เข้าสู่ระบบEllena mengerjapkan matanya pelan.
"Tunangan pura-pura, Bapak?" Reon melipat tangan di dada sembari bersender tenang di kursinya. "Perlu saya ulangi omongan saya barusan?" Gadis itu menggeleng, "saya denger kok, Pak." "Good." Reon beranjak pelan dari kursinya. Bola mata Ellena mengikuti langkah bosnya itu sampai Reon berhadapan dengannya. Pria tinggi itu bersender di depan meja dengan kedua tangannya mencengkram tepi. "Saya mau mendekati putri menteri investasi dan penanaman modal, namanya Graciella. Dari informasi yang saya terima, dia tertarik dengan tunangan orang." "Jadi, kamu cukup jadi tunangan pura-pura saya, untuk menarik perhatian Graciella pada saya," sambung lelaki itu. Ellena terdiam sejenak. Entah kenapa seperti ada pisau yang menyayat hatinya mendengar Reon mengatakan semua itu. Tapi, apa yang Ellena harapkan? Dia yang mencampakkan Reon. Wajar mantan kekasihnya itu sudah punya tambatan hati yang baru. Sekarang, Ellena hanya perlu fokus pada pengobatan neneknya. Ellena masih termatung. "Kamu bersedia?" tanyanya sekali lagi. "Kalau keberatan ya gausah. Saya cari yang lain aja." "Baik, Pak, saya mengerti. Saya bersedia jadi tunangan pura-pura Bapak untuk mendapatkan hati anak pak menteri Investasi." Ellena menatap Reon tepat di iris tajam bosnya itu. "Satu lagi," sahut Reon datar. Ellena merasakan ruangan luas itu jadi menghimpit pelan-pelan. Oksigen seketika susah payah masuk ke paru-parunya. Dulu, di masa SMA, Reon yang terus mendekati Ellena, dia juga yang mengklaim Ellena sepihak sebagai pacar. Ellena yang cuma peduli belajar dan kerja lama-lama juga mulai jatuh hati dengan cowok berandalan tengil dan suka semaunya itu. Mereka juga dua sejoli yang dulu keseringan melakukan hal-hal vulgar meski tak sampai berhubungan intim. Dan, itu Reon yang dulu terus memaksa Ellena. Pikirnya sekarang, apakah Reon ingin… "Jangan berpikiran aneh-aneh, Elle," sela Reon membuyarkan lamunan Ellena. "Saya tahu arah pikiran kamu," desis Reon. "Apa kata-kata saya kemarin kurang jelas?" "Sangat jelas, Pak," sahut Ellena cepat. "Anda sudah move on dan saya juga sudah move on, saya juga sadar dengan posisi saya, jadi tidak perlu khawatir apa-apa lagi, Pak Reon." Gadis itu menata napasnya yang tadi sedikit sesak. Reon mengetuk tepi meja pelan dengan jemarinya panjangnya secara bergantian, seperti menekan tuts piano. Tatapannya masih terpaku pada Ellena. Penuh kalkulasi. "Fine," sahutnya datar. "Jadi, apa lagi yang harus saya lakukan selain jadi tunangan pura-pura Anda?" Reon mengangkat satu alis tebalnya samar, nyaris tak terlihat bergerak. "Kamu harus menuruti perintah saya… apapun itu." Ellena bergeming di tempat. Matanya membola, tidak sampai membelalak. "Ada apa?" tanya Reon, melirik Ellena dari sudut matanya. Ellena cepat-cepat menggeleng. Dia sudah sangat lega Reon mau memberikannya pinjaman. Jadi sudah sewajarnya dia memang mematuhi apapun perintah bosnya. "Gak ada apa-apa, Pak. Saya bersedia." "Oke, itu aja, silakan keluar," Reon meluruskan punggung lalu melangkah kembali ke kursinya. Ellena masih berdiri di sana. Tatapannya tertuju pada punggung Reon. "Pak…" Reon berhenti, menoleh sedikit dan menatap Ellena dari balik bahu lebarnya. "Ada apa lagi?" "Umm… b-bagaimana dengan uang yang Bapak mau pinjamkan?" "Sana keluar! Saya segera kirimkan ke rekening kamu." Reon menarik ujung jas sebelum lanjut melangkah menuju kursinya. "Baik, Pak." Ellena menunduk hormat dengan mata berbinar. "Terima kasih banyak, Pak Reon." Di mejanya, Ellena menunduk sambil mengulum bibirnya rapat-rapat. Matanya tertuju pada ponsel di genggaman kedua tangannya. Dua ibu jari gadis itu menepuk-nepuk gelisah di atas layar. Namun, tak berselang lama, notifikasi mobile bankingnya muncul. Ellena menahan napas melihat deretan angka yang masuk ke rekeningnya. "Kamu kenapa, Ellena?" tanya Laura tiba-tiba. Perempuan