“Jannah! Tolong ambilkan salep oles dari lemari obat di kamar!” teriak Deon.
Itu suara yang tak pernah ia dengar bahkan saat Jannah pingsan karena nyeri tiba-tiba yang sering menyiksa sendinya. Seolah-olah Deon benar-benar sudah lupa, siapa yang adalah istrinya.
Suara yang tak pernah digunakan untuknya, tapi kini diteriakkan demi luka kecil di tangan seorang asisten?
Tangis yang ditahannya pecah juga. Ia memutar tubuh tanpa kata, lalu berjalan cepat menuju kamar. Tapi langkahnya goyah, seperti tubuhnya kehilangan tenaga.
Nafasnya tercekat dan rasa sesak memenuhi dadanya. Ia tidak mengambil obat. Ia tidak menjawab. Ia bahkan tidak membanting pintu kamar. Ia hanya diam, dan membiarkan dirinya lenyap dalam sepi.
Deon melihat kepergian Jannah namun tidak mempedulikan hal itu, dia berpikir Jannah menuruti perintahnya dan pergi mengambil obat.
Bella menahan napas, mengerjap pelan sambil berpura-pura menahan air mata, namun ada senyum kecil di sudut bibirnya.
“Saya... tidak sengaja, Tuan Deon. Tadi saya... panik karena sup-nya meluap…”
“Tak apa-pa, sini. Duduk dulu. Saya akan ambil salepnya.” Deon berdiri hendak pergi.
“Tidak usah, Tuan,” cegah Bella cepat dengan memegang lengan kekar Deon. “Nyonya pasti sudah mengambilnya.”
Tapi beberapa menit berlalu, Jannah tidak kembali.
"Tunggu sebentar." Deon mendecak kesal, lalu bangkit dan meninggalkan dapur menuju kamar.
Pintu tidak terkunci. Ia membuka perlahan dan melihat Jannah duduk di sisi ranjang, membelakangi pintu. Bahunya naik turun pelan.
“Boleh saya tahu? Di mana kamu meletakkan obat salep?”
Tak ada jawaban.
Dan untuk kesekian kalinya, Deon tidak terlihat peduli. Ia berdiri di sana, menatap perempuan yang pernah ia nikahi karena perjodohan, yang perlahan berubah menjadi asing di matanya.
“Jannah, saya butuh salepnya.” Suara Deon yang meninggi, membuat Jannah semakin kesal, namun dia menjawab dengan ketus, “Laci kedua sebelah kanan.”
Deon mengangguk kecil lalu segera membuka laci. Sebelum pergi, pria itu menghela napas panjang, “aku akan kembali untuk menemanimu setelah mengantar Alfie ke sekolah. Alfie mau makan dulu dan sop itu, aku yang menyuruhnya memasak.”
Jannah memilih diam. Di tangannya sedang menggenggam botol obat nyeri dengan erat, namun dia sedang tidak ingin makan obat itu.
Dua minggu lalu, putranya memuntahkan sop ayam buatan Jannah, mengeluh rasanya tak enak. Ia tahu Alfie tak pernah menyukai masakannya—apa pun yang ia hidangkan.
Kedua tangan Jannah mengepal erat, merasa bahwa dia sudah mulai kehilangan perasaan dari putranya. Tiba-tiba dia bangkit dan terduduk di ranjang.
“Lebih baik aku pergi melihat Alfie.” Namun baru saja dia hendak keluar dari kamar, sosok Deon kembali muncul dari balik daun pintu yang terbuka.
“Jannah, aku sudah membuat janji dengan Kepala Rumah Sakit di Rumah Sakit Keluarga Mahendra. Supir akan membawamu ke sana.” Deon bergegas mengambil jas dari lemari dan memakainya dengan gestur buru-buru.
Ia menatap suaminya, Deon, dengan pandangan sejenak yang sulit dijelaskan. “Lalu kamu?” tanyanya pelan, mencoba menyimpan harapan.
“Aku akan mengantar Alfie ke sekolah sekaligus mengantar Bella ke klinik untuk memeriksa tangannya yang melepuh.”
Jantung Jannah mencelos. Desirannya halus tapi membuat dadanya terasa nyeri.
Bibirnya bergerak seperti hendak berbicara, tapi tak ada suara yang keluar. Kedua matanya membulat sempurna.
