Setahu Hana, keluarga Adam masuk ke dalam peringkat tiga besar sebagai orang terkaya di kota mereka.
Dulu ketika masa menganggur, Hana ingat pernah menonton house tour rumah salah satu keluarga mereka, membuatnya membayangkan apabila bisa tinggal di dalamnya. Tentunya, mereka tidak perlu khawatir apakah rumah mereka akan bocor apabila hujan badai. Bahkan Hana sangsi ada seekor nyamuk yang berani masuk ke dalam rumah itu. Lalu, apa kata ibu bosnya tadi? Mahendra seharusnya menikah dengan Veronika Adam, pewaris tunggal dari keluarga Adam itu?! Hana seketika merasa kecil. Pantas saja Mahendra benar-benar menekannya kalau status karyawannya lebih tinggi dibanding istri kontrak. Lah, orang yang dijodohkan untuk bosnya saja 100x lebih kaya dari dia! Atau bahkan seribu kali lebih kaya. “Aku kan sudah bilang pembicaraan perjodohan kita sudah selesai,” Mahendra menghela napas lelah. Melihat gelagatnya, Hana yakin ini sudah kesekian kalinya sang bos berbicara seperti itu pada ibunya. “Veronika Adam sudah menentukan orang yang akan dia nikahi. Bukankah jahat kalau aku menghalanginya?” “Tapi bukan berarti kau bisa menikahi orang lain begitu saja!” Bentak Fanesya, “Dan lagi, kenapa kau tidak bilang-bilang kalau akan menikah?! Kapan pesta pernikahannya?!” “Oh, tidak ada pesta,” Mahendra melirik Hana sejenak kemudian melingkarkan tangannya di pinggang Hana membuat sang gadis tersentak kaget. Belum berhenti keterkejutannya, Mahendra sudah menarik Hana mendekat sehingga tubuh mereka semakin rapat. “Istriku orang yang sederhana jadi dia lebih suka tidak ada pesta pernikahan.” APAAA?!! Kenapa bosnya tiba-tiba melemparkan tanggung jawab seperti itu?! Hana tersenyum kaku dengan wajah berkeringat ketika melihat tatapan Fanesya semakin tajam. Di belakangnya, orang-orang saling berbisik tak percaya. Hana menangkap beberapa bisikannya, seperti ejekan kepadanya karena dirasa tak tahu diuntung, ketidakyakinan orang-orang akan jawaban Mahendra karena pria itu dikenal tak peduli dengan pendapat orang, dan ucapan simpati kepada Mahendra karena sudah memilih Hana yang tidak sederajat dengan pria itu. Hana menggigit bibir kuat-kuat. Ia meremas pelan sisi gaunnya. Rasanya ia sudah tidak kuat berada di pesta lama-lama. Orang-orang terlalu terang-terangan menghinanya dan ia tidak bisa lagi berakting kalau ia baik-baik saja. Tapi, bukankah memang ini risiko pekerjaannya? Bahkan bisa dibilang, ini baru permulaan saja. Masih ada banyak risiko lain selama dia berada di pekerjaan ini. Ini demi Alex, batin Hana menguatkan diri, Demi gaji seratus milyar itu! Hana menarik napas sejenak untuk menenangkan dirinya. Ia menatap serius sosok-sosok di depannya yang masih menatapnya penuh cela. Hana baru membuka mulutnya untuk mendukung perkataan Mahendra ketika ia tiba-tiba mendengar suara dari belakangnya. “Astaga, Hendra?” Hana dan Mahendra seketika menoleh ke belakang dan melihat seorang wanita berpenampilan elok sedang berdiri di belakang mereka berdampingan dengan seorang lelaki yang juga penuh wibawa. Wanita itu memakai gaun backless berwarna biru tua. Ada hiasan mawar biru dengan permata-permata kecil di bagian bahu