공유

Bab 5

작가: Runayanti
last update 최신 업데이트: 2025-07-08 17:27:22

“Eh, Ya, saya…” Jannah merasa canggung.

“Dari data yang saya lihat, nyeri sendi yang Anda alami sudah memasuki tahap kronis. Kita evaluasi dulu, ya. Apa Anda datang sendiri hari ini?” tanyanya sambil mengetikkan sesuatu di laptopnya, berupa berkas elektronik.

“Eh, iya, Dokter,” sahut Jannah pelan tapi canggung. 

“Dan saya lihat…” Ia berhenti sejenak, menatap koper kecil di sebelah kaki Jannah. “Anda membawa koper?”

"Maaf, apakah Anda berencana melakukan perjalanan?"

Jannah menunduk. Tangannya meremas jemari sendiri di pangkuan. Dia belum memutuskan akan ke mana. Satu-satunya tempat yang bisa dia pergi adalah rumah Naila,  sahabatnya.

"Uhm, sekali lagi maaf. Saya bukan ingin mencampuri urusan pribadi Anda, tapi untuk kondisi Anda saat ini, sangat tidak disarankan untuk melakukan perjalanan..."

“Oh, bukan. Maksudku… Saya sedang... ingin sendiri. Rasanya... saya perlu menenangkan diri. Saya ingin menyembuhkan, bukan hanya badan, tapi juga yang lain-lain," sela Jannah buru-buru.

Ada jeda sejenak. Lalu suara lembut itu kembali terdengar. "Oh, begitu."

“Kebetulan saya mengenal Rumah Singgah tak jauh dari Rumah Sakit ini. Tempatnya cukup tenang, dan biasa digunakan untuk pasien rawat jalan yang datang dari luar kota, atau mereka yang butuh masa pemulihan. Rumah ini dibangun dari donasi orang-orang baik. Apakah Anda tertarik?” lanjutnya.

Jannah mendongak pelan. “Rumah singgah?”

“Iya. Tidak jauh dari sini. Hanya ada beberapa menit perjalanan dengan mobil, tapi tenang dan bersih. Jika Anda belum tahu mau ke mana, mungkin bisa menginap di sana sementara. Sampai Anda merasa siap kembali. Sebaiknya Anda tidak jauh dari keberadaan Rumah Sakit, karena Anda tidak tahu kapan Anda bisa pingsan mendadak.”

Ada sesuatu dalam cara pria itu berbicara yang membuat Jannah ingin menangis. Bukan karena sedih, tapi karena merasa... diperhatikan. Sejak Ibundanya meninggal, dia menikah dengan putra dari sahabat mendiang Ibundanya. Mereka memang menikah karena sebuah pernikahan paksa.

Tawaran ini membuat desiran haru di dalam hatinya mengingat bagaimana suaminya sendiri tidak pernah menanyakan apakah ia ingin beristirahat, apalagi menawari tempat berlindung. Sejak menikah, dia tinggal di kediaman Mahendra yang mewah tanpa kekurangan apa pun kecuali perhatian.

“Saya... boleh?” tanyanya lirih. 

“Boleh sekali,” jawab Afgan, tersenyum tulus. “Itu memang disiapkan untuk pasien yang membutuhkan waktu dalam pemulihan. Dan Anda termasuk orang yang perlu waktu.”

“Apakah ada gejala sakit yang kamu hadapi saat ini?”

“Saya… sedikit mual, Dokter.”

"Baik. Saya akan memeriksa Anda terlebih dahulu, boleh?"

"Silakan, Dokter."

Pemeriksaan pun dimulai saat Jannah berbaring di atas brankar. Gerakan Dokter Afgan lembut dan penuh kehati-hatian. Tidak tergesa, tidak menyakiti.

“Maaf, saya akan memeriksa perut Anda.”

Jannah mengangguk dengan canggung dan merasa serba salah, namun ada seorang perawat perempuan yang membantu Jannah menggulung gaun panjang yang dipakainya sehingga sang Dokter bisa memeriksa bagian perutnya.

