“Eh, Ya, saya…” Jannah merasa canggung.
“Dari data yang saya lihat, nyeri sendi yang Anda alami sudah memasuki tahap kronis. Kita evaluasi dulu, ya. Apa Anda datang sendiri hari ini?” tanyanya sambil mengetikkan sesuatu di laptopnya, berupa berkas elektronik.
“Eh, iya, Dokter,” sahut Jannah pelan tapi canggung.
“Dan saya lihat…” Ia berhenti sejenak, menatap koper kecil di sebelah kaki Jannah. “Anda membawa koper?”
"Maaf, apakah Anda berencana melakukan perjalanan?"
Jannah menunduk. Tangannya meremas jemari sendiri di pangkuan. Dia belum memutuskan akan ke mana. Satu-satunya tempat yang bisa dia pergi adalah rumah Naila, sahabatnya.
"Uhm, sekali lagi maaf. Saya bukan ingin mencampuri urusan pribadi Anda, tapi untuk kondisi Anda saat ini, sangat tidak disarankan untuk melakukan perjalanan..."
“Oh, bukan. Maksudku… Saya sedang... ingin sendiri. Rasanya... saya perlu menenangkan diri. Saya ingin menyembuhkan, bukan hanya badan, tapi juga yang lain-lain," sela Jannah buru-buru.
Ada jeda sejenak. Lalu suara lembut itu kembali terdengar. "Oh, begitu."
“Kebetulan saya mengenal Rumah Singgah tak jauh dari Rumah Sakit ini. Tempatnya cukup tenang, dan biasa digunakan untuk pasien rawat jalan yang datang dari luar kota, atau mereka yang butuh masa pemulihan. Rumah ini dibangun dari donasi orang-orang baik. Apakah Anda tertarik?” lanjutnya.
Jannah mendongak pelan. “Rumah singgah?”
“Iya. Tidak jauh dari sini. Hanya ada beberapa menit perjalanan dengan mobil, tapi tenang dan bersih. Jika Anda belum tahu mau ke mana, mungkin bisa menginap di sana sementara. Sampai Anda merasa siap kembali. Sebaiknya Anda tidak jauh dari keberadaan Rumah Sakit, karena Anda tidak tahu kapan Anda bisa pingsan mendadak.”
Ada sesuatu dalam cara pria itu berbicara yang membuat Jannah ingin menangis. Bukan karena sedih, tapi karena merasa... diperhatikan. Sejak Ibundanya meninggal, dia menikah dengan putra dari sahabat mendiang Ibundanya. Mereka memang menikah karena sebuah pernikahan paksa.
Tawaran ini membuat desiran haru di dalam hatinya mengingat bagaimana suaminya sendiri tidak pernah menanyakan apakah ia ingin beristirahat, apalagi menawari tempat berlindung. Sejak menikah, dia tinggal di kediaman Mahendra yang mewah tanpa kekurangan apa pun kecuali perhatian.
“Saya... boleh?” tanyanya lirih.
“Boleh sekali,” jawab Afgan, tersenyum tulus. “Itu memang disiapkan untuk pasien yang membutuhkan waktu dalam pemulihan. Dan Anda termasuk orang yang perlu waktu.”
“Apakah ada gejala sakit yang kamu hadapi saat ini?”
“Saya… sedikit mual, Dokter.”
"Baik. Saya akan memeriksa Anda terlebih dahulu, boleh?"
"Silakan, Dokter."
Pemeriksaan pun dimulai saat Jannah berbaring di atas brankar. Gerakan Dokter Afgan lembut dan penuh kehati-hatian. Tidak tergesa, tidak menyakiti.
“Maaf, saya akan memeriksa perut Anda.”
Jannah mengangguk dengan canggung dan merasa serba salah, namun ada seorang perawat perempuan yang membantu Jannah menggulung gaun panjang yang dipakainya sehingga sang Dokter bisa memeriksa bagian perutnya.
Saat tangan Dokter Afgan menyentuh perutnya dengan stetoskop, Jannah merasa sangat canggung, karena selama ini Dokter yang menanganinya adalah dokter perempuan, tapi karena ini adalah perintah dari suaminya, dia tidak tahu harus mengambil tindakan apa. Dia juga mengharapkan sebuah kesembuhan.
“Ada sedikit gangguan elektrolit di perut Anda, jadi Anda mungkin mengalami sedikit diare. Saya akan meresepkan obat anti diare. Pastikan Anda menjaga pola makan dan jauhi stress.”
“Baik, Dokter.”
Dokter Afgan menanyakan tentang pola tidur, intensitas nyeri, hingga seberapa sering Jannah mengalami kelelahan. Dan untuk pertama kalinya, Jannah menjawab semua pertanyaan medis dengan jujur, tanpa merasa sedang ditelanjangi oleh rasa iba.
