Home / Romansa / Pak Ceo, Aku Ingin Anak / Bab 12: Evan Lancaster.

Share

Bab 12: Evan Lancaster.

Author: Za_dibah
last update Huling Na-update: 2025-09-30 21:55:00

Amara akhirnya tiba di kantor tempatnya bekerja, setelah melewati lobi dan menekan tanda pengenal karyawan di panel. Ia segera masuk dan menuju lift khusus karyawan.

Di sana juga ada beberapa karyawan yang menunggu untuk naik ke lantai atas. Pintu lift terbuka, Amara ikut masuk. Karyawan di sana bergerombol, masing-masing mempunyai kawan, hanya Amara saja yang sendiri.

​Setelah pintu terbuka, ia melangkah menuju meja kerjanya. Baru saja ia duduk, Pak Andhika, Kepala Devisi Analisis dan Riset, menghampiri Amara.

​"Amara, berkas Laporan Analisis Tren Pasar Kuartal III yang kemarin kusuruh buat sudah selesai?"

​Amara mengangguk, ia segera membuka tasnya dan mengambil berkas itu yang dia selesaikan kemarin malam sebelum Darian datang. "Ini, Pak, sudah semuanya," ucap Amara menyerahkan kepada Pak Andhika.

​Pak Andhika melihatnya sekilas lalu mengangguk dan melangkah pergi menuju meja kerjanya.

​Lina pun mendekat ke arah Amara yang sudah menyalakan laptopnya. "Amara, nanti sian
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Pak Ceo, Aku Ingin Anak   Bab 12: Evan Lancaster.

    Amara akhirnya tiba di kantor tempatnya bekerja, setelah melewati lobi dan menekan tanda pengenal karyawan di panel. Ia segera masuk dan menuju lift khusus karyawan. Di sana juga ada beberapa karyawan yang menunggu untuk naik ke lantai atas. Pintu lift terbuka, Amara ikut masuk. Karyawan di sana bergerombol, masing-masing mempunyai kawan, hanya Amara saja yang sendiri. ​Setelah pintu terbuka, ia melangkah menuju meja kerjanya. Baru saja ia duduk, Pak Andhika, Kepala Devisi Analisis dan Riset, menghampiri Amara. ​"Amara, berkas Laporan Analisis Tren Pasar Kuartal III yang kemarin kusuruh buat sudah selesai?" ​Amara mengangguk, ia segera membuka tasnya dan mengambil berkas itu yang dia selesaikan kemarin malam sebelum Darian datang. "Ini, Pak, sudah semuanya," ucap Amara menyerahkan kepada Pak Andhika. ​Pak Andhika melihatnya sekilas lalu mengangguk dan melangkah pergi menuju meja kerjanya. ​Lina pun mendekat ke arah Amara yang sudah menyalakan laptopnya. "Amara, nanti sian

  • Pak Ceo, Aku Ingin Anak   Bab 11: Sup Buntut Pedas Pengar.

    ​Pagi itu, Amara terbangun dengan rasa sakit yang menusuk di punggung dan lehernya. Ia tidur dalam posisi duduk, bersandar pada sofa beludru yang besar. Tubuhnya kaku dan lelah akibat kurangnya kasur yang layak. Ia segera menyadari sentuhan lembut di pergelangan tangannya.​Darian masih tertidur pulas, wajahnya damai tanpa topeng arogansi yang biasa ia kenakan. Air mata yang sempat ia lihat tadi malam telah mengering, meninggalkan jejak samar di kulitnya yang bersih. Tangan Darian masih melingkari pergelangan tangan Amara, menjadikannya tumpuan tidur.​Amara menarik tangannya perlahan. Sentuhan itu membuatnya kebas dan mati rasa. Ia menatap bibir Darian yang membengkak dan sedikit pecah di satu sudut, bekas gigitannya. Rasa bersalah dan rasa jijik bercampur aduk.​Ia bangkit tanpa suara, bergerak sehati-hati mungkin menuju pintu kamar utama. Tepat saat ia membuka pintu, ia mendapati Marco berdiri di depan pintu lift pribadi, tampak baru saja tiba.​Wajah Marco langsung pucat. "Nona Am

