"Clay! Hati-hati! Disana licin loh!"
Davina berlari tergopoh-gopoh mengejar seorang bocah laki-laki berusia enam tahun yang berlari tak jauh darinya. Anak gemuk itu tampak begitu senang bermain dengan Davina.Belumlah lima menit dari kata-kata Davina diucapkan, bocah bernama Clay itu jatuh tersungkur karena terpeleset. Alhasil, Clay menangis begitu kencang dan membuat Davina berseru kaget."Clay!" Seru Davina panik sambil berlari mengejar Clay.Davina langsung menggendong Clay dalam pelukannya. Berusaha menenangkan anak itu agar tidak menangis lagi. Namun Clay malah makin menangis di dalam pelukan Davina. Jari-jarinya yang pendek dan gemuk meremas baju Davina karena menahan sakit."Sakit sekali, Miss." Ucap Clay lirih.Davina dengan cekatan membawa Clay masuk ke dalam klinik sekolah. Ia mendudukkan anak laki-laki itu di kasur pasien dan segera mencari kotak P3K untuk mengobatinya."Sabar ya, Clay. Miss Davina akan segera mengobati kamu. Miss janji nanti Clay tidak akan kesakitan lagi." Ujar Davina dengan suara yang lembut.Sambil tersedu-sedu, Clay meringis kesakitan sementara Davina mengobati lukanya. Beberapa menit kemudian, luka itu telah diplester dengan baik oleh Davina. Wanita itu lalu kembali menggendong Clay dan tersenyum sumringah. Tangannya meraih sebuah lolipop yang ada di meja klinik."Karena Clay sudah jadi anak baik, Miss akan kasih Clay permen ya!" Seru Davina ceria.Bocah gendut itu tersenyum menyeringai mendengar iming-iming lolipop atas kepatuhannya. Tangannya yang gemuk meraih lolipop warna warni itu dan segera melahapnya ke dalam mulut. Clay tertawa bahagia dan langsung memeluk Davina dengan senang."Clay sayang Miss Davina!" Seru Clay bahagia.Davina tertawa renyah. Ia balas memeluk anak gendut dalam gendongannya itu."Miss juga sayang sekali sama Clay!"***Bel sekolah baru saja berbunyi. Davina segera menutup pelajarannya hari ini dan mengingatkan murid-muridnya untuk tidak melupakan pekerjaan rumah mereka. Wanita itu dengan lincah menghadapi setiap anak muridnya dan mengajak mereka bernyanyi bersama. Lagu penutup untuk mengakhiri kelas mereka hari ini."Mari pulang! Marilah pulang! Marilah pulang! Bersama-sama!" Seru anak-anak mengakhiri lagu mereka.Setelah lagu selesai dinyanyikan, satu persatu anak lima tahun di kelas Davina berbaris keluar dengan rapi. Mereka mencium tangan Davina, melambaikan tangan, dan segera keluar dari kelas. Satu persatu anak lalu menghampiri orangtua mereka masing-masing.Namun hingga kelas menjadi sepi, satu orang anak tidak kunjung berdiri. Clay masih duduk sendirian di ruang kelas dengan wajah yang murung. Davina yang melihat hal itu langsung menghampiri Clay dengan wajah khawatir."Ada apa, Clay? Kenapa kamu belum pulang?" Tanya Davina lembut.Clay mengerucutkan bibirnya. Pertanda bocah itu sedang merajuk."Papa Clay tidak bisa jemput Clay, Miss. Jadi Clay harus menunggu lagi." Ujar Clay dengan nada sebal.Davina tertawa renyah. Bocah yang satu ini memang selalu bertingkah menggemaskan. Selain karena tubuhnya yang gembul dan pipinya yang tembam, Clay seringkali mengoceh seperti orang dewasa yang kehabisan kesabaran."Jangan marah dong, Clay. Bagaimana kalau Miss Davina ajak Clay main sampai Papa Clay menjemput Clay? Mau?" Ajak Davina dengan riang.Clay sontak tersenyum sumringah. Memamerkan deretan giginya yang kecil dan putih. Bocah gendut itu langsung berdiri dan menarik tangan Davina."Ayo, Miss! Kita main lagi!" Seru Clay bersemangat.Davina mengangguk ceria. Ia mengikuti bocah itu ke taman bermain sekolahnya. Clay dengan semangat menaikki perosotan dan permainan lainnya. Sementara Davina tertawa ceria sembari mengajak Clay bermain.Sejak dulu ia memang selalu menyukai anak-anak. Karena itu, Davina memilih kuliah di jurusan Pendidikan Anak Usia Dini dan menjadi guru TK saat