“Ibu Bella, kalau kita menang lomba kemarin, hadiahnya bisa buat beli cemilan, ya?”
“Kalau kamu baik dan rajin belajar, Mommy-mu pasti beliin, kan?”
Diliputi rasa nyeri yang belum hilang sejak semalam, ia mendengar suara riang Alfie dari arah dapur tengah bercengkrama dengan sosok yang tak lain adalah Bella.
Jannah berdiri di ambang pintu dapur, menatap dalam diam. Bella tengah memotong apel dengan tenang, sesekali dia mengaduk sup yang sedang dimasak di atas kompor yang menyala. Senyum ramahnya tidak berubah.
Wanita itu selalu hadir pagi-pagi sekali. Awalnya Jannah menganggapnya sebagai pegawai yang baik. Namun, hari ini Jannah mulai memperhatikan lebih mendetail.
“Mommy nggak pernah suka cemilan. Mommy suka diam aja di kamar. Dia selalu tidur. Nggak kayak Ibu Bella,” ucap Alfie dengan memamerkan wajah cemberutnya ke arah Bella.
Jantung Jannah serasa disayat. Ia menelan ludah, menahan emosi yang bergemuruh.
“Alfie,” panggilnya pelan.
Anak itu menoleh. “Oh, Mommy sudah bangun!” serunya, tak terlalu bersemangat. Dia melayangkan tatapan datar ke arah Jannah seolah kehadiran ibu kandungnya hanya menganggu.
Ekspresinya datar lalu berkata dengan suara dingin. “Mau apel juga?”
Jannah tersenyum kecil. “Boleh. Kamu ke taman depan dulu, ya. Mommy mau bicara sama Bella sebentar.”
Alfie menoleh ke arah Bella seolah sedang meminta persetujuan dari wanita itu. Melihat Bella mengangguk kecil. Alfie tersenyum kemudian beranjak dari kursinya. Namun dia bergumam kecil dalam hatinya, “Mama tidak mungkin memarahi Ibu Bella karena Alfie tidak menyapanya semalam ‘kan?”
Dia bahkan masih melihat ke arah Jannah dengan mimik penuh curiga sebelum akhirnya benar-benar pergi dari sana.
Setelah anak itu pergi, Jannah masuk lebih dalam. Bella masih tetap tenang, bahkan melanjutkan gerakannya memasak sup.
“Bella, apakah ada yang ingin kamu katakan?” tanya Jannah dengan suara lembut tapi menusuk.
Bella menunduk sopan. “Mengenai acara di sekolah semalam, saya… tidak ingin mengganggu waktu Ibu. Lagi pula saya pikir Ibu sudah tahu, karena Alfie sempat cerita katanya, dan Tuan Deon yang mengutusku ke sana. Jadi bukan atas kehendakku.”
Bella melirik pelan untuk melihat reaksi Jannah.
Jannah menatap langsung ke mata wanita itu. “Dan kamu tahu, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bagaimana kamu berdiri di samping suami saya, dia merangkul pinggangmu kemudian saat mengganti baju anak saya, seolah kamu istrinya.”
Bella terdiam. Lalu mengangguk pelan. “Saya minta maaf kalau terlihat tidak pantas. Saya hanya menjalankan tugas seperti biasa. Saya tidak berniat menggantikan siapapun, Bu Jannah.”
Ucapan itu seharusnya meredakan amarah Jannah. Tapi justru membuat dadanya makin sesak. Karena Bella terlalu sempurna. Terlalu ramah. Terlalu bersih untuk dicurigai. Dan justru karena itulah, semuanya terasa semakin mencurigakan.
“Kalau Bu Jannah kurang suka, saya akan pergi sekarang. Tuan akan memaklumi keabsenan diriku.”
“Kenapa aku merasa sindiran dalam kalimat terakhirmu ini?” Jannah melayangkan tatapan tajam ke arah Bella yang terlihat berekspresi datar.
Tang!
Bella meletakkan sendok sayur dengan kesal, lalu segera meninggalkan dapur itu.
“Kenapa tidak kamu selesaikan tugasmu itu, Bella?”
Langkah Bella tertahan, wanita itu memutar tubuhnya, menatap santai seraya mengulum senyum ke arah Jannah.
Tangannya terlipat di dada, seolah wanita di hadapannya ini bukan siapa-siapa.
“Kamu yakin mampu melakukannya?” tantang Bella.
Jannah mengernyit.
“Tuan Deon, pria yang memiliki status sebagai atasanku itu… ternyata sangat membutuhkanku, lebih dari keberadaan istri yang hanya bisa tidur dan menelan obat anti nyeri setiap empat jam.”
“Apa katamu?” Jannah terkejut, ekspresinya tak terbaca.
“Kalian sedang membahas apa?”
Tiba-tiba, aroma parfum oud menyeruak di dapur itu. Sosok pria tegap dengan pakaian yang rapi muncul menatap mereka berdua.
