MasukIa menoleh lebih jelas. Tapi tak ada siapa-siapa sekarang. Mungkin hanya bayangan. Atau... benar-benar dia?
“Tunggu sebentar…” gumam Deon seraya melepas genggaman tangannya dari Bella lalu berdiri. Kakinya hendak melangkah meninggalkan ruangan, tapi—
“Akh!” Tiba-tiba Bella meringis pelan sambil memegangi perbannya.
Deon langsung berhenti. “Ada apa? Sakit lagi?” tanyanya cepat.
Bella mengangguk kecil, suaranya gemetar. “Maaf, tadi perbannya tersenggol. Rasanya perih sekali…”
Deon langsung duduk kembali dan memegang tangan Bella.
Bella menunduk, tapi dari semua itu, matanya melirik ke arah lorong tempat tadi Deon hendak pergi. Ia melihatnya juga. Sekilas. Sosok Jannah bersama seorang pria walau dia tidak begitu yakin. Tapi dia tak ingin Deon menyusul perempuan itu. Bukan sekarang. Bukan ketika posisinya mulai menguat di hati anak dan suami Jannah.
Tepat pada saat itu, suara perawat memanggil nama mereka.
“Pasien atas nama Bella O'Brien, silakan masuk ke ruang konsultasi.”
Deon menoleh, sedikit ragu. Masih ada keinginan dalam hatinya untuk memastikan siapa sosok yang tadi melintas. Tapi Bella menarik lengannya lembut.
“Yuk,” ujarnya dengan senyum tipis. “Kita sudah dipanggil.”
Alfie pun menggamit lengan ayahnya. “Cepat, Pa. Biar Ibu Bella cepat sembuh.”
Akhirnya, Deon menyerah pada situasi. Ia melangkah masuk ke ruang dokter bersama Bella dan Alfie, dia sempat menoleh kembali ke lorong itu, namun lorong itu sudah sepi.
Setelah keluar dari ruang konsultasi, Deon mengantar Bella dan Alfie menuju mobil.
Di bangku belakang, Alfie duduk sambil terus memegangi tangan Bella yang dibalut perban, ekspresi wajahnya masih dipenuhi kekhawatiran.
“Papa, nanti Ibu Bella tetap bikin pie apel, kan? Kan Ibu Bella udah janji…” tanya Alfie tiba-tiba, memecah keheningan yang tegang.
Deon yang duduk di belakang kemudi hanya menoleh singkat ke kaca spion, memandangi anaknya yang begitu lengket pada wanita itu.
“Nanti kita lihat dulu, Nak,” jawabnya pendek.
Mobil melaju menuju sekolah Alfie, hanya memakan waktu sekitar dua puluh menit. Alfie mencium pipi Bella dulu sebelum berpamitan pada ayahnya. Tidak sedikit pun menyebut nama Jannah.
Setelah Alfie masuk ke halaman sekolah, Deon menghela napas panjang, matanya mengarah lurus ke depan.
“Baiklah. Sekarang aku antar kamu pulang ya, Bella. Istirahat yang cukup. Tanganmu belum sembuh benar.”
Namun Bella hanya menggeleng dengan cepat. “Aku masih ingin menyelesaikan pie apel itu. Aku tahu Alfie sangat menantikannya.”
Deon mengernyit. “Tapi tanganmu… maksudku, kamu tidak perlu memaksakan diri.”
“Aku tidak memaksakan diri,” potong Bella lembut. “Justru aku akan merasa lebih tidak enak kalau harus meninggalkan janji."
“Tapi—”
“Tuan Deon,” suara Bella sedikit lebih tegas, meskipun tetap dibalut kelembutan, “Aku hanya ingin membuat sesuatu yang bisa membuat Alfie tersenyum.”
Deon terdiam. Pandangannya tertuju ke jalanan yang perlahan mulai padat. Dalam hatinya, ia sempat berpikir untuk memutar balik, pergi ke rumah sakit, mengecek Jannah—melihat apakah ia sudah selesai konsultasi, menanyakan kondisinya, memastikan ia baik-baik saja.
Tapi...
Kata-kata Alfie yang menginginkan kue apel terngiang di telinganya. Akhirnya, Deon memutar setir ke arah rumah mereka.
“Baiklah… Tapi setelah selesai, saya akan mengantarmu pulang.”
Bella tersenyum puas, menoleh ke luar jendela, menyembunyikan kilatan menang kecil di matanya.
Selama perjalanan, Deon tak banyak bicara. Sesekali ia melirik ponselnya. Belum ada pesan dari Jannah. Tidak ada kabar, tidak ada laporan apakah ia sudah selesai bertemu dokter.
Dia bisa pulang sendiri dengan sopir… pikir Deon sambil menahan gumam. Dia tidak keberatan, kan? Dia sudah terbiasa sendiri.
Dan mobil itu terus melaju, membawa mereka pulang.