lulus. Beruntungnya Davina, ia bisa bekerja di salah satu TK Swasta terbaik di Jakarta. Dan karena itu pula ia bisa bertemu dengan anak-anak yang lucu dan pintar ini.Davina dan Clay begitu asyik bermain hingga tanpa sadar, satu jam telah berlalu. Clay berjalan terseok-seok dengan wajah dramatis sembari menghampiri Davina. Wanita itu menatap Clay dengan bingung."Ada apa, Clay?" Tanya Davina khawatir."Clay lelah sekali, Miss. Sepertinya Clay akan menjadi kurus kalau bermain terus." Gerutu Clay yang malah membuat Davina tertawa terbahak-bahak.Davina langsung menggendong Clay dan mencubit pipinya dengan gemas. Ia memutuskan untuk ikut dalam sandiwara Clay yang entah sudah mencapai episode keberapa."Astaga! Kalau Clay menjadi kurus, nanti tidak akan ada yang mengenali Clay lagi! Kalau begitu Miss Davina harus menyelamatkan Clay sekarang!" Seru Davina bersemangat.Davina lalu mengeluarkan sebungkus cokelat dari sakunya. Ia memberikan makanan itu kepada Clay yang menyambutnya dengan mata berbinar. Tangan Clay yang gemuk meraih cokelat itu dan langsung membuka kemasannya tanpa ragu. Dalam hitungan detik, cokelat itu sudah masuk ke dalam mulut Clay. Pipi anak itu bahkan menggembung karena makan dengan begitu cepat.Clay lalu duduk di bangku taman sekolahnya. Mulutnya sibuk mengunyah cokelat tersebut seolah ia harus mengembalikan energinya yang terbakar karena bermain. Davina lalu ikut duduk di samping Clay dan tersenyum bahagia melihat bocah itu. Tangannya terulur dan mengelus kepala Clay dengan lembut."Anak pintar! Miss Davina sayang sekali sama Clay!" Puji Davina dengan tulus.Clay mendongak dan melihat ke arah Davina. Senyumnya menyeringai menampakkan deretan giginya yang ditutupi cokelat."Clay juga sayang Miss Davina!" Seru Clay sambil memeluk Davina.Keduanya berpelukkan dengan hangat hingga akhirnya sebuah suara menyadarkan mereka. Suara seorang pria yang membuat Clay menjerit senang. Matanya berbinar ketika menyadari sosok ayahnya yang sudah datang menjemput.Bocah gendut itu langsung berlari menghampiri ayahnya yang datang dengan menggunakan kemeja dan celana dasar. Sepertinya pria itu baru saja pulang dari rapat atau acara penting khas CEO."Papa!" Seru Clay berlari menghampiri ayahnya.Pria itu langsung tersenyum cerah dan mengangkat Clay dalam gendongannya."Anak Papa! Bagaimana sekolahnya hari ini?" Tanya pria itu ceria."Senang sekali, Pa! Tadi Miss Davina kasih Clay banyak sekali makanan!" Seru Clay dengan penuh semangat."Oh, bagus dong kalau begitu! Clay harus bilang apa sama Miss Davina?" Tanya pria itu lagi."Terimakasih, Miss Davina cantik!" Seru Clay yang membuat Davina tertawa renyah.Pria itu lalu melihat ke arah Davina yang berdiri tak jauh dari mereka berdua. Wanita itu tersenyum tipis sambil menganggukkan kepalanya sedikit."Terimakasih untuk hari ini, Miss. Saya dan Clay pamit dulu." Ujar pria itu sopan. Sepersekian detik kemudian, pria itu sudah berbalik dan pergi meninggalkan taman kanak-kanak tempat Davina mengajar.Davina melambaikan tangannya dengan riang karena Clay yang masih menoleh ke arahnya. Beberapa menit kemudian, Clay dan ayahnya sudah menghilang bersama dengan sedan mereka yang melesat jauh.Davina menghela nafas bahagia dan sedikit meregangkan tubuhnya. Ia lalu berjalan memasukki sekolahnya lagi dan mulai membereskan kelas tempat ia mengajar. Rutinitas yang selalu ia lakukan setiap hari selama tiga tahun terakhir.Bocah kecil bernama Clay itu berlari dengan gembira masuk ke rumah mewahnya. Sang ayah hanya tertawa kecil melihat anaknya yang tampak begitu bahagia. Clay memang selalu seperti itu. Ceria setiap saat terlebih lagi sejak dia mulai sekolah. Sepertinya Clay benar-benar menyukai sekolah barunya, khususnya gurunya yang bernama Davina itu."Bi, tolong bawakan tas Clay ke dalam ya." Pinta ayah