Share

Tetangga Baru

"Kok tadi malam Mas ngetuk pintu gak ada yang bukain?" 

 

Mas Riko bersungut-sungut masuk ke dalam rumah. Wajahnya tampak kusut, mungkin karena masih kesal. 

 

Siapa suruh tadi malam dia bertemu dengan wanita lain. Sepertinya, Mas Riko pulang larut malam. Aku memasak sarapan sambil mendumal dalam hati. 

 

"Tuh, digigitin nyamuk semua. Kamu gimana, sih?" 

 

Mas Riko masih mendumal. Aku menatapnya yang sedang menggaruk-garuk tangan dan kaki. 

 

"Mana ban mobil kempes." 

 

Masih saja dia menggerutu. 

 

"Maka nya, jangan ketemuan sama teman malam-malam. Aku udah tidur, Bibi udah tidur. Masa kuncinya bisa jalan sendiri."

 

Padahal, tadi malam aku sempat terbangun. Mendengar Mas Riko menggedor-gedor pintu.

 

Suamiku itu masih bersungut-sungut, dia akhirnya berjalan ke kamar. Itu baru permulaan, Mas.

 

Saat Mas Riko mandi, aku buru-buru masuk ke dalam kamar. Ah, rupanya benar. Mas Riko lupa membawa ponselnya. 

 

Dengan cepat, aku menyalakan ponsel Mas Riko, kemudian mencari nama kontak wanita itu. Setelah menyalin, aku menghela napas lega. Akhirnya, bisa menyalin nomor itu juga. 

 

Rencananya, aku akan meminta untuk ketemuan dengan wanita ini. Aku harus melihat wataknya yang sebenarnya. 

 

Ponselku berdering. Dari Lea.

 

"Halo, Le." 

 

Aku keluar kamar, agar tidak membuat Mas Riko curiga. 

 

"Halo, Di. Kamu gak penasaran sama wanita itu?"

 

Sebenarnya penasaran sekali. Apalagi aku sudah tahu alamat rumah wanita itu. Entah siapa namanya. 

 

"Enggak." Aku tidak akan menceritakan dulu perihal masalah rumah tanggaku pada orang lain. Bisa berbahaya nantinya. 

 

Meskipun sudah cukup lama mengenal Lea, tapi aku tidak akan menceritakan semuanya. Itu yang sejak dulu aku jaga, agar masalah kami tidak membesar kemana-mana. 

 

"Eh, mau ketemuan, gak?" 

 

Aku terdiam sejenak. Kenapa rasanya Lea seperti mendesakku, agar menceritakan semuanya?

 

"Kamu ngapain masih teleponan? Aku udah mau berangkat, nih." 

 

Mendengar suara Mas Riko mendekat, aku buru-buru mematikan telepon. Mengambil piring. 

 

Andre sudah berangkat. Selama Mas Riko makan, aku hanya memperhatikannya. Sesekali menghela napas. 

 

Dulu, kegiatan seperti ini menyenangkan sekali. Melihat Mas Riko makan, melakukan kegiatan apa pun. 

 

Ah, sekarang sudah berbeda lagi. Ada banyak rahasia yang Mas Riko sembunyikan. Dan itu menyakitkan. 

 

***

 

"Bu, ada tetangga pindahan, lho." 

 

Saat hendak masuk ke dalam rumah, setelah mengantar Mas Riko ke depan gerbang rumah, aku menoleh ke tetangga sebelah.

 

"Pindah kemana, Bu?" tanyaku, mengurungkan niat untuk kembali menutup gerbang. 

 

"Itu, depan rumah Ibu. Masih cantik banget, tapi udah punya bayi." 

 

"Maksudnya, Bu?" 

 

"Janda kali, ya. Atau masih ada suami, tapi gak kelihatan. Ah, gak tau, Bu." 

 

Aku mengangguk-angguk. Biar nanti aku yang ke rumah itu. 

 

Setelah membereskan makanan, aku mengambil piring. Menyiapkan makanan untuk tetangga baru. 

 

"Bi, udah tahu, ada tetangga baru?" 

