Gawat!
Hana tersenyum kaku, wajahnya seketika berkeringat dingin. “H-hai ..?” Sapanya kikuk. “Sedang apa kau?” Tanya David lagi sambil menatapnya tajam. Hana menelan ludah. Apakah ia harus jujur? Tapi, bagaimana kalau ia salah langkah dan bosnya jadi memarahinya? Eh tapi, di pesta ini ada kolega-kolega Mahendra, jadi mungkin David juga salah satu kolega Mahendra? Annette, ternyata dunia orang kaya memang seterkoneksi itu, ringis Hana dalam hati. “Hana,” David mengeratkan genggamannya membuat kesadaran Hana kembali, “Jawab aku.” “Aku–” “Maaf, dia istri saya,” Hana menolehkan kepala ke belakang dan meiihat Mahendra tersenyum lebar ke arah David. Tapi, Hana tahu persis kalau senyum itu hanya pura-pura. “Istri ..?” Alis David mengerut dalam. Tatapannya teralih lagi ke Hana dengan wajah masam. “Apa maksudnya ini, Hana?” “Itu–” “Tolong lepaskan tangan istri saya,” potong Mahendra, “Bukankah tak elok untuk menggenggam tangan istri orang?” Wajah David semakin mengeras mendengar jawaban Mahendra. Tapi, melihat tatapan memelas Hana, ia akhirnya melepaskan tangannya dengan enggan. Meski begitu, mata tajamnya tetap menguliti Hana. “Acara sudah mau mulai, Hana. Ayo mendekat,” ucap Mahendra sambil menyodorkan lengannya. Hana mengangguk pelan kemudian menggenggam lengan Mahendra. Mereka kemudian segera beranjak dari sana. Hana menoleh sejenak ke David sebelum semakin jauh dan berbicara tanpa suara ke sahabatnya itu; Aku akan menjelaskannya nanti. David yang memahami pesan Hana menganggukkan kepala. Tapi, tatapannya tetap tidak lepas dari Hana hingga gadis itu hilang di balik kerumunan. “Siapa dia? Hana menolehkan kepala ke pria di sebelahnya. Pria ini tidak memandangnya sama sekali ketika bertanya. “Dia sahabat dekat saya, pak,” “Seberapa dekat?” Tanya Mahendra lagi, “Pernah pacaran?” “Tidak!” “Baguslah, karena itu akan mempersulit saya jika ada skandal tentang dirimu,” Hana menatapnya kesal. Pada akhirnya, pria ini memang hanya mementingkan dirinya sendiri! “Saya akan memberitahu semuanya tentang kita ke dia,” “Termasuk tentang kau memohon-mohon seperti anak kucing?” Hana tercekat. Ia menggeram pelan. Rasanya ingin sekali ia mencakar lengan di genggamannya ini! “Kalau dengan begitu bapak mengizinkan saya untuk menceritakannya, saya akan bercerita tentang itu juga,” “Hmm,” Mahendra terlihat sedang berpikir, “Oke, ceritakan seperti itu.” “Eh?” Hana refleks menghentikan langkahnya, “Beneran boleh?” Mahendra menoleh dan menganggukkan kepala. “Kenapa?” Tanya Hana. “Otakmu lemot sekali,” Mahendra mendengus, “Karena itu seperti saya menyelamatkan anak kucing terlantar yang menyedihkan.” Hah? Perumpamaan macam apa itu? Sebentar, tadi Mahendra bilang ia memohon seperti anak kucing. Apa maksudnya kucing terlantar yang menyedihkan itu? Menyelamatkan kucing terlantar seringkali dipandang positif oleh orang lain, dengan kata lain … “Kalau aku bercerita tentang itu, bapak akan terlihat seperti orang baik?” Geram Hana. “Akhirnya sadar juga,” Hana rasanya ingin berteriak! Pria ini memiliki tingkat kepedean di atas rata-rata! “Oh, mungkin sebelumnya ceritakan tentang itu juga,” “Itu?” Mahendra membungkukkan badan hingga bibirnya sejajar dengan telinga Hana. Nafas hangatnya masuk ke dalam gendang telinga Hana membuat gadis itu