Share

Bab 2. Sekelompok Idiot

“Kau bisa masuk. Pintunya tidak dikunci.” Willa mengatakan itu sambil bangkit lagi dari posisi berbaringnya.

Seraut wajah tua muncul dari balik pintu yang didorong.

“Apa kau perlu dokter?”  Lelaki itu menawarkan seraya mendekat. Dia memeriksa suhu tubuh Willa dengan meletakkan telapak tangan di dahinya.

“Aku baik-baik saja.” Hampir saja Willa menepiskan tangan asing itu kalau tidak segera sadar kalau dia adalah orangtua kandungnya saat ini.

Tampaknya lelaki ini cukup perhatian sebagai seorang ayah. Willa sedikit merasa hangat. Ingatan pemilik lama sebagian masih samar-samar baginya.

Ayahnya dulu juga seorang yang penyayang.

“Apa kau yakin?” Daniel masih meragukan ucapan Willa meski merasa suhu tubuh puterinya normal.

“Tentu saja. Semalam aku tidur agak larut jadi masih sedikit mengantuk. Mungkin setelah mandi akan lebih baik. Ayah pergi saja dulu.” Willa mendorong lelaki itu pergi. “Aku akan pergi naik taksi nanti.”

Daniel mengamati Willa sejenak, memastikan kebenaran ucapannya.

“Baiklah. Kami pergi lebih dulu. Jaga dirimu. Jangan memaksakan diri untuk pergi kalau merasa kurang sehat.”

Sepeninggal Daniel, Willa bergegas mandi. Kepalanya dipenuhi berbagai pemikiran. Ingatan-ingatan pemilik lama melesat-lesat dengan sangat cepat. Dia sedikit kecewa dengan kehidupan pemilik tubuh asli. Tidak populer di sekolah, jatuh cinta mati pada seorang tuan muda dan mempermalukan dirinya di saat kelulusan, beberapa kali nyaris dicelakai ibu tiri dan saudara perempuannya, diabaikan oleh adik lelakinya. Hanya ayahnya yang cukup baik padanya.

Di depan cermin, Willa menatap dirinya sekilas. Setidaknya, ini wajah yang sama dengan miliknya. Hanya saja ada riasan tebal di sana. Dia menghapusnya dengan perasaan jijik.

Baiklah, dia akan menjalani kesempatan kedua ini sebaik-baiknya. Lupakan Michael Nelson sialan itu. Dia tidak ada dalam kehidupan keduanya ini. Willa tidak perlu khawatir akan bertemu dengannya dan menjadi sedih lagi.

Saat turun ke ruang makan, semua orang telah pergi. Willa pergi ke dapur dan meminta setangkup roti lapis dan segelas susu, menghabiskannya dengan segera sambil memesan taksi. Dia tidak bertemu Rachel Anderson, ibu tirinya, saat akan pergi.

Tiba di universitas yang dituju, Willa ingat jika pemilik tubuh asli mengambil jurusan kedokteran. Meski berada di daftar terakhir, tapi itu cukup membanggakan. Ibu tirinya dan Emily sempat terlihat iri saat mendengar dia lulus di fakultas itu. Sementara Emily sendiri selain tidak berbakat, dia juga tidak tertarik untuk belajar medis. Tampaknya menjadi artis terkenal telah menjadi impiannya sejak lama sehingga dia lebih memilih seni sebagai bidang studinya.

Willa sendiri tidak mengkhawatirkan apa pun. Markas Omega dulu dipenuhi orang-orang jenius. Beberapa pernah menjadi gurunya. Materi kedokteran tidak membuatnya takut. Dia pernah mempelajari beberapa hal secara acak.

Setelah menyelesaikan pendaftaran mata kuliah yang akan diambil untuk satu semester ke depan, Willa tidak memiliki niat untuk tinggal lagi. Dia ingin kembali lebih awal. Ada beberapa hal yang harus dia pelajari dari kondisinya saat ini.

Begitu di luar universitas, dia berbelok ke kanan. Willa ingin berjalan-jalan sebentar mengamati sekitar.

Universitas ini ternyata bersebelahan dengan sebuah sekolah menengah pertama. Situasi di dalam area sekolah cukup ramai karena kelas belum dimulai. Tapi di ujung tembok pagar yang membatasi area sekolah dan dunia luar, Willa melihat sekelompok remaja tanggung tengah mengelilingi seorang remaja lelaki dan seorang anak perempuan.

Dia melihat ada yang tidak beres saat salah satu dari remaja yang mengelilingi mendorong remaja laki-laki itu hingga terjatuh. Anak perempuan yang bersamanya tampak berusaha menghalangi remaja lainnya yang mencoba menendang temannya.