  • Pak Ceo, Aku Ingin Anak   Bab 10: Ungkapan Hati Yang Terpendam

    Amara kembali ke kantor menjelang pukul empat sore. Meja kerjanya terasa aneh; semua yang baru saja ia alami di rumah sakit, tatapan tajam Darian, kata-kata Dokter Anton tentang "puasa" sperma, dan rasa asing saat berada satu mobil dengan suaminya, terasa seperti mimpi buruk. Ia memaksakan diri fokus pada layar komputer, tetapi pikirannya terus berputar. ​Lina meliriknya dari balik monitor. "Ada apa, Amara? Wajahmu terlihat tegang. Apakah urusannya berat?" ​"Tidak ada, hanya saja masih kepikiran," jawab Amara, tanpa menoleh. ​"Kau harus buru-buru pulang dan istirahat lebih banyak. Sudah hampir pukul lima," bisik Lina mengingatkan, sambil melirik jam di ponselnya. ​Amara mengangguk. Ia mengepak tasnya, memastikan paper bag berisi suplemen dari Darian tersembunyi dengan baik. Ia tidak tahu mengapa, tetapi ia tidak ingin Lina atau siapa pun melihat bahwa Darian lah yang membelikan itu. ​Tepat pukul 16:55, Amara sudah berada di lobi, menunggu taksi. Ia berhasil pulang tepat wakt

  • Pak Ceo, Aku Ingin Anak   Bab 9: Medis lanjutan.

    ​Malam menyelimuti penthouse, hanya menyisakan kerlip lampu kota yang masuk dari jendela kaca besar. Suara pintu lift berdenting pelan, diikuti langkah kaki yang berat dan teratur di lantai marmer. Darian pulang. ​Amara berdiam di kamarnya di lantai atas, tak berniat turun. Ia tahu jam kerja Darian sering tak menentu, dan ia sudah memutuskan untuk menjaga jarak, sesuai dengan kontrak. Ia membuka buku catatan yang dibawanya dari apartemen. Halamannya sudah penuh dengan coretan dan rencana, semua tentang bagaimana ia akan menjalani hidup baru ini. Hidup yang ia perjuangkan mati-matian. ​Tepat saat ia hendak meraih gelas berisi air putih, ternyata gelas itu sudah kosong. Akhirnya dengan terpaksa ia memberanikan diri melangkah turun menuju dapur. Lantai marmer terasa dingin di telapak kakinya, tangga spiral itu membawanya ke lantai bawah. Tiba-tiba, ia mendengar suara dari ruang tengah. ​"Belum tidur?" tanya Darian, tanpa menoleh.

  • Pak Ceo, Aku Ingin Anak   Bab 8: Hari pertama di Penthouse.

    Matahari siang menyorot tajam melalui tirai besar penthouse. Cahaya keemasan menembus celah-celahnya, jatuh di atas karpet tebal berwarna krem, memantul di permukaan marmer yang dingin. Heningnya ruangan terasa menekan seperti udara sebelum badai. Amara berdiri di depan lemari pakaian di kamar atas, baru saja menata beberapa barang. Tangannya berhenti di atas lipatan terakhir gaun tidur berwarna pastel. Napasnya keluar panjang. Ia menatap bayangannya di cermin besar: wajah pucat, mata yang tampak letih. Suara jam di dinding berdetak pelan, tetapi di telinganya terdengar lebih keras. Heningnya penthouse itu membuat tiap detik terasa berderak. Tak tahan dengan rasa sunyi yang makin menggumpal, Amara memutuskan turun ke lantai bawah. Pegangan tangga spiral terasa sejuk di telapak tangannya. Baru menapaki anak tangga kedua, aroma sedap langsung menyapa hidungnya: wangi kaldu sayur bercampur tumisan bawang putih. Perutnya berdesir lapar. Ia mempercepat langkah, seperti ditarik aroma

  • Pak Ceo, Aku Ingin Anak   Baba 7: Awal Hidup Amara.

    Langit pagi kota itu berwarna pucat, kabut tipis menyelimuti jalanan. Udara dingin menusuk kulit. Amara berdiri di depan apartemen mungilnya dengan koper dan beberapa kotak besar di sekitarnya. Taksi yang ia pesan sudah terparkir, bagasi terbuka menunggu barang-barangnya dimasukkan. Tanpa banyak bicara, ia membantu sopir memasukkan barang-barangnya, lalu duduk di kursi belakang. "Ke kantor catatan sipil, Pak." "Baik Nona." Taksi itu meluncur membelah jalanan yang masih lengang menuju Kantor Catatan Sipil, tempat resmi pencatatan pernikahan. Bangunannya berarsitektur modern dengan nuansa merah dan emas khas tradisi setempat. Dinding kaca besar memantulkan cahaya matahari yang baru terbit. Di dalam, loket-loket pendaftaran, bilik foto, dan kursi tunggu berderet rapi. Aroma kayu manis dari dupa kecil di pojok ruangan bercampur dengan wangi kopi dari mesin otomatis di sudut. Amara melangkah masuk, wajahnya tetap datar. Di sekelilingnya pasangan-pasangan tampak bahagia: ada

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status