 

Bi Sari yang sedang menyapu menoleh, kemudian menggeleng. "Belum, Bu. Tukang sayur belum lewat. Mungkin, kemarin malam pindahannya."

 

Pembantuku saja tidak tahu. Masa ada tetangga baru, kami tidak tahu apa-apa. Ini benar-benar aneh. 

 

"Eh, saya permisi ngelanjutin nyapu dulu, Bu." 

 

Aku mengangguk, sambil kembali menyiapkan makanan. 

 

Setelah selesai, aku mengambil dompet di dalam kamar. Kemudian mengambil makanan yang sudah disiapkan. 

 

Belum juga melangkah, ponselku berdering. Dari Mas Riko. 

 

"Halo, Sayang." Mas Riko lebih dulu menyapa. 

 

"Iya. Halo, Mas. Kenapa?"

 

Aku kembali meletakkan makanan ke atas meja, duduk. Mas Riko biasanya akan lama, kalau menelepon seperti ini. 

 

 "Kamu masih punya uang, gak?"

 

Keningku mengernyit mendengar pertanyaannya yang aneh itu. Tidak biasanya Mas Riko bertanya soal uang padaku.

 

"Memangnya kenapa, Mas?" 

 

"Ya, nanya aja. Kamu masih ada uang atau enggak?" 

 

Aku memperbaiki posisi duduk. Ini aneh sekali. "Kenapa dulu Mas nanyain itu."

 

Mas Riko terdiam sejenak. Sepertinya, dia masih berpikir akan menjawab apa. 

 

"Mas mau pinjam dulu. Nanti pas gajian Mas ganti. Janji, deh." 

 

Pinjam uang? 

 

Ah, pasti ada hubungannya dengan wanita dan bayi itu. Aku menatap makanan, sambil berpikir akan menjawab apa. 

 

"Diah?" 

 

"Gak ada, Mas. Lagipula, Mas masih punya uang, 'kan?" 

 

"Serius, nih? Sisa uang belanja gak ada, gitu?" 

 

Enak saja. Uang itu hanya cukup untuk membeli bahan makanan dan beberapa kebutuhan lainnya. Mau diminta kembali. 

 

"Gak ada, Mas. Memangnya untuk apa, sih?" 

 

"Yaudah, deh, kalau gak ada." 

 

Telepon dimatikan. Aku menghela napas pelan. Semakin lama, Mas Riko semakin aneh. Dia bukan lagi lelaki yang aku kenal. 

 

Aku berdiri, membawa makanan, kemudian berjalan ke depan rumah. 

 

Bi Sari membantu membukakan pintu gerbang. Aku tersenyum, berterima kasih. 

 

Ini benar ada orangnya? Kenapa rasanya sepi sekali. 

 

"Eh, Ibu mau ke rumah tetangga juga rupanya." 

 

Mendengar ada yang menyapa, aku langsung menoleh. Tersenyum, ketika melihat Bu Yanti—janda dua anak yang masih muda. 

 

"Iya, nih. Gak enak, kalau gak kesini." 

 

Kami berdua sama-sama masuk ke halaman rumah tetangga. Rumah ini sebenarnya sudah agak lama tidak ditempati. 

 

Baru terjual sekarang. Bu Yanti menekan bel rumah. Mungkin, tetangga baru ini sedang sibuk di dapur. 

 

"Katanya cantik, Bu. Masih seumuran Bu Diah juga kayaknya."

 

Aku tersenyum, kembali fokus ke pintu. 

 

Beberapa saat menunggu, akhirnya pintu terbuka. Hampir saja piring yang ada di tangan jatuh. Aku menelan ludah, jantungku berdetak cepat. 

 

"Wah, makasih untuk kunjungannya, Bu."

 

Bu Yanti sudah menyalami wanita yang menggendong bayi. Aku mengusap wajah dengan satu tangan, jantungku berpacu cepat. 

 

Hampir saja piringku terjatuh tadi. Ini benar-benar kejutan tak terduga. 

 

Wanita itu! Wanita selingkuhan Mas Riko!

 

***

 

Jangan lupa like dan komenn.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status