Willa mempercepat langkah, mendekat.

“Kupikir ada hal menarik di sini. Kiranya hanya sekelompok idiot.” Suara Willa mengatasi keributan di tempat itu begitu tiba di sana.

Semua orang langsung berpaling padanya dengan rasa penasaran. Saat menyadari kata-kata itu ditujukan pada mereka, wajah beberapa remaja laki-laki langsung menjadi merah.

Siapa gadis yang telah berani menyebut kelompok mereka sebagai idiot? Apakah dia sedang mencari mati?

Seorang remaja lelaki bertubuh besar maju mendekat. Usianya mungkin paling tua di antara semua. Mungkin sekitar enam belas tujuh belas tahunan. Dia menyeringai seraya mengawasi Willa dengan tatapan kurang ajar.

“Kakak cantik, kau tidak serius dengan perkataanmu ‘kan? Bukankah yang kau maksud dua bocah ini?”

Namanya Richard. Dia terkenal sebagai bagian dari sebuah gank preman. Tepatnya, saudaranya adalah bos dari kelompok yang menamakan diri sebagai Black Hand. Pekerjaan mereka adalah membuat kekacauan sekaligus memberi perlindungan dengan menarik bayaran yang tidak masuk akal.

Richard dengan memanfaatkan nama saudaranya, membuat ulah di sekolah. Dia merundung beberapa anak yang tidak disukainya dan meminta uang pada siapa pun yang kebetulan bernasib sial.

Pihak sekolah telah beberapa kali mendapat laporan. Tapi tidak ada yang bisa dilakukan. Black Hand tidak sesederhana yang diketahui semua orang. Ada seseorang yang jauh lebih kuat berdiri di belakangnya.

“Perkataanku ternyata tidak meleset. Orang idiot memang selalu lebih lambat dalam berpikir. Jelas-jelas yang kumaksud adalah kalian berlima. Kau malah menanyakannya lagi seperti orang idiot.” Willa terus menekankan kata penghinaan itu.

Dia melirik si remaja lelaki yang kira-kira berusia 14 tahunan yang kini telah bangkit dari tanah. Sekilas Willa melihat kilatan aneh di mata remaja laki-laki itu. Gadis kecil temannya kini mencengkeram tangan remaja itu dengan mata membelalak ketakutan.  Waktu tatapan Willa bertemu dengannya, gadis kecil itu menggeleng mengisyaratkan agar Willa tidak melanjutkan tindakan memprovokasinya.

Willa pura-pura tidak mengerti. Dia malah melambai pada keduanya. “Hallo, aku Willa. Apa kalian terluka?”

Si remaja lelaki menghindari pandangan Willa. Si anak perempuanlah yang menyahut.  “Tidak. Kami baik-baik saja.”

Willa mengacungkan jempolnya. “Baguslah.”

Richard merasa diabaikan. Dia berdehem sebelum berkata, “Jadi namamu Willa—“

“Panggil aku nona Anderson. Siapa yang mengijinkanmu memanggil nama depanku.” Willa memotong dengan ketus.

Richard terperangah. Rupanya gadis di depannya belum tahu siapa dia.

“Nona Anderson, kau mencampuri urusan kami. Sebaiknya kau segera pergi dari sini sebelum kami turun tangan membereskanmu.” Richard menahan diri untuk tidak menampar mulut yang terlihat cantik baginya. Mungkin dia tidak benar-benar ingin menampar. Dia cukup berpengalaman bersenang-senang dengan beberapa gadis.

Willa terkekeh. Dia memandang rendah lima remaja yang mungkin hanya selisih tiga empat tahun di bawahnya.

“Kalian adik-adik kecil tidak tahu sopan santun. Berani mengancam dan berkata kasar. Segera minta maaf sambil berlutut. Lalu pergi dari hadapan kakak ini sambil merangkak. Kalau tidak, kakak cantik kalian ini tidak akan segan-segan memberi kalian pelajaran.” Willa menggosok-gosokkan kedua belah telapak tangannya yang terlihat halus. Jari-jarinya yang panjang dan putih terlihat lembut dan menyenangkan untuk disentuh.

Lima remaja saling berpandangan sebelum tawa mereka meledak. Itu terdengar lucu. Bahkan guru-guru di sekolah tidak berani memberi hukuman. Bagaimana gadis yang tampak lemah dan asing ini berani menggertak sekeras itu? Tampak seperti anak kucing yang mengeong pada sekumpulan serigala dari hutan di pinggiran kota Lakeside.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status