“Oh, tidak.” Bella buru-buru melangkah kembali ke dapur, matanya sempat melirik sekilas ke arah Jannah lalu ke arah Deon yang seketika muncul di antara mereka.
Senyum tipisnya menguap begitu saja ketika menyadari keberadaan Deon. Ia segera berpura–pura mengaduk sop yang sedang dimasaknya dengan gerakan tergesa.
“Saya hanya sedang memasak sop ayam kesukaan Alfie,” ucapnya tanpa menoleh, “dan Nyonya, tadi mengatakan bahwa sop ini kurang sesuai dengan selera Tuan…”
Jannah mengerutkan kening, memicingkan mata menatap Bella dari kejauhan, bukan itu yang mereka bahas tadi.
Jannah pelan-pelan memutar tubuhnya ke arah Deon. Ada sesuatu yang menusuk dalam kalimat itu, entah nada lembutnya atau pemilihan katanya yang begitu lihai, seolah-olah menuduh tanpa menyalahkan, menyentuh luka tanpa menyayat langsung.
“Aku…” gumam Jannah, tapi suaranya nyaris hilang oleh tekanan dadanya sendiri.
Deon mendekat sambil merangkul pinggang Jannah dengan gerakan yang terasa terlalu penuh perhitungan
“Sayang,” sela Deon cepat, memotong kalimat Jannah, “kenapa kamu tidak kembali ke kamar untuk beristirahat saja? Biarkan Bella yang urus ini semua."
Jannah tercekat, sentuhan Deon tidak seperti yang biasanya ia dapatkan.
"Alfie suka makanan yang dia buat, bukankah itu sudah meringankan pekerjaanmu?”
"Bukan, ini… aku…"
Nafas Jannah tersedak. Satu bagian dalam dirinya ingin percaya bahwa Deon hanya peduli padanya.
Tapi bagian lain? Bagian yang sudah terlalu sering menangis sendirian di kamar, bagian yang menyaksikan bagaimana Deon lebih sering tersenyum saat berbicara dengan Bella.
Bagian itu, justru membuatnya ingin berteriak.
Namun sebelum ia bisa menolak, tangan Deon sudah menuntunnya pelan kembali menuju kamar. Gerakannya lembut, terasa penuh perhatian, tapi terasa seperti penggiringan, bukan ajakan.
Lalu tiba-tiba suara jeritan melengking memecah keheningan.
“Aaargh!”
“Bella!” seru Deon, refleks berlari ke arah dapur.
Jannah terpaku di tempat, matanya membelalak saat melihat Deon begitu panik, bahkan terlalu panik. Ia bahkan tidak melepas genggaman tangan Jannah dengan perlahan seperti biasanya, melainkan bergegas menarik dirinya begitu saja dan berlari ke sisi Bella.
“Bella, tunjukkan tanganmu. Kena bagian mana?” Deon terdengar begitu cemas.
Air mata Jannah menggenang. Ia terpaku, menyaksikan Deon meniup lembut tangan Bella yang memerah—dengan sentuhan yang tak pernah ia rasakan darinya.
Melihat itu Jannah seketika mematung. Ia sadar dirinya tak lagi memiliki tempat di hati Deon. Dan karena itu, sudah waktunya kini ia membebaskan dirinya.
Deon sudah kembali ke kamar dan berdiri tepat di tengah pintu kamar utama."Uhm, hanya coretan bekas PR si Alfie, bukan hal penting."Deon mengernyitkan dahi, menatap wajah Bella yang sekilas diliputi kegugupan."Apakah saya boleh melihatnya?"Bella menggigit bibirnya, hatinya berdegup kencang lalu menunduk. “Deon, kok saya tiba-tiba merasa pusing.” Tangannya naik ke kening, tubuhnya mulai oleng. Dan sebelum sempat benar-benar jatuh, Deon sudah menangkap tubuhnya.“Eh, kamu kenapa?” tanyanya dengan nada khawatir, sementara Bella berpura-pura kehilangan tenaga, bersandar di pelukannya."Deon..."Mau tak mau, Deon
Ia menoleh lebih jelas. Tapi tak ada siapa-siapa sekarang. Mungkin hanya bayangan. Atau... benar-benar dia?“Tunggu sebentar…” gumam Deon seraya melepas genggaman tangannya dari Bella lalu berdiri. Kakinya hendak melangkah meninggalkan ruangan, tapi—“Akh!” Tiba-tiba Bella meringis pelan sambil memegangi perbannya.Deon langsung berhenti. “Ada apa? Sakit lagi?” tanyanya cepat.Bella mengangguk kecil, suaranya gemetar. “Maaf, tadi perbannya tersenggol. Rasanya perih sekali…”Deon langsung duduk kembali dan memegang tangan Bella.Bella menunduk, tapi dari semua itu, matanya melirik ke arah lorong tempat tadi D