menahan geli. “Tentang dirimu yang menghina tawaran dan menganggap saya penipu sebelum akhirnya berlari kembali dengan menyedihkan ke majikannya, seperti anak anjing dibuang.” *** Pesta orang kaya itu melelahkan. Hari ini Hana mempelajarinya dengan baik. Acara pesta berjalan dengan sangat kaku karena orang-orang terlihat sekali hanya bersikap formal. Apalagi Mahendra yang Hana rasa sudah memiliki tingkat formalitas lebih tinggi dibanding orang-orang sehingga mau tidak mau Hana harus mengimbanginya. Ternyata menjadi istri orang kaya itu tidak terlalu enak juga. Untungnya, Hana bisa melarikan diri sekarang ke balkon karena Mahendra tiba-tiba terlibat pembicaraan tentang pekerjaan. Pria itu memintanya pergi agar dia tidak ikut pembicaraan, entah kenapa. Tapi yasudah. Hana juga senang dengan kesempatan itu. Lagipula, ia juga tidak mau peduli dengan urusan pekerjaan Mahendra kecuali bersinggungan dengan dirinya. “Hana,” Seseorang tiba-tiba berdiri di sampingnya sambil menyodorkan alkohol. Hana menoleh dan tercekat melihat orang itu ternyata David. “Aku lihat kau belum minum daritadi,” ucap pria itu. Berbeda dengan tadi, ia terlihat sudah cukup ramah. Senyum yang Hana selalu kenal terukir lembut di wajahnya. “Terima kasih minumannya, tapi aku sedang tidak minum,” Hana sebenarnya ingin melanjutkannya dengan bilang, karena aku sedang bekerja, tapi ia memutuskan untuk menghentikannya. Dia harus bercerita terlebih dahulu, kan? “Maaf kalau menakutimu tadi. Aku terlalu kaget,” ringis David. Ia mengusap bagian belakang kepalanya dengan canggung. Hana menggeleng, ia mengulas senyum lembut. “Tidak apa. Aku juga sama kagetnya karena kau hadir di sini,” ucap Hana, “Ternyata orang kaya memang seterkoneksi itu, ya,” David tertawa kaku, “Perusahaan keluargaku donatur alat-alat rumah sakit Mahendra. Jadi, aku memang kolega suamimu,” David kemudian menatapnya serius seusai mengucapkan kalimatnya. Pria itu menatapnya saksama membuat Hana gugup. “Jadi, bagaimana?” Hana menghela napas sejenak kemudian mulai menceritakan tentang dirinya. Mulai dari ia dipecat mendadak, butuh uang untuk operasi Alex, hingga akhirnya memohon pekerjaan ke Mahendra. Ia tidak menceritakan tentang Mahendra yang menawarkan terlebih dahulu dan ia menolak mentah-mentah. Ia bisa terlihat sangat menyedihkan kalau bercerita tentang itu. “Tapi, kenapa harus menjadi istri kontrak?” Alis David mengerut dalam. Tatapannya kini penuh curiga. “Ah, itu karena aku bilang akan bersedia menjadi apa saja dan dia bilang lowongan kosongnya hanya menjadi istri,” ucap Hana cepat sebelum menggerutu dalam hati. Alasan yang sangat jelek! “Kenapa begitu?” Tanya David lagi membuat setetes keringat terjatuh dari pelipis Hana, “Dia butuh istri atau bagaimana?” “Iya, mungkin,” Hana menjawab ragu, “Entahlah. Pria itu terlalu membingungkan.” “Hmm,” David masih menatapnya curiga sebelum akhirnya mengangkat kedua bahunya tak acuh, “Pria itu memang aneh, sih,” David meneguk sejenak minumannya kemudian berkata lagi, “Padahal rumornya dia banyak menolak perjodohan karena patah hati dan tidak ingin move on dari cinta pertamanya. Tapi kenapa dia memilihmu?” Mungkin itu karena aku yang terus menerus memohon ke dirinya, batin Hana tapi tentu saja ia pendam sendiri. Hana kemudian berusaha