Saat tangan Dokter Afgan menyentuh perutnya dengan stetoskop, Jannah merasa sangat canggung, karena selama ini Dokter yang menanganinya adalah dokter perempuan, tapi karena ini adalah perintah dari suaminya, dia tidak tahu harus mengambil tindakan apa. Dia juga mengharapkan sebuah kesembuhan.

“Ada sedikit gangguan elektrolit di perut Anda, jadi Anda mungkin mengalami sedikit diare. Saya akan meresepkan obat anti diare. Pastikan Anda menjaga pola makan dan jauhi stress.”

“Baik, Dokter.” 

Dokter Afgan menanyakan tentang pola tidur, intensitas nyeri, hingga seberapa sering Jannah mengalami kelelahan. Dan untuk pertama kalinya, Jannah menjawab semua pertanyaan medis dengan jujur, tanpa merasa sedang ditelanjangi oleh rasa iba.

“Obat yang Anda pakai saat ini masih bisa dilanjutkan, tapi saya akan sesuaikan dosisnya supaya tidak terlalu membebani fungsi ginjal. Dan kalau boleh, saya ingin Anda mulai terapi relaksasi juga.”

"Relaksasi?"

Dokter Afgan mengangguk dengan senyum yang menunjukkan barisan putih giginya yang rapi, "Bolehkah saya memanggil Anda dengan nama?"

Jannah mengangguk. Di ruang itu, ia merasa menjadi pasien, ya, tapi juga manusia. Seorang perempuan yang sedang terluka, tapi masih berhak dirawat.

Beberapa menit berlalu dan pemeriksaan sudah selesai. Saat ia bersiap keluar ruangan, dokter Afgan berdiri dan menatapnya sejenak, lalu berkata pelan, “Saya sudah selesai praktek sesudah ini, bagaimana bila saya mengantarmu ke rumah singgah, Jannah?"

Panggilan nama yang lembut itu menusuk lembut ke dada Jannah. Jannah mengelengkan kepalanya dengan wajah yang terasa hangat.

“Hum, tidak perlu, saya… saya datang bersama supir, maksudku, supir bisa mengantarku…”

Jannah berbohong, tidak ada supir yang menunggunya di luar karena dia memang sudah bersiap untuk meninggalkan rumah dengan koper seusai pemeriksaan.

“Jannah, maaf sebelumnya, tapi tekanan darahmu agak rendah saat saya ukur tadi, kamu bisa pingsan setiap saat. Saya tidak bisa memaafkan diri saya sendiri jika pasien mengalami suatu hal yang sudah bisa saya duga di awal. Lebih baik, saya yang mengantarmu, Jannah.”

Setelah beberapa saat penuh pertimbangan, Jannah akhirnya mengangguk kecil, “saya akan menyuruh supir untuk pulang duluan.”

"Baik, kalau begitu... tunggu sebentar."

Jannah sedikit terkejut saat Dokter Afgan langsung melepas jubah putih prakteknya dan di dalamnya hanya singlet putih yang menonjolkan lekuk tubuh seorang pria matang yang menjaga porsi tubuhnya dengan olahraga ketat.

Dengan canggung, Jannah segera memalingkan wajahnya.

Dokter Afgan segera memakai kemeja putih dengan lengan panjang, "Yuk, ikut saya." Dia meraih tas kerjanya lalu memegang tangan Jannah.

Merasa malu, Jannah menarik tangannya. "Uhm, Dokter boleh jalan terlebih dahulu."

"Oh, baiklah. Kalau begitu, saya akan menarik kopermu saja. Dan panggil saja namaku, Afgan. Jangan terlalu segan."

Jannah mengangguk dengan wajah yang hangat... dan untuk pertama kalinya,

Seperti ada beban besar yang terangkat dari hatinya.

