Deon menarik napas dalam-dalam. Ia mengendurkan pelukannya perlahan, lalu melepaskannya sepenuhnya. Matanya menatap Jannah, penuh rasa bersalah, penuh keraguan... dan untuk pertama kalinya, ketelanjangan batin yang tidak ditutup-tutupi.
"Aku... sendiri juga nggak tahu," ucapnya lirih.
"Aku pikir aku bisa menjalani hidup dengan tenang, menyimpan luka, menjalani rutinitas... tapi kamu tetap ada di pikiranku. Bahkan ketika aku mencoba menepis perasaan itu, kamu tetap muncul. Dalam diam, dalam masakan yang tidak kumakan, dalam panggilan yang tidak kujawab..."
Ia menunduk, jari-jarinya mengepal.
"Aku merasa kehilangan kamu bahkan saat kamu masih di sisiku. Dan sekarang... saat kamu benar-benar mulai menjauh, aku baru merasa... hancur"
Jannah menatapnya. Hatinya berkecamuk. Ia ingin marah, ingin berteriak, tapi ada bagian dalam dirinya yang terlalu lelah untuk melawan. Ia ingin sekali mempercayai semua yang baru Deon ucapkan, namun hati kecilnya menolak
Ia bersandar ke dinding. Napasnya berat, mata memejam. Dan ingatannya membawa dia kembali, ke masa lalu, potongan demi potongan kebersamaan mereka.Saat dia mendekati Jannah untuk menyapa, Jannah berdiri dengan canggung."A-aku akan kembali ke kamar." Namun langkahnya meleset. Kaki kanannya terpeleset di atas tetesan air hujan yang membasahi lantai teras itu. Ia tersentak, tubuhnya condong ke depan.“Jannah!” Deon bereaksi dengan cepat, memeluk dan menahan tubuhnya sebelum jatuh.Lengan kuat itu mendekap punggungnya dengan erat. Nafas Deon memburu. “Gila. Kamu bikin jantungku copot.”Jannah terkesiap, lalu wajah pucatnya merona merah dengan cepat. Itu adalah sentuhan fisik yang jarang terjadi di antara mereka walau hanya kulit yang saling menempel dan terasa hangat sesaat. “Aku cuma mau—”Deon tak menjawab. Ia mengangkat tubuh Jannah, menggendongnya layaknya putri. “Hei! Aku nggak sakit, kok!&r
Deon memegangi pipinya yang memar, terdiam. Wajahnya dipenuhi rasa bersalah.Afgan menunjuk pintu dengan tegas. “Kalau bukan karena Bik Ana yang bertindak cepat, kamu bisa kehilangan dia tadi pagi!”Deon tak menjawab. Ia hanya menunduk dan mengepalkan tangan.Dari dalam bilik UGD, terdengar suara lemah Jannah memanggil, “Afgan…” Afgan menoleh dan segera masuk kembali ke dalam.Deon ingin menyusul namun perawat mencegah langkah, "Maaf, anda harus menunggu."Deon tetap berdiri di depan pintu dengan perasaan kesal, tak sanggup melangkah lebih.“Jannah... aku yang salah, kumohon, jangan terjadi apa-apa pada dirimu.”Deon berdiri kaku di ambang pintu UGD. Matanya menatap nanar ke arah ranjang tempat Jannah terbaring, tubuhnya diselimuti selimut tipis, wajah pucatnya sedikit menggeliat kesakitan. Beberapa tim medis sedang menyuntikkan cairan yang cukup banyak ke tubuh ringkih milik istrinya.
