Share

Bab 3

Penulis: Runayanti
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-08 17:26:10

“Ibu Bella, kalau kita menang lomba kemarin, hadiahnya bisa buat beli cemilan, ya?”

“Kalau kamu baik dan rajin belajar, Mommy-mu pasti beliin, kan?”

Diliputi rasa nyeri yang belum hilang sejak semalam, ia mendengar suara riang Alfie dari arah dapur tengah bercengkrama dengan sosok yang tak lain adalah Bella.

Jannah berdiri di ambang pintu dapur, menatap dalam diam. Bella tengah memotong apel dengan tenang, sesekali dia mengaduk sup yang sedang dimasak di atas kompor yang menyala. Senyum ramahnya tidak berubah.

Wanita itu selalu hadir pagi-pagi sekali. Awalnya Jannah menganggapnya sebagai pegawai yang baik. Namun, hari ini Jannah mulai memperhatikan lebih mendetail.

“Mommy nggak pernah suka cemilan. Mommy suka diam aja di kamar. Dia selalu tidur. Nggak kayak Ibu Bella,” ucap Alfie dengan memamerkan wajah cemberutnya ke arah Bella.

Jantung Jannah serasa disayat. Ia menelan ludah, menahan emosi yang bergemuruh.

“Alfie,” panggilnya pelan.

Anak itu menoleh. “Oh, Mommy sudah bangun!” serunya, tak terlalu bersemangat. Dia melayangkan tatapan datar ke arah Jannah seolah kehadiran ibu kandungnya hanya menganggu.

Ekspresinya datar lalu berkata dengan suara dingin. “Mau apel juga?”

Jannah tersenyum kecil. “Boleh. Kamu ke taman depan dulu, ya. Mommy  mau bicara sama Bella sebentar.”

Alfie menoleh ke arah Bella seolah sedang meminta persetujuan dari wanita itu. Melihat Bella mengangguk kecil. Alfie tersenyum kemudian beranjak dari kursinya. Namun dia bergumam kecil dalam hatinya, “Mama tidak mungkin memarahi Ibu Bella karena Alfie tidak menyapanya semalam ‘kan?” 

Dia bahkan masih melihat ke arah Jannah dengan mimik penuh curiga sebelum akhirnya benar-benar pergi dari sana.

Setelah anak itu pergi, Jannah masuk lebih dalam. Bella masih tetap tenang, bahkan melanjutkan gerakannya memasak sup.

“Bella, apakah ada yang ingin kamu katakan?” tanya Jannah dengan suara lembut tapi menusuk.

Bella menunduk sopan. “Mengenai acara di sekolah semalam, saya… tidak ingin mengganggu waktu Ibu. Lagi pula saya pikir Ibu sudah tahu, karena Alfie sempat cerita katanya, dan Tuan Deon yang mengutusku ke sana. Jadi bukan atas kehendakku.”

Bella melirik pelan untuk melihat reaksi Jannah.

Jannah menatap langsung ke mata wanita itu. “Dan kamu tahu, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bagaimana kamu berdiri di samping suami saya, dia merangkul pinggangmu kemudian saat mengganti baju anak saya, seolah kamu istrinya.”

Bella terdiam. Lalu mengangguk pelan. “Saya minta maaf kalau terlihat tidak pantas. Saya hanya menjalankan tugas seperti biasa. Saya tidak berniat menggantikan siapapun, Bu Jannah.”

Ucapan itu seharusnya meredakan amarah Jannah. Tapi justru membuat dadanya makin sesak. Karena Bella terlalu sempurna. Terlalu ramah. Terlalu bersih untuk dicurigai. Dan justru karena itulah, semuanya terasa semakin mencurigakan.

“Kalau Bu Jannah kurang suka, saya akan pergi sekarang. Tuan akan memaklumi keabsenan diriku.”

“Kenapa aku merasa sindiran dalam kalimat terakhirmu ini?” Jannah melayangkan tatapan tajam ke arah Bella yang terlihat berekspresi datar.