Namun, langkah Jannah terhenti tepat saat ia hampir mencapai pintu keluar rumah sakit.

Matanya secara tidak sengaja menangkap sosok yang begitu ia kenali, Deon.

Pria itu sedang berdiri di sudut salah satu ruang praktek dokter umum di lantai satu. Di sebelahnya berdiri Bella, tangannya diperban rapi. Dan yang membuat dada Jannah seperti terhimpit, Alfie pun ada di sana. Bertiga.

Jantungnya berdetak tidak beraturan.

Ia reflek berbalik, buru-buru menunduk dan berlindung di balik punggung lebar pria yang berada hanya beberapa langkah di depannya. 

“Ada apa?” tanya Dokter Afgan sambil menoleh setengah lalu mengikuti arah  tatapan Jannah. Sekilas ia melihat seorang pria bersama seorang anak dan wanita berwajah lembut. Lalu ia kembali menatap Jannah. Sorot matanya segera menangkap sesuatu yang tak diucapkan.

Jannah menggigit bibir, napasnya tersendat. Ia tidak bisa menjawab.  Tatapannya kosong, tapi penuh gejolak. Seolah-olah sedang berusaha menyembunyikan dirinya di balik punggung besar dokter itu sambil memantau sebuah perselingkuhan.

Dalam hati, Jannah bertanya: Bukankah tadi Deon bilang akan mengantar Alfie ke sekolah baru kemudian menemani Bella ke klinik? Lalu mengapa mereka kini bertiga datang ke rumah sakit? Dan mengapa Alfie tidak ke sekolah melainkan ada di sana?

Saat pikirannya berputar-putar dalam ketidakpastian, suara kecil yang sangat ia kenal tiba-tiba terdengar. “Mama jahat! Semua ini gara-gara Mama!” teriak Alfie dengan nada penuh kemarahan.

Tubuh Jannah menegang. Urat-urat di tengkuknya seolah tertarik paksa.

“Alfie benci Mama!” lanjut Alfie sambil menunjukkan tangan Bella ke arah Deon. “Lihat ini, Papa. Kulit Ibu Bella yang cantik, yang putih, sekarang jadi merah. Merah banget. Itu semua karena Mama!”

Bella menunduk, terlihat menahan perih dan canggung, sementara Deon… hanya berdiri di sana.

Diam.

Namun tangannya lalu menggenggam erat tangan Bella, tidak terlepas sedetik pun. Dan pada akhirnya, terdengar suara lirih keluar dari mulut suaminya.

“Maafkan aku…”

Dunia Jannah seperti berhenti. Suara yang terdengar lirih itu... suara suaminya... bukan ditujukan untuknya. Melainkan untuk wanita lain, di hadapan putra mereka sendiri.

Selama tujuh tahun pernikahan mereka, tidak pernah sekalipun Deon meminta maaf kepadanya. Atas ketidakhadirannya dalam peringatan setahun kematian mendiang Ibundanya, bahkan Deon tidak pernah mengingat hari ulang tahunnya apalagi peringatan hari pernikahan mereka. 

Dan Pria itu tidak pernah meminta maaf atas berbagai janji yang pernah di buat namun tidak pernah ditepati.

Dokter Afgan yang sejak tadi memperhatikan wajah Jannah dengan seksama, langsung bertindak setelah mengerti keadaan. Ia menegakkan punggungnya, lalu dengan gerakan lembut tapi tegas, merangkul pundak Jannah, menariknya ke sisi lain lorong.

Tubuh besar dan tinggi dokter itu benar-benar menutupi Jannah dari pandangan siapapun, termasuk Deon. Seolah menjadi benteng yang tak dapat ditembus.

“Mari,” bisiknya tiba-tiba, “ikut saya. Kita keluar lewat pintu samping.”

Jannah tak mampu berkata-kata. Ia hanya mengangguk perlahan, lalu berjalan di balik tubuh pria itu, seperti bayangan yang kehilangan cahaya. 

