LOGINBab 200
Bella menunduk, memainkan ujung selimut di pangkuannya dengan canggung. “Aku hanya… banyak pikiran.”
Tommy mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Tentang Deon?”
Bella mengangkat wajahnya pelan, matanya berkaca-kaca. “Tomy, jangan mulai… Hubungan kita, maksudku, semalam adalah... kesalahan.”
“Kesalahan?” tanyanya cepat. “Aku bisa melihatnya dari caramu menahan napas setiap kali menciumku dan tubuhmu bergetar hebat saat aku menyentuhmu, apakah itu kesalahan yang disengaja?"
Hening.
Suara detik jam dinding terdengar begitu jelas di tengah udara yang menegang itu.
Bella memejamkan mata. “Aku tahu aku salah. Tapi aku tidak tahu lagi harus menjelaskan kepadamu. Hubungan ini tidak seharusnya terjadi. Aku punya keluarga dan..."
Tomy menatapnya lebih lekat lalu meraih dagunya sehingga tatapan mereka menyatu. “Kamu merasa bersalah... Mungkin karena ka
Beberapa saat kemudian, bantuan dari polisi setempat dan ambulance sudah tiba untuk memberikan pertolongan.Semua korban sudah berhasil ditemukan walau dengan luka yang cukup banyak. Di antara semua itu, hanya Amara yang tidak memiliki luka apa pun di tubuhnya.Gadis mungil itu masih tertawa dengan riang dan bermain dengan bonekanya saat ditemukan, sementara Vincent mengalami luka yang paling banyak dan parah karena sempat melawan segerombolan anjing peliharaan Afgan sebagai bentuk mempertahankan dirinya sendiri.Semua diantar ke rumah sakit dengan menaiki ambulance. Jannah ditempatkan di sebuah kamar khusus untuk pasien VIP, tentunya dengan perawatan penuh dan pengawalan yang ketat di depan kamar.Beberapa saat kemudian, ia duduk di atas ranjang, memeluk dirinya sendiri. Masih berusaha merangkai semua peristiwa yang baru saja terjadi.Amara tertidur di ranjang kecil di sampingnya. Nafas putrinya teratur, damai, seolah dunia tak pernah mencoba menc
Sopir itu ikut bergerak, cepat dan presisi, memotong setiap upaya Afgan untuk bangkit. Satu tendangan menyapu kaki, satu pukulan mengunci bahu. Tidak ada kata-kata. Tidak ada ampun. Hanya bunyi napas berat dan dentuman tulang bertemu logam."Aarghh!"Afgan mencoba tertawa tertawa yang patah dan gila. “Kalian… pikir… ini selesai…?”"Kau hanya pengecut yang berani menyerang berdua dengan lawan tanpa senjata!"Cuih!Afgan membuang ludahnya yang sudah bercampur darah ke lantai dan menatap tajam ke arah Deon.Tatapan menantang yang membuat kemarahan Deon semakin menjadi-jadi."Ayo, pukul lagi, kalian pengecut!"Deon tidak menjawab. Matanya kosong, rahangnya mengeras. Ia mengangkat tongkat itu sekali lagi, seluruh tubuhnya gemetar, bukan karena ragu, melainkan karena menahan sakit yang menjalar dari kakinya hingga kepala. Namun ia tetap mengayunkannya.Tongkat bisbol yang sudah bercampur
Air menetes dari rambutnya, dingin menusuk kulit, tapi yang membuatnya gemetar bukan suhu air yang menyengat dinginnya, melainkan tatapan Afgan yang lapar dan tidak terkendali.Tubuh Jannah basah dan lekuk tubuhnya tercetak dengan jelas.“Afgan… jangan,” suaranya bergetar. “Ini salah. Tolong berhenti.”Pria itu tidak mendengar. Atau tidak mau peduli ocehan peempuan itu sama sekali.Ia meraih pergelangan tangan Jannah. Cengkeramannya keras, menyakitkan. Jannah tersentak, lalu panik menguasai seluruh tubuhnya ia berteriak sekuat tenaga.“TOLOOONG!”"MMpphhhh!"Afgan sudah menutup bibirnya dengan ciuman paksa yang kasar. Tangan kasarnya menekan pinggang Jannah dan sebelah tangannya lagi menahan tengkuk lehernya sehingga Jannah tidak berkutik.Tapi suara teriakan singkat itu berhasil memantul di lorong-lorong batu, pecah, nyaring, penuh ketakutan.Di sisi gedung yang lain, langkah D
Kedua orang itu masuk ke dalam.Pintu kaca berat didorong dengan satu hentakan bahu. Begitu terbuka, aroma lembap dan dingin langsung menyergap, bercampur bau logam dan wewangian menyengat yang membuat kepala Deon kembali berdenyut.Kesadarannya belum pulih secara keseluruhan.Lorong utama di hadapan mereka terbentang panjang, lampu-lampu temaram menyala setengah hati, seakan gedung dengan interior kuno itu sendiri enggan memperlihatkan apa yang disembunyikannya.Belum sempat Deon melangkah lebih jauh, dua penjaga muncul dari balik pilar marmer.“HEY—”Kalimat itu tidak pernah selesai.*BUGH!*Tongkat baseball di tangan sopir itu melayang cepat, presisi, menghantam sisi leher penjaga pertama. Tubuh besar itu ambruk tanpa suara. Penjaga kedua baru sempat mengangkat senjata ketika pukulan kedua mendarat telak di pergelangan tangannya, disusul hantaman ke perut yang membuatnya terlipat sebelum jatuh
Sopir itu terpaku melihat Deon yang pucat, penuh keringat, masih ada bekas jarum infus di lengannya.“Tapi… Pak, itu jauh… dan—”“JALAN.” suara Deon pecah. “Atau saya cari sopir lain.”Sopir menelan ludah, mengangguk cepat, dan mesin segera menyala. Taksi itu melaju dengan kecepatan tinggi, meninggalkan rumah sakit yang masih memanggil-manggil nama Deon.Di kursi belakang, Deon menunduk, tangannya mencengkeram kuat-kuat ponselnya.“Bertahan, Jannah…” bisiknya dengan suara yang hampir tidak terdengar. “Aku datang… jangan apa-apa…”Setengah jam kemudian, taksi berhenti mendadak ketika mereka memasuki area yang tampak terlalu sunyi untuk ukuran pusat kota Berlin. Bangunan besar tanpa nama berdiri seperti monster gelap, tidak ada lampu papan, tidak ada penjaga terlihat… tetapi hawa dinginnya terasa menusuk, seperti tempat yang menyembunyik
**Sementara itu, di rumah sakit…**Lampu-lampu redup meresap di antara bayangan pria yang tertidur seolah tidak tahu kejadian apa pun yang sedang berlangsung.Namun di atas ranjang itu, tubuh Deon mulai bergerak.Alisnya berkerut. Jari-jarinya bergerak pelan. Nafasnya yang tadi berat mulai berubah, sedikit lebih cepat. Perawat jaga yang melihat monitor berkedip langsung mendekat.Kelopak mata Deon akhirnya terbuka, perlahan, berat, seperti seseorang yang bangun dari mimpi buruk panjang. Cahaya putih membuat penglihatannya kabur. Namun satu hal segera muncul dalam pikirannya… satu nama.*“Jannah…”*Suara itu nyaris tak terdengar, hanya gumaman lemah yang terbentuk di bibirnya, namun beban emosinya begitu besar hingga dada Deon terasa sesak. Ia mengedip beberapa kali, mencoba fokus, tetapi matanya langsung membasah tanpa ia sadari.Ingatan terakhir yang muncul adalah Jannah… tangisny