“Eh, Ya, saya…” Jannah merasa canggung.“Dari data yang saya lihat, nyeri sendi yang Anda alami sudah memasuki tahap kronis. Kita evaluasi dulu, ya. Apa Anda datang sendiri hari ini?” tanyanya sambil mengetikkan sesuatu di laptopnya, berupa berkas elektronik.“Eh, iya, Dokter,” sahut Jannah pelan tapi canggung. “Dan saya lihat…” Ia berhenti sejenak, menatap koper kecil di sebelah kaki Jannah. “Anda membawa koper?”"Maaf, apakah Anda berencana melakukan perjalanan?"Jannah menunduk. Tangannya meremas jemari sendiri di pangkuan. Dia belum memutuskan akan ke mana. Satu-satunya tempat yang bisa dia pergi adalah rumah Naila, sahabatnya."Uhm, sekali lagi maaf. Saya bukan ingin mencampuri urusan pribadi Anda, tapi untuk kondisi Anda saat ini, sangat tidak disarankan untuk melakukan perjalanan..."“Oh, bukan. Maksudku… Saya sedang... ingin sendiri. Rasanya... saya perlu menenangkan diri. Saya ingin menyembuhkan, bukan hanya badan, tapi juga yang lain-lain," sela Jannah buru-buru.Ada jeda
“Jannah! Tolong ambilkan salep oles dari lemari obat di kamar!” teriak Deon.Itu suara yang tak pernah ia dengar bahkan saat Jannah pingsan karena nyeri tiba-tiba yang sering menyiksa sendinya. Seolah-olah Deon benar-benar sudah lupa, siapa yang adalah istrinya.Suara yang tak pernah digunakan untuknya, tapi kini diteriakkan demi luka kecil di tangan seorang asisten?Tangis yang ditahannya pecah juga. Ia memutar tubuh tanpa kata, lalu berjalan cepat menuju kamar. Tapi langkahnya goyah, seperti tubuhnya kehilangan tenaga.Nafasnya tercekat dan rasa sesak memenuhi dadanya. Ia tidak mengambil obat. Ia tidak menjawab. Ia bahkan tidak membanting pintu kamar. Ia hanya diam, dan membiarkan dirinya lenyap dalam sepi.Deon melihat kepergian Jannah namun tidak mempedulikan hal itu, dia berpikir Jannah menuruti perintahnya dan pergi mengambil obat.Bella menahan napas, mengerjap pelan sambil berpura-pura menahan air mata, namun ada senyum kecil di sudut bibirnya.“Saya... tidak sengaja, Tuan Deo
“Ibu Bella, kalau kita menang lomba kemarin, hadiahnya bisa buat beli cemilan, ya?”“Kalau kamu baik dan rajin belajar, Mommy-mu pasti beliin, kan?”Diliputi rasa nyeri yang belum hilang sejak semalam, ia mendengar suara riang Alfie dari arah dapur tengah bercengkrama dengan sosok yang tak lain adalah Bella.Jannah berdiri di ambang pintu dapur, menatap dalam diam. Bella tengah memotong apel dengan tenang, sesekali dia mengaduk sup yang sedang dimasak di atas kompor yang menyala. Senyum ramahnya tidak berubah.Wanita itu selalu hadir pagi-pagi sekali. Awalnya Jannah menganggapnya sebagai pegawai yang baik. Namun, hari ini Jannah mulai memperhatikan lebih mendetail.“Mommy nggak pernah suka cemilan. Mommy suka diam aja di kamar. Dia selalu tidur. Nggak kayak Ibu Bella,” ucap Alfie dengan memamerkan wajah cemberutnya ke arah Bella.Jantung Jannah serasa disayat. Ia menelan ludah, menahan emosi yang bergemuruh.“Alfie,” panggilnya pelan.Anak itu menoleh. “Oh, Mommy sudah bangun!” seruny
“Bella O’Brien!” geram Jannah dengan suara bergetar. Dia adalah asisten Deon. Wanita dengan kecantikan sempurna dan sudah bekerja selama dua tahun terakhir.Ketiga orang itu memakai celemek yang memiliki gambar dan pola sama dalam ukuran tubuh berbeda. Gambar karakter dengan wortel besar.“Bagaimana bisa... Bella?” gumamnya lirih. Kata itu nyaris tak terdengar, bahkan oleh dirinya sendiri.Mata Naila ikut menatap ke arah kerumunan kecil di taman, rahangnya mengencang."Jannah..."“Maaf,” gumam Jannah dengan suara bergetar. “Kita pergi, Nai…”Naila segera memeluknya. Erat. “Kenapa pergi, Jannah? Kamu tidak mau bertemu dengan anakmu?”Jannah membalas pelukan itu dengan tubuh yang akhirnya goyah. Air matanya mengalir tanpa bisa ditahan lagi, jatuh di pundak Naila yang tubuhnya lebih tinggi sedikit darinya.“Tak apa, melihat anakku tersenyum seperti itu sudah cukup bagiku,” katanya dengan suara nyaris pecah.Naila menatapnya tajam. “Anakmu hanya bingung, Jan. Dia terlalu kecil untuk menge