Clay, Edwin, kepada asisten rumah tangganya.Wanita paruh baya yang kerap dipanggil Mbak Murni itu mengangguk patuh. Ia mengambil tas Clay dari tangan Edwin dan menggandeng Clay masuk ke kamarnya. Hendak mengganti baju Clay dengan pakaian bersih.Beberapa menit kemudian, Clay sudah menghilang di balik tangga bersama Mbak Murni. Edwin segera berjalan masuk ke ruang kerjanya dan menutup pintu ruangan itu seketika. Pria bertubuh tinggi atletis itu lalu duduk di kursi kerjanya yang nyaman. Menyenderkan punggungnya dan memijat keningnya yang sedikit berdenyut.Barulah ia hendak terlelap sebentar dalam tidu
Davina menyapa seluruh muridnya dengan ceria. Kebiasaan rutinnya setiap kali membuka kelasnya. Dan anak-anak itu juga membalas sapaannya dengan sama hebohnya. Gadis itu mengamati satu persatu muridnya yang hari ini tampak sangat menggemaskan dengan baju daerah.Hari ini akan diadakan karnaval mini di lingkungan sekolah dan setiap anak wajib memakai pakaian adat dari berbagai daerah. Ada yang tampak memakai baju adat Jawa Tengah. Dan ada pula yang memakai baju kebesaran khas Bugis di tubuhnya. Semua anak ini terlihat menggemaskan dan rasanya Davina ingin memeluk mereka satu persatu."Okay, class! Seperti yang Miss katakan kemarin, kita akan mengadakan karnaval kecil di lingkungan sekolah kita kan?" Ujar Davina bersemangat."Iya, Miss!" Jawab muridnya serempak.Davina menepuk kedua belah tangannya."Nah, jadi sekarang ayo kita berbaris membentuk kereta api dan berjalan keluar ya! Nanti kita akan bergabung dengan teman-teman dari kelas lain juga!" Ajak Davina lagi.Dengan tertib, anak-an
Mbak Murni tersenyum sumringah melihat kedatangan Davina di rumah tempatnya bekerja. Seolah ia sudah mengenal dan benar-benar menunggu gadis itu. Dan Davina hanya tersenyum cerah, membalas senyuman Mbak Murni yang dianggapnya sebagai sebuah tanda keramahan."Oh, Miss Davina ya? Ayo silahkan masuk, Miss. Miss pasti mau menjenguk Clay ya?" Ajak Mbak Murni dengan ramah sembari mempersilahkan Davina masuk.Davina mengangguk sedikit."Iya, Bu. Saya kesini untuk menjenguk Clay. Kemarin saya mendapatkan surat sakitnya Clay. Makanya hari ini saya ingin menjenguk Clay, Bu." Ujar Davina sopan.Davina lalu teringat dengan puding buah yang ia bawa untuk Clay. Ia langsung menyodorkan kantung berisi puding itu kepada Mbak Murni dengan senyum canggung."Saya tidak bisa bawa banyak, Bu. Tapi saya membawakan puding buah kesukaan Clay. Ini Bu." Ucap Davina lagi pelan.Mbak Murni langsung menerimanya dengan tangan terbuka. Senyumnya cerah bak matahari pagi."Terimakasih ya, Miss Davina. Nanti akan saya
Edwin berjalan menuruni tangganya. Ia mengecek jam tangannya yang menunjukkan pukul 6 sore."Bi, jam berapa Miss Davina datang kesini?" Tanya Edwin sembari berjalan ke arah meja makan.Mbak Murni yang masih memasak, menjawab Edwin dari dapur dengan suara yang sedikit besar."Jam 7 atau 8 malam, Pak. Nanti biar saya yang menyambutnya kalau Bapak sibuk." Ujar Mbak Murni masih sibuk mempersiapkan makan malam.Edwin menarik salah satu kursi di ruang makannya. Tangannya lalu membuka tudung saji dan mendapati satu loyang puding buah yang ada di baliknya. Tanpa ragu, Edwin mengambil sepotong dan memindahkannya ke piring kecil. Pria itu mulai menyendok puding itu ke mulutnya dengan lahap."Wah, ini enak sekali. Beli dimana ya?" Gumam Edwin masih melahap puding tersebut.Setelah menghabiskan satu potong, Edwin kembali mengambil potongan lainnya. Begitu terus menerus hingga hanya tersisa satu potong puding di atas piring. Rasa puding itu begitu lezat sehingga Edwin tidak bisa menghentikan dirin
