MasukApa Mahendra masih menyukainya?
Hana tidak bisa mengutarakan pertanyaan itu ke David ketika pria itu memberitahunya. Ia rasa itu terlalu melewati batas dan rasanya ia seperti melanggar kontrak jika melakukannya. Lagipula, bukan berarti Hana peduli, ia hanya benar-benar penasaran karena melihat tatapan Mahendra ke Sevy sangat … berbeda. Tidak hanya tatapannya. Bahkan gestur wajahnya, badannya, hingga nada suaranya, atau bahkan semua dalam diri pria itu terlihat berbeda ketika berhadapan dengan Sevy. “Orang-orang bilang mereka teman masa kecil,” perkataan David terngiang dalam pikiran Hana, “Mungkin karena mereka selalu bersama, Mahendra jadi menyukainya.” “Kenapa melihat terus?” Hana mengerjapkan mata ketika melihat Mahendra menatapnya sinis. Ia buru-buru mengalihkan pandangan. “Saya ngantuk jadi bengong,” “Kau,” Mahendra mengerutkan alis geli, “Suka sama saya dalam satu hari?” “Tidak!” Mahendra mengangkat kedua bahu, “Baguslah jadi saya tidak perlu mencari-cari orang baru lagi.” Pria ini … benar-benar! Hana menghela napas pelan. Lima menit lalu mereka baru saja keluar dari pekarangan hotel karena pesta sudah selesai. Sekarang sudah sangat larut, hampir mendekati jam 12 malam. Alex pasti sudah tidur ketika ia sampai nanti. “Kalau ada pertanyaan, tanyakan saja,” Hana kembali menoleh ke Mahendra. Pria itu meliriknya datar. “Anggap saja sebagai ajang saling mengenal diri masing-masing,” Mahendra berucap tak acuh, “Karena pasti sebentar lagi akan ada yang bertanya hal-hal personal tentang pasangan masing-masing.” Hana mengangguk, “Apa kita perlu menyamakan cerita, pak?” “Iya, tapi nanti saja,” Mahendra kembali menatap ke depan, “Kau sudah lelah, kan?” Hana mengerjapkan mata. Bosnya ini ternyata … cukup peduli? “Karena aku tahu kau pasti akan membuat cerita aneh saat kelelahan,” Hana tarik ucapannya. Pria ini sama sekali tidak pedulian “Jadi, mau tanya apa?” Hana tak segera menjawab. Ia mencoba menimbang-nimbang sejenak apakah perlu bertanya tentang perasaan bosnya ke teman masa kecilnya itu. Tapi dipikir-pikir, Hana kan seharusnya tidak tahu kalau mereka berteman. Bukankah akan aneh jika ia tiba-tiba bertanya tentang perasaan Mahendra? “Apa bapak dekat dengan nyonya Sevy?” Tanya Hana, “Kalian terlihat akrab.” “Iya. Kami teman masa kecil,” balas Mahendra, “Kau tahu dari sahabatmu?” Hana menganggukkan kepala. “Kalau begitu–” Apa bapak masih suka dia? Aduh, dipikir-pikir kenapa dia terlihat sangat ingin tahu, sih?! Mungkin kebiasaan menggosipnya ini sedang muncul sekarang. “Apa?” Hana menelan ludah, “Kalau begitu, keren sekali bapak masih akrabnya dengannya sampai sekarang,” “Iri?” “Untuk apa,” Hana memutar bola matanya malas, “Saya juga tidak akan kenal bapak kalau bukan karena kerjaan ini.” “Kau terdengar sangat iri.” Hana menghela napas. Capek memang berbicara dengan orang narsistik! “Kita sudah sampai di rumah sakit, nyonya,” ucap Carlos tiba-tiba. Hana menganggukkan kepala. Ia kemudian menatap Mahendra dan berkata, “Terima kasih untuk malam ini, pak,” Mahendra hanya meliriknya. Ia sama sekali tidak menjawab, bahkan menggeleng atau pun mengangguk juga tidak ia lakukan. “Oh ya, pak, saya ada permohonan,” “Permohonan?” Hana menelan ludah, ia meremas kedua tangannya khawatir. “Apakah kita bisa … merahasiakan hubungan ini dari adik saya?” Tanya Hana lirih. “Kenapa?” Mahendra mengangkat salah satu alisnya, “Kau tinggal bilang bekerja dengan saya mulai sekarang dan sebutkan pekerjaan apa pun.” “Itu ..” "Atau kau lebih suka memperkenalkan kita sebagai suami-istri?"Wajah Hana memerah padam melihat seringai Mahendra, "Mana mungkin!"
Hana buru-buru membuka pintu mobil dan berseru lagi, "Saya akan bilang sesuai saran pertama bapak saja! Selamat malam!"
Hana menutup pintu mobil dengan kencang lalu berjalan cepat ke dalam rumah sakit. Ia tidak menyadari tatapan Mahendra yang menatapnya lamat-lamat dengan seringai lebar di wajahnya.
