공유

Bab 4

작가: Runayanti
last update 최신 업데이트: 2025-07-08 17:26:52

“Jannah! Tolong ambilkan salep oles dari lemari obat di kamar!” teriak Deon.

Itu suara yang tak pernah ia dengar bahkan saat Jannah pingsan karena nyeri tiba-tiba yang sering menyiksa sendinya. Seolah-olah Deon benar-benar sudah lupa, siapa yang adalah istrinya.

Suara yang tak pernah digunakan untuknya, tapi kini diteriakkan demi luka kecil di tangan seorang asisten?

Tangis yang ditahannya pecah juga. Ia memutar tubuh tanpa kata, lalu berjalan cepat menuju kamar. Tapi langkahnya goyah, seperti tubuhnya kehilangan tenaga.

Nafasnya tercekat dan rasa sesak memenuhi dadanya. Ia tidak mengambil obat. Ia tidak menjawab. Ia bahkan tidak membanting pintu kamar. Ia hanya diam, dan membiarkan dirinya lenyap dalam sepi.

Deon melihat kepergian Jannah namun tidak mempedulikan hal itu, dia berpikir Jannah menuruti perintahnya dan pergi mengambil obat.

Bella menahan napas, mengerjap pelan sambil berpura-pura menahan air mata, namun ada senyum kecil di sudut bibirnya.

“Saya... tidak sengaja, Tuan Deon. Tadi saya... panik karena sup-nya meluap…”

“Tak apa-pa, sini. Duduk dulu. Saya akan ambil salepnya.” Deon berdiri hendak pergi.

“Tidak usah, Tuan,” cegah Bella cepat dengan memegang lengan kekar Deon. “Nyonya pasti sudah mengambilnya.”

Tapi beberapa menit berlalu, Jannah tidak kembali.

"Tunggu sebentar." Deon mendecak kesal, lalu bangkit dan meninggalkan dapur menuju kamar.

Pintu tidak terkunci. Ia membuka perlahan dan melihat Jannah duduk di sisi ranjang, membelakangi pintu. Bahunya naik turun pelan.

“Boleh saya tahu? Di mana kamu meletakkan obat salep?”

Tak ada jawaban.

Dan untuk kesekian kalinya, Deon tidak terlihat peduli. Ia berdiri di sana, menatap perempuan yang pernah ia nikahi karena perjodohan, yang perlahan berubah menjadi asing di matanya.

“Jannah, saya butuh salepnya.” Suara Deon yang meninggi, membuat Jannah semakin kesal, namun dia menjawab dengan ketus, “Laci kedua sebelah kanan.”

Deon mengangguk kecil lalu segera membuka laci. Sebelum pergi, pria itu menghela napas panjang, “aku akan kembali untuk menemanimu setelah mengantar Alfie ke sekolah. Alfie mau makan dulu dan sop itu, aku yang menyuruhnya memasak.”

Jannah memilih diam. Di tangannya sedang menggenggam botol obat nyeri dengan erat, namun dia sedang tidak ingin makan obat itu.

Dua minggu lalu, putranya memuntahkan sop ayam buatan Jannah, mengeluh rasanya tak enak. Ia tahu Alfie tak pernah menyukai masakannya—apa pun yang ia hidangkan. 

Kedua tangan Jannah mengepal erat, merasa bahwa dia sudah mulai kehilangan perasaan dari putranya. Tiba-tiba dia bangkit dan terduduk di ranjang.

“Lebih baik aku pergi melihat Alfie.” Namun baru saja dia hendak keluar dari kamar, sosok Deon kembali muncul dari balik daun pintu yang terbuka.

“Jannah, aku sudah membuat janji dengan Kepala Rumah Sakit di Rumah Sakit Keluarga Mahendra. Supir akan membawamu ke sana.” Deon bergegas mengambil jas dari lemari dan memakainya dengan gestur buru-buru.

Ia menatap suaminya, Deon, dengan pandangan sejenak yang sulit dijelaskan. “Lalu kamu?” tanyanya pelan, mencoba menyimpan harapan.

“Aku akan mengantar Alfie ke sekolah sekaligus mengantar Bella ke klinik untuk memeriksa tangannya yang melepuh.”

Jantung Jannah mencelos. Desirannya halus tapi membuat dadanya terasa nyeri.

Bibirnya bergerak seperti hendak berbicara, tapi tak ada suara yang keluar. Kedua matanya membulat sempurna. 

