Se connecterAlexander Adhiyaksa dan Amelia Kate melangkah masuk dengan langkah yang ragu. Di belakang mereka, Grace mengekor dengan kepala sedikit tertunduk. Grace tampak pucat, tubuhnya terbalut gaun sutra yang indah, namun sebuah syal tipis melilit lehernya, sebuah taktik untuk menutupi jejak memar biru akibat cengkeraman Darian di rumah sakit tempo hari. Alexander bersikap sangat sopan, nyaris terlihat tunduk saat menyapa Liam Lancaster. Ia tahu betul posisinya sedang di ujung tanduk karena bukti CCTV yang dipegang Darian bisa menghancurkan reputasi keluarganya dalam semalam. "Liam, Jasmine... selamat atas pertambahan usiamu. Pesta ini sungguh luar biasa," Alexander menjabat tangan Liam dengan hormat yang berlebihan. "Terima kasih, Alexander. Senang kau bisa hadir," jawab Liam singkat, nada suaranya netral namun tetap memberikan jarak yang tegas. Amelia Kate mendekati Sofia Jasmine, berbincang basa-basi tentang perhiasan sambil menyerahkan kado mewahnya. Sementara itu, Grace be
Malam itu, Lancaster Manor berdiri megah di bawah rembulan, menyerupai istana kuno yang dibangun kembali dengan kemewahan modern. Tanpa sorotan kamera media, suasana pesta ulang tahun Sofia Jasmine terasa lebih eksklusif dan intim, sebuah pertemuan puncak bagi para penguasa ekonomi dan sosial. Deretan mobil mewah, dari Rolls-Royce, Maybach hingga Bentley, berbaris rapi di halaman luas, menurunkan tamu-tamu yang mengenakan pakaian bernilai miliaran rupiah. Di dalam ballroom utama, lampu gantung kristal raksasa membiaskan cahaya keemasan yang menari-nari di atas lantai marmer yang mengkilap, memantulkan bayangan para bangsawan modern yang sedang bercengkerama dengan gelas champagne di tangan. Darian Lancaster melangkah masuk, dan seketika itu juga, gravitasi ruangan seolah berpindah padanya. Ia mengenakan setelan jas custom-made berwarna arang gelap yang membungkus tubuh atletisnya dengan sempurna. Kemeja putih bersih dan dasi sutra biru dongker yang ia kenakan memberikan kesan din
Amara tersentak kecil, rasa kantuknya menguap seketika. Ia baru teringat, di tengah kekacauan empat hari ini, ia benar-benar memutus kontak dengan dunia luar, termasuk dengan wanita tua yang sudah ia anggap seperti neneknya sendiri itu. Dengan tangan yang masih sedikit gemetar, Amara meraih ponsel tersebut.Maya dan Marco serentak menoleh, memperhatikan perubahan raut wajah Amara."Ya, Nenek Martha..." bisik Amara lembut. "Maafkan saya, Nek. Saya baru bisa mengangkat telepon.""Amara, Sayang? Ke mana saja kau, Nak? Nenek menunggumu sejak tadi," suara Nenek Martha terdengar penuh kecemasan sekaligus kerinduan. "Kau tahu kan, hari ini perayaan ulang tahun menantu Nenek? Nenek sangat berharap kau bisa datang agar Nenek bisa mengenalkanmu pada keluarga Nenek."Amara memejamkan mata, hatinya perih. Ia teringat janji kecilnya untuk menemani wanita tua itu. "Nenek, maafkan saya... saya benar-benar minta maaf. Saya tidak bisa datang ke ulang tahun menantu Nenek. Ada... ada hal mendadak ya
Keesokan harinya. Matahari mulai condong ke arah barat, membiaskan cahaya jingga yang lembut melalui kaca jendela kamar VVIP Rumah Sakit Utama Lancaster. Di dalam ruangan itu, aroma parfum woody yang mahal dan maskulin milik Darian bersaing dengan aroma minyak herbal yang dioleskan Maya di pergelangan tangan Amara. Darian berdiri di depan cermin besar, merapikan dasi silk berwarna biru dongker yang senada dengan setelan jas custom-made yang membungkus tubuh tegapnya. Penampilannya hari ini sangat sempurna, sosok pewaris tunggal Lancaster yang berwibawa, namun sorot matanya yang menatap pantulan Amara di cermin menunjukkan kegelisahan yang mendalam. Amara bersandar di tumpukan bantal, wajahnya masih pucat namun matanya sudah jauh lebih jernih dibandingkan kemarin. Ia memperhatikan setiap gerak-gerik suaminya dengan perasaan campur aduk. Darian berbalik, melangkah mendekati ranjang. Ia duduk di pinggir kasur, meraih tangan Amara yang terbebas dari infus, lalu mencium punggu
"Ya! Si Camar itu!" Evan menjentikkan jarinya. "Gadis kecil yang menyelamatkanmu di gudang tua saat kau diculik preman bayaran itu. Kau menghabiskan belasan tahun mencarinya. Kau menjadi dingin dan tidak tersentuh karena kecewa dia menghilang setelah hari itu. Aku ingat betapa hancurnya kau saat tahu ayahnya meninggal tak lama setelah menolongmu? Kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan tragis, kan?" Darian memalingkan wajahnya ke arah jendela besar di ujung koridor. Ingatan itu kembali menyerbu. Saat itu ia masih remaja, ia diserang oleh preman yang dibayar oleh seseorang yang tidak terima karena Grace, sahabat Darian, selalu mengejar-ngejarnya. Darian hampir mati dipukuli didalam gudang tua dan disekap didalamnya. Jika tidak ada seorang gadis kecil yang ia beri nama Camar itu mengeluarkannya dari sana, dan kabur untuk melarikan diri, maka ia akan mati saat itu juga. Darian ingat, setelah kejadian itu ia dirawat. Namun saat ia ingin menemui gadis itu lagi, gadis itu sudah pe
Siang itu, udara di dalam ruang VVIP terasa sangat kontras. Di satu sisi, ada kelegaan luar biasa karena Amara baru saja melewati masa kritis tiga harinya. Namun di sisi lain, sisa-sisa aroma obat dan ketegangan medis masih menggantung di sudut plafon yang tinggi. Amara baru saja menyesap air putih yang diberikan Darian, matanya yang sayu masih menatap suaminya itu dengan penuh rasa terima kasih, meskipun ia belum sanggup bicara banyak. Tiba-tiba, keheningan itu pecah oleh suara langkah kaki yang mantap dan berirama di lorong luar. Suara sepatu kulit mahal yang menghantam lantai marmer rumah sakit itu terdengar semakin dekat. CKLEK... Pintu besar berbahan kayu ek itu terayun terbuka tanpa ketukan. Sosok pria tinggi tegap dengan karisma yang sanggup menghentikan napas siapa pun muncul di sana. Jaket kulit premium dan kaos putih yang ia kenakan tampak mengkilap tertimpa lampu lorong, membungkus tubuh atletisnya yang sudah sangat dikenal publik sebagai aktor papan atas. "Kak Dar