Davina membelalak mendengar permintaan ajaib Clay. Menghukum Papanya sendiri karena tidak bisa berbagi? Bagaimana mungkin Davina melakukannya? Terlebih lagi, pada ayah muridnya?"Eh, tapi Papa kan sudah meminta maaf, Clay. Tidak apa-apa kalau Papa tidak dihukum, kan?" Bujuk Edwin sambil tertawa canggung.Clay mendelik dan bibirnya mengerucut. Membuatnya tampak seperti karakter Russel di Film UP. "Tidak boleh, Pa. Anak nakal harus dihukum! Dan Papa kan anak nakal!" Seru Clay tidak terima.Edwin menghela nafas pelan. Ia menyerah. Pria itu tidak akan pernah bisa menang berdebat dengan puteranya yang cerewet itu. Edwin menyodorkan kedua tangannya dengan kepala yang tertunduk."Baiklah, Clay boleh hukum Papa sekarang." Ujar Edwin pelan.Clay menyeringai puas. Ia lalu menggandeng Davina mendekati ayahnya yang duduk di meja makan. Davina menatap Clay dengan bingung."Ayo, Miss harus menghukum Papa karena Papa menjadi anak nakal, Miss." Pinta Clay dengan sungguh-sungguh.Davina mengerjapkan
Aroma masakan yang dibuat larut malam memang terasa berbeda. Mungkin karena suasananya atau mungkin memang karena perut yang saat itu sedang menjerit lapar, mie rebus sederhana buatan Davina tercium sangat lezat dari dapur. Hidung Edwin menangkap aromanya dan seketika perutnya semakin keroncongan.Tak berapa lama, gadis itu berjalan keluar dari dapur dengan membawa semangkuk mie rebus di kedua tangannya. Ia lalu meletakkan mie rebus itu di meja."Kenapa banyak sekali?" Tanya Edwin terkejut melihat porsi mie yang begitu banyak.Davina menatap Edwin sambil berdecak."Kan katanya Bapak lapar." Balas Davina tidak mau kalah.Edwin menghela nafas. Tangannya meraih sebuah mangkuk kecil untuk ia gunakan."Iya, saya lapar tapi bukan berarti saya tidak makan tiga hari. Kalau kamu menyuruh saya makan sebanyak ini, bisa-bisa perut saya meledak, Davina." Ujar Edwin sambil geleng-geleng kepala.Edwin lalu mengambil sebuah mangkuk lagi dan menyodorkannya pada Davina."Ini, kamu juga harus ikut makan
"Selamat pagi, anak-anak kesayangan Miss Davina!"Davina dengan penuh semangat menyapa kelasnya. Sudah tiga hari ia absen mengajar karena memutuskan untuk cuti demi mengurus Clay. Dan hari ini, Davina sudah kembali bekerja. Ia sangat merindukan murid-muridnya yang pintar dan menggemaskan ini.Gadis itu menebar pandangannya ke seluruh penjuru kelas. Seluruh muridnya hadir hari itu. Bahkan Clay yang sempat sakit pun hari ini sudah duduk manis di kursinya. Wajahnya segar dan merona seperti apel yang baru dipetik. Davina tersenyum bahagia karena hari ini kelasnya sudah kembali seperti biasa."Baik, Class! Apa yang akan kita lakukan hari ini ya?" Tanya Davina pada murid-muridnya.Gerombolan anak kecil itu bersuara saling tumpang tindih meneriakkan usulan mereka. Ada yang ingin belajar menyanyi, menari, dan bahkan menonton film. Davina tertawa geli melihat tingkah muridnya. Untuk meredakan kerusuhan itu, Davina segera meminta muridnya untuk melakukan pemungutan suara.Beberapa menit berlalu
Dengan penuh semangat, Clay menggandeng Davina memasukki salah satu mall terbesar di Jakarta. Wajahnya sumringah seolah ingin menunjukkan pada dunia bahwa ia memilikki guru sehebat Davina. Sementara Davina, tersenyum gemas melihat tingkah yang menggemaskan dari bocah laki-laki itu. Bersama keduanya, Edwin berjalan beriringan. Senyum bahagia tak berhenti terpasang di wajahnya karena ia melihat puteranya yang tampak begitu ceria."Papa, kita akan makan di tempat biasanya kan?" Tanya Clay bersemangat.Edwin mengangguk."Iya, Clay. Kita akan makan cheeseburger kesukaanmu!" Ucap Edwin antusias.Clay mendongak dan melihat ke arah Davina."Miss! Kita akan makan di tempat kesukaanku! Makanannnya enak sekali! Aku jamin Miss juga pasti suka!" Seru Clay lagi.Davina tertawa. Ia lalu berjongkok agar sejajar dengan Clay. Tangannya mencubit gemas pipi Clay."Benarkah? Clay sekarang sudah seperti orang-orang di televisi loh! Orang-orang yang suka memberitahu makanan enak itu. Clay tahu kan?" Balas D