Luka Bella dibandingkan dengan kondisi Jannah yang membutuhkan terapi lanjutan untuk nyeri kronis, sungguh tak bisa dinalar. Tapi nyatanya, Deon lebih memilih bersama Bella. Pria itu bahkan belum menanyakan kabar terbaru kondisi kesehatannya.

“Baik, aku akan pergi sendiri,” ucap Jannah akhirnya. 

Suaranya gemetar menahan amarah dan kesedihan yang menyesakkan dada. Ia sudah terlalu sering menghadapi momen seperti ini. Di mana dirinya menjadi pilihan terakhir. Atau bahkan, tidak dipilih sama sekali. Untuk kesekian kalinya.

Jannah berdiri mematung sejenak saat bayangan Deon hilang di balik pintu bersama Bella dan Alfie yang melayangkan tatapan tajam dan dingin kepadanya. 

Dengan napas panjang ia berbalik ke arah cermin. Tangannya bergetar saat merapikan riasannya yang tipis. Ia tidak ingin tampak menyedihkan di hadapan siapapun, meski hatinya benar-benar compang-camping.

Ia sudah hampir keluar kamar ketika suara kecil penuh nada protes terdengar dari bawah.

“Pasti gara-gara Mama ‘kan, makanya Ibu Bella jadi terluka? Padahal Ibu Bella sudah baik hati sekali memasak untuk Alfie... Tidak bisa! Alfie akan pergi memarahi Mama!”

Langkah Jannah membeku. Alfie? Memarahiku?

“Jangan Alfie, Mamamu hanya ingin membantu,” sahut suara Bella, terdengar sangat lembut dan penuh simpati. Seolah ingin menunjukkan betapa bijaksana juga sangat kesakitan menghadapi luka akibat ulah Jannah.

“Membantu apanya? Kalau Alfie bisa memilih, Alfie lebih suka Ibu Bella menjadi Mamaku saja!” suara Alfie meninggi, penuh emosi. “Dia juga...”

“Alfie.” Suara Deon terdengar tegas. Satu kata itu cukup untuk menghentikan ucapan sang anak yang barangkali berlebihan.

Alfie terdiam, namun melanjutkan kalimatnya dalam hati, “Mama tidak mungkin membenciku karena perkataan tadi, lagipula aku anak satu-satunya.”

Alfie melirik ke arah Bella dengan penuh simpati, “Ibu Bella, sakit?”

Bella mengangguk lemah seolah-olah dia adalah orang yang paling tersakiti.

Mereka bertiga kembali melanjutkan langkah menuju mobil, namun tidak ada yang tahu bahwa Jannah sudah mendengarnya. Semuanya. Dengan sangat jelas.

Tangisnya tidak keluar. Hanya matanya yang berkedip perlahan menahan basah. Ia tidak tahu lagi bagaimana cara menangis yang benar. Yang bisa menyembuhkan.

Tidak lama, rumah menjadi sunyi. Jannah menengadah, menyadari bahwa mereka sudah pergi.

Ia berdiri perlahan, lalu menyeret koper kecil dari atas lemari. Dibukanya koper itu dan mulai menyusun beberapa helai baju, tatapannya kosong dan gerakkannya seperti tanpa nyawa.

Namun sebelum koper itu tertutup sempurna, pintu kamar terbuka perlahan.

Seorang pelayan perempuan masuk lalu berkata pelan, “Nyonya, Tuan ingin memastikan Anda mengunjungi dokter. Supir sudah menunggu di depan rumah.”

Jannah mengangguk kecil. “Baik,” ujarnya singkat. Ia menutup koper yang sudah terisi hampir penuh.

"Bantu saya bawa koper ini ke mobil."

“Baik, Nyonya.”

Saat pelayan itu keluar sambil menarik koper kecil miliknya, Jannah mengeluarkan sebuah map coklat berisi  dokumen dari laci pertama. Dokumen perceraian yang sudah dia tanda tangani.

Jannah membuka lembaran pertama dan kedua matanya berkaca-kaca. Membaca sekali lagi pasal yang tertera bahwa dia menyerahkan hak asuh Alfie kepada suaminya dan dia bersedia pergi dengan melepaskan semua hak yang seharusnya menjadi bagiannya.

Sebuah tanda tangan miliknya sudah tertera di lembaran terakhir. 

Jannah menuliskan sebuah memo di atas map coklat itu. 

[Tanda Tangani dan mari kita hadiri persidangan sesudahnya.]

Beberapa waktu kemudian, saat sampai di rumah sakit, Jannah menyuruh supir pulang duluan dengan alasan temannya yang akan menjemputnya nanti.

