"Ayo. Silakan masuk. Jangan malu-malu, Bu." Aku menatap wajah wanita polos di hadapanku ini. Beberapa detik, pandanganku berpindah ke bayi yang ada di gendongannya. "Bu? Ayo, masuk." Sebenarnya, wanita ini mengenalku atau tidak? Apakah Mas Riko sudah membuka jati dirinya? Bilang yang sejujurnya, kalau dia sudah punya istri? Ah, atau Mas Riko belum bilang? Ini benar-benar menarik. Ada kemungkinan juga, wanita di hadapanku ini pura-pura tidak tahu saja. Baiklah. Aku berusaha menyesuaikan diri. Jangan sampai terlihat terkejut di hadapannya. "Saya Diah, Bu. Rumah saya tepat di depan rumah Ibu. Kalau Ibu mau berkunjung kapan-kapan boleh banget. Apalagi ajak suaminya Ibu." Aku mengukir senyum, sembari masuk ke dalam rumah wanita itu. Bu Yanti juga membuntutiku dari belakang. "Ngomong-ngomong, Ibu belum kenalan." Aku menyindirnya. "Ah, iya. Saya Kana, Bu."Bayi yang ada di gendongan Kana menangis. Wanita itu permisi pada kami berdua. Selama Kana pergi, aku memperhatikan seluruh rua
"Bangun, Mas. Udah siang."Mas Riko menggeliat. Dia mengerjapkan mata, kemudian menoleh ke jam dinding. Dia langsung berdiri. "Kok gak bangunin dari tadi? Ini udah siang banget, Diah." "Baru jam tujuh, Mas." Buru-buru aku mengambil bantal dan selimut, membawanya ke ruang kamar. "Masalahnya di kantor masuk jam tujuh. Kamu gimana, sih." Aku mengangkat bahu, menatap Mas Riko yang sibuk sendiri. Dia terlihat kesal sekali. Siapa suruh dia susah dibangunkan. Mimpi indah banget kayaknya, mimpiin bayinya kali. Sebenarnya, aku sudah selesai masak. Bahkan, Andre sudah berangkat sekolah. Ini memang sudah siang sekali. Baru kali ini Mas Riko bangun kesiangan. Biar saja dia kena marah. Masa tidak bisa bangun sendiri. "Pagi, Bu Diah." Bu Yanti yang lewat menyapaku sambil tersenyum. Aku balas tersenyum, sambil mengambil selang air. Menyiram tanaman. "Pak Riko belum berangkat, Bu? Memangnya gak kena marah gitu, ya?"Mendengar pertanyaan Bu Yanti, aku mengernyit. Kenapa tetanggaku ini jadi p
"Ka—kamu serius, Diah?" Aku mengangguk. Ya, disini yang paling terkejut adalah Mama, karena Mas Riko sudah dianggap sebagai anak sendiri oleh Mama. Apalagi, setiap Mas Riko datang, dia terlihat baik sekali. Wataknya tiba-tiba berubah. Seperti punya dua kepribadian."Udah lama kamu tau itu?" Papa terlihat marah sekali. Aku menggenggam tangan Mama. Menghela napas pelan. "Baru beberapa hari yang lalu, Pa." "Kurang ajar!" Mendengar teriakan Papa, aku sedikit tersentak. Sedangkan Mama langsung berdiri, menenangkan Papa. "Gak tahu diri! Atau dia lupa diri, hah?!""Sabar, Pa. Ada Andre disini. Jangan teriak-teriak." Mama mengusap-usap punggung Papa. Aku menunduk. Mungkin, ini salahku, karena memberitahukan lebih cepat. Hanya saja, aku ingin yang terbaik untuk Andre. Beberapa menit, suasana kembali tenang. Papa menatapku serius. Akhirnya, aku menceritakan semuanya. Awal pertama kali, aku tahu, kalau Mas Riko menikah kembali. "Kamu tunggu apalagi, Diah? Ceraikan Riko. Papa sudah tida
"Kemarin ada penurunan keuangan. Kenapa?"Aku menghela napas lega. Ternyata Papa mengerti gerakan tubuhku. Papa bisa bersandiwara di depan Mas Riko.Rencana ini tidak jadi gagal. Mama dan Papa bisa menahan emosi. Bahkan, bisa bersandiwara juga. Tidak tampak emosi, saat melihat Mas Riko. Wajah Mas Riko berubah. Dia tampak kebingungan sendiri menjawab pertanyaan Papa. "Ah, kemarin Riko gak fokus, Pa. Lagi ribut banget di rumah. Iya, kan, Sayang?" Mas Riko menoleh ke aku. Matanya mengedip-ngedip. Mengajak kerja sama, rupanya. Aku mengangguk-angguk. Baiklah, Mas Riko harus tahu kerja sama yang sebenarnya. "Iya, lagi ribut banget, Pa. Dokumen kantor ada yang hilang." Kemarin memang sempat ada dokumen yang hilang. Di rumah bahkan ribut sekali. Ini justru alasan yang menarik. "Kok gitu, sih, Di? Enggak, Pa. Beneran, deh. Riko gak hilangin dokumen apa pun." Wajah Mas Riko tampak ketakutan sekali. Dia berusaha membantah perkataanku. Mungkin, dia tidak mau jabatannya diturunkan. Aku mena