Sementara itu, di luar ruangan praktik dokter umum di lantai satu, Deon sempat melirik, sekelebat bayangan perempuan bergaun panjang mengenakan kerudung berwarna kuning muda. Sosok itu berlalu cepat, hanya terlihat separuh wajah, tapi hati Deon langsung mencelos.

Jannah?

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요
댓글 (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
wanita menye2 dan bodoh g pantas dikasihani. krn dia g tau cara menyayangi dirinya.
댓글 모두 보기

최신 챕터

  • Pak Deon, Istrimu Menolak Kembali   Bab 197

    Bella berjalan cepat ke tepi jalan, menghentikan taksi pertama yang lewat. Begitu duduk di kursi belakang, ia menarik napas panjang, tapi udara terasa menyesakkan. Dunia di luar jendela berputar cepat, gedung-gedung, pepohonan, dan langit biru bercampur jadi satu dalam pandangan kabur.Dalam keheningan kabin, pikirannya berlari ke arah yang tidak ingin ia tempuh. Setiap kalimat Tommy semalam bergema kembali, tentang cinta yang salah, tentang kesetiaan, tentang kehilangan diri sendiri demi seseorang.Ciuman yang dasyat dan aroma maskulin yang dia sukai dalam setiap sentuhan Tomy.Ia menatap pantulan dirinya di kaca jendela taksi. Wajahnya tampak asing, wanita itu tampak rapuh, kusut, tapi juga keras kepala. “Kamu udah jauh, Bella,” bisiknya sendiri. “Terlalu jauh. Sungguh memalukan.”"Kau menghancurkan apa yang sudah kau capai sendiri sampai hari ini!" geramnya sendiri dengan mata mulai berkaca-kaca.Tiba-tiba ponselnya berge

  • Pak Deon, Istrimu Menolak Kembali   Bab 196

    Sebuah ciuman yang dalam diberikan dan entah kenapa, Bella sama sekali tidak menolak. Bella menutup mata dan meresapi ciuman serta kehangatan dari bibir Tomy.Waktu seperti berhenti seketika, Bella mengecap manisnya bibir pria tampan itu dan membiarkannya membawa dalam gendongan, menuju ke kamar kecil berukuran 3x3 meter itu.Lampu redup dan cuaca dingin membuat Bella tidak mampu mengeluh, apalagi di saat Tomy mulai melancarkan aksinya yang penuh dengan hasrat.Ciuman yang membara dan pelukan nan hangat sudah lama dia dambakan dari Deon, namun tidak pernah ditanggapi pria itu."J-jangan, Tomy. Ini salah, aku akan... Deon," ucap Bella dengan lirih saat pria itu mulai membuka pakaiannya sambil dengan lembut menelusuri jenjang lehernya dengan bibir yang hangat miliknya."Kamu menginginkanku juga, Bella. Kamu tahu itu, tatapanmu juga memberitahukanku. Gerakan tubuhmu juga tidak bisa menolak sama sekali. Kamu ingin menikmatinya juga, bukan? Jangan bohon

  • Pak Deon, Istrimu Menolak Kembali   Bab 195

    Bella menatap kosong ke arah cangkirnya. “Sedih itu cuma bagian dari hidupku sekarang. Aku nggak tahu kapan terakhir kali aku bahagia tanpa berpura-pura.”Tommy tidak membalas. Ia duduk di sebelah Bella kembali. Ia hanya duduk lebih dekat, bukan karena niat, tapi karena jarak di antara mereka terasa terlalu dingin. Hujan di luar seperti mengunci waktu, membuat dunia hanya milik mereka berdua.“Kamu tahu rasanya sendirian padahal ada orang di sampingmu?” tanya Bella tiba-tiba, suaranya nyaris berbisik.Tomy menatapnya dalam. “Setiap hari.”Mata mereka bertemu. Lama. Tidak ada yang berani berpaling. Dalam tatapan itu, ada kesepian yang saling mengenali, ada luka yang sama, ada rasa ingin dipahami tanpa harus menjelaskan apa pun.Bella menelan ludah, jantungnya berdetak pelan tapi berat. “Tom…”Suara itu berhenti di tenggorokan, seolah takut pada apa yang akan keluar berikutnya.Tomy