Hujan masih turun dengan deras. Mobil taksi yang ditumpangi Jannah meluncur di antara kabut dan genangan air. Di dalam, tubuhnya mulai menggigil, jaketnya lembap, dan ujung-ujung jarinya terasa dingin seperti es. Ia menatap keluar jendela, melihat kilatan cahaya petir menyambar langit malam. Bayangan Deon yang memeluk Bella, memanggil perawat untuknya, lalu membiarkannya pergi—semua itu kembali berputar-putar di dalam kepalanya.Apa pun yang dia jalani bersama Deon, tidak pernah terlihat paniknya Deon seperti itu saat bersamanya. Saat dia sakit bahkan pingsan.Perhatian yang diberikan Deon kepada Bella adalah sesuatu yang tidak bisa dipungkiri bahwa perempuan itu memiliki tempat khusus di mata dan dalam hati Deon, tetapi Deon bertahan hanya karena masih memiliki status suami istri dengannya."Tentu saja kamu harus menjaganya." Kata-katanya sendiri kini terdengar seperti tamparan balik yang menyakitkan. Matanya mulai basah.Sesamp
Tanpa menunggu jawaban, Jannah membuka pintu dan melangkah keluar. Deon menggertakkan giginya pelan, lalu menyusul, tapi langkahnya tertahan di pintu.Sambil berlari kecil, Deon memakai kaosnya.“Sudah kubilang aku saja yang menyetir,” ucap Deon keras, menutup pintu mobil sambil menyambar kunci dari tangan supir.“Tapi—”“Tidak ada tapi. Aku lebih tenang kalau aku sendiri yang mengemudikan.” Suaranya tegas, dingin, tapi matanya tetap mengawasi Jannah yang menghela napas panjang dan masuk ke kursi penumpang.Sepanjang jalan menuju rumah sakit, tidak banyak kata yang terucap. Hanya suara wiper menggesek kaca, mengiringi derai hujan yang semakin deras dan kilatan petir di kejauhan. Langit malam tampak muram seperti suasana hati mereka.Setibanya di pelataran rumah sakit, Deon segera turun lebih dulu, membuka payung dan membukakan pintu untuk Jannah.“Pegangan yang kuat, jalannya licin
"Jannah." Suara Deon sedikit lebih dalam. "Kalau kau ingin memukulku malam ini... aku akan diam saja."Masih tidak ada jawaban.Deon menghela napas, lalu dengan gerakan hati-hati, dia menggeser duduknya mendekat."Atau mungkin kau ingin membungkamku?" ujarnya setengah bercanda, namun wajahnya tetap serius."Kau bisa pakai bantal, ikat aku, terserah."Jannah akhirnya bersuara, datar. "Apa ini caramu meminta maaf?""Aku tidak pandai merangkai kalimat maaf," gumam Deon. "Tapi aku tahu rasanya kehilangan... dan malam ini, aku takut sekali kehilanganmu."Jannah berbalik sedikit, menatapnya sekilas seolah sedang mencari titik kebohongan atau kepalsuan dalam kalimat terakhir dari suaminya—mata mereka bertemu. Tapi hanya sebentar."Tapi kau sudah kehilanganku, Deon. Bukan karena aku pergi... tapi karena kau tidak pernah mencoba menggenggamku dari awal."Deon menunduk. Itu menyakitkan—karena benar.
Ia berbalik, melangkah cepat keluar dari ruang makan, hendak meninggalkan semua itu. Tapi saat sampai di ambang pintu…Sosok seorang wanita tua dengan rambut memutih duduk di kursi roda, menghadang jalan keluar.Mata Jannah melebar. Napasnya tercekat."I-ibu... Sejak kapan ibu ada di sini?" tanyanya gugup, matanya berpindah dari mertuanya ke arah Deon, lalu kembali lagi.Ibunda Deon mengedarkan wajahnya pelan seolah mencari bayangan Deon dengan penglihatannya yang terbatas. Wajahnya tenang, tapi ada sorot tajam di matanya yang seolah bisa melihat lebih dari sekadar apa yang terucap."Cukup lama untuk mendengar hal-hal yang seharusnya tidak pernah terucap antara suami dan istri."Jannah menunduk malu. Deon pun tak kalah kikuk, mendadak kehilangan arogansinya.Ibunda Deon mengusap lututnya pelan, lalu menepuk kursi di sebelahnya."Kemarilah, Jannah."Jannah menoleh sejenak ke arah Deon, lalu perlahan m