Luka Bella dibandingkan dengan kondisi Jannah yang membutuhkan terapi lanjutan untuk nyeri kronis, sungguh tak bisa dinalar. Tapi nyatanya, Deon lebih memilih bersama Bella. Pria itu bahkan belum menanyakan kabar terbaru kondisi kesehatannya.
“Baik, aku akan pergi sendiri,” ucap Jannah akhirnya.
Suaranya gemetar menahan amarah dan kesedihan yang menyesakkan dada. Ia sudah terlalu sering menghadapi momen seperti ini. Di mana dirinya menjadi pilihan terakhir. Atau bahkan, tidak dipilih sama sekali. Untuk kesekian kalinya.
Jannah berdiri mematung sejenak saat bayangan Deon hilang di balik pintu bersama Bella dan Alfie yang melayangkan tatapan tajam dan dingin kepadanya.
Dengan napas panjang ia berbalik ke arah cermin. Tangannya bergetar saat merapikan riasannya yang tipis. Ia tidak ingin tampak menyedihkan di hadapan siapapun, meski hatinya benar-benar compang-camping.
Ia sudah hampir keluar kamar ketika suara kecil penuh nada protes terdengar dari bawah.
“Pasti gara-gara Mama ‘kan, makanya Ibu Bella jadi terluka? Padahal Ibu Bella sudah baik hati sekali memasak untuk Alfie... Tidak bisa! Alfie akan pergi memarahi Mama!”
Langkah Jannah membeku. Alfie? Memarahiku?
“Jangan Alfie, Mamamu hanya ingin membantu,” sahut suara Bella, terdengar sangat lembut dan penuh simpati. Seolah ingin menunjukkan betapa bijaksana juga sangat kesakitan menghadapi luka akibat ulah Jannah.
“Membantu apanya? Kalau Alfie bisa memilih, Alfie lebih suka Ibu Bella menjadi Mamaku saja!” suara Alfie meninggi, penuh emosi. “Dia juga...”
“Alfie.” Suara Deon terdengar tegas. Satu kata itu cukup untuk menghentikan ucapan sang anak yang barangkali berlebihan.
Alfie terdiam, namun melanjutkan kalimatnya dalam hati, “Mama tidak mungkin membenciku karena perkataan tadi, lagipula aku anak satu-satunya.”
Alfie melirik ke arah Bella dengan penuh simpati, “Ibu Bella, sakit?”
Bella mengangguk lemah seolah-olah dia adalah orang yang paling tersakiti.
Mereka bertiga kembali melanjutkan langkah menuju mobil, namun tidak ada yang tahu bahwa Jannah sudah mendengarnya. Semuanya. Dengan sangat jelas.
Tangisnya tidak keluar. Hanya matanya yang berkedip perlahan menahan basah. Ia tidak tahu lagi bagaimana cara menangis yang benar. Yang bisa menyembuhkan.
Tidak lama, rumah menjadi sunyi. Jannah menengadah, menyadari bahwa mereka sudah pergi.
Ia berdiri perlahan, lalu menyeret koper kecil dari atas lemari. Dibukanya koper itu dan mulai menyusun beberapa helai baju, tatapannya kosong dan gerakkannya seperti tanpa nyawa.
Namun sebelum koper itu tertutup sempurna, pintu kamar terbuka perlahan.
Seorang pelayan perempuan masuk lalu berkata pelan, “Nyonya, Tuan ingin memastikan Anda mengunjungi dokter. Supir sudah menunggu di depan rumah.”
Jannah mengangguk kecil. “Baik,” ujarnya singkat. Ia menutup koper yang sudah terisi hampir penuh.
"Bantu saya bawa koper ini ke mobil."
“Baik, Nyonya.”
Saat pelayan itu keluar sambil menarik koper kecil miliknya, Jannah mengeluarkan sebuah map coklat berisi dokumen dari laci pertama. Dokumen perceraian yang sudah dia tanda tangani.
Jannah membuka lembaran pertama dan kedua matanya berkaca-kaca. Membaca sekali lagi pasal yang tertera bahwa dia menyerahkan hak asuh Alfie kepada suaminya dan dia bersedia pergi dengan melepaskan semua hak yang seharusnya menjadi bagiannya.
Sebuah tanda tangan miliknya sudah tertera di lembaran terakhir.
Jannah menuliskan sebuah memo di atas map coklat itu.
