Share

Bab 2

Author: Alina Tan
last update Last Updated: 2023-09-08 21:27:40

Bocah kecil bernama Clay itu berlari dengan gembira masuk ke rumah mewahnya. Sang ayah hanya tertawa kecil melihat anaknya yang tampak begitu bahagia. Clay memang selalu seperti itu. Ceria setiap saat terlebih lagi sejak dia mulai sekolah. Sepertinya Clay benar-benar menyukai sekolah barunya, khususnya gurunya yang bernama Davina itu.

"Bi, tolong bawakan tas Clay ke dalam ya." Pinta ayah Clay, Edwin, kepada asisten rumah tangganya.

Wanita paruh baya yang kerap dipanggil Mbak Murni itu mengangguk patuh. Ia mengambil tas Clay dari tangan Edwin dan menggandeng Clay masuk ke kamarnya. Hendak mengganti baju Clay dengan pakaian bersih.

Beberapa menit kemudian, Clay sudah menghilang di balik tangga bersama Mbak Murni. Edwin segera berjalan masuk ke ruang kerjanya dan menutup pintu ruangan itu seketika. Pria bertubuh tinggi atletis itu lalu duduk di kursi kerjanya yang nyaman. Menyenderkan punggungnya dan memijat keningnya yang sedikit berdenyut.

Barulah ia hendak terlelap sebentar dalam tidurnya, Edwin dikagetkan dengan suara dering teleponnya yang nyaring. Ia melihat nama penelepon yang ternyata adalah Pak Baskoro. Pria tua yang menjadi pengacara kasus perceraiannya dan isterinya, Clarissa.

Edwin menghela nafas pelan dan jemarinya dengan cepat menggeser tombol hijau di layar ponselnya. Ia lalu menempelkan ponselnya di telinganya dan Pak Baskoro menyapanya dengan nada yang amat profesional.

"Selamat siang, Pak Edwin." Sapa Pak Baskoro mantap.

"Selamat siang, Pak Bas. Ada kabar apa terkait perceraian saya?" Tanya Edwin langsung.

"Bu Clarissa meminta tambahan harta gono gini sebesar 500 juta rupiah per bulan, Pak. Jika tidak, ia tidak akan mau menandatangani surat cerai tersebut." Jelas Pak Baskoro.

Edwin menghela nafas pelan. Kurang ajar sekali wanita itu. Setelah bolak balik berselingkuh dengan brondong simpanannya, sekarang Clarissa malah ingin memeras Edwin agar mereka bisa berpisah. Sudah begitu lama Edwin mengetahui hobi isterinya yang bermain dengan brondong dan menghabiskan uangnya. Namun demi Clay, pria itu terus menahan egonya dan mencari pembenaran atas perbuatan isterinya.

Edwin berpikir mungkin karena ia terlalu sibuk dengan perusahaannya sehingga isterinya mencari kehangatan lain di luar sana. Tapi setiap manusia tentu mempunyai batas kesabarannya sendiri. Puncaknya adalah ketika Edwin memergoki Clarissa, bercinta dengan brondongnya itu di kamar mereka sendiri. Seketika Edwin naik pitam dan mengusir isterinya itu. Harga dirinya begitu terinjak-injak karena wanita yang ia panggil sebagai isteri.

Pria itu tersadar dari lamunannya karena suara Pak Baskoro yang kembali memanggilnya.

"Pak Edwin? Apakah Bapak masih bersama saya?" Tanya Pak Baskoro.

Edwin menggelrngkan kepalanya beberapa kali, menyadarkan dirinya dari lamunan yang sepersekian detik lalu menghinggapi kepalanya.

"Ah iya, kabulkan saja, Pak. Yang penting semua ini cepat selesai. Saya sudah muak melihat wanita itu." Ujar Edwin malas.

Pak Baskoro tampak berdeham. Ia kaget dengan jawaban Edwin yang begitu singkat.