mengalihkan topik ke permasalahan lain yang mengusik rasa penasarannya, “Cinta pertama dia? Siapa?” Hana menahan tawa, “Aku tidak bisa membayangkan dia menyukai seseorang. Pria itu terlalu dingin!” David terkekeh. Ia kemudian menoleh ke ballroom dan menunjuk ke suatu titik menggunakan dagunya. Hana menoleh dan menemukan hal yang David tunjuk adalah Mahendra dengan Sevy yang sedang bercanda, lebih tepatnya Sevy yang sedang tertawa-tawa bercanda dan Mahendra menanggapinya dengan senyum tipis. “Sevy Anastasia,” ucap David, “Dialah cinta pertama Mahendra."Setelah malam itu, Hana tidak bertemu lagi dengan Mahendra. Bahkan, pria itu sama sekali tidak menghubungi Hana. Hal ini sudah berlangsung selama tiga hari. Sepertinya, Mahendra sengaja melakukannya agar Hana benar-benar fokus dengan pengobatan Alex. Meski begitu, Hana merasa bersalah jika hanya berdiam diri. Jadi, ia seringkali mengirim pesan kepada Mahendra untuk bertanya tentang tugasnya. Sayangnya, Mahendra kadang hanya menjawab ‘tidak’ dengan singkat atau tidak membacanya sama sekali. Sama seperti kali ini. Pesan yang Hana kirimkan sejak tadi pagi hanya tertulis ‘sudah terkirim’ hingga siang ini. Hana menghela napas. “Kakak terlihat gelisah sekali,”Hana menoleh ke Alex yang sedang mengerjakan buku latihan ujian masuk kuliah. Meski ia berbicara ke Hana, tapi tatapannya tetap tertuju pada buku di hadapannya. “Kakak gelisah karena tidak bekerja?” Tanya Alex. “Sedikit,” Hana mengusap-usap lehernya, “Kau tahu, kan, kakak jarang sekali cuti,”“Kalau begitu, nikmatilah sekarang,”
“Liburan? Maksud bapak apa?”Hana memasang wajah serius, “Apa itu kegiatan yang harus saya hadiri untuk status itu?”“Kau cepat tanggap, ya,” Hana mendengus ketika Mahendra menyeringai semakin lebar. Ia melirik ke belakang, memastikan Alex masih tertidur lalu berkata, “Sebaiknya kita bicara di luar saja,”Mahendra mundur ke belakang, mempersilahkan Hana untuk keluar. Gadis itu segera menutup pintu ketika sudah di luar. “Ngomong-ngomong, kenapa kau di sini?” Tanya Mahendra sambil memerhatikan kamar Alex dari luar. Hana mengernyitkan alis, “Maksud bapak?”“Saya sudah bilang ke dokter Watson untuk menaruh adikmu di ruangan VVIP buat perawatan pasca operasi,”Hana tercekat. Ia menatap Mahendra tidak percaya. “Itu … dipotong dari gaji saya, kan?”“Kenapa kamu terobsesi sekali menyuruh saya untuk memotong gajimu?”Hana menghela napas. Ia tidak paham apakah bosnya ini memang tidak mengerti maksudnya atau hanya pura-pura tidak tahu. Atau … pria ini melakukannya demi citranya? Biar dia ter
Hana memeluk Alex erat-erat. Sementara itu, Alex hanya mengernyitkan alis dan berkata pelan, “Aku baik-baik saja, kak. Pelukan kakak terlalu kencang.”“Maaf,” Hana tersenyum kecil ketika melepaskan pelukannya, “Kakak terlalu senang karena kau sudah siuman,”Alex tersenyum kecil. Ia paham betapa khawatir kakaknya tadi, hal itu terlihat sangat jelas di wajahnya. Apalagi, ia juga mengetahui bahwa kakaknya sedang sangat merasa bersalah sekarang karena ketidak sigapannya tadi. “Bagaimana rasanya pasang ring jantung?” Tanya Hana dengan mata berbinar-binar. Alex menghela napas. “Tidak kerasa perubahan yang berarti, sih,” balas Alex. Ia kemudian melirik David yang berdiri di depan ranjangnya. “Ngomong-ngomong, kenapa kak David ada di sini? Kakak memanggilmu saking paniknya, ya?”David tertawa, “Iya. Kau taulah kakakmu kalau panik seperti apa,”“Aku sangat tahu, kok,”Alex dan David terkekeh bersama, sementara Hana mengerucutkan bibirnya. “ALEX!!!”Ketiganya segera menoleh ke pintu dan mel