Tang!

Bella meletakkan sendok sayur dengan kesal, lalu segera meninggalkan dapur itu.

“Kenapa tidak kamu selesaikan tugasmu itu, Bella?”

Langkah Bella tertahan, wanita itu memutar tubuhnya, menatap santai seraya mengulum senyum ke arah Jannah. 

Tangannya terlipat di dada, seolah wanita di hadapannya ini bukan siapa-siapa.

“Kamu yakin mampu melakukannya?” tantang Bella.

Jannah mengernyit.

“Tuan Deon, pria yang memiliki status sebagai atasanku itu… ternyata sangat membutuhkanku, lebih dari keberadaan istri yang hanya bisa tidur dan menelan obat anti nyeri setiap empat jam.”

“Apa katamu?” Jannah terkejut, ekspresinya tak terbaca. 

“Kalian sedang membahas apa?”

Tiba-tiba, aroma parfum oud menyeruak di dapur itu. Sosok pria tegap dengan pakaian yang rapi muncul menatap mereka berdua.

“Oh, tidak.” Bella buru-buru melangkah kembali ke dapur, matanya sempat melirik sekilas ke arah Jannah lalu ke arah Deon yang seketika muncul di antara mereka.

Senyum tipisnya menguap begitu saja ketika menyadari keberadaan Deon. Ia segera berpura–pura mengaduk sop yang sedang dimasaknya dengan gerakan tergesa.

“Saya hanya sedang memasak sop ayam kesukaan Alfie,” ucapnya tanpa menoleh, “dan Nyonya, tadi mengatakan bahwa sop ini kurang sesuai dengan selera Tuan…”

Jannah mengerutkan kening, memicingkan mata menatap Bella dari kejauhan, bukan itu yang mereka bahas tadi.

Jannah pelan-pelan memutar tubuhnya ke arah Deon. Ada sesuatu yang menusuk dalam kalimat itu, entah nada lembutnya atau pemilihan katanya yang begitu lihai, seolah-olah menuduh tanpa menyalahkan, menyentuh luka tanpa menyayat langsung.

“Aku…” gumam Jannah, tapi suaranya nyaris hilang oleh tekanan dadanya sendiri.

Deon mendekat sambil merangkul pinggang Jannah dengan gerakan yang terasa terlalu penuh perhitungan

“Sayang,” sela Deon cepat, memotong kalimat Jannah, “kenapa kamu tidak kembali ke kamar untuk beristirahat saja? Biarkan Bella yang urus ini semua."

Jannah tercekat, sentuhan Deon tidak seperti yang biasanya ia dapatkan.

"Alfie suka makanan yang dia buat, bukankah itu sudah meringankan pekerjaanmu?”

"Bukan, ini… aku…"

Nafas Jannah tersedak. Satu bagian dalam dirinya ingin percaya bahwa Deon hanya peduli padanya.

Tapi bagian lain? Bagian yang sudah terlalu sering menangis sendirian di kamar, bagian yang menyaksikan bagaimana Deon lebih sering tersenyum saat berbicara dengan Bella. 

Bagian itu, justru membuatnya ingin berteriak.

Namun sebelum ia bisa menolak, tangan Deon sudah menuntunnya pelan kembali menuju kamar. Gerakannya lembut, terasa penuh perhatian, tapi terasa seperti penggiringan, bukan ajakan.

Lalu tiba-tiba suara jeritan melengking memecah keheningan.

“Aaargh!”

“Bella!” seru Deon, refleks berlari ke arah dapur.

Jannah terpaku di tempat, matanya membelalak saat melihat Deon begitu panik, bahkan terlalu panik. Ia bahkan tidak melepas genggaman tangan Jannah dengan perlahan seperti biasanya, melainkan bergegas menarik dirinya begitu saja dan berlari ke sisi Bella.