"Bapak yakin, Pak? Kalau begini Bu Clarissa akan terus menerus mengeruk harta Bapak dengan ancaman perpisahan." Ingat Pak Baskoro.

"Jadi saya harus apa, Pak? Membiarkan dia kembali ke rumah ini dan berselingkuh lagi?" Tanya Edwin sedikit sebal.

"Boleh saya memberikan sedikit saran untuk ditambahkan di klausul perjanjian?" Ucap Pak Baskoro memberikan ide.

Edwin menegakkan tubuhnya. Ia tampak tertarik mendengarkan tawaran pengacara terpercayanya itu.

"Lanjutkan, Pak. Saya mendengarkannya." Ujar Edwin serius.

"Kalau dari saya, tidak masalah bagi Bapak untuk menuruti permintaan Bu Clarissa yang begitu besar. Tapi kita juga akan membuat dia merasa di atas awan dengan seperti ini. Saya sarankan agar kita menambahkan klausul agar uang gono-gini ini akan dikurangi lima persen per enam bulan, Pak. Bagaimana?" Saran Pak Baskoro.

Edwin mengangguk-angguk mantap pertanda ia setuju dengan kata-kata Pak Baskoro. Sejujurnya, uang tidak pernah menjadi masalah bagi Edwin. Ia hanya ingin Clay tidak tumbuh dengan sosok ibu yang seperti itu. Ia ingin secepatnya wanita bernama Clarissa itu pergi dari hidup mereka selamanya.

***

Edwin berbaring bersama puteranya di atas kasurnya yang nyaman. Sebelah tangannya mengelus-elus kepala Clay. Ia berusaha menidurkan anaknya itu yang sejak tadi enggan untuk naik ke atas kasur.

"Kamu mau Papa melakukan apa, Clay? Kamu benar-benar sudah harus tidur, Anakku. Besok kamu harus sekolah dan bertemu Miss Davina kesayanganmu lagi kan?" Tanya Edwin sembari berusaha meninabobokkan Clay.

Tapi sepertinya hati bocah itu sedang gelisah. Ia enggan memejamkan matanya dan sibuk mengajak ayahnya bercerita tentang apa saja. Edwin yang sudah setengah mati menahan kantuknya mau tidak mau harus tetap terjaga mengurus anaknya itu. Hingga akhirnya, sebuah pertanyaan dari mulut Clay membuat pria itu terjaga kembali.

"Pa, Clay kangen Mama. Kenapa Mama tidak pernah kelihatan lagi, Pa?" Tanya Clay sambil memainkan robotnya.

Edwin terdiam. Ia bertanya kepada dirinya sendiri bagaimana ia harus menjawab pertanyaan anaknya? Haruskah ia mengatakan bahwa ibunya pergi berselingkuh dengan pria lain? Atau apakah lebih baik jika Edwin berbohong saja tentang keberadaan ibunya? Toh Clay juga tidak akan mengerti yang sebenarnya terjadi.

Edwin tersenyum kecil dan menatap Clay.

"Mama sekarang sudah tidak tinggal disini lagi, Clay. Mama kan sudah bisa beli rumah sendiri jadi Mama mau tinggal di runahnya sendiri." Ujar Edwin berbohong.

Clay menatap ayahnya bingung.

"Jadi bagaimana kalau Clay mau bertemu Mama, Pa?" Tanya bocah itu.

"Nanti Papa akan mengantar Clay ke rumah Mama kalau Clay kangen Mama ya." Jawab Edwin sembari mengusap kepala Clay lagi.

Clay mengangguk-angguk walaupun sebenarnya ia tidak mengerti.

"Sekarang Clay tidur dulu ya. Besok Clay mau bermain sama Miss Davina kan?" Ajak Edwin.

Anaknya itu tersenyum cerah mendengar nama Davina. Ia bersorak senang dan setuju untuk segera pergi tidur. Tak butuh waktu lama, bocah itu sudah terlelap nyenyak dalam pelukan ayahnya. Edwin hanya bisa menatap anaknya itu dengan senyum kecut. Ia merasa bersalah karena sudah memberikan anaknya hidup yang begitu rumit.