“Obat yang Anda pakai saat ini masih bisa dilanjutkan, tapi saya akan sesuaikan dosisnya supaya tidak terlalu membebani fungsi ginjal. Dan kalau boleh, saya ingin Anda mulai terapi relaksasi juga.”
"Relaksasi?"
Dokter Afgan mengangguk dengan senyum yang menunjukkan barisan putih giginya yang rapi, "Bolehkah saya memanggil Anda dengan nama?"
Jannah mengangguk. Di ruang itu, ia merasa menjadi pasien, ya, tapi juga manusia. Seorang perempuan yang sedang terluka, tapi masih berhak dirawat.
Beberapa menit berlalu dan pemeriksaan sudah selesai. Saat ia bersiap keluar ruangan, dokter Afgan berdiri dan menatapnya sejenak, lalu berkata pelan, “Saya sudah selesai praktek sesudah ini, bagaimana bila saya mengantarmu ke rumah singgah, Jannah?"
Panggilan nama yang lembut itu menusuk lembut ke dada Jannah. Jannah mengelengkan kepalanya dengan wajah yang terasa hangat.
“Hum, tidak perlu, saya… saya datang bersama supir, maksudku, supir bisa mengantarku…”
Jannah berbohong, tidak ada supir yang menunggunya di luar karena dia memang sudah bersiap untuk meninggalkan rumah dengan koper seusai pemeriksaan.
“Jannah, maaf sebelumnya, tapi tekanan darahmu agak rendah saat saya ukur tadi, kamu bisa pingsan setiap saat. Saya tidak bisa memaafkan diri saya sendiri jika pasien mengalami suatu hal yang sudah bisa saya duga di awal. Lebih baik, saya yang mengantarmu, Jannah.”
Setelah beberapa saat penuh pertimbangan, Jannah akhirnya mengangguk kecil, “saya akan menyuruh supir untuk pulang duluan.”
"Baik, kalau begitu... tunggu sebentar."
Jannah sedikit terkejut saat Dokter Afgan langsung melepas jubah putih prakteknya dan di dalamnya hanya singlet putih yang menonjolkan lekuk tubuh seorang pria matang yang menjaga porsi tubuhnya dengan olahraga ketat.
Dengan canggung, Jannah segera memalingkan wajahnya.
Dokter Afgan segera memakai kemeja putih dengan lengan panjang, "Yuk, ikut saya." Dia meraih tas kerjanya lalu memegang tangan Jannah.
Merasa malu, Jannah menarik tangannya. "Uhm, Dokter boleh jalan terlebih dahulu."
"Oh, baiklah. Kalau begitu, saya akan menarik kopermu saja. Dan panggil saja namaku, Afgan. Jangan terlalu segan."
Jannah mengangguk dengan wajah yang hangat... dan untuk pertama kalinya,
Seperti ada beban besar yang terangkat dari hatinya.Namun, langkah Jannah terhenti tepat saat ia hampir mencapai pintu keluar rumah sakit.
Matanya secara tidak sengaja menangkap sosok yang begitu ia kenali, Deon.
Pria itu sedang berdiri di sudut salah satu ruang praktek dokter umum di lantai satu. Di sebelahnya berdiri Bella, tangannya diperban rapi. Dan yang membuat dada Jannah seperti terhimpit, Alfie pun ada di sana. Bertiga.
Jantungnya berdetak tidak beraturan.
Ia reflek berbalik, buru-buru menunduk dan berlindung di balik punggung lebar pria yang berada hanya beberapa langkah di depannya.
“Ada apa?” tanya Dokter Afgan sambil menoleh setengah lalu mengikuti arah tatapan Jannah. Sekilas ia melihat seorang pria bersama seorang anak dan wanita berwajah lembut. Lalu ia kembali menatap Jannah. Sorot matanya segera menangkap sesuatu yang tak diucapkan.
Jannah menggigit bibir, napasnya tersendat. Ia tidak bisa menjawab. Tatapannya kosong, tapi penuh gejolak. Seolah-olah sedang berusaha menyembunyikan dirinya di balik punggung besar dokter itu sambil memantau sebuah perselingkuhan.
Dalam hati, Jannah bertanya: Bukankah tadi Deon bilang akan mengantar Alfie ke sekolah baru kemudian menemani Bella ke klinik? Lalu mengapa mereka kini bertiga datang ke rumah sakit? Dan mengapa Alfie tidak ke sekolah melainkan ada di sana?
Saat pikirannya berputar-putar dalam ketidakpastian, suara kecil yang sangat ia kenal tiba-tiba terdengar. “Mama jahat! Semua ini gara-gara Mama!” teriak Alfie dengan nada penuh kemarahan.
