Suara kasur berderit membuat Jannah menggeliat kecil, tapi ia tidak sepenuhnya terbangun. Deon menunduk, membiarkan wajahnya dekat dengan aroma rambut istrinya.
“Jannah…” bisiknya lirih, seperti memanggil dalam diam.
Saat tubuhnya semakin mendekat, Jannah terbangun kaget. Matanya membesar ketika menyadari Deon sudah ada di atas tubuhnya, dengan tatapan penuh hasrat.
“Deon… apa yang kamu—”
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, tangan besar itu sudah melingkari pinggangnya, menarik tubuhnya sehingga saling menempel. Deon menatap dalam, matanya penuh api yang berusaha ia tahan sejak tadi.
“Besok…” suara Deon parau, “besok adalah hari pertunanganku. Tapi malam ini… malam ini aku hanya ingin menjadi suamimu.”
Jannah terperanjat. Tubuhnya tegang, tangannya menahan dada Deon. “Tidak… jangan. Aku… aku belum boleh…”
Deon menat
Dokter Afgan masuk dengan stelan jas rapi. Wibawanya langsung menguasai ruangan, langkahnya mantap seolah setiap lantai yang ia injak tunduk pada kehadirannya. Matanya menatap lurus ke arah Jannah atau lebih tepatnya, ke perut Jannah.“Anakku,” ulangnya lagi dengan nada penuh kepastian. “Kau tidak akan menyangkalnya, Jannah.”Deon berdiri dari kursinya, wajahnya memucat bercampur amarah. “Apa maksudmu?” suaranya berat, hampir seperti geraman. "Bagaimana kau bisa masuk?"Dokter Afgan tersenyum tipis, meski sorot matanya tajam. “Maksudku jelas. Anak itu… darah dagingku.”Jannah tercekat, tubuhnya bergetar hebat. Ia tak pernah bisa kembali bertemu dengan Afgan dengan cara seperti ini.“Diam!” Deon melangkah maju, berdiri tepat di hadapan Dokter Afgan. “Jangan main-main di depanku. Anak itu Jannah kandung dari rahimnya sebagai istriku. Kau tidak berhak mengaku seenaknya!”
Jannah menunduk, wajahnya kaku. Ia mencoba menarik napas panjang, tapi dadanya terasa sesak. Seolah-olah dinding kamar menyempit, menekan tubuhnya tanpa ampun.“Baiklah, sudah selesai. Infusnya sudah lancar. Tensi Nyonya juga bagus. Detak janin juga normal. Perban di wajah sudah diganti. Nyonya istirahat saja, jangan banyak pikiran.” Perawat itu menepuk pelan punggung tangan Jannah sebelum keluar, meninggalkan kamar sementara satu perawat lainnya masih membersihkan sisa perban yang dibuka tadi."Jangan terlalu dipikirkan apa kata orang. Mereka tidak mengalami apa yang Nyonya alami saat ini. Saya bisa mengerti, semua itu tidak mudah. Nyonya pasti sudah pergi bila tidak memikirkan situasi tanpa pendapatan tetap. Bagaimana wanita bisa bertahan hidup, bukan? Oh ya, sarapan akan diantar sebentar lagi, permisi," ucap perawat yang terakhir pergi seraya memberikan senyum dengan ramah dan menepuk kecil bahu Jannah seolah-olah sedang memberi kekuatan.Begitu p
Deon menarik napas panjang, dadanya sesak mendengar kata-kata itu. Ada sesuatu yang ingin ia jawab, tapi lidahnya kelu. Ia hanya bisa mengusap tangan Bella lebih erat, seolah jawaban itu tersimpan dalam genggamannya.Keheningan di ruang rawat itu begitu menekan. Deon tetap diam, matanya menatap Bella tanpa sepatah kata pun. Hanya genggamannya yang terasa hangat, tapi tak ada jawaban atas pengakuan cinta yang keluar dari bibir Bella.Air mata Bella mengalir semakin deras. Rasa sakit di tubuhnya seakan tak sebanding dengan perih di hatinya karena keheningan Deon. Dengan tenaga yang tersisa, ia mencoba mendorong selimut dan menggerakkan tubuhnya turun dari ranjang.“Aku tahu… aku tahu kau tidak menginginkanku… tapi aku tidak peduli! Aku lebih baik mati daripada tidak ada di sisimu!” suaranya parau, penuh kepanikan."Kumohon, jangan lagi kau selamatkan diriku!"Deon segera berdiri dan menahan tubuh Bella yang gemetar. “B