"Maafkan Papa, Clay. Tapi ini yang terbaik untuk kita semua."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Paket Cinta untuk Calon Mama   100 [END]

    Mobil Edwin melesat bagaikan peluru. Membelah jalanan Jakarta yang lengang di pukul satu malam. Erangan Davina yang tergolek lemah di jok belakang membuat Edwin tidak bisa berkonsentrasi sepenuhnya pada jalan di hadapannya. Sesekali ia menengok ke belakang melalui kaca mobil dan mendapati wajah Davina yang tampak sangat menderita. Ia merintih kesakitan sementara tangannya memegangi perutnya yang sudah membulat. Mata Edwin pun tak bisa lepas dari cairan merah kental yang membasahi kaki istrinya sejak tadi.Perkataan Mbak Murni yang tiba-tiba menyambar Edwin bak petir di siang bolong.“Pak, Nyonya Davina pendarahan!”Dan secepat itu pula, tanpa berpikir dua kali Edwin memacu mobilnya. Membawa Davina ke rumah sakit dengan harapan besar untuk menyelamatkan keduanya. Istri yang paling ia cintai dan calon bayi yang sangat ia tunggu kehadirannya.“Kumohon bertahanlah, Sayang. Sebentar lagi kita akan sampai.” Ucap Edwin bagaikan mantra seolah berusaha meredakan sakit yang dialami Davina.Wani

  • Paket Cinta untuk Calon Mama   99

    “Clarissa?”Edwin tanpa sadar mencetuskan si empunya mobil saat sedan mewah itu berhenti tepat di depannya. Davina juga tahu benar siapa pemilik mobil itu karena bukan sekali atau dua kali Clarissa datang ke rumahnya. Dan wanita itu selalu datang dengan mobil yang sama, Mercedes Benz S-Class kebangaannya.Davina melepaskan genggaman tangan Edwin yang melingkar di pergelangan tangannya. Tanpa berpikir dua kali, Davina berlari menghampiri mobil itu. Menemui wanita yang duduk di balik kursi pengemudi.“Mbak Rissa!” seru Davina seraya menghampiri Clarissa yang melangkah keluar dari mobil.Wanita itu berdiri dengan begitu angkuh. Matanya menatap Davina dengan tatapan yang begitu meremehkan. Tatapan yang seolah mengatakan bahwa Davina tidak becus mengurus anaknya sendiri. “Aku kesini untuk mengantarkan Clay pulang.” Jawabnya datar.Ucapan Clarissa sudah cukup membuat Davina menghembuskan nafas lega. Bagaikan batu besar yang sejak tadi mengganjal hatinya telah terangkat, dan beban yang ia r

  • Paket Cinta untuk Calon Mama   98

    Entah kenapa, sejak tadi Davina merasa hatinya terus dipenuhi rasa gelisah. Jantungnya berdegup kencang seolah sebuah hal buruk akan terjadi. Davina merasakan sebuah firasat yang aneh dalam hatinya namun ia tidak bisa menebak itu apa.“Kamu sudah makan, Vin?” tanya Edwin saat ia pulang kerja dan menghampiri Davina yang tengah duduk dengan gelisah di ruang tamu.Suaminya itu menghampiri Davina dan mengecup bibir Davina lembut. Rutinitas yang selalu dilakukan Edwin sebelum dan sepulang kerja.Davina menggeleng. Rasa gelisah yang sejak siang tadi melandanya membuat Davina tidak bisa menelan bahkan sesuap nasi pun. Pikirannya terlalu sibuk berkutat dalam rasa khawatir tak berujung.“Kenapa belum? Aku suapi, ya?” Wanita itu kembali menggeleng, “Clay belum pulang, Mas. Kamu tidak menjemput Clay di sekolah, Mas?”Edwin menggeleng, “Bukannya Pak Teguh yang harusnya menjemput Clay hari ini? Aku sudah bilang kalau ada rapat sampai sore, kan?”Jantung Davina mencelos. Rasanya bak disambar petir

