk cepat. Bagaimana bisa pria menyedihkan itu adalah Zayden? Yang saat itu menurutnya sudah tidak berniat untuk melanjutkan hidup dan terlihat sangat berantakan. “Itu enam bulan setelah kecelakaan maut yang menewaskannya.” Zayden kembali berkata dengan manarik napas dalam. Alisha diam. Dia paham sekali dengan keadaan Zayden saat itu, dan mungkin itu adalah saat terburuk dalam hidup
Alisha kembali melirik sekilas ke arah Zayden, dia tahu Zayden tidak menyukai apa yang baru saja dia katakan.“Astaga! Maaf, Nona, saya akan mendisiplinkan akan saya, lagi. Maaf dia tidak bermaksud untuk bicara sembarangan.” Dia berkata sambil menunduk, merasa kalau anaknya kelewatan dengan pertanyaan itu.“Tidak apa-apa kok.” Alisha menjawab singkat.“Saya benar-benar minta maaf,” ucap pria itu lagi sambil membungkuk beberapa kali dan mengajak anaknya pergi dari hadapan mereka.Zayden ingin bicara terkait ucapan Alisha itu, hanya saja dia mengurungkan niatnya saat matanya menangkap bayangan Alisha yang saat ini berdiri sambil bersedekap dan tersenyum saat melihat kedua orang tadi berjalan menjauh. Wajah Alisha tampak tersenyum senang. Dan dia ... tidak ingin menginterupsinya.Alisha menghela napas pendek dan kembali duduk di bangku taman itu.Zayden lalu mengelus pelan punggung Alisha, membuat wanita itu terkejut, namun belum sempat dia bicara Zayden berkata lebih dulu.“Apa ini masih