Begitu mobil berhenti di pelataran rumah, Deon segera turun dan membuka pintu mobil untuk Bella. Tapi sebelum sempat mengatakan apa pun, salah satu pelayan menghampirinya dengan ekspresi ragu.
“Eh, Tuan dan Nona Bella... maaf, saya pikir tadi adalah Nyonya, kirain tidak jadi menginap.”
Deon mengernyit. “Apa maksudmu?”
“Tadi... setelah Nyonya bersiap pergi ke rumah sakit, saya membantu beliau membawa koper ke mobil.”
“Koper?” Deon mengulang dengan nada meninggi. “Koper apa maksudmu?”
Pelayan itu menunduk gugup. “Saya pikir... mungkin Nyonya ingin menginap di rumah sakit."
Wajah Deon langsung berubah. Jannah tidak pernah memakai koper walau harus menginap di rumah sakit. Biasanya hanya membawa tas jinjing berisi beberapa pakaian tidur dan handuk.
Matanya menatap kosong ke depan, lalu buru-buru mengeluarkan ponsel dari saku. Ia mengetik cepat.
[“Di mana kamu?”] Tapi status pesan hanya centang satu.
Ia mencoba menelepon.
Nada jawaban dari mesin penjawab.
“Tidak nyambung...” gumamnya dengan nada cemas.
Tanpa pikir panjang, ia bergegas masuk ke dalam rumah, tidak menyadari langkah Bella yang ikut menyusul di belakangnya.
Deon langsung menuju kamar utama. Jantungnya berdegup kencang. Ia menarik pintu lemari besar dan mulai membuka satu per satu laci dan rak gantung. Matanya menyapu seluruh isi lemari. Kosmetik Jannah masih tersusun rapi di meja rias. Beberapa gaun harian masih tergantung, tapi...
Salah satu sisi lemari terlihat lebih kosong dari biasanya.
Dia benar-benar membawa pakaian…
“Tidak…” bisik Deon, sambil menutup laci dengan keras.
Sementara itu, Bella yang berdiri di belakang hanya mengamati. Tatapannya tajam, tapi raut wajahnya berpura-pura cemas.
Ketika ia melangkah ke arah meja di sisi tempat tidur, matanya tertumbuk pada sebuah map tipis berwarna cokelat. Di atasnya tergeletak sebuah memo kecil bertuliskan tangan Jannah.
[Tandatangani dan…]
Surat Cerai? Mata Bella melebar. Tapi hanya sedetik sebelum ia bergerak cepat—menyembunyikan dokumen itu di balik punggungnya.
Deon yang masih panik langsung berbalik ke arah pintu. Tidak menyadari sepenuhnya. “Pelayan!” teriaknya, lalu melangkah cepat keluar kamar.
Bella berdiri diam sejenak. Detak jantungnya kencang, bukan karena takut, tapi karena kegembiraan samar yang ia simpan sendiri.
Ia membuka sedikit lipatan dokumen itu sebelum menyelipkannya ke dalam tas kecilnya dengan hati-hati. Lalu berdiri menghadap cermin, tersenyum tipis pada bayangannya sendiri.
"Bella, a-pa yang ada di tanganmu tadi?"Deon bangkit perlahan, wajahnya masih menahan ekspresi yang tidak sempat ia sembunyikan.Ia menatap Jannah begitu dalam, sampai Jannah merasakan lututnya melemah lagi.“Terima kasih untuk makan malamnya,” ucap Deon akhirnya, nada suaranya stabil tapi matanya tidak."Aku akan membawa Amara besok dan Alfie akan menginap di rumahmu?"“Ya,” jawab Jannah cepat. "Besok pagi, aku akan menyusun jadwal dan memberikannya kepada notaris di kantor hukum tempatku bekerja. Kita berdua akan menandatangani perjanjian secara tertulis agar ke depannya tidak saling menyinggung."Deon mengangguk pasrah meski hatinya tidak ikhlas.“Hati-hati di jalan.”Deon mengangguk sekali lagi lalu menggandeng tangan kecil Alfie. Tapi sebelum ia pergi, ia menatap Jannah sekali lagi—kali ini lebih lembut, lebih tajam, dan jauh lebih berbahaya daripada pukulan Afgan sebelumnya.“Aku tidak akan menyerah,” katanya, hampir seperti janji.Jannah menelan ludah, jantungnya berdetak tidak karuan.“Selamat malam, Jannah.”Pintu
