Share

Tetangga Baru

Author: Rahma La
last update Last Updated: 2022-06-14 20:07:17

"Kok tadi malam Mas ngetuk pintu gak ada yang bukain?" 

 

Mas Riko bersungut-sungut masuk ke dalam rumah. Wajahnya tampak kusut, mungkin karena masih kesal. 

 

Siapa suruh tadi malam dia bertemu dengan wanita lain. Sepertinya, Mas Riko pulang larut malam. Aku memasak sarapan sambil mendumal dalam hati. 

 

"Tuh, digigitin nyamuk semua. Kamu gimana, sih?" 

 

Mas Riko masih mendumal. Aku menatapnya yang sedang menggaruk-garuk tangan dan kaki. 

 

"Mana ban mobil kempes." 

 

Masih saja dia menggerutu. 

 

"Maka nya, jangan ketemuan sama teman malam-malam. Aku udah tidur, Bibi udah tidur. Masa kuncinya bisa jalan sendiri."

 

Padahal, tadi malam aku sempat terbangun. Mendengar Mas Riko menggedor-gedor pintu.

 

Suamiku itu masih bersungut-sungut, dia akhirnya berjalan ke kamar. Itu baru permulaan, Mas.

 

Saat Mas Riko mandi, aku buru-buru masuk ke dalam kamar. Ah, rupanya benar. Mas Riko lupa membawa ponselnya. 

 

Dengan cepat, aku menyalakan ponsel Mas Riko, kemudian mencari nama kontak wanita itu. Setelah menyalin, aku menghela napas lega. Akhirnya, bisa menyalin nomor itu juga. 

 

Rencananya, aku akan meminta untuk ketemuan dengan wanita ini. Aku harus melihat wataknya yang sebenarnya. 

 

Ponselku berdering. Dari Lea.

 

"Halo, Le." 

 

Aku keluar kamar, agar tidak membuat Mas Riko curiga. 

 

"Halo, Di. Kamu gak penasaran sama wanita itu?"

 

Sebenarnya penasaran sekali. Apalagi aku sudah tahu alamat rumah wanita itu. Entah siapa namanya. 

 

"Enggak." Aku tidak akan menceritakan dulu perihal masalah rumah tanggaku pada orang lain. Bisa berbahaya nantinya. 

 

Meskipun sudah cukup lama mengenal Lea, tapi aku tidak akan menceritakan semuanya. Itu yang sejak dulu aku jaga, agar masalah kami tidak membesar kemana-mana. 

 

"Eh, mau ketemuan, gak?" 

 

Aku terdiam sejenak. Kenapa rasanya Lea seperti mendesakku, agar menceritakan semuanya?

 

"Kamu ngapain masih teleponan? Aku udah mau berangkat, nih." 

 

Mendengar suara Mas Riko mendekat, aku buru-buru mematikan telepon. Mengambil piring. 

 

Andre sudah berangkat. Selama Mas Riko makan, aku hanya memperhatikannya. Sesekali menghela napas. 

 

Dulu, kegiatan seperti ini menyenangkan sekali. Melihat Mas Riko makan, melakukan kegiatan apa pun. 

 

Ah, sekarang sudah berbeda lagi. Ada banyak rahasia yang Mas Riko sembunyikan. Dan itu menyakitkan. 

 

***

 

"Bu, ada tetangga pindahan, lho." 

 

Saat hendak masuk ke dalam rumah, setelah mengantar Mas Riko ke depan gerbang rumah, aku menoleh ke tetangga sebelah.

 

"Pindah kemana, Bu?" tanyaku, mengurungkan niat untuk kembali menutup gerbang. 

 

"Itu, depan rumah Ibu. Masih cantik banget, tapi udah punya bayi." 

 

"Maksudnya, Bu?" 

 

"Janda kali, ya. Atau masih ada suami, tapi gak kelihatan. Ah, gak tau, Bu." 

 

Aku mengangguk-angguk. Biar nanti aku yang ke rumah itu. 

 

Setelah membereskan makanan, aku mengambil piring. Menyiapkan makanan untuk tetangga baru. 

 

"Bi, udah tahu, ada tetangga baru?" 