[Tanda Tangani dan mari kita hadiri persidangan sesudahnya.]
Beberapa waktu kemudian, saat sampai di rumah sakit, Jannah menyuruh supir pulang duluan dengan alasan temannya yang akan menjemputnya nanti.
Langkah Jannah terhenti di depan meja resepsionis Rumah Sakit Keluarga Mahendra. Tak lama, seorang perawat menghampiri.
“Maaf, Nyonya Jannah. Kepala Rumah Sakit sedang bertugas di ruang operasi darurat. Tapi tenang saja, ada dokter pengganti yang akan menangani kondisi medis Anda hari ini.”
Jannah mengangguk lemah. Ia bahkan tidak peduli siapa yang akan memeriksanya. Tubuhnya terasa seperti jasad yang bisa dibawa ke mana-mana, dia bahkan tidak peduli orang tahu bahwa dia sudah mati atau belum.
“Silakan masuk, Nyonya,” panggil suara lembut dari pintu konsultasi beberapa menit kemudian.
Saat ia masuk, matanya langsung bertemu dengan sesosok pria muda yang sedang berdiri di balik meja dokter. Ia tersenyum sopan, lalu mengulurkan tangan untuk menyambutnya.
“Selamat pagi, saya Dokter Afgan. Saya menggantikan Kepala Rumah Sakit yang seharusnya sudah dijadwalkan untuk pertemuan dengan Anda hari ini. Silakan duduk.”
Jannah menurut, meski sempat tercekat. Pria di depannya terlalu tampan untuk seorang dokter, memancarkan kharisma hangat dengan rahang tegas, kulit sawo matang, dan sorot mata hitam yang menatap tanpa penilaian—hanya perhatian utuh. Ia terpana; sosok ini terasa lebih sempurna dari suaminya sendiri.
“Nyonya Jannah?”
Tanpa sepatah kata, Deon melepaskan mantel dan menaruhnya di kursi, lalu meraih sisi ranjangnya sendiri. Ia berbaring pelan, memunggungi Jannah, menarik napas panjang, dan memejamkan mata. Tak ada percakapan, tak ada sentuhan. Hanya dua hati yang berbaring berdampingan, terpisah oleh jarak yang tak kasat mata.Entah sejak pukul berapa, keheningan yang nyata itu membuat kedua insan itu tertidur dengan posisi saling bertolak belakang. Dalam diam, dan tenggelam dalam pikiran masing-masing yang cukup panjang dan rumit.Pagi harinya, sinar matahari perlahan menembus kamar, menerpa wajah Jannah yang pucat. Nafasnya berat, tubuhnya terasa lemah luar biasa. Kepalanya berdenyut, nyeri menjalar hingga ke persendian. Fibromyalgia-nya kembali kambuh akibat stres semalam.Jannah berusaha bangun perlahan, namun pandangannya berkunang. Peluh dingin membasahi pelipisnya, membuat tubuhnya semakin lemas. Tangannya meraba meja di samping ranjang, mencari obat yang selalu ia simpan
Lalu, dengan sengaja, Bella mencondongkan wajahnya, bibirnya hampir menempel di bawah telinga Deon.“Deon…” bisiknya manja, cukup keras untuk terdengar oleh Jannah di balik pintu. "Kamu bau alkohol, tapi aku menyukainya."Tepat setelah itu, Bella mengecup bawah telinga Deon dengan sengaja.Hancur.Seolah dunia runtuh di hadapan Jannah. Suara detak jantungnya menggema di telinga, sementara udara seakan hilang dari paru-parunya. Ia mundur selangkah, menutup mulutnya dengan tangan untuk menahan isak yang nyaris pecah.Deon sama sekali tidak menyadari pandangan Jannah dari balik pintu. Dia hanya terus berjalan ke kamar Bella, menurunkannya di ranjang dengan hati-hati."Sudah, kamu istirahatlah, aku akan kembali ke kamarku.""Ehh, jangan! Maksudku, tunggu sebentar!" pekik Bella seraya menaikkan lututnya, memegang mata kakinya dengan mata yang mulai basah.Di luar, Jannah menutup pintu kamarnya perlah