  • Pak Deon, Istrimu Menolak Kembali   Bab 194

    Tommy memegang bahu adiknya, menatapnya dengan campuran marah dan sedih.“Dia sudah punya istri, Lira! Kamu sadar nggak? Kamu mau jadi apa nanti? Perempuan simpanan? Kamu kira cinta seperti itu bisa bertahan lama?”Suara Tommy meninggi, tapi nada getirnya lebih terdengar seperti luka lama yang tergores lagi."Kita masuk dulu dan bicara, ini temanku, Bella." Tomy menarik tangan Bella supaya masuk ke dalam rumah lalu menguncinya dari dalam, sementara Lira hanya melangkah pelan dengan lesu tanpa menanggapi lebih lanjut keberadaan Bella sama sekali."Lira, kamu salah. Memangnya kamu bersedia jadi istri simpanan? Alias pelakor?"Bella menelan ludah. Setiap kata “istri”, “salah”, “perempuan simpanan” menusuk dadanya seperti pisau. Ia ingin pergi, tapi sesuatu menahannya.Lira menggigit bibirnya, menatap Bella. “Kak, Mas nggak ngerti. Aku cuma pengin dicintai. Aku tahu dia salah, tapi aku ngeras

  • Pak Deon, Istrimu Menolak Kembali   Bab 193

    “Sudah, Tuan. Dokter bilang ini demam akibat kelelahan dan stres. Hari ini pak Dokter juga akan datang untuk meninjau kondisi."Deon memijit pelipisnya. Ia tidak tahu sama sekali bahwa akhir-akhir ini Alfie berubah menjadi pendiam, sering menyendiri, bahkan tidak lagi menyapa Bella.Bocah itu lebih banyak mengurung diri di kamar sambil menatap foto lama, foto di mana Jannah menggendongnya dengan tatapan penuh kasih.“Papa…” suara lemah itu membuat Deon segera menghampiri ranjang. Ia duduk di tepi tempat tidur, menggenggam tangan kecil yang panasnya seperti bara.“Ada apa, Nak?” bisiknya.“Mama... Mama di mana? Aku... aku mau Mama...” bibir Alfie bergetar.Deon menelan ludah. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Jannah, tapi nomornya tidak aktif. Email tidak pernah dibalas. Cahyo yang biasanya tahu semua pergerakan pun kini tampak gelisah setiap kali Deon menanyakan kabar wanita itu.

  • Pak Deon, Istrimu Menolak Kembali   Bab 192

    Namun ketika sesi usai, keringat dingin menetes di tengkuknya bukan karena lelah, melainkan karena perasaan aneh yang tumbuh tanpa izin. Dia merasa harus menegur pelatih baru yang agak kurang sopan itu."Jeng Bella, besok ketemu di kafe seperti biasaya!""Iya Jeng Ayu, jangan lupa bawa kerupuk kentang baladonya,"sahut Bella sambil menyeka keringatnya."Duluan, Jeng..." sapa ibu-ibu yang lain sambil melayangkan sebelah tangan, ada yang mengedipkan sebelah matanya, "sikat aja, Jeng. Masih polos dan wangi itu!"Bella melempar handuknya, namun perempuan yang menjadi sahabatnya itu segera menangkap lalu melempar balik handuk kecilnya, "nanti Jeng butuh, buat ngelap-ngelap."Teman-temannya pada tertawa dan terkikik, mereka segera lari keluar ruangan dengan cepat.Para peserta satu per satu keluar sambil berceloteh riang, tapi Bella tetap duduk di bangku panjang, berpura-pura membereskan sepatunya. Ia ingin mengatur napas, ingin menenangkan pikiran

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status