Tubuh Hana menegang. Sangat, sangat tegang. Lebih tegang daripada saat ia menghadiri acara-acara pesta Mahendra. Meski jantungnya kini berdebar-debar kencang, ia berusaha memasang wajah setenang mungkin. Gadis itu hanya mengerjapkan mata dan mengerutkan alis untuk bereaksi atas pertanyaan Rendry. “Saya tidak paham maksud tuan,” jawabnya tenang, “Pernikahan kontrak? Saya rasa hal itu sudah tidak ada di dunia modern ini,”“Maafkan kelancangan saya,”Rendry melepas genggamannya yang membuat Hana seketika menarik napas lega. Pasalnya, ia bisa merasakan tangannya mulai berkeringat karena perasaan tegangnya sekarang. “Saya hanya tidak percaya kalau Hendra benar-benar sudah menikah sekarang,”Kali ini, kebingungan benar-benar membanjiri pikiran Hana. Alisnya semakin tertekuk dalam. Mengapa pria itu berbicara seolah hubungannya dengan Mahendra sangat dekat?“Apa hubungan kalian sangat dekat, tuan?” tanya Hana. “Oh, dia tidak cerita?” balas Rendry retoris. Seringainya tertarik semakin leba
“Kamu sedang menjauhi saya ya akhir-akhir ini?”Tubuh Hana menegang seketika. Ia menelan ludah melihat tatapan tajam Mahendra kemudian menggeleng kaku. “Mana ada saya menjauhi bapak. Kan saya masih suka ikut ke acara bapak,” bantah Hana dengan nada senormal mungkin. Perkataan Mahendra tak salah. Hana memang benar-benar menjauhi pria itu! Walaupun tentu saja ia tak melakukannya terang-terangan, hanya mengurangi frekuensi pembicaraan mereka dengan tidak menanggapi ejekan Mahendra. Meski sebenarnya itu langkah yang cukup terlihat karena selama ini Hana suka menanggapi ejekan bosnya, tapi tetap saja hanya sebatas itu! Ia pun juga tidak berusaha menolak tiap Mahendra menyentuhnya saat mereka berada di sebuah acara, meski dia sangat enggan melakukannya karena teringat dengan waktu itu. Lagipula, sudah sebulan berlalu dari family gathering itu. Ia tidak menyangka Mahendra tiba-tiba akan bertanya seperti itu karena pria itu selalu terlihat biasa saja selama ini. Mahendra masih menatapnya
“Kemarin seru perjalanannya, kak?”“Seru, kok,” Hana tersenyum kecil, “Kita main di pantai. Sayang banget kemarin kamu nggak ikut,”Alex menggerutu kecewa sementara Annette dan David saling bertatapan. Entah kenapa, raut wajah sahabatnya terlihat ganjil. Seolah ada yang sedang ditutupi oleh gadis itu. Hari ini, keduanya datang untuk membantu membawakan barang-barang Alex di rumah sakit karena ini hari terakhirnya. Hana yang meminta keduanya dan mumpung sedang weekend, mereka menyanggupi untuk membantu. “Nggak ada kejadian apa gitu, Han?” tanya Annette berusaha memancing. Walaupun ia tahu hal itu tak akan segera memancing Hana untuk bercerita karena gadis itu lebih suka memendam. “Nggak ada kejadian yang spesial, sih,” balas Hana berbohong yang membuat Annette memicingkan matanya. Hana yang menyadari pandangan sahabatnya tersenyum semakin lebar. “Emang kejadian kayak gimana?”“Apa gitu. Orang kaya kan banyak gosipnya!”David mendelik kepada Annette yang cengengesan. Ia mendengus pe
Hana berusaha mendorong tubuh besar Mahendra. Tapi, tentu saja tenaganya kalah kuat sehingga alih-alih Mahendra yang mundur, ia malah terdorong ke belakang dan berakhir di atas kasur.Mahendra tak henti-hentinya menyatukan bibir mereka hingga Hana tak sempat berbicara lagi. Ia tersentak ketika Mahendra mulai menaruh bibirnya di leher Hana.“Pak Mahendra! Sadar!” seru Hana sambil mendorong bahu Mahendra.Ciuman Mahendra terlepas. Pria itu menggeram kesal. Tangannya terangkat dan menyingkap kerah piyama Hana hingga bahunya terekspos.PLAK!Gerakan Mahendra seketika terhenti. Hana terengah-engah. Ia buru-buru mendorong tubuh
Hana pikir, acara family gathering yang dia hadiri sekarang akan berbeda dengan family gathering yang ia datangi sebelumnya ketika di kantor lama. Berbeda yang dia maksud adalah family gathering tersebut akan lebih kaku dan tidak seseru sebelumnya.Tapi, pemikirannya ternyata salah.Ia tidak menyangka orang-orang akan sangat ‘lepas’ di acara ini. Mereka saling berguyon ketika berkompetisi, menyanyikan yel-yel, dan keseruan lainnya yang sama seperti family gathering di kantor lama Hana.Bahkan, Mahendra yang terkenal dengan ekspresi datarnya, juga terlihat lepas meski sedikit saja. Dia hanya tersenyum kecil dan tertawa pelan saja setiap ada melihat tingkah para koleganya. Tapi, hal itu sudah cukup bagi Hana untuk memotret ekspresi berbeda itu dal
“Pak Mahendra, bangun. Sudah sampai,”Mata hitam itu terbuka pelan. Hal pertama yang ia lihat adalah wajah Hana yang begitu dekat. Mahendra segera bangkit dari posisinya. Ia menoleh keluar dan melihat bis sudah berhenti di depan villa. Ia kembali menoleh ke Hana.“Apa tadi saya–?”Hana mengangguk pelan. Mahendra menghela napas. Ia merapihkan rambutnya yang berantakan dan berkata, “Maaf yang tadi,”Hana menggeleng. Ia tidak merasa keberatan sama sekali. Malah itu menjadi kesempatan yang sangat langka untuknya karena mereka jarang berada sedekat itu. Atau bisa dibilang memang hanya sekali saat mereka memakai masker bersama.







