LOGIN
“Selamat, Nona Olivia. Semoga pernikahan Anda langgeng dan membawa keberuntungan bagi keluarga Carter maupun keluarga Reed!”
Ucapan itu terdengar berulang kali dari para tamu, disertai jabat tangan hangat dan senyum penuh hormat kepada dua pengantin di tengah ruangan.
Dari pojok aula utama kediaman keluarga Carter yang mewah itu, Luna Carter menatap pemandangan itu dengan senyum tipis. Merasa bahagia melihat adiknya, Olivia Carter, begitu bersinar di hari besarnya.
Hanya saja, walau pesta pernikahan itu adalah hari bahagia Olivia, tapi bagi Luna, pesta itu terasa seperti panggung penghakiman.
“Lihat, itu kakak tiri Nona Olivia,” bisik seorang wanita dengan nada mengejek.
“Kudengar dia membuat ulah di kamar pengantin. Cemburu karena sang adik menggantikannya dalam pernikahan hari ini, katanya.”
“Tidak heran. Wajahnya memang cantik, tapi auranya suram. Mana mungkin Presdir Reed mau memilih dia?”
Setiap kata menusuk lebih tajam daripada pisau, tapi Luna hanya bisa menunduk diam, tahu dan terbiasa dijadikan bahan pembicaraan semua orang.
Sejak kecil, keberadaan Luna dianggap noda di keluarga Carter. Ibunya meninggal saat dia masih balita, meninggalkan luka yang tak pernah benar-benar pulih. Orang-orang menyebut sang ibu jatuh dalam depresi, dan stigma itu diwariskan begitu saja padanya. Setiap kali dia berbuat salah, sekecil apa pun, selalu ada yang melabeli: “Dia gila, sama seperti ibunya.”
Ayahnya, Robert Carter, jarang menganggapnya ada. Tatapan dingin dan sikap acuh lelaki itu seolah mengukuhkan bahwa Luna hanyalah beban. Sementara Nancy, ibu tiri yang masuk dalam hidup mereka tak lama setelah kepergian ibunya, menjadikan Luna pelampiasan setiap amarah dan kekecewaannya. Tamparan, bentakan, tuduhan—semuanya sudah jadi bagian kesehariannya.
Satu-satunya yang pernah memberinya sedikit cahaya hanyalah Olivia, adik tirinya. Gadis itu selalu lembut dan baik. Dia sering membelanya di hadapan sang ibu. Karena itu, Luna tak pernah menyimpan iri hati terhadapnya. Jika Olivia bahagia, maka itu sudah cukup untuknya.
Namun malam ini, di hadapan begitu banyak tamu penting, dia kembali disudutkan atas sebuah kesalahan yang benar-benar tidak disengaja.
Tadi sebelum pesta dimulai, Olivia menitipkan tudung pengantinnya kepada Luna karena akan berganti gaun. Lalu, di saat itu seseorang memanggilnya, jadi Luna meninggalkan tudung tersebut di kamar pengantin sesaat. Saat kembali, tudung itu sudah terkoyak. Namun, tanpa sempat menjelaskan apa pun, semua orang menuding dialah pelakunya.
“Dia pasti iri, karena Olivia akan menikah dan masuk ke keluarga Reed, sementara dia hanya putri keluarga Carter yang tidak berguna,” begitu tuduhan yang terus dilontarkan. Seakan-akan Luna ingin merebut kebahagiaan adiknya, padahal sedikit pun hal itu tak pernah terlintas di benaknya.
Memang benar, awalnya bukan Olivia yang ditakdirkan masuk ke dalam keluarga Reed. Perjodohan itu sejak lama diatur antara keluarga Carter dan Reed, dua nama besar yang punya kepentingan bisnis bersama. Namun, calon pengantin perempuan yang pertama kali ditentukan adalah Luna. Dia dipandang sebagai pewaris sah darah Carter dari istri pertama Robert, dan penyatuan dengan pewaris keluarga Reed—Jordan Reed—akan menjadi simbol perjanjian yang menguntungkan kedua belah pihak.