  • Paket Cinta untuk Calon Mama   97

    Hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan. Tanpa terasa lima bulan telah berlalu dan usia kandungan Davina hampir mencapai tujuh bulan. Perutnya semakin membesar dan gejala mualnya sudah tidak separah di masa awal kehamilannya. Tapi tetap saja, tubuh Davina masih saja lemah dan tidak bisa beraktivitas seperti biasanya.Selama hamil, Davina menghabiskan hampir seluruh waktunya di dalam rumah. Enam puluh persen berada di kamar dan empat puluh persen berada di area rumah lainnya. Rasanya bosan bukan kepalang terkungkung di rumah dengan tidak memiliki pekerjaan apapun. Ingin sekali Davina ikut mengunjungi sekolah Clay atau bahkan bermain dengannya. Namun membawa dirinya untuk berdiri lebih dari setengah jam pun Davina tidak mampu. Bagaimana mungkin ia bisa bermain dengan Clay?Edwin pun benar-benar menjaganya mati-matian. Sepulang kerja, suaminya akan terus bersamanya. Mengurusnya mulai dari hal terkecil seperti pergi ke kamar mandi, menyuapi Davina makan, hingga ke urusan paling be

  • Paket Cinta untuk Calon Mama   96

    Dokter Santi berkali-kali meyakinkan Davina bahwa operasi yang akan ia lalui hanyalah operasi kecil. Bedah dengan anastesi lokal yang paling lama hanya memakan waktu satu setengah jam. Namun Davina tidak merasa gentar sama sekali. Tidak terbersit sedikitpun ketakutan di kepalanya. Yang ia pikirkan hanyalah bagaimana caranya ia bisa menyelamatkan janinnya. Satu kali insiden sudah cukup menjadi alarm baginya. Dan Davina tidak yakin apakah ia akan seberuntung itu di kesempatan lainnya.Di lain sisi, Edwin lah yang merasa begitu khawatir. Ia sangat takut sesuatu terjadi pada istrinya. Bagaimanapun juga, Davina akan menjalani operasi. Tidak peduli sekecil apapun itu, rasa sakitnya pasti akan tetap ada. Membayangkan wanita kesayangannya harus melalui semua itu membuat Edwin benar-benar tidak sanggup. Hatinya memang selalu lemah jika itu bersangkutan dengan seseorang yang ia cintai. Edwin selalu mencintai seorang waniita dengan sepenuh hatinya. Memberikan semuanya tanpa terkecuali.Karena i

  • Paket Cinta untuk Calon Mama   95

    Brankar yang ditempati Davina didorong dengan begitu cepat oleh beberapa perawat. Dalam sekejap, lima orang itu melesat masuk ke dalam Instalasi Gawat Darurat. Edwin ikut di belakangnya sembari menggandeng Clay, namun langkahnya dihentikan oleh perawat yang bertugas untuk menjaga ruangan itu.“Bapak tunggu disini saja. Biarkan dokter memeriksa ibu Davina terlebih dahulu. Dan anak kecil tidak diperkenankan masuk ke dalam IGD, Pak.” Jelas gadis muda itu dengan sopan.Edwin mengangguk. Ia terkulai lemas di kursi tunggu sementara tangis puteranya juga tak kunjung reda. Kepalanya terasa mau pecah dengan semua hal yang terjadi berbarengan. Ia meraih ponselnya dan menghubungi supir pribadinya.“Tolong jemput Clay di rumah sakit Pondok Gede, Pak.” Titahnya singkat.Tak perlu waktu lama bagi orang kepercayaan Edwin untuk tiba disana. Dua puluh menit berselang, supir pribadinya tiba dan berlari begitu cepat menghampiri Edwin.“Ada apa, Pak? Dimana Ibu?” tanyanya bingung saat mendapati hanya ada

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status