“Bella, tunjukkan tanganmu. Kena bagian mana?” Deon terdengar begitu cemas.

Air mata Jannah menggenang. Ia terpaku, menyaksikan Deon meniup lembut tangan Bella yang memerah—dengan sentuhan yang tak pernah ia rasakan darinya.

Melihat itu Jannah seketika mematung. Ia sadar dirinya tak lagi memiliki tempat di hati Deon. Dan karena itu, sudah waktunya kini ia membebaskan dirinya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pak Deon, Istrimu Menolak Kembali   Bab 88

    Tanpa sepatah kata, Deon melepaskan mantel dan menaruhnya di kursi, lalu meraih sisi ranjangnya sendiri. Ia berbaring pelan, memunggungi Jannah, menarik napas panjang, dan memejamkan mata. Tak ada percakapan, tak ada sentuhan. Hanya dua hati yang berbaring berdampingan, terpisah oleh jarak yang tak kasat mata.Entah sejak pukul berapa, keheningan yang nyata itu membuat kedua insan itu tertidur dengan posisi saling bertolak belakang. Dalam diam, dan tenggelam dalam pikiran masing-masing yang cukup panjang dan rumit.Pagi harinya, sinar matahari perlahan menembus kamar, menerpa wajah Jannah yang pucat. Nafasnya berat, tubuhnya terasa lemah luar biasa. Kepalanya berdenyut, nyeri menjalar hingga ke persendian. Fibromyalgia-nya kembali kambuh akibat stres semalam.Jannah berusaha bangun perlahan, namun pandangannya berkunang. Peluh dingin membasahi pelipisnya, membuat tubuhnya semakin lemas. Tangannya meraba meja di samping ranjang, mencari obat yang selalu ia simpan

  • Pak Deon, Istrimu Menolak Kembali   Bab 87

    Lalu, dengan sengaja, Bella mencondongkan wajahnya, bibirnya hampir menempel di bawah telinga Deon.“Deon…” bisiknya manja, cukup keras untuk terdengar oleh Jannah di balik pintu. "Kamu bau alkohol, tapi aku menyukainya."Tepat setelah itu, Bella mengecup bawah telinga Deon dengan sengaja.Hancur.Seolah dunia runtuh di hadapan Jannah. Suara detak jantungnya menggema di telinga, sementara udara seakan hilang dari paru-parunya. Ia mundur selangkah, menutup mulutnya dengan tangan untuk menahan isak yang nyaris pecah.Deon sama sekali tidak menyadari pandangan Jannah dari balik pintu. Dia hanya terus berjalan ke kamar Bella, menurunkannya di ranjang dengan hati-hati."Sudah, kamu istirahatlah, aku akan kembali ke kamarku.""Ehh, jangan! Maksudku, tunggu sebentar!" pekik Bella seraya menaikkan lututnya, memegang mata kakinya dengan mata yang mulai basah.Di luar, Jannah menutup pintu kamarnya perlah

  • Pak Deon, Istrimu Menolak Kembali   Bab 86

    Namun yang paling menakutkan bukanlah Vincent yang terkapar di rumah sakit. Yang membuat dadanya sesak adalah kenyataan bahwa kata-kata Vincent barusan terus terngiang… dan ia tahu, sebagian dari itu adalah kebenaran yang selama ini ia hindari.Ia hanya berusaha menghindari fakta. Dengan dikawali beberapa pria yang meleraikan mereka tadi, Deon ikut ke mobil ambulans yang membawa serta tubuh Vincent yang sudah terkulai tidak berdaya dan penuh bercak darah di mana-mana.Pertolongan segera dilakukan. Bau antiseptik dan suara alat monitor jantung memenuhi ruang sempit tempat Vincent terbaring. Perintah dari dokter yang menangani penuh kepanikan namun professional, berusaha menyelamatkan korban.Sementara Deon duduk di kursi, kepalanya tertunduk, wajahnya suram. Tangannya masih berlumuran bekas darah yang belum sepenuhnya terhapus.Tidak lama kemudian, seorang Dokter keluar dan melepaskan masker medisnya."Siapa yang bertanggungjawab atas korban?"Deon segera berdiri, "saya! Bagaimana kead