 

Bi Sari yang sedang menyapu menoleh, kemudian menggeleng. "Belum, Bu. Tukang sayur belum lewat. Mungkin, kemarin malam pindahannya."

 

Pembantuku saja tidak tahu. Masa ada tetangga baru, kami tidak tahu apa-apa. Ini benar-benar aneh. 

 

"Eh, saya permisi ngelanjutin nyapu dulu, Bu." 

 

Aku mengangguk, sambil kembali menyiapkan makanan. 

 

Setelah selesai, aku mengambil dompet di dalam kamar. Kemudian mengambil makanan yang sudah disiapkan. 

 

Belum juga melangkah, ponselku berdering. Dari Mas Riko. 

 

"Halo, Sayang." Mas Riko lebih dulu menyapa. 

 

"Iya. Halo, Mas. Kenapa?"

 

Aku kembali meletakkan makanan ke atas meja, duduk. Mas Riko biasanya akan lama, kalau menelepon seperti ini. 

 

 "Kamu masih punya uang, gak?"

 

Keningku mengernyit mendengar pertanyaannya yang aneh itu. Tidak biasanya Mas Riko bertanya soal uang padaku.

 

"Memangnya kenapa, Mas?" 

 

"Ya, nanya aja. Kamu masih ada uang atau enggak?" 

 

Aku memperbaiki posisi duduk. Ini aneh sekali. "Kenapa dulu Mas nanyain itu."

 

Mas Riko terdiam sejenak. Sepertinya, dia masih berpikir akan menjawab apa. 

 

"Mas mau pinjam dulu. Nanti pas gajian Mas ganti. Janji, deh." 

 

Pinjam uang? 

 

Ah, pasti ada hubungannya dengan wanita dan bayi itu. Aku menatap makanan, sambil berpikir akan menjawab apa. 

 

"Diah?" 

 

"Gak ada, Mas. Lagipula, Mas masih punya uang, 'kan?" 

 

"Serius, nih? Sisa uang belanja gak ada, gitu?" 

 

Enak saja. Uang itu hanya cukup untuk membeli bahan makanan dan beberapa kebutuhan lainnya. Mau diminta kembali. 

 

"Gak ada, Mas. Memangnya untuk apa, sih?" 

 

"Yaudah, deh, kalau gak ada." 

 

Telepon dimatikan. Aku menghela napas pelan. Semakin lama, Mas Riko semakin aneh. Dia bukan lagi lelaki yang aku kenal. 

 

Aku berdiri, membawa makanan, kemudian berjalan ke depan rumah. 

 

Bi Sari membantu membukakan pintu gerbang. Aku tersenyum, berterima kasih. 

 

Ini benar ada orangnya? Kenapa rasanya sepi sekali. 

 

"Eh, Ibu mau ke rumah tetangga juga rupanya." 

 

Mendengar ada yang menyapa, aku langsung menoleh. Tersenyum, ketika melihat Bu Yanti—janda dua anak yang masih muda. 

 

"Iya, nih. Gak enak, kalau gak kesini." 

 

Kami berdua sama-sama masuk ke halaman rumah tetangga. Rumah ini sebenarnya sudah agak lama tidak ditempati. 

 

Baru terjual sekarang. Bu Yanti menekan bel rumah. Mungkin, tetangga baru ini sedang sibuk di dapur. 

 

"Katanya cantik, Bu. Masih seumuran Bu Diah juga kayaknya."

 

Aku tersenyum, kembali fokus ke pintu. 

 

Beberapa saat menunggu, akhirnya pintu terbuka. Hampir saja piring yang ada di tangan jatuh. Aku menelan ludah, jantungku berdetak cepat. 

 

"Wah, makasih untuk kunjungannya, Bu."

 

Bu Yanti sudah menyalami wanita yang menggendong bayi. Aku mengusap wajah dengan satu tangan, jantungku berpacu cepat. 

 

Hampir saja piringku terjatuh tadi. Ini benar-benar kejutan tak terduga. 

 

Wanita itu! Wanita selingkuhan Mas Riko!