Tangannya meremas pelan jemari Alfie yang terkulai, lalu menatap pintu operasi dengan mata merah. Di balik sana, Bella masih berjuang. Di dalam dirinya, Jannah masih menunggu. Dan di pangkuannya kini, Alfie tertidur dengan hati yang porak-poranda.Deon menghela napas panjang. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar tidak tahu harus melangkah ke arah mana.Dia bahkan jijik melihat kondisnya yang tergantung di tengah-tengah dua wanita."Apa artinya cinta bila tidak bisa saling memiliki?" Deon tertawa saat menanyakan kepada dirinya sendiri.Tiba-tiba, lampu merah di atas pintu operasi akhirnya padam. Pintu berayun terbuka, seorang dokter keluar dengan wajah letih namun tenang.“Operasi berjalan lancar. Tidak ada pendarahan serius di kepala. Namun… tulang kaki dan tangannya harus dipasang pen, jadi proses pemulihan akan memakan waktu cukup lama. Untuk saat ini, pasien masih dalam pengaruh bius. Nanti jika sudah sadar, k
Mereka diam, seolah sedang menunggu Kenzi bangkit untuk melanjutkan pertandingan, namun akhirnya mereka kecewa saat wasit menyatakan 'selesai'.Vincent berdiri goyah, hampir jatuh, tubuhnya sendiri sudah penuh luka. Ia bisa merasakan setiap bagian tubuhnya berteriak kesakitan, bahu yang patah membuat lengannya nyaris lumpuh. Lutut yang sudah tidak utuh lagi susunan tulangnya membuat dia tidak mampu berdiri tegak. Tapi tatapannya tetap tegak, mengarah pada Kenzi yang tidak lagi bangun. Bersiap untuk melayangkan tendangan mematikan lainnya bila pria itu berhasil bangkit lagi.Penonton menahan napas. Beberapa diplomat di tribun bahkan berdiri, tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka saksikan. Ayah Vincent dan perdana menteri Jepang menyaksikan semuanya tanpa mampu berkata banyak.Kenzi membuka mulut, terdengar suara lirih seperti rintihan, namun matanya tetap terpejam. Ia tidak sanggup bangkit lagi. Dari dalam tubuhnya, ia bisa merasakan tulang-tulang patah,
Vincent menahan langkahnya sendiri, menatapnya tanpa gentar. “Kalau begitu buktikan. Kita bertarung di ajang internasional ini. Siapa yang menang… dialah yang layak mendampingi Naila.”Sorot mata Kenzi semakin tajam saat merasakan ejekannya tidak ditanggapi Vincent dengan serius, tapi bibirnya terangkat penuh kesombongan. “Baik. Taruhannya jelas. Kalau aku yang menang, kau harus pergi dan menyerahkan Naila padaku. Tapi kalau kau menang… aku akan memberikan dia padamu.”"Toh, dia hanya pakaian bekas yang pernah kupakai... berulang kali," lanjutnya dengan tertawa kekeh.Vincent memicingkan matanya dan mengepalkan kedua tangannya di samping badang erat-erat.“Aku terima,” Vincent menunduk sedikit, suaranya serak tapi mantap. “Karena bagiku, Naila bukan sekadar taruhan. Dia hidupku. Kau tidak layak!”Kenzi terdiam sepersekian detik, lalu tertawa lantang. “Kalau begitu mari kita lihat,