kanannya. Ia hanya memakai perhiasan anting dan kalung perak untuk memperlengkap busananya, tapi hal itu sudah menambah kecantikan sang wanita. Wanita itu sangat cantik! Batin Hana takjub. Ia bahkan rasanya tak bisa melepaskan pandangan dari wanita itu. ”Sevy,” panggil Mahendra. Pria itu melepaskan pegangannya di pinggang Hana dengan terburu-buru membuat Hana mengernyitkan dahi. “Ternyata kau benar sudah menikah?!” Seru sang wanita, Sevy kalau menurut panggilan Mahendra. Ia menatap Mahendra dan Hana bergantian dengan tatapan kagum dan tak percaya. Berbeda dengan tamu lainnya, Sevy menunjukkan wajah penuh antusias. Tidak ada tatapan ejekan maupun merendahkan yang Hana temukan. “Yah, semacam itu,” jawab Mahendra datar. “Selamat!” Sevy berseru riang. Ia kemudian menatap Hana dengan senyum lebar di wajahnya dan menggenggam kedua tangan Hana membuatnya tersentak kaget. “Siapa namamu? Pasti sulit menjadi pasangan Mahendra!” Tentu saja! Hana hendak berseru itu apabila ia tak segera menahan dirinya. Bisa-bisa ia langsung dipecat begitu pesta selesai! “Saya Hana Sullivan. Salam kenal, eum ..” “Sevy Anastasia!” “Salam kenal, nona Sevy,” Sevy mengangguk-angguk riang. Ia kemudian menyeringai menggoda, “Jadi, apakah sulit menjadi pasangan Mahendra?” “Ah, itu ..” “Sevy, jangan menekannya,” ucap Mahendra, “Ia canggung jika bertemu orang baru.” “Oh, maaf!” Sevy buru-buru menarik tangannya yang sebelumnya menggenggam tangan Hana, “Aku pasti sudah mengganggumu!” Hana hendak membantah tapi melihat tatapan tajam Mahendra, ia akhirnya mengangguk. Ada apa dengan pria ini? Kenapa tiba-tiba menekannya? “Sevy! Jangan bersenang atas mereka!” Seruan Fanesya kembali menarik atensi Hana. Wanita paruh baya itu kini sudah mendekati mereka. “Mahendra hanya menggunakan pernikahan ini agar bisa kabur dari perjodohan! Kau tidak seharusnya menyelamati mereka!” “Ayolah, Tan, biarkan Mahendra memilih,” kelakar Sevy, “Lagipula, Mahendra sudah tua bangkotan seperti itu. Tante tidak seharusnya mengurusi dia lagi.” “Aku tidak setua itu,” dengus Mahendra membuat Sevy tertawa. Hana menatap lamat-lamat ketiga orang itu. Ia mengerjap-ngerjapkan mata. Bukankah ketiga orang itu … terlalu akrab? Bahkan Mahendra yang selalu datar dan dingin itu kini bercanda gurau bersama Sevy! Pemandangan yang membuat bulu kuduk Hana merinding Apa mereka memang sedekat itu? “Sevy, sayang,” pria yang tadi di sebelah Sevy tiba-tiba mendekati Sevy dan memeluk pinggang sang wanita. Ia mengecup sisi kepala Sevy penuh mesra. “Kamu melupakanku, sayang,” sungut sang pria. Sevy tertawa, “Aduh, aduh, maaf sayang! Terlalu asik mengejek Mahendra!” ucapnya lalu balas mengecup pipi sang pria membuat para tamu yang melihatnya berseru senang dan berbisik-bisik tentang betapa mesranya pasangan tersebut. Hana tersenyum canggung melihat kemesraan itu. Maklum, teman-teman dekatnya belum ada yang memiliki pasangan juga jadi dia tak terbiasa melihat hal-hal seperti itu. Hana melirik Mahendra dan terkejut ketika melihat wajah pria itu menggelap. Tatapan matanya memicing tajam, tapi bukan ke Hana, melainkan ke Sevy dan pasangannya. Kenapa Mahendra memasang