Tubuh Jannah menegang. Urat-urat di tengkuknya seolah tertarik paksa.
“Alfie benci Mama!” lanjut Alfie sambil menunjukkan tangan Bella ke arah Deon. “Lihat ini, Papa. Kulit Ibu Bella yang cantik, yang putih, sekarang jadi merah. Merah banget. Itu semua karena Mama!”
Bella menunduk, terlihat menahan perih dan canggung, sementara Deon… hanya berdiri di sana.
Diam.
Namun tangannya lalu menggenggam erat tangan Bella, tidak terlepas sedetik pun. Dan pada akhirnya, terdengar suara lirih keluar dari mulut suaminya.
“Maafkan aku…”
Dunia Jannah seperti berhenti. Suara yang terdengar lirih itu... suara suaminya... bukan ditujukan untuknya. Melainkan untuk wanita lain, di hadapan putra mereka sendiri.
Selama tujuh tahun pernikahan mereka, tidak pernah sekalipun Deon meminta maaf kepadanya. Atas ketidakhadirannya dalam peringatan setahun kematian mendiang Ibundanya, bahkan Deon tidak pernah mengingat hari ulang tahunnya apalagi peringatan hari pernikahan mereka.
Dan Pria itu tidak pernah meminta maaf atas berbagai janji yang pernah di buat namun tidak pernah ditepati.
Dokter Afgan yang sejak tadi memperhatikan wajah Jannah dengan seksama, langsung bertindak setelah mengerti keadaan. Ia menegakkan punggungnya, lalu dengan gerakan lembut tapi tegas, merangkul pundak Jannah, menariknya ke sisi lain lorong.
Tubuh besar dan tinggi dokter itu benar-benar menutupi Jannah dari pandangan siapapun, termasuk Deon. Seolah menjadi benteng yang tak dapat ditembus.
“Mari,” bisiknya tiba-tiba, “ikut saya. Kita keluar lewat pintu samping.”
Jannah tak mampu berkata-kata. Ia hanya mengangguk perlahan, lalu berjalan di balik tubuh pria itu, seperti bayangan yang kehilangan cahaya.
Sementara itu, di luar ruangan praktik dokter umum di lantai satu, Deon sempat melirik, sekelebat bayangan perempuan bergaun panjang mengenakan kerudung berwarna kuning muda. Sosok itu berlalu cepat, hanya terlihat separuh wajah, tapi hati Deon langsung mencelos.
Jannah?
Tanpa sepatah kata, Deon melepaskan mantel dan menaruhnya di kursi, lalu meraih sisi ranjangnya sendiri. Ia berbaring pelan, memunggungi Jannah, menarik napas panjang, dan memejamkan mata. Tak ada percakapan, tak ada sentuhan. Hanya dua hati yang berbaring berdampingan, terpisah oleh jarak yang tak kasat mata.Entah sejak pukul berapa, keheningan yang nyata itu membuat kedua insan itu tertidur dengan posisi saling bertolak belakang. Dalam diam, dan tenggelam dalam pikiran masing-masing yang cukup panjang dan rumit.Pagi harinya, sinar matahari perlahan menembus kamar, menerpa wajah Jannah yang pucat. Nafasnya berat, tubuhnya terasa lemah luar biasa. Kepalanya berdenyut, nyeri menjalar hingga ke persendian. Fibromyalgia-nya kembali kambuh akibat stres semalam.Jannah berusaha bangun perlahan, namun pandangannya berkunang. Peluh dingin membasahi pelipisnya, membuat tubuhnya semakin lemas. Tangannya meraba meja di samping ranjang, mencari obat yang selalu ia simpan
Lalu, dengan sengaja, Bella mencondongkan wajahnya, bibirnya hampir menempel di bawah telinga Deon.“Deon…” bisiknya manja, cukup keras untuk terdengar oleh Jannah di balik pintu. "Kamu bau alkohol, tapi aku menyukainya."Tepat setelah itu, Bella mengecup bawah telinga Deon dengan sengaja.Hancur.Seolah dunia runtuh di hadapan Jannah. Suara detak jantungnya menggema di telinga, sementara udara seakan hilang dari paru-parunya. Ia mundur selangkah, menutup mulutnya dengan tangan untuk menahan isak yang nyaris pecah.Deon sama sekali tidak menyadari pandangan Jannah dari balik pintu. Dia hanya terus berjalan ke kamar Bella, menurunkannya di ranjang dengan hati-hati."Sudah, kamu istirahatlah, aku akan kembali ke kamarku.""Ehh, jangan! Maksudku, tunggu sebentar!" pekik Bella seraya menaikkan lututnya, memegang mata kakinya dengan mata yang mulai basah.Di luar, Jannah menutup pintu kamarnya perlah