Pakaian Bayi di Mobil Suamiku [Besok beliin dot buat Ayna, ya, Yah. Soalnya udah waktunya ganti.]Aku mengernyit melihat pesan yang baru saja masuk ke ponsel suamiku—Mas Riko. Ini pertama kalinya aku memeriksa ponselnya. Terdengar pintu kamar mandi dibuka. Aku buru-buru meletakkan ponsel ke atas meja. Pura-pura tidak tahu. "Kamu ngapain disitu?" tanya Mas Riko sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. "Gak papa. Cuma berdiri aja. Kamu kok kalau pulang kerja terlambat terus, Mas?" Mas Riko tampak tidak nyaman dengan pertanyaanku. Baiklah, lagi-lagi dia tidak mau jujur. Padahal, Mas Riko harusnya bilang, kalau dia lembur. Ini tidak mau bilang apa pun. Jadinya, aku berpikiran macam-macam begini. Aku berjalan ke dapur, masih memikirkan pesan di ponsel Mas Riko tadi. Nama kontaknya tanda titik. Siapa yang punya nama pakai tanda titik?Kali ini, ponselku yang berdering. Aku menatap layar,
"Kamu ngapain di dalam kamar tamu, Mas?"Akhirnya, aku membukakan pintu, setelah semalaman Mas Riko dan Kana tidur bersama tikus-tikus. Mata Mas Riko tambah hitam, dia sepertinya mengantuk sekali. Ya. Aku tahu, Mas Riko tadi malam tidur bersama Kana. Dia pindah kamar."Kemarin, Mas bantuin Kana, ada tikus di dalam kamar. Dia teriak-teriak. Eh, pintunya malah ke kunci. Layaknya pintunya rusak, deh. Nanti Mas panggilin tukang. Kamu dapat kunci darimana?"Alasan. Aku memalingkan wajah. "Kunci cadangan yang dipegang Bibi. Lah, si Kana udah teriak-teriak pagi-pagi."Wajah Kana tampak kesal. Dia langsung pergi, tanpa pamit. Seperti tidak tahu diri. Aku yakin, dia pasti kapok untuk tinggal disini. Memangnya enak. Mereka berdua tidak akan bisa melawan aku. Tenang saja, meskipun aku tidak mengambil bukti, tetapi ada CCTV di kamar tamu. Itu adalah bukti yang sesungguhnya."Eh? Kamu gak kerja, Mas?"
"Mana Papa, Ma?" Aku mengusap peluh di dahi. Tadi sudah terburu-buru datang kesini, setelah Mas Riko menelepon. "Masih di dalam, diperiksa sama dokter." Mama tersenyum. Sama sekali tidak menangis, tetapi guratan kekhawatirannya tampak jelas sekali. Buru-buru aku duduk di kursi sebelah Mama. Memeluk Mama dari samping. "Gimana kejadiannya, Ma?"Jujur saja, aku tidak tahu, kenapa Papa bisa masuk rumah sakit. Padahal, kemarin baik-baik saja. Sehat. Mama menggeleng, tersenyum tipis. "Pingsan di kantor. Mama juga gak tahu gimana kejadiannya. Cuma Papa, sama—"Perkataan Mama terhenti. Menghela napas pelan. "Sama suami kamu, Riko."***Sejenak, pikiranku teralih ke Papa, bukan lagi masalah foto Mas Riko dan Kana. Sepertinya, ini menyangkut hal kemarin. Dokter keluar dari ruangan. Menjelaskan beberapa hal ke Mama. Sedangkan aku menunggu di kursi. "Ayo, masuk."Aku mend
"Di—Diah?"Wajah Mas Riko tampak pucat. Dia seperti baru saja tertangkap basah. Ah, ini benar-benar menyenangkan. "Lho, kamu disini juga, Mas?"Aku berpura-pura tidak tahu, langsung duduk di samping Mas Riko. "Mbak ngapain?" Pertanyaan yang aneh. Aku melipat kedua tangan di depan dada. Menggelengkan kepala. "Tadi sebenarnya mau ngajakin bayi kamu main. Eh, lihat sandal Mas Riko ada di depan. Jadinya, sekalian aja, deh. Kamu ngapain disini, Mas?" Biar aku pertimbangkan semuanya pada Nur dulu. Nur sudah tahu semuanya. Dia sempat marah-marah kemarin. Kalau bilang pada Papa, justru kondisi kesehatan Papa akan semakin menurun. Itu bukan ide bagus. Aku harus bisa memikirkannya, tanpa Mama dan Papa. Langkah-langkah yang harus diambil. Jangan sampai gegabah. "Mas? Kok diam?" "Eh?" Mas Riko terlihat gugup sekali. Sangat ketahuan, kalau dia sedang mencari-cari alasan. "AC rumahku rusak, Mbak. Jadi, minta tolong ke suami Mbak." Ada perubahan di wajah Kana saat mengatakan dua kata ter