Langkah Jannah terhenti di depan meja resepsionis Rumah Sakit Keluarga Mahendra. Tak lama, seorang perawat menghampiri.

“Maaf, Nyonya Jannah. Kepala Rumah Sakit sedang bertugas di ruang operasi darurat. Tapi tenang saja, ada dokter pengganti yang akan menangani kondisi medis Anda hari ini.”

Jannah mengangguk lemah. Ia bahkan tidak peduli siapa yang akan memeriksanya. Tubuhnya terasa seperti jasad yang bisa dibawa ke mana-mana, dia bahkan tidak peduli orang tahu bahwa dia sudah mati atau belum.

“Silakan masuk, Nyonya,” panggil suara lembut dari pintu konsultasi beberapa menit kemudian.

Saat ia masuk, matanya langsung bertemu dengan sesosok pria muda yang sedang berdiri di balik meja dokter. Ia tersenyum sopan, lalu mengulurkan tangan untuk menyambutnya.

“Selamat pagi, saya Dokter Afgan. Saya menggantikan Kepala Rumah Sakit yang seharusnya sudah dijadwalkan untuk pertemuan dengan Anda hari ini. Silakan duduk.”

Jannah menurut, meski sempat tercekat. Pria di depannya terlalu tampan untuk seorang dokter, memancarkan kharisma hangat dengan rahang tegas, kulit sawo matang, dan sorot mata hitam yang menatap tanpa penilaian—hanya perhatian utuh. Ia terpana; sosok ini terasa lebih sempurna dari suaminya sendiri.

“Nyonya Jannah?”

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요
댓글 (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
udah penyakitan tapi si jannah matanya masih jelalatan.
댓글 모두 보기

최신 챕터

  • Pak Deon, Istrimu Menolak Kembali   Bab 197

    Bella berjalan cepat ke tepi jalan, menghentikan taksi pertama yang lewat. Begitu duduk di kursi belakang, ia menarik napas panjang, tapi udara terasa menyesakkan. Dunia di luar jendela berputar cepat, gedung-gedung, pepohonan, dan langit biru bercampur jadi satu dalam pandangan kabur.Dalam keheningan kabin, pikirannya berlari ke arah yang tidak ingin ia tempuh. Setiap kalimat Tommy semalam bergema kembali, tentang cinta yang salah, tentang kesetiaan, tentang kehilangan diri sendiri demi seseorang.Ciuman yang dasyat dan aroma maskulin yang dia sukai dalam setiap sentuhan Tomy.Ia menatap pantulan dirinya di kaca jendela taksi. Wajahnya tampak asing, wanita itu tampak rapuh, kusut, tapi juga keras kepala. “Kamu udah jauh, Bella,” bisiknya sendiri. “Terlalu jauh. Sungguh memalukan.”"Kau menghancurkan apa yang sudah kau capai sendiri sampai hari ini!" geramnya sendiri dengan mata mulai berkaca-kaca.Tiba-tiba ponselnya berge

  • Pak Deon, Istrimu Menolak Kembali   Bab 196

    Sebuah ciuman yang dalam diberikan dan entah kenapa, Bella sama sekali tidak menolak. Bella menutup mata dan meresapi ciuman serta kehangatan dari bibir Tomy.Waktu seperti berhenti seketika, Bella mengecap manisnya bibir pria tampan itu dan membiarkannya membawa dalam gendongan, menuju ke kamar kecil berukuran 3x3 meter itu.Lampu redup dan cuaca dingin membuat Bella tidak mampu mengeluh, apalagi di saat Tomy mulai melancarkan aksinya yang penuh dengan hasrat.Ciuman yang membara dan pelukan nan hangat sudah lama dia dambakan dari Deon, namun tidak pernah ditanggapi pria itu."J-jangan, Tomy. Ini salah, aku akan... Deon," ucap Bella dengan lirih saat pria itu mulai membuka pakaiannya sambil dengan lembut menelusuri jenjang lehernya dengan bibir yang hangat miliknya."Kamu menginginkanku juga, Bella. Kamu tahu itu, tatapanmu juga memberitahukanku. Gerakan tubuhmu juga tidak bisa menolak sama sekali. Kamu ingin menikmatinya juga, bukan? Jangan bohon

