Share

Bab 2

Bocah kecil bernama Clay itu berlari dengan gembira masuk ke rumah mewahnya. Sang ayah hanya tertawa kecil melihat anaknya yang tampak begitu bahagia. Clay memang selalu seperti itu. Ceria setiap saat terlebih lagi sejak dia mulai sekolah. Sepertinya Clay benar-benar menyukai sekolah barunya, khususnya gurunya yang bernama Davina itu.

"Bi, tolong bawakan tas Clay ke dalam ya." Pinta ayah Clay, Edwin, kepada asisten rumah tangganya.

Wanita paruh baya yang kerap dipanggil Mbak Murni itu mengangguk patuh. Ia mengambil tas Clay dari tangan Edwin dan menggandeng Clay masuk ke kamarnya. Hendak mengganti baju Clay dengan pakaian bersih.

Beberapa menit kemudian, Clay sudah menghilang di balik tangga bersama Mbak Murni. Edwin segera berjalan masuk ke ruang kerjanya dan menutup pintu ruangan itu seketika. Pria bertubuh tinggi atletis itu lalu duduk di kursi kerjanya yang nyaman. Menyenderkan punggungnya dan memijat keningnya yang sedikit berdenyut.

Barulah ia hendak terlelap sebentar dalam tidurnya, Edwin dikagetkan dengan suara dering teleponnya yang nyaring. Ia melihat nama penelepon yang ternyata adalah Pak Baskoro. Pria tua yang menjadi pengacara kasus perceraiannya dan isterinya, Clarissa.

Edwin menghela nafas pelan dan jemarinya dengan cepat menggeser tombol hijau di layar ponselnya. Ia lalu menempelkan ponselnya di telinganya dan Pak Baskoro menyapanya dengan nada yang amat profesional.

"Selamat siang, Pak Edwin." Sapa Pak Baskoro mantap.

"Selamat siang, Pak Bas. Ada kabar apa terkait perceraian saya?" Tanya Edwin langsung.

"Bu Clarissa meminta tambahan harta gono gini sebesar 500 juta rupiah per bulan, Pak. Jika tidak, ia tidak akan mau menandatangani surat cerai tersebut." Jelas Pak Baskoro.

Edwin menghela nafas pelan. Kurang ajar sekali wanita itu. Setelah bolak balik berselingkuh dengan brondong simpanannya, sekarang Clarissa malah ingin memeras Edwin agar mereka bisa berpisah. Sudah begitu lama Edwin mengetahui hobi isterinya yang bermain dengan brondong dan menghabiskan uangnya. Namun demi Clay, pria itu terus menahan egonya dan mencari pembenaran atas perbuatan isterinya.

Edwin berpikir mungkin karena ia terlalu sibuk dengan perusahaannya sehingga isterinya mencari kehangatan lain di luar sana. Tapi setiap manusia tentu mempunyai batas kesabarannya sendiri. Puncaknya adalah ketika Edwin memergoki Clarissa, bercinta dengan brondongnya itu di kamar mereka sendiri. Seketika Edwin naik pitam dan mengusir isterinya itu. Harga dirinya begitu terinjak-injak karena wanita yang ia panggil sebagai isteri.

Pria itu tersadar dari lamunannya karena suara Pak Baskoro yang kembali memanggilnya.

"Pak Edwin? Apakah Bapak masih bersama saya?" Tanya Pak Baskoro.

Edwin menggelrngkan kepalanya beberapa kali, menyadarkan dirinya dari lamunan yang sepersekian detik lalu menghinggapi kepalanya.

"Ah iya, kabulkan saja, Pak. Yang penting semua ini cepat selesai. Saya sudah muak melihat wanita itu." Ujar Edwin malas.

Pak Baskoro tampak berdeham. Ia kaget dengan jawaban Edwin yang begitu singkat.

"Bapak yakin, Pak? Kalau begini Bu Clarissa akan terus menerus mengeruk harta Bapak dengan ancaman perpisahan." Ingat Pak Baskoro.