Namun yang paling menakutkan bukanlah Vincent yang terkapar di rumah sakit. Yang membuat dadanya sesak adalah kenyataan bahwa kata-kata Vincent barusan terus terngiang… dan ia tahu, sebagian dari itu adalah kebenaran yang selama ini ia hindari.Ia hanya berusaha menghindari fakta. Dengan dikawali beberapa pria yang meleraikan mereka tadi, Deon ikut ke mobil ambulans yang membawa serta tubuh Vincent yang sudah terkulai tidak berdaya dan penuh bercak darah di mana-mana.Pertolongan segera dilakukan. Bau antiseptik dan suara alat monitor jantung memenuhi ruang sempit tempat Vincent terbaring. Perintah dari dokter yang menangani penuh kepanikan namun professional, berusaha menyelamatkan korban.Sementara Deon duduk di kursi, kepalanya tertunduk, wajahnya suram. Tangannya masih berlumuran bekas darah yang belum sepenuhnya terhapus.Tidak lama kemudian, seorang Dokter keluar dan melepaskan masker medisnya."Siapa yang bertanggungjawab atas korban?"Deon segera berdiri, "saya! Bagaimana kead
Bab 85Bella mengigit bibirnya sendiri, menyaksikan bagaimana Deon masih menggendong istrinya dengan mesra. Wajahnya memanas dan dia mengenggam sendoknya. Membenamkan amarah dan berusaha menenangkan dirinya.“Bella, kamu akan menginap di sini bersama Alfie.” Suara Kakek Robert membuyarkan tatapan Bella yang memanas ke arah Deon dan Jannah yang melangkah pergi.Hidung Bella kembang-kempis, senyumnya nyaris tak bisa ia sembunyikan. Hatinya terasa hangat sekaligus bergejolak. Itu berarti kakek benar-benar menganggapnya bagian dari keluarga ini, bagian yang penting. Tatapan pria tua itu sempat melirik Jannah sekilas, tanpa kata, namun cukup menusuk.Deon menghentikan langkahnya sedikit, sementara Jannah yang berada dalam gendongannya hanya menunduk, berusaha menelan kepahitan tanpa terlihat rapuh. Tangannya meremas bahu kanan Deon, begitu kuat, menahan nyeri yang menjalar dari dadanya. Sementara itu, Deon yang menggendongnya kembali melanjutkan langkahnya menaiki tanggan. Tidak mengatakan
Jannah menundukkan kepalanya, menatap kosong piringnya yang sudah dingin. Jemarinya meremas ujung serbet di pangkuan, berusaha menahan gemetar yang mulai terasa. Ucapan Kakek Robert barusan seperti menghantam dadanya, keras, dingin, dan penuh penolakan. Ditambah saat menyaksikan bagaimana Deon mengambil sepotong daging ayam untuk Bella.Beberapa saat setelah keheningan yang mencekik, Kakek Robert berkata, "Kalian akan mengadakan konfrensi pers minggu ini. Kakek ingin mengumumkan mengenai pertunangan kalian."Deon yang sejak tadi diam menoleh dan menatap kakeknya tajam, rahangnya mengeras. “Aku tidak setuju dengan ini,” ucapnya datar, namun ada nada penekanan yang membuat suasana meja semakin mencekam. “Kau tidak bisa seenaknya memutuskan perihal ini.”Kakek Robert menoleh perlahan, tatapannya tajam seperti pisau. “Aku bisa!, Deon. Dan aku akan melakukannya. Ingat siapa yang membuatmu ada di posisi ini. Semua yang kamu
Beberapa menit kemudian, mereka kembali ke kamar dengan pakaian bersih. Rambut Jannah masih sedikit basah, meneteskan aroma wangi sabun yang lembut. Deon meraih handuk kecil, mengeringkan helai-helai rambut istrinya dengan gerakan pelan.“Deon…”“Hm?”“Kamu… aneh lho, apakah ada sesuatu yang terjadi?” ujar Jannah akhirnya.Deon menghentikan gerakannya sejenak, lalu menatapnya dalam. “Aneh, ya?” suaranya rendah, hampir terdengar seperti gumaman.Jannah mengangguk kecil. “Biasanya kamu dingin, suka marah, nggak pernah jelasin apa-apa… Tapi sekarang… kamu terasa beda.”Deon menunduk, menyembunyikan sorot matanya. Ia tak ingin Jannah melihat bahwa ada badai dalam pikirannya. Tentang semua yang membuatnya berada di titik rapuh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.“Aku cuma…” Deon terhenti, menarik napas panjang. “Aku cuma ma