Saat semuanya siap, mereka duduk bersama di meja makan kecil yang hanya muat empat kursi. Satu pemandangan muncul begitu natural, terlihat nyaris seperti keluarga bahagia.Jannah memotong telur untuk Alfie.Deon membantu menyendokkan nasi goreng ke piring bocah itu.Alfie makan dengan lahap, pipinya menggembung lucu.Lalu Deon memotong telur untuk Amara yang sudah bisa mengerutu tak jelas karena potongan milik abangnya lebih besar.Deon merasa lucu lalu memberikan sebagian lagi potongan telur scramble untuk Amara dan anak comel itu mengunyahnya dengan bentuk pipi yang sangat lucu.Entah kenapa, suasana itu menampar hati Jannah pelan-pelan. Ada rasa hangat yang muncul tiba-tiba dan rasa takut yang menyusul di belakangnya. Ia tahu suasana seperti ini adalah kelemahannya. Deon tahu itu juga."Ini sungguh enak sekali... khas lokal Indonesia."“Kamu masih ingat cara buatnya,” kata Deon, suaranya sangat lembut sampai Jann
“Ya,” Jannah melanjutkan, “aku tahu sekarang tidak ada gunanya menghindar. Hasil DNA itu jelas.”Deon mengangguk.“Amara memang anakmu,” katanya akhirnya.Ada sesuatu di mata Deon yang runtuh. Seperti beban berat yang dilepaskan tetapi disertai rasa pedih mendalam. Ia ingin tersenyum, tapi bibirnya justru gemetar. Menoleh ke arah Amara dan Alfie."Aku tahu, dia anak perempuanku, dia— "“Tapi…” sela Jannah cepat sambil menatapnya, dingin, jelas. “Itu tidak berarti aku akan kembali kepadamu.”Wajah Deon menegang. “Kenapa?”“Karena aku tidak lagi percaya padamu.” Jannah bersandar. “Karena rasa sakit yang kamu buat tidak hilang hanya karena kamu datang membawa bukti DNA. Dan karena aku sudah terlalu lelah hidup dengan luka yang sama.”"Semua tidak akan berubah banyak walau kau sudah menemukan diriku kembali," lanjutnya denga
Deon menuruti, duduk di sofa dekat jendela. Pipi kirinya memar, tapi ia tetap tampak tenang, bahkan agak puas. Merasa yakin bahwa kemenangan sudah ada padanya. Bahwa Jannah sudah memilih dirinya dibanding Afgan.Setidaknya Deon tidak diusir oleh Jannah saat ini.Jannah membuatkan teh hangat untuk Alfie, lalu duduk berhadapan dengan Deon. Tatapannya tajam, seperti dokter yang hendak mengoperasi sesuatu tanpa anestesi.“Aku akan langsung ke inti,” katanya.“Silakan.” Deon menyandarkan tubuh, menunggu.“Kamu bertanya mengapa aku menghindarimu,” Jannah menghela napas. “Jawabannya sederhana: karena aku takut.”Deon mengernyit. “Takut? Pada apa?”“Pada kamu,” jawabnya pelan tapi tegas. “Pada sifatmu, pada masa lalumu, pada apa yang kamu buat aku rasakan waktu itu.”"Kamu tidak pernah mencintaiku. Semua perhatianmu hanya pernah diberikan kepada Bella."
Ia tahu. Ia tahu sejak melihat tanda lahir di bahunya kembali disinggung. Ia tahu saat pertama kali melihat Deon berlari menolongnya di tengah kecelakaan itu bahwa dirinya masih menginginkan secui perhatian dari pria itu.Tetapi melihat semua kebohongannya sudah tercetak secara tertulis…Ia tak bisa menyangkal lagi.Deon menatapnya lekat-lekat. “Katakan… mengapa kamu menghindar dariku, Jannah?”Pertanyaan itu menggantung, berat seperti batu yang jatuh ke lautan.“Apakah kamu tidak menginginkan diriku dan Alfie lagi?” tambah Deon dengan suara nyaris pecah. “Beritahu aku. Beritahu aku supaya aku tahu bagaimana harus berdiri di depanmu.”Alfie menatap Jannah dari sofa, matanya besar, polos, dan penuh luka kecil yang tak seharusnya dimiliki anak usia delapan tahun. “Mama… Alfie tidak nakal kan? Kenapa Mama pergi terus?”"Apakah Alfie melakukan kesalahan? Ap
Alfie mengangguk dengan mata yang mengantuk."Tidak apa-apa, tidurlah."Perasaan lega, bahagia, sedih, dan penyesalan bercampur menjadi satu. Namun satu hal yang paling menusuk—Deon membiarkan Cahyo meneruskan penghancuran bisnis Afgan di Jakarta. Karena itu, Cahyo tidak ikut dalam penerbangan kali ini.Jannah masih tiduran di tempat tidurnya dan bermain dengan Amara dan ia tidak tahu bahwa Deon telah pulang. Tidak tahu bahwa Deon telah runtuh dan sedang menuju ke Berlin, kini berjuang untuk keluarga yang selama ini ia hancurkan dengan tangannya sendiri.Di titik itu, Deon hanya punya satu tujuan:*Membawa pulang mereka. Jannah. Dan putrinya. Anak mereka.****Udara Berlin pagi itu menggigit kulit, menusuk sampai ke tulang. Langit kelabu, daun-daun yang tersisa dari musim gugur berguguran di halaman rumah kecil tempat Jannah tinggal bersama putrinya.Deon berdiri di depan pintu itu, satu tangan memegang koper keci