"Jadi saya harus apa, Pak? Membiarkan dia kembali ke rumah ini dan berselingkuh lagi?" Tanya Edwin sedikit sebal.

"Boleh saya memberikan sedikit saran untuk ditambahkan di klausul perjanjian?" Ucap Pak Baskoro memberikan ide.

Edwin menegakkan tubuhnya. Ia tampak tertarik mendengarkan tawaran pengacara terpercayanya itu.

"Lanjutkan, Pak. Saya mendengarkannya." Ujar Edwin serius.

"Kalau dari saya, tidak masalah bagi Bapak untuk menuruti permintaan Bu Clarissa yang begitu besar. Tapi kita juga akan membuat dia merasa di atas awan dengan seperti ini. Saya sarankan agar kita menambahkan klausul agar uang gono-gini ini akan dikurangi lima persen per enam bulan, Pak. Bagaimana?" Saran Pak Baskoro.

Edwin mengangguk-angguk mantap pertanda ia setuju dengan kata-kata Pak Baskoro. Sejujurnya, uang tidak pernah menjadi masalah bagi Edwin. Ia hanya ingin Clay tidak tumbuh dengan sosok ibu yang seperti itu. Ia ingin secepatnya wanita bernama Clarissa itu pergi dari hidup mereka selamanya.

***

Edwin berbaring bersama puteranya di atas kasurnya yang nyaman. Sebelah tangannya mengelus-elus kepala Clay. Ia berusaha menidurkan anaknya itu yang sejak tadi enggan untuk naik ke atas kasur.

"Kamu mau Papa melakukan apa, Clay? Kamu benar-benar sudah harus tidur, Anakku. Besok kamu harus sekolah dan bertemu Miss Davina kesayanganmu lagi kan?" Tanya Edwin sembari berusaha meninabobokkan Clay.

Tapi sepertinya hati bocah itu sedang gelisah. Ia enggan memejamkan matanya dan sibuk mengajak ayahnya bercerita tentang apa saja. Edwin yang sudah setengah mati menahan kantuknya mau tidak mau harus tetap terjaga mengurus anaknya itu. Hingga akhirnya, sebuah pertanyaan dari mulut Clay membuat pria itu terjaga kembali.

"Pa, Clay kangen Mama. Kenapa Mama tidak pernah kelihatan lagi, Pa?" Tanya Clay sambil memainkan robotnya.

Edwin terdiam. Ia bertanya kepada dirinya sendiri bagaimana ia harus menjawab pertanyaan anaknya? Haruskah ia mengatakan bahwa ibunya pergi berselingkuh dengan pria lain? Atau apakah lebih baik jika Edwin berbohong saja tentang keberadaan ibunya? Toh Clay juga tidak akan mengerti yang sebenarnya terjadi.

Edwin tersenyum kecil dan menatap Clay.

"Mama sekarang sudah tidak tinggal disini lagi, Clay. Mama kan sudah bisa beli rumah sendiri jadi Mama mau tinggal di runahnya sendiri." Ujar Edwin berbohong.

Clay menatap ayahnya bingung.

"Jadi bagaimana kalau Clay mau bertemu Mama, Pa?" Tanya bocah itu.

"Nanti Papa akan mengantar Clay ke rumah Mama kalau Clay kangen Mama ya." Jawab Edwin sembari mengusap kepala Clay lagi.

Clay mengangguk-angguk walaupun sebenarnya ia tidak mengerti.

"Sekarang Clay tidur dulu ya. Besok Clay mau bermain sama Miss Davina kan?" Ajak Edwin.

Anaknya itu tersenyum cerah mendengar nama Davina. Ia bersorak senang dan setuju untuk segera pergi tidur. Tak butuh waktu lama, bocah itu sudah terlelap nyenyak dalam pelukan ayahnya. Edwin hanya bisa menatap anaknya itu dengan senyum kecut. Ia merasa bersalah karena sudah memberikan anaknya hidup yang begitu rumit.

"Maafkan Papa, Clay. Tapi ini yang terbaik untuk kita semua."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status