 

***

 

Jangan lupa like dan komenn.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pakaian Bayi di Mobil Suamiku   Pelaku Sebenarnya

    "Hmm, oke deh, nanti saya dan istri ke kantor. Terima kasih, Pak." Aku menoleh ke Mas Adnan. Ke kantor apa? Mau ngapain juga? Mas Adnan tadi sedang teleponan, aku memang sudah berpikir kalau itu adalah telepon yang penting, maka nya aku juga tidak bertanya dari siapa. Namun, ternyata Mas Adnan juga membawa-bawa namaku tadi. Mas Adnan duduk di sampingku. Dia tersenyum, mengusap perutku yang mulai membuncit. Aku hendak bertanya, tapi menunggu dia sajalah. Biarkan Mas Adnan sendiri yang bercerita. Memang, aku lebih suka kalau Mas Adnan yang bercerita dibandingkan aku yang bertanya. Tatapan Mas Adnan lembut sekali, dia tidak pernah kasar padaku. Aku berharap sampai kami menua juga dia akan seperti ini. "Tadi siapa yang nelepon, Mas?" tanyaku akhirnya. Ah, aku tidak tahan untuk bertanya. Mas Adnan menatapku, kemudian tersenyum. Dia tampak lelah, baru pulang bekerja. Padahal tadi kami juga sedang berdua bersama, tetapi Mas Adnan ditelepon. Penting sekali telepon itu, sampai Mas Adnan

  • Pakaian Bayi di Mobil Suamiku   Kehidupan Baru (Season 2)

    "Sayang, ini makanannya habisin dulu, dong. Masa kamu tinggal gitu aja."Aku mengejar Dini—anak keduaku dari Mas Adnan. Ya, sekarang aku memanggilnya Mas, karena dia adalah suamiku. Aku juga tidak menyangka kalau Mas Adnan akan menjadi suamiku, setelah sekian lama memendam trauma itu, aku akhirnya mau menikah dengan dia. "Astaga anak itu, susah banget dibilangin." Aku menggelengkan kepala, kembali mengejar Dini. Sulit sekali untuk membujuk dia. "Ma, Andre berangkat ke kampus dulu."Andre mencium tanganku, kemudian mencium Dini. Dia melambaikan tangan. Andre mengambil kunci mobil di dinding. Aku tersenyum tipis, anakku sudah tumbuh dewasa ternyata. Mas Adnan tidak bekerja hari ini. Katanya mau bermain bersama Dini. Dia memang beberapa hari terakhir sibuk, juga tidak punya waktu untuk anak-anak, tetapi hari ini katanya dia harus bersama dengan kami. Setelah palu diketuk, aku memilih untuk menutup semua kenangan tentang Mas Riko. Andre juga tidak terlalu bersedih, bahkan dia tidak pe

  • Pakaian Bayi di Mobil Suamiku   Terlepas dari Pengkhianatan (TAMAT)

    "Apaan? Ngehalu banget, deh. Udah sana. Jangan ngulur-ngulur waktu lagi. Mau keluar baik-baik atau diseret?"Aku melipat kedua tangan di depan dada. Menatap dua sejoli yang tampak serasi ini. Nur juga ikutan tertawa di sebelahku. "Jadi perusak hubungan orang kok bangga. Kalau saya, sih, malu."Sindiran yang menusuk. Aku mengangguk-angguk, setuju dengan perkataan Kana barusan.Wajah Kana memerah. Dia sepertinya ingin menjambak wajah Nur sekarang. Mas Riko memegang tanganku. Dia sepertinya berharap sekali agar aku memaafkannya. Sebenarnya, apa yang diharapkannya lagi?"Kamu serius? Gak mau sama Mas aja? Mas jamin, hidup kamu bakalan terjamin."Aku tertawa mendengarnya. Benar-benar berkhayal orang ini. "Nih, Mas. Gak usah kamu bujuk-bujuk aku lagi. Surat perceraian kita udah keluar."Dengan cepat, aku meletakkan surat ke atas meja. Mas Riko memandangku penasaran, kemudian mengambil kertas dari atas meja. Beberapa detik, wajah Mas Riko berubah. Dia mengusap wajah, menatapku kembali.