Namun yang paling menakutkan bukanlah Vincent yang terkapar di rumah sakit. Yang membuat dadanya sesak adalah kenyataan bahwa kata-kata Vincent barusan terus terngiang… dan ia tahu, sebagian dari itu adalah kebenaran yang selama ini ia hindari.Ia hanya berusaha menghindari fakta. Dengan dikawali beberapa pria yang meleraikan mereka tadi, Deon ikut ke mobil ambulans yang membawa serta tubuh Vincent yang sudah terkulai tidak berdaya dan penuh bercak darah di mana-mana.Pertolongan segera dilakukan. Bau antiseptik dan suara alat monitor jantung memenuhi ruang sempit tempat Vincent terbaring. Perintah dari dokter yang menangani penuh kepanikan namun professional, berusaha menyelamatkan korban.Sementara Deon duduk di kursi, kepalanya tertunduk, wajahnya suram. Tangannya masih berlumuran bekas darah yang belum sepenuhnya terhapus.Tidak lama kemudian, seorang Dokter keluar dan melepaskan masker medisnya."Siapa yang bertanggungjawab atas korban?"Deon segera berdiri, "saya! Bagaimana kead
Bab 85Bella mengigit bibirnya sendiri, menyaksikan bagaimana Deon masih menggendong istrinya dengan mesra. Wajahnya memanas dan dia mengenggam sendoknya. Membenamkan amarah dan berusaha menenangkan dirinya.“Bella, kamu akan menginap di sini bersama Alfie.” Suara Kakek Robert membuyarkan tatapan Bella yang memanas ke arah Deon dan Jannah yang melangkah pergi.Hidung Bella kembang-kempis, senyumnya nyaris tak bisa ia sembunyikan. Hatinya terasa hangat sekaligus bergejolak. Itu berarti kakek benar-benar menganggapnya bagian dari keluarga ini, bagian yang penting. Tatapan pria tua itu sempat melirik Jannah sekilas, tanpa kata, namun cukup menusuk.Deon menghentikan langkahnya sedikit, sementara Jannah yang berada dalam gendongannya hanya menunduk, berusaha menelan kepahitan tanpa terlihat rapuh. Tangannya meremas bahu kanan Deon, begitu kuat, menahan nyeri yang menjalar dari dadanya. Sementara itu, Deon yang menggendongnya kembali melanjutkan langkahnya menaiki tanggan. Tidak mengatakan
Jannah menundukkan kepalanya, menatap kosong piringnya yang sudah dingin. Jemarinya meremas ujung serbet di pangkuan, berusaha menahan gemetar yang mulai terasa. Ucapan Kakek Robert barusan seperti menghantam dadanya, keras, dingin, dan penuh penolakan. Ditambah saat menyaksikan bagaimana Deon mengambil sepotong daging ayam untuk Bella.Beberapa saat setelah keheningan yang mencekik, Kakek Robert berkata, "Kalian akan mengadakan konfrensi pers minggu ini. Kakek ingin mengumumkan mengenai pertunangan kalian."Deon yang sejak tadi diam menoleh dan menatap kakeknya tajam, rahangnya mengeras. “Aku tidak setuju dengan ini,” ucapnya datar, namun ada nada penekanan yang membuat suasana meja semakin mencekam. “Kau tidak bisa seenaknya memutuskan perihal ini.”Kakek Robert menoleh perlahan, tatapannya tajam seperti pisau. “Aku bisa!, Deon. Dan aku akan melakukannya. Ingat siapa yang membuatmu ada di posisi ini. Semua yang kamu
Beberapa menit kemudian, mereka kembali ke kamar dengan pakaian bersih. Rambut Jannah masih sedikit basah, meneteskan aroma wangi sabun yang lembut. Deon meraih handuk kecil, mengeringkan helai-helai rambut istrinya dengan gerakan pelan.“Deon…”“Hm?”“Kamu… aneh lho, apakah ada sesuatu yang terjadi?” ujar Jannah akhirnya.Deon menghentikan gerakannya sejenak, lalu menatapnya dalam. “Aneh, ya?” suaranya rendah, hampir terdengar seperti gumaman.Jannah mengangguk kecil. “Biasanya kamu dingin, suka marah, nggak pernah jelasin apa-apa… Tapi sekarang… kamu terasa beda.”Deon menunduk, menyembunyikan sorot matanya. Ia tak ingin Jannah melihat bahwa ada badai dalam pikirannya. Tentang semua yang membuatnya berada di titik rapuh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.“Aku cuma…” Deon terhenti, menarik napas panjang. “Aku cuma ma