ekspresi seperti itu? Hana baru mau bertanya ketika lengannya tiba-tiba dipegang erat oleh seseorang. Hana menoleh kaget dan terperanjat ketika melihat sosok di hadapannya. “Apa yang kamu lakukan … Hana?” David! Pria itu menatapnya dengan tatapan kaget bercampur ketidakpercayaan ketika Hana balas menatapnya.Setelah malam itu, Hana tidak bertemu lagi dengan Mahendra. Bahkan, pria itu sama sekali tidak menghubungi Hana. Hal ini sudah berlangsung selama tiga hari. Sepertinya, Mahendra sengaja melakukannya agar Hana benar-benar fokus dengan pengobatan Alex. Meski begitu, Hana merasa bersalah jika hanya berdiam diri. Jadi, ia seringkali mengirim pesan kepada Mahendra untuk bertanya tentang tugasnya. Sayangnya, Mahendra kadang hanya menjawab ‘tidak’ dengan singkat atau tidak membacanya sama sekali. Sama seperti kali ini. Pesan yang Hana kirimkan sejak tadi pagi hanya tertulis ‘sudah terkirim’ hingga siang ini. Hana menghela napas. “Kakak terlihat gelisah sekali,”Hana menoleh ke Alex yang sedang mengerjakan buku latihan ujian masuk kuliah. Meski ia berbicara ke Hana, tapi tatapannya tetap tertuju pada buku di hadapannya. “Kakak gelisah karena tidak bekerja?” Tanya Alex. “Sedikit,” Hana mengusap-usap lehernya, “Kau tahu, kan, kakak jarang sekali cuti,”“Kalau begitu, nikmatilah sekarang,”
“Liburan? Maksud bapak apa?”Hana memasang wajah serius, “Apa itu kegiatan yang harus saya hadiri untuk status itu?”“Kau cepat tanggap, ya,” Hana mendengus ketika Mahendra menyeringai semakin lebar. Ia melirik ke belakang, memastikan Alex masih tertidur lalu berkata, “Sebaiknya kita bicara di luar saja,”Mahendra mundur ke belakang, mempersilahkan Hana untuk keluar. Gadis itu segera menutup pintu ketika sudah di luar. “Ngomong-ngomong, kenapa kau di sini?” Tanya Mahendra sambil memerhatikan kamar Alex dari luar. Hana mengernyitkan alis, “Maksud bapak?”“Saya sudah bilang ke dokter Watson untuk menaruh adikmu di ruangan VVIP buat perawatan pasca operasi,”Hana tercekat. Ia menatap Mahendra tidak percaya. “Itu … dipotong dari gaji saya, kan?”“Kenapa kamu terobsesi sekali menyuruh saya untuk memotong gajimu?”Hana menghela napas. Ia tidak paham apakah bosnya ini memang tidak mengerti maksudnya atau hanya pura-pura tidak tahu. Atau … pria ini melakukannya demi citranya? Biar dia ter
Hana memeluk Alex erat-erat. Sementara itu, Alex hanya mengernyitkan alis dan berkata pelan, “Aku baik-baik saja, kak. Pelukan kakak terlalu kencang.”“Maaf,” Hana tersenyum kecil ketika melepaskan pelukannya, “Kakak terlalu senang karena kau sudah siuman,”Alex tersenyum kecil. Ia paham betapa khawatir kakaknya tadi, hal itu terlihat sangat jelas di wajahnya. Apalagi, ia juga mengetahui bahwa kakaknya sedang sangat merasa bersalah sekarang karena ketidak sigapannya tadi. “Bagaimana rasanya pasang ring jantung?” Tanya Hana dengan mata berbinar-binar. Alex menghela napas. “Tidak kerasa perubahan yang berarti, sih,” balas Alex. Ia kemudian melirik David yang berdiri di depan ranjangnya. “Ngomong-ngomong, kenapa kak David ada di sini? Kakak memanggilmu saking paniknya, ya?”David tertawa, “Iya. Kau taulah kakakmu kalau panik seperti apa,”“Aku sangat tahu, kok,”Alex dan David terkekeh bersama, sementara Hana mengerucutkan bibirnya. “ALEX!!!”Ketiganya segera menoleh ke pintu dan mel