  • Pakaian Bayi di Mobil Suamiku   Terbongkarnya Perselingkuhan Mas Riko

    MAAF, YA. HARI INI DAN KEMARIN AKU GAK BISA UPLOAD BAB BARU. ADA SUATU MASALAH, AKU JUGA LAGI KURANG ENAK BADAN. INSYA ALLAH BESOK, LANGSUNG TAMAT. SEKALI LAGI MAAF, YA.AKU MAU MINTA MAAF LAGI, HEHE. GAK SESUAI JANJI HARI INI. DOAIN AKU CEPET SEMBUH, YAA.***"Makasih, Bi." Aku tersenyum, tidak sabar memberitahukan semua ini pada Nur. Dua kabar bahagia akhirnya datang juga hari ini. Aku menghela napas pelan. Lega dengan semuanya. "Sama-sama, Bu. Saya dukung Ibu untuk bercerai dari Pak Riko, Bu.""Makasih, Bi. Makasih, banyak."Bi Sari langsung pamit ke belakang. Sedangkan aku diam sejenak di kursi. Menatap surat yang aku pegang. Hampir lima menit diam. Aku akhirnya mengambil ponsel. Hendak memberitahukan pada Nur. "Halo, Mbak. Aku baru aja nyampe pasar. Mama titip sesuatu. Belum nyampe rumah.""Mbak ada kabar gembira, Nur."Suara Nur tiba-tiba berhenti. "Kabar apa, Mbak?""Surat dari pengadilan udah datang. Sekarang, tinggal menjalankan rencana kita, Nur."Nur terdengar bersorak

  • Pakaian Bayi di Mobil Suamiku   Pembalikan Aset dan Surat Perceraian

    "Maaf, Sayang."Aku memeluk Andre. Menciumi kepalanya. Ketakutan terbesarku adalah Andre tahu tentang masalah orang tuanya. Padahal, aku sudah menyembunyikannya. "Darimana Andre mendapatkan foto ini, Nak?" tanyaku sambil melepaskan pelukan, menatap matanya. "Paket yang ada di kamar Andre, Ma. Maaf, Andre buka paketnya duluan sebelum Mama."Sedikit terkejut mendengar perkataannya. Aku buru-buru berdiri, berjalan ke tempat penyimpanan paket itu. Dengan hati-hati, aku membuka kotak paket. Menutup mulut, ketika melihat banyak foto Mas Riko dan Kana di dalamnya. "Ma." Aku menoleh, buru-buru membereskan foto yang berserakan. Kemudian berdiri. "Andre ke ruang makan, ya. Nanti, pulang sekolah, kita bahas masalah ini lagi."Andre mengangguk, meskipun masih ada banyak pertanyaan di benaknya. Aku mengangkat kotak, membawanya ke gudang. Lebih baik, disimpan disini dulu. Daripada di kamar, bisa ketahuan. "Mas berangkat kerja dulu, ya. Kalau mau pergi, telepon dulu."Mas Riko berjalan ke r

  • Pakaian Bayi di Mobil Suamiku   Salah Satu Tetangga yang Tau!

    Kana langsung menutup mulutnya. Dia baru saja melakukan kesalahan paling fatal. Aku melirik Mas Riko. Wajahnya sempat terkejut, tetapi langsung berubah. Dia terlihat biasa saja. Agar orang-orang tidak curiga. "Kamu simpanannya suami orang, Bu Kana? Ya ampun, akhirnya setelah isu buruk beredar, Ibu sendiri yang bilang fakta itu ke kita."Ibu-ibu perumahan melihat Kana marah. Sepertinya masih belum menyangka. Apa yang terjadi, ketika mereka tahu, kalau Kana itu istri kedua Mas Riko?"Gak malu, Bu Kana? Sayang sekali, Bu RT gak ada disini. Pas banget moment nya. Usir sekalian. Jauh-jauh dari perumahan ini. Meresahkan."Aku menahan tawa. Membayangkan Kana diusir dari perumahan ini. Mas Riko tampak gelisah. Sebenarnya, ketahuan sekali kalau dia pelakunya. Ah, mana ada yang memperhatikan sekarang. "Sebaiknya gitu, Bu. Gak baik, kalau dia terus-terusan ada disini."Semua ibu-ibu yang hadir, setuju. Aku menunggu apa yang akan mereka lakukan."Tidak usah dilanjutkan acaranya. Ini pengajia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status