itu beranjak dari kursinya, mendekat ke meja Ellena. Spontan Ellena menghitamkan layar ponselnya dan menoleh pada Laura yang entah kapan sudah ada di samping kursinya. "Oh, gak apa-apa, Kak, saya cuma mikirin nenek saya." Laura menyentuh pundak Ellena dan menekuk bibirnya. "Sorry, yah, Ellena, tadi saya bener-bener enggak dengerin kamu ngomong soal kamu ke rumah sakit." "Iya, Kak Laura, enggak apa-apa," ujar Ellena tersenyum kaku. Dia mengerti orang macam Laura ini pandai bermuka dua. "Yaudah, semoga nenek kamu cepetan sembuh, yah." Laura mengelus pundak Ellena. "Makasih, Kak Laura." "Oh iya, aku barusan kirim file ke email kamu, tolong diselesaikan, yah, kata Pak Reon harus selesai besok pagi," ujar Laura melengkungkan bibirnya tipis, menciptakan senyum yang terlalu manis untuk dipercaya. Ellena tahu, itu pasti tugas Laura yang sengaja mau dialihkan padanya. Bukan sekali dua kali sekertaris pertama itu melakukannya. "Umm… tapi, saya barusan dapat tugas juga dari Pak Reon, Kak. Katanya harus selesai besok pagi juga." "Yaudah, sekalian kamu kerjain file yang saya kirim juga, yah," ujar Laura lembut, tapi mengandung desakan yang jelas dirasakan Ellena. "Tapi, Kak—" Laura meluruskan punggung, kedua tangannya terangkat dan terjalin di depan perut. Wajahnya yang lembut seketika mengeras. Tak lupa tatapannya yang jadi sinis. "Kamu nolak?" tanya Laura. "Maaf, Kak, itu tugas Kak Laura dari Pak Reon jadi sebaiknya Kak Laura selesaikan sendiri. Karena saya juga punya tugas tersendiri dari Pak Reon." "Ellena, kamu itu baru di sini, tapi udah belagak seperti senior, yah?" cibir Laura. "Pokoknya kamu selesaikan file yang saya kirim duluan!" tegas Laura. "File apa?" Suara berat itu membuat Ellena dan Laura menoleh."Dia melihat ke arah kita, Pak" bisiknya. "Sepertinya… Nona Graciella sudah mulai tertarik.""Bagus," Reon semakin menunduk. Menahan jarak wajah mereka lama. Lantas dia semakin kokoh melingkarkan lengannya pinggang sekretarisnya. Sementara itu, penciuman Ellena semakin penuh dengan aroma parfum maskulin Reon. Dia juga sesekali merasakan ibu jari bosnya menekan dengan elusan samar. Melihat bibir Reon menciptakan gejolak dalam dada Ellena yang sudah lama terpendam. Dia menggigit bibir dalamnya sambil menata napas, lalu menunduk. Oh, Ellena sadar. Reon sudah punya tambatan hati lain dan Ellena sedang menjalankan peran untuk menarik perhatian perempuan itu. Tatapannya kini tertuju pada cincin yang melingkar di jari manisnya. Ya, Ellena tidak boleh terbawa perasaan. Cincin itu hanya sekadar aksesoris untuk sandiwara mereka. Lalu, dari arah samping, Graciella muncul. Perempuan itu mendekat dengan langkah anggun yang pelan. "Saya tidak menyangka ternyata seorang Dareon Sankara Adinata
Reon telah menetapkan pilihan pada gaun satin berwarna dusty rose untuk Ellena kenakan. Dia menunggu sekretarisnya itu keluar dari balik tirai.Lelaki dengan setelan jas gelap itu duduk diam di sofa sambil menyilangkan kaki, punggungnya tegak, satu tangannya bertumpu santai di sandaran. Wajahnya tetap dingin—tatapan datar, rahang tegas dan aura mencekam yang membuat para staf di sekitar berdiri diam seperti patung.Begitu menyadari kemunculan Ellena di hadapannya, mata tajam Reon yang fokus pada layar ponsel teralihkan.Pandangannya naik.Untuk sepersekian detik, Reon lupa berkedip.Gaun yang dipakai Ellena jatuh sempurna di tubuh sekretarisnya itu. Kainnya membingkai siluet ramping yang sulit diabaikan.Iris Reon menyapu cepat, nyaris dingin seperti biasanya, tetapi sukar rasanya tidak berhenti pada lekuk bahu Ellena. Garis halus selangka itu dulu jadi salah satu persinggahan favorit bibir Reon saat memadu kasih dengan mantan kekasihnya.Dada Reon menegang sesaat, tapi tidak ada yang