Pertama kali Hana mengetahui bahwa adiknya memiliki sakit jantung adalah saat Alex berada di tahun kedua SMP. Pria itu tiba-tiba mengeluhkan dadanya nyeri dan rasa sakitnya tidak berkurang meski berhari-hari. Kala itu jugalah pertama kalinya Hana bertemu dengan dokter Watson. Dokter ramah dan baik hati itu tanpa segan membayarkan biaya berobat Alex karena tidak sengaja mendengar kakak beradik itu saling menenangkan diri terkait biaya pengobatan Alex. Semenjak itu, Alex menjadi langganan tetap pasien dokter Watson karena nyeri dadanya suka kambuh. Meski begitu, tidak pernah terjadi hal parah atas penyakitnya. Selama 3 tahun atau hingga Alex kelas sebelas, ia hanya mengalami nyeri dada ringan dan tetap bisa melakukan aktivitas sehari-hari meski tetap membatasi aktivitas berat. Tapi, ketika Alex baru lulus SMA dan sedang giat-giatnya belajar untuk persiapan masuk kuliah, Alex tiba-tiba ambruk di tempat lesnya. Hana masih ingat ketika ia begitu kalang kabut menuju rumah sakit dengan jan
“Besok saya akan pergi ke taman bermain bersama David,”Mahendra melirik Hana yang sedang memegangi jasnya setelah dipakai tadi. Ia melonggarkan dasinya dan berkata, “Kenapa?”“Ini balasan untuk bantuan David, pak,”Mahendra mengangkat alis, mengingat-ingat kejadian ketika sang gadis menelepon David dan teringat dengan percakapan singkat yang ia dengar itu. Percakapan yang sama sekali tidak cocok untuk gadis tidak peka ini. “Ya. Pergilah,” ujar Mahendra, “Besok juga tidak ada agenda.”“Terima kasih banyak, pak!” Seru Hana riang. Ia berbalik badan dan bersenandung pelan tanpa menyadari tatapan lekat Mahendra. Sejujurnya, Hana memang cukup menunggu jadwal bermain ini. Ia sangat lelah dengan berbagai drama selama seminggu ke belakang dan agenda bermain ini menjadi hadiah yang sangat bagus untuknya!Kondisi Alex juga baik, jadi ia tak perlu khawatir tentang adiknya itu selama pergi besok. “Kau membersihkan rumah?” Tanya Mahendra melihat rumahnya terlihat lebih bersih dari biasanya. Pa
Ketika turun dari tangga, Fanesya bisa langsung melihat Hana di ruang makan, Seperti biasa, gadis itu telaten menyiapkan makanan. Fanesya mendengus pelan. Ia berjalan menuju meja makan dan berhenti di dekatnya. “Mana Mahendra?” Tanyanya ketus pada Hana yang segera menghentikan kegiatannya. “Mas Mahendra pergi sangat pagi tadi karena ada rapat katanya,” balas Hana dengan senyum canggung. Ini pertama kalinya mereka hanya makan berdua, jadi tentu saja Hana merasa sangat gugup dan khawatir sekarang. Fanesya mendengus lagi. Ia duduk di atas kursinya, bersebrangan dengan Hana yang juga segera duduk. Wanita itu menatap makanannya di hadapannya, terlihat enak seperti biasanya. Tapi, tentu saja dia tidak akan mengatakannya ke gadis di depannya ini. Kalau dia melakukan itu, bukankah akan memberi kesan kalau ia sudah menerimanya?“Mumpung kita berdua, mari kita berbincang,” ucap Fanesya sambil menatap lurus Hana. Hana menelan ludah, ia mengangguk pelan. “Apa tujuanmu mendekati Mahendra?” Ta