  • Pak Deon, Istrimu Menolak Kembali   Bab 195

    Bella menatap kosong ke arah cangkirnya. “Sedih itu cuma bagian dari hidupku sekarang. Aku nggak tahu kapan terakhir kali aku bahagia tanpa berpura-pura.”Tommy tidak membalas. Ia duduk di sebelah Bella kembali. Ia hanya duduk lebih dekat, bukan karena niat, tapi karena jarak di antara mereka terasa terlalu dingin. Hujan di luar seperti mengunci waktu, membuat dunia hanya milik mereka berdua.“Kamu tahu rasanya sendirian padahal ada orang di sampingmu?” tanya Bella tiba-tiba, suaranya nyaris berbisik.Tomy menatapnya dalam. “Setiap hari.”Mata mereka bertemu. Lama. Tidak ada yang berani berpaling. Dalam tatapan itu, ada kesepian yang saling mengenali, ada luka yang sama, ada rasa ingin dipahami tanpa harus menjelaskan apa pun.Bella menelan ludah, jantungnya berdetak pelan tapi berat. “Tom…”Suara itu berhenti di tenggorokan, seolah takut pada apa yang akan keluar berikutnya.Tomy

  • Pak Deon, Istrimu Menolak Kembali   Bab 194

    Tommy memegang bahu adiknya, menatapnya dengan campuran marah dan sedih.“Dia sudah punya istri, Lira! Kamu sadar nggak? Kamu mau jadi apa nanti? Perempuan simpanan? Kamu kira cinta seperti itu bisa bertahan lama?”Suara Tommy meninggi, tapi nada getirnya lebih terdengar seperti luka lama yang tergores lagi."Kita masuk dulu dan bicara, ini temanku, Bella." Tomy menarik tangan Bella supaya masuk ke dalam rumah lalu menguncinya dari dalam, sementara Lira hanya melangkah pelan dengan lesu tanpa menanggapi lebih lanjut keberadaan Bella sama sekali."Lira, kamu salah. Memangnya kamu bersedia jadi istri simpanan? Alias pelakor?"Bella menelan ludah. Setiap kata “istri”, “salah”, “perempuan simpanan” menusuk dadanya seperti pisau. Ia ingin pergi, tapi sesuatu menahannya.Lira menggigit bibirnya, menatap Bella. “Kak, Mas nggak ngerti. Aku cuma pengin dicintai. Aku tahu dia salah, tapi aku ngeras

  • Pak Deon, Istrimu Menolak Kembali   Bab 193

    “Sudah, Tuan. Dokter bilang ini demam akibat kelelahan dan stres. Hari ini pak Dokter juga akan datang untuk meninjau kondisi."Deon memijit pelipisnya. Ia tidak tahu sama sekali bahwa akhir-akhir ini Alfie berubah menjadi pendiam, sering menyendiri, bahkan tidak lagi menyapa Bella.Bocah itu lebih banyak mengurung diri di kamar sambil menatap foto lama, foto di mana Jannah menggendongnya dengan tatapan penuh kasih.“Papa…” suara lemah itu membuat Deon segera menghampiri ranjang. Ia duduk di tepi tempat tidur, menggenggam tangan kecil yang panasnya seperti bara.“Ada apa, Nak?” bisiknya.“Mama... Mama di mana? Aku... aku mau Mama...” bibir Alfie bergetar.Deon menelan ludah. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Jannah, tapi nomornya tidak aktif. Email tidak pernah dibalas. Cahyo yang biasanya tahu semua pergerakan pun kini tampak gelisah setiap kali Deon menanyakan kabar wanita itu.

  • Pak Deon, Istrimu Menolak Kembali   Bab 192

    Namun ketika sesi usai, keringat dingin menetes di tengkuknya bukan karena lelah, melainkan karena perasaan aneh yang tumbuh tanpa izin. Dia merasa harus menegur pelatih baru yang agak kurang sopan itu."Jeng Bella, besok ketemu di kafe seperti biasaya!""Iya Jeng Ayu, jangan lupa bawa kerupuk kentang baladonya,"sahut Bella sambil menyeka keringatnya."Duluan, Jeng..." sapa ibu-ibu yang lain sambil melayangkan sebelah tangan, ada yang mengedipkan sebelah matanya, "sikat aja, Jeng. Masih polos dan wangi itu!"Bella melempar handuknya, namun perempuan yang menjadi sahabatnya itu segera menangkap lalu melempar balik handuk kecilnya, "nanti Jeng butuh, buat ngelap-ngelap."Teman-temannya pada tertawa dan terkikik, mereka segera lari keluar ruangan dengan cepat.Para peserta satu per satu keluar sambil berceloteh riang, tapi Bella tetap duduk di bangku panjang, berpura-pura membereskan sepatunya. Ia ingin mengatur napas, ingin menenangkan pikiran

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status