"P–Pak Reon." Laura menunduk sekilas lalu mengangkat wajahnya, menatap pemilik bola mata hitam yang memantulkan sinar keemasan senja itu. Laura sudah jadi sekretaris Reon sekitar satu tahun, dulunya dia mengisi posisi sekretaris kedua seperti Ellena sekarang. Dan, sejak saat itu, dia langsung tertarik dengan Reon. Siapa yang tidak jatuh hati? Bukan hanya tampan, Reon punya kharisma yang membuat semua mata terpesona padanya. Selain itu, dia penerus Adinata Group yang memiliki kerajaan bisnis, baik di luar maupun luar negeri. Hanya saja, sampai sekarang tidak ada tanda-tanda Reon jatuh hati pada Laura. Namun, wanita itu tidak akan menyerah begitu saja. Reon melangkah penuh dominasi dan berhenti tepat di depan meja kerja Ellena. Hawa dingin seakan menguar di udara sekitar Ellena dan Laura. Laura menyelipkan beberapa helai rambutnya ke belakang telinga. "Em… itu Pak… maksudnya file tugas yang Pak Reon kasih."Di sisi lain, Ellena hanya berdiri diam dengan pose profesional. Sesekali d
Ellena mengerjapkan matanya pelan. "Tunangan pura-pura, Bapak?" Reon melipat tangan di dada sembari bersender tenang di kursinya. "Perlu saya ulangi omongan saya barusan?" Gadis itu menggeleng, "saya denger kok, Pak." "Good." Reon beranjak pelan dari kursinya. Bola mata Ellena mengikuti langkah bosnya itu sampai Reon berhadapan dengannya. Pria tinggi itu bersender di depan meja dengan kedua tangannya mencengkram tepi. "Saya mau mendekati putri menteri investasi dan penanaman modal, namanya Graciella. Dari informasi yang saya terima, dia tertarik dengan tunangan orang." "Jadi, kamu cukup jadi tunangan pura-pura saya, untuk menarik perhatian Graciella pada saya," sambung lelaki itu. Ellena terdiam sejenak. Entah kenapa seperti ada pisau yang menyayat hatinya mendengar Reon mengatakan semua itu. Tapi, apa yang Ellena harapkan? Dia yang mencampakkan Reon. Wajar mantan kekasihnya itu sudah punya tambatan hati yang baru. Sekarang, Ellena hanya perlu fokus pada pengobatan
Ellena kembali ke kantor saat hari menjelang sore. Dia merapikan penampilannya sebelum masuk ke dalam ruangan kerja. Matanya yang bengkak menangkap perhatian Vino–asisten Reon.Laki-laki itu menghampirinya saat kembali. "Kak dari mana?""Pak bos marah besar." Imbuhnya.Ellena menelan saliva. "Apa karena dokumen kemarin masih ada yang salah?""Pak bos marah karena dapat laporan kalau Kak Ellena keluyuran di jam kerja," bisik Vino. Ellena menautkan alis. Bukannya dia sudah memberitahu Laura kalau dia ke rumah sakit?Aduh, padahal dia mau meminta tolong pada mantan kekasihnya itu tapi Ellena malah bermasalah lagi.Ellena masuk ke ruangan Reon dengan hati-hati dan segera mengambil posisi berdiri di sebelah Laura.Di balik meja besar, tatapan Reon sangat menusuk. "Kamu dari mana aja?" tanyanya dingin. "Tadi ada meeting penting dan kamu malah keluyuran di jam kerja. Kamu niat kerja nggak sih!? Mau dipecat aja?"Ellena menggeleng. Dia sudah mengurungkan niat untuk resign. "Jangan pecat saya
Keputusan Ellena untuk mengundurkan diri sudah bulat. Gadis itu meluruskan punggung di balik meja kerja. Bola mata kecoklatan nya tertuju pada amplop putih di balik map. Sisa menunggu Reon datang dan dia akan menyerahkan surat resignnya.Suara klik halus dari pintu masuk spontan membuat Ellena menutup map rapat-rapat di meja. "Ellena, dokumen kemarin udah diapproved sama Pak Reon?" tanya Laura. Perempuan berlipstik merah terang itu melangkah melewati kursi Ellena dan meletakkan tas jingganya di meja.Ellena mengerjapkan mata pelan. Dia tidak tahu nasib dokumen tersebut. Ellena pergi begitu saja karena kelakuan brengsek Reon malam tadi."Sudah saya serahkan ke Pak Reon, Kak, tapi saya belum tahu udah diapproved atau enggak," jawab Ellena hati-hati."Duhhh, kamu gimana sih, Ellena, harusnya kamu pastiin dulu sebelum pulang. Saya kan butuh dokumen itu juga." Laura menghembuskan napas kasar. "Kita pasti kena omelan Pak Reon lagi kalau kayak gini.""Maaf, Kak," sahut Ellena pelan. Tidak m