Namun, takdir berputar pahit. Luna dianggap tidak stabil, bayang-bayang depresi almarhum ibunya selalu menempel padanya, dan nama baik keluarga Carter dipertaruhkan bila dia benar-benar menjadi pengantin. Pada akhirnya, keputusan berubah: posisi Luna digantikan oleh Olivia, putri dari Nancy, istri kedua Robert.
Olivia, dengan senyum manis dan sikap lembutnya, jauh lebih diterima keluarga Reed. Semua orang setuju dia lebih pantas berdiri di samping Jordan Reed sebagai mempelai. Sejak saat itu, Luna hanya jadi bayangan yang memalukan, sementara Olivia dipuja-puja sebagai lambang keberuntungan keluarga Carter.
Maka tak heran, ketika tudung pengantin tiba-tiba rusak, semua tudingan langsung diarahkan kepadanya. Tidak ada yang peduli pada kebenaran. Bagi para tamu, skandal itu hanya memperkuat keyakinan mereka, bahwa Luna memang tak pernah rela digantikan.
Di saat ini, bisikan lain terdengar, kali ini lebih kejam.
“Katanya, ibunya dulu meninggal karena depresi. Jangan-jangan dia pun akan bernasib sama.”
“Ya ampun … darah yang buruk memang susah dihapus.”
Telinga Luna panas, seolah ruangan itu semakin menyempit, dinding megah berlapis emas berubah jadi jeruji besi yang mencekiknya. Tidak sanggup lagi berdiri di tengah sorotan mata yang menusuk, Luna akhirnya memutuskan untuk mundur.
Dengan langkah hati-hati, dia mencari sosok ayahnya di kerumunan. Robert Carter berdiri gagah dengan jas hitamnya, tertawa bersama beberapa pebisnis besar. Senyumnya penuh wibawa, berbeda jauh dengan tatapan dingin yang biasa dia tunjukkan pada putri sulungnya itu.
“Papa …” suara Luna lirih, hampir tenggelam oleh riuh pesta. Dia merapat sedikit, menatap sang ayah dengan mata yang memohon. “Kepalaku pusing … bolehkah aku kembali ke kamar lebih dulu?”
Robert menoleh sekilas, senyum bisnisnya memudar. Tatapan matanya sejenak menampilkan kilatan jengkel, seolah kehadiran Luna di depannya adalah gangguan yang memalukan. “Pergilah,” jawabnya singkat, tanpa intonasi, sebelum kembali menghadapkan diri pada para tamu yang jauh lebih penting baginya.
Merasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Luna pun membungkuk singkat sebelum berbalik meninggalkan ruang pesta. Tidak ada yang memanggil atau menahannya, menekankan kenyataan yang sudah lama dia ketahui, yakni di mata keluarga Carter, dirinya bukan siapa-siapa.
Setibanya di kamar, Luna melangkah lurus menuju lemari, lalu menarik pintunya.
Di sana, koper hitam sudah terisi separuh. Dia menatapnya lama, lalu menarik napas panjang. Keputusannya sudah bulat, malam ini dia akan pergi meninggalkan kota ini, meninggalkan keluarga yang sedari awal menganggap keberadaannya noda tak diinginkan. Namun, karena Olivia, adiknya yang baik hati itu, tidak pernah berhenti menekankan betapa dia menantikan hari di mana Luna akan melihatnya mengenakan gaun pengantin, Luna pun bertahan.
Dan sekarang, setelah melihat Olivia berdiri di pelaminan dengan senyum manisnya, tugas itu sudah selesai. Tidak ada lagi yang perlu dipertahankan.
