เข้าสู่ระบบ"P–Pak Reon." Laura menunduk sekilas lalu mengangkat wajahnya, menatap pemilik bola mata hitam yang memantulkan sinar keemasan senja itu.
Laura sudah jadi sekretaris Reon sekitar satu tahun, dulunya dia mengisi posisi sekretaris kedua seperti Ellena sekarang. Dan, sejak saat itu, dia langsung tertarik dengan Reon. Siapa yang tidak jatuh hati? Bukan hanya tampan, Reon punya kharisma yang membuat semua mata terpesona padanya. Selain itu, dia penerus Adinata Group yang memiliki kerajaan bisnis, baik di luar maupun luar negeri. Hanya saja, sampai sekarang tidak ada tanda-tanda Reon jatuh hati pada Laura. Namun, wanita itu tidak akan menyerah begitu saja. Reon melangkah penuh dominasi dan berhenti tepat di depan meja kerja Ellena. Hawa dingin seakan menguar di udara sekitar Ellena dan Laura. Laura menyelipkan beberapa helai rambutnya ke belakang telinga. "Em… itu Pak… maksudnya file tugas yang Pak Reon kasih." Di sisi lain, Ellena hanya berdiri diam dengan pose profesional. Sesekali dia mengangkat pandangannya, menatap garis rahang Reon. "Kenapa dengan file itu?" Reon melayangkan sorotan tajam. "Kamu sudah selesaikan?" Laura menggelengkan kepala. "Belum, Pak, sa–saya akan lanjut kerjakan di rumah." "Oke," ujar Reon datar. Dia lalu menoleh ke arah Ellena. Pandangannya tertahan pada gadis berambut hitam panjang tersebut. "Kamu temani saya ke gala di kediaman menteri investasi malam ini, ikut saya sekarang," titah Reon. Ellena mengerjap pelan. Reon sudah mentransfer uang yang dia butuhkan untuk pengobatan neneknya, jadi otomatis Ellena mau tidak mau, suka tidak suka akan mematuhi semua perintah Reon. Dan, mendengar soal menteri investasi, Ellena paham kalau dia harus berpura-pura jadi tunangan Reon malam ini. Sementara itu, Laura membelalak tak santai. Pikirnya dia yang diajak ke pesta itu, makanya dia mau menyerahkan tugasnya pada Ellena. Tapi, kenapa malah Ellena yang diminta pergi bersama bos? "Emm, Pak Reon, maaf… tapi, Ellena masih baru sebagai sekretaris, dia masih perlu bimbingan, jadi saya sebaiknya diperkenankan ikut juga untuk mendampingi Bapak dan mengarahkan Ellena," kata Laura mengusulkan. Reon melirik tajam, "di sini yang pimpinan kamu atau saya?" Laura tertegun. "Maaf, Pak, bukan begitu… saya cuma menyampaikan saran supaya—." "Dan saya tidak butuh saran kamu," tukas Reon. "Lebih baik kamu fokus selesai tugas yang saya berikan," Reon kemudian melangkah menuju pintu keluar ruangan. "Jangan bengong aja, Ellena, cepat ikut saya!" Ellena yang sejak tadi diam, cepat-cepat membereskan barangnya, menarik tasnya dan berlari semut menyusul Reon setelah pamit duluan ke Laura. Sementara perempuan itu mengepalkan tinju erat-erat di samping tubuhnya. "Awas kamu, Ellena!" Di sisi lain, Ellena mengekori Reon dari belakang. Pria itu begitu buru-buru, tapi auranya tidak membara-bara seperti dulu, malah lebih ke dingin mencekam. Dekat tapi sangat sulit dijangkau. "Pak Reon…" sahut gadis itu pelan. "Hm." Reon tidak menoleh sedikitpun. "Apa saya boleh ke rumah sakit dulu untuk mengurus biaya operasi dan perawatan nenek saya?" tanya Ellena hati-hati. "Iya, tapi jangan lama-lama, karena kamu butuh makeover. Apa kata orang-orang di gala kalau tunangan saya jelek dan berantakan." Reon mempercepat jalannya. "Baik, Pak," Ellena berjuang di belakang Reon untuk menyamakan langkah. Ellena lalu menunduk sekilas melihat penampilannya. Dia memang agak kacau—kemejanya kusut, penuh debu jalanan. Matanya juga masih bengkak karena menangis. Sebagai seorang sekretaris dia sepatutnya menjaga penampilan, tapi meski sudah dirapikan tetap saja sisa-sisa kendaraan masih menempel di pakaian Ellena. Pasalnya, dia menggunakan ojek online untuk kemana-mana. Tak terasa waktu berlalu, Ellena sudah tampil menawan oleh bantuan profesional—kulitnya lembut berseri, rambut panjangnya ditata bergelombang dan make up natural semakin memancarkan kecantikannya. Saat ini, Ellena berdiri di sebuah ruangan luas dengan furnitur megah. Terdapat sebuah standing rack dengan deretan gaun haute couture. Ellena bolak-balik keluar dari balik tirai dengan mengenakan gaun tersebut secara bergantian di depan Reon. Dan— Entah mengapa rasanya dia dijadikan seperti boneka oleh Reon. Tapi bukankah itu memang tugas Ellena? Mematuhi semua perintah Reon… apapun itu."Dia melihat ke arah kita, Pak" bisiknya. "Sepertinya… Nona Graciella sudah mulai tertarik.""Bagus," Reon semakin menunduk. Menahan jarak wajah mereka lama. Lantas dia semakin kokoh melingkarkan lengannya pinggang sekretarisnya. Sementara itu, penciuman Ellena semakin penuh dengan aroma parfum maskulin Reon. Dia juga sesekali merasakan ibu jari bosnya menekan dengan elusan samar. Melihat bibir Reon menciptakan gejolak dalam dada Ellena yang sudah lama terpendam. Dia menggigit bibir dalamnya sambil menata napas, lalu menunduk. Oh, Ellena sadar. Reon sudah punya tambatan hati lain dan Ellena sedang menjalankan peran untuk menarik perhatian perempuan itu. Tatapannya kini tertuju pada cincin yang melingkar di jari manisnya. Ya, Ellena tidak boleh terbawa perasaan. Cincin itu hanya sekadar aksesoris untuk sandiwara mereka. Lalu, dari arah samping, Graciella muncul. Perempuan itu mendekat dengan langkah anggun yang pelan. "Saya tidak menyangka ternyata seorang Dareon Sankara Adinata
Reon telah menetapkan pilihan pada gaun satin berwarna dusty rose untuk Ellena kenakan. Dia menunggu sekretarisnya itu keluar dari balik tirai.Lelaki dengan setelan jas gelap itu duduk diam di sofa sambil menyilangkan kaki, punggungnya tegak, satu tangannya bertumpu santai di sandaran. Wajahnya tetap dingin—tatapan datar, rahang tegas dan aura mencekam yang membuat para staf di sekitar berdiri diam seperti patung.Begitu menyadari kemunculan Ellena di hadapannya, mata tajam Reon yang fokus pada layar ponsel teralihkan.Pandangannya naik.Untuk sepersekian detik, Reon lupa berkedip.Gaun yang dipakai Ellena jatuh sempurna di tubuh sekretarisnya itu. Kainnya membingkai siluet ramping yang sulit diabaikan.Iris Reon menyapu cepat, nyaris dingin seperti biasanya, tetapi sukar rasanya tidak berhenti pada lekuk bahu Ellena. Garis halus selangka itu dulu jadi salah satu persinggahan favorit bibir Reon saat memadu kasih dengan mantan kekasihnya.Dada Reon menegang sesaat, tapi tidak ada yang
"P–Pak Reon." Laura menunduk sekilas lalu mengangkat wajahnya, menatap pemilik bola mata hitam yang memantulkan sinar keemasan senja itu. Laura sudah jadi sekretaris Reon sekitar satu tahun, dulunya dia mengisi posisi sekretaris kedua seperti Ellena sekarang. Dan, sejak saat itu, dia langsung tertarik dengan Reon. Siapa yang tidak jatuh hati? Bukan hanya tampan, Reon punya kharisma yang membuat semua mata terpesona padanya. Selain itu, dia penerus Adinata Group yang memiliki kerajaan bisnis, baik di luar maupun luar negeri. Hanya saja, sampai sekarang tidak ada tanda-tanda Reon jatuh hati pada Laura. Namun, wanita itu tidak akan menyerah begitu saja. Reon melangkah penuh dominasi dan berhenti tepat di depan meja kerja Ellena. Hawa dingin seakan menguar di udara sekitar Ellena dan Laura. Laura menyelipkan beberapa helai rambutnya ke belakang telinga. "Em… itu Pak… maksudnya file tugas yang Pak Reon kasih."Di sisi lain, Ellena hanya berdiri diam dengan pose profesional. Sesekali d
Ellena mengerjapkan matanya pelan. "Tunangan pura-pura, Bapak?" Reon melipat tangan di dada sembari bersender tenang di kursinya. "Perlu saya ulangi omongan saya barusan?" Gadis itu menggeleng, "saya denger kok, Pak." "Good." Reon beranjak pelan dari kursinya. Bola mata Ellena mengikuti langkah bosnya itu sampai Reon berhadapan dengannya. Pria tinggi itu bersender di depan meja dengan kedua tangannya mencengkram tepi. "Saya mau mendekati putri menteri investasi dan penanaman modal, namanya Graciella. Dari informasi yang saya terima, dia tertarik dengan tunangan orang." "Jadi, kamu cukup jadi tunangan pura-pura saya, untuk menarik perhatian Graciella pada saya," sambung lelaki itu. Ellena terdiam sejenak. Entah kenapa seperti ada pisau yang menyayat hatinya mendengar Reon mengatakan semua itu. Tapi, apa yang Ellena harapkan? Dia yang mencampakkan Reon. Wajar mantan kekasihnya itu sudah punya tambatan hati yang baru. Sekarang, Ellena hanya perlu fokus pada pengobatan
Ellena kembali ke kantor saat hari menjelang sore. Dia merapikan penampilannya sebelum masuk ke dalam ruangan kerja. Matanya yang bengkak menangkap perhatian Vino–asisten Reon.Laki-laki itu menghampirinya saat kembali. "Kak dari mana?""Pak bos marah besar." Imbuhnya.Ellena menelan saliva. "Apa karena dokumen kemarin masih ada yang salah?""Pak bos marah karena dapat laporan kalau Kak Ellena keluyuran di jam kerja," bisik Vino. Ellena menautkan alis. Bukannya dia sudah memberitahu Laura kalau dia ke rumah sakit?Aduh, padahal dia mau meminta tolong pada mantan kekasihnya itu tapi Ellena malah bermasalah lagi.Ellena masuk ke ruangan Reon dengan hati-hati dan segera mengambil posisi berdiri di sebelah Laura.Di balik meja besar, tatapan Reon sangat menusuk. "Kamu dari mana aja?" tanyanya dingin. "Tadi ada meeting penting dan kamu malah keluyuran di jam kerja. Kamu niat kerja nggak sih!? Mau dipecat aja?"Ellena menggeleng. Dia sudah mengurungkan niat untuk resign. "Jangan pecat saya
Keputusan Ellena untuk mengundurkan diri sudah bulat. Gadis itu meluruskan punggung di balik meja kerja. Bola mata kecoklatan nya tertuju pada amplop putih di balik map. Sisa menunggu Reon datang dan dia akan menyerahkan surat resignnya.Suara klik halus dari pintu masuk spontan membuat Ellena menutup map rapat-rapat di meja. "Ellena, dokumen kemarin udah diapproved sama Pak Reon?" tanya Laura. Perempuan berlipstik merah terang itu melangkah melewati kursi Ellena dan meletakkan tas jingganya di meja.Ellena mengerjapkan mata pelan. Dia tidak tahu nasib dokumen tersebut. Ellena pergi begitu saja karena kelakuan brengsek Reon malam tadi."Sudah saya serahkan ke Pak Reon, Kak, tapi saya belum tahu udah diapproved atau enggak," jawab Ellena hati-hati."Duhhh, kamu gimana sih, Ellena, harusnya kamu pastiin dulu sebelum pulang. Saya kan butuh dokumen itu juga." Laura menghembuskan napas kasar. "Kita pasti kena omelan Pak Reon lagi kalau kayak gini.""Maaf, Kak," sahut Ellena pelan. Tidak m