  • Pak Deon, Istrimu Menolak Kembali   Bab 85

    Bab 85Bella mengigit bibirnya sendiri, menyaksikan bagaimana Deon masih menggendong istrinya dengan mesra. Wajahnya memanas dan dia mengenggam sendoknya. Membenamkan amarah dan berusaha menenangkan dirinya.“Bella, kamu akan menginap di sini bersama Alfie.” Suara Kakek Robert membuyarkan tatapan Bella yang memanas ke arah Deon dan Jannah yang melangkah pergi.Hidung Bella kembang-kempis, senyumnya nyaris tak bisa ia sembunyikan. Hatinya terasa hangat sekaligus bergejolak. Itu berarti kakek benar-benar menganggapnya bagian dari keluarga ini, bagian yang penting. Tatapan pria tua itu sempat melirik Jannah sekilas, tanpa kata, namun cukup menusuk.Deon menghentikan langkahnya sedikit, sementara Jannah yang berada dalam gendongannya hanya menunduk, berusaha menelan kepahitan tanpa terlihat rapuh. Tangannya meremas bahu kanan Deon, begitu kuat, menahan nyeri yang menjalar dari dadanya. Sementara itu, Deon yang menggendongnya kembali melanjutkan langkahnya menaiki tanggan. Tidak mengatakan

  • Pak Deon, Istrimu Menolak Kembali   Bab 84

    Jannah menundukkan kepalanya, menatap kosong piringnya yang sudah dingin. Jemarinya meremas ujung serbet di pangkuan, berusaha menahan gemetar yang mulai terasa. Ucapan Kakek Robert barusan seperti menghantam dadanya, keras, dingin, dan penuh penolakan. Ditambah saat menyaksikan bagaimana Deon mengambil sepotong daging ayam untuk Bella.Beberapa saat setelah keheningan yang mencekik, Kakek Robert berkata, "Kalian akan mengadakan konfrensi pers minggu ini. Kakek ingin mengumumkan mengenai pertunangan kalian."Deon yang sejak tadi diam menoleh dan menatap kakeknya tajam, rahangnya mengeras. “Aku tidak setuju dengan ini,” ucapnya datar, namun ada nada penekanan yang membuat suasana meja semakin mencekam. “Kau tidak bisa seenaknya memutuskan perihal ini.”Kakek Robert menoleh perlahan, tatapannya tajam seperti pisau. “Aku bisa!, Deon. Dan aku akan melakukannya. Ingat siapa yang membuatmu ada di posisi ini. Semua yang kamu

  • Pak Deon, Istrimu Menolak Kembali   Bab 83

    Beberapa menit kemudian, mereka kembali ke kamar dengan pakaian bersih. Rambut Jannah masih sedikit basah, meneteskan aroma wangi sabun yang lembut. Deon meraih handuk kecil, mengeringkan helai-helai rambut istrinya dengan gerakan pelan.“Deon…”“Hm?”“Kamu… aneh lho, apakah ada sesuatu yang terjadi?” ujar Jannah akhirnya.Deon menghentikan gerakannya sejenak, lalu menatapnya dalam. “Aneh, ya?” suaranya rendah, hampir terdengar seperti gumaman.Jannah mengangguk kecil. “Biasanya kamu dingin, suka marah, nggak pernah jelasin apa-apa… Tapi sekarang… kamu terasa beda.”Deon menunduk, menyembunyikan sorot matanya. Ia tak ingin Jannah melihat bahwa ada badai dalam pikirannya. Tentang semua yang membuatnya berada di titik rapuh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.“Aku cuma…” Deon terhenti, menarik napas panjang. “Aku cuma ma

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status