Pertama kali Hana mengetahui bahwa adiknya memiliki sakit jantung adalah saat Alex berada di tahun kedua SMP. Pria itu tiba-tiba mengeluhkan dadanya nyeri dan rasa sakitnya tidak berkurang meski berhari-hari. Kala itu jugalah pertama kalinya Hana bertemu dengan dokter Watson. Dokter ramah dan baik hati itu tanpa segan membayarkan biaya berobat Alex karena tidak sengaja mendengar kakak beradik itu saling menenangkan diri terkait biaya pengobatan Alex. Semenjak itu, Alex menjadi langganan tetap pasien dokter Watson karena nyeri dadanya suka kambuh. Meski begitu, tidak pernah terjadi hal parah atas penyakitnya. Selama 3 tahun atau hingga Alex kelas sebelas, ia hanya mengalami nyeri dada ringan dan tetap bisa melakukan aktivitas sehari-hari meski tetap membatasi aktivitas berat. Tapi, ketika Alex baru lulus SMA dan sedang giat-giatnya belajar untuk persiapan masuk kuliah, Alex tiba-tiba ambruk di tempat lesnya. Hana masih ingat ketika ia begitu kalang kabut menuju rumah sakit dengan jan
“Besok saya akan pergi ke taman bermain bersama David,”Mahendra melirik Hana yang sedang memegangi jasnya setelah dipakai tadi. Ia melonggarkan dasinya dan berkata, “Kenapa?”“Ini balasan untuk bantuan David, pak,”Mahendra mengangkat alis, mengingat-ingat kejadian ketika sang gadis menelepon David dan teringat dengan percakapan singkat yang ia dengar itu. Percakapan yang sama sekali tidak cocok untuk gadis tidak peka ini. “Ya. Pergilah,” ujar Mahendra, “Besok juga tidak ada agenda.”“Terima kasih banyak, pak!” Seru Hana riang. Ia berbalik badan dan bersenandung pelan tanpa menyadari tatapan lekat Mahendra. Sejujurnya, Hana memang cukup menunggu jadwal bermain ini. Ia sangat lelah dengan berbagai drama selama seminggu ke belakang dan agenda bermain ini menjadi hadiah yang sangat bagus untuknya!Kondisi Alex juga baik, jadi ia tak perlu khawatir tentang adiknya itu selama pergi besok. “Kau membersihkan rumah?” Tanya Mahendra melihat rumahnya terlihat lebih bersih dari biasanya. Pa
Ketika turun dari tangga, Fanesya bisa langsung melihat Hana di ruang makan, Seperti biasa, gadis itu telaten menyiapkan makanan. Fanesya mendengus pelan. Ia berjalan menuju meja makan dan berhenti di dekatnya. “Mana Mahendra?” Tanyanya ketus pada Hana yang segera menghentikan kegiatannya. “Mas Mahendra pergi sangat pagi tadi karena ada rapat katanya,” balas Hana dengan senyum canggung. Ini pertama kalinya mereka hanya makan berdua, jadi tentu saja Hana merasa sangat gugup dan khawatir sekarang. Fanesya mendengus lagi. Ia duduk di atas kursinya, bersebrangan dengan Hana yang juga segera duduk. Wanita itu menatap makanannya di hadapannya, terlihat enak seperti biasanya. Tapi, tentu saja dia tidak akan mengatakannya ke gadis di depannya ini. Kalau dia melakukan itu, bukankah akan memberi kesan kalau ia sudah menerimanya?“Mumpung kita berdua, mari kita berbincang,” ucap Fanesya sambil menatap lurus Hana. Hana menelan ludah, ia mengangguk pelan. “Apa tujuanmu mendekati Mahendra?” Ta