Dengan gerakan tenang, Luna mulai melipat pakaian-pakaiannya yang tersisa, lalu memasukkannya ke dalam koper. Hingga akhirnya, koper itu penuh dan Luna menutup resletingnya dalam sekali tarik, seakan tindakan itu adalah penegasan terakhir, bahwa sudah saatnya dia meninggalkan semua ini.
Namun, baru saja selesai membereskan koper, tiba-tiba suara pelan pintu yang terbuka terdengar.
Terkejut, Luna menoleh. Apa itu Olivia? Apa pestanya sudah selesai?
“Olie?” panggilnya ragu.
Tidak ada jawaban.
Penasaran, Luna pun berbalik dan berjalan ke arah pintu, tapi baru saja dia berbelok untuk melihat area pintu, Luna terkejut saat mendapati sesosok bayangan tinggi dan besar hadir di hadapannya!
“Siapa—”
Sebelum sempat menyelesaikan kata-katanya, tangan besar itu sudah menutup rapat mulutnya. Luna menjerit tertahan, matanya membelalak panik. Tubuh asing yang jauh lebih besar langsung menekannya ke belakang, membuatnya kehilangan keseimbangan.
Brak!
Pundak lebar pria itu tak sengaja menabrak dinding, tepat di sisi saklar lampu. Dalam sekejap, cahaya kamar padam. Kegelapan pekat menyelimuti ruangan, menelan semua bentuk dan warna menjadi hanya bayangan samar.
Aroma alkohol yang tajam, bercampur dengan aroma maskulin yang asing, menyeruak di udara.
“Mmmph!”
Luna meronta sekuat tenaga, tapi pria itu jauh lebih kuat. Tubuhnya didorong ke belakang hingga jatuh ke atas ranjang, dan pria itu langsung menindihnya. Berat tubuhnya terasa menyesakkan. Kepanikan murni menjalari setiap sel tubuh Luna.
“Lepaskan …,” isaknya di balik bekapan tangan pria itu.
Pria itu menunduk, napasnya yang panas dan beraroma alkohol menerpa wajah Luna. Dia menyingkirkan tangannya dari mulut Luna, hanya untuk melumat bibir Luna dengan ciuman yang kasar dan menuntut. Ciuman itu tidak mengandung gairah, hanya ada kebutuhan yang buta dan putus asa.
Air mata mengalir deras dari sudut mata Luna. Dia memalingkan wajah, tapi pria itu mencengkeram rahangnya, memaksanya untuk menghadap ke arahnya lagi. Dalam kegelapan, Luna tidak bisa melihat wajahnya, hanya merasakan kekuatan dan keputusasaan yang menguar dari pria itu.
Dengan satu gerakan kasar, pria itu merobek gaun tidur tipis yang dikenakannya. Suara kain yang terkoyak terdengar seperti jeritan di tengah keheningan kamar. Udara dingin langsung menusuk kulitnya yang telanjang, membuatnya gemetar hebat.
“Jangan … kumohon, jangan lakukan ini …,” bisiknya putus asa, suaranya serak karena tangis.
Pria itu seolah tidak mendengarnya. Tangannya yang kasar mulai menjelajahi tubuhnya tanpa izin, tanpa kelembutan. Setiap sentuhannya terasa seperti api yang membakar, meninggalkan jejak penghinaan di kulitnya. Luna terus meronta, mencakar dan memukul, tapi perlawanannya sia-sia.
Hingga akhirnya, dia merasakan sakit yang merobek. Jeritan tertahan keluar dari bibirnya saat pria itu merenggut satu-satunya hal yang masih menjadi miliknya. Pria itu bergerak di atasnya dengan ritme yang buas dan tanpa ampun, mendorongnya semakin dalam ke jurang keputusasaan.
Pandangan Luna mengabur. Dia menatap langit-langit kamarnya yang gelap, merasakan jiwanya perlahan terlepas dari raganya. Tubuhnya masih di sana, menerima setiap hujaman yang menyakitkan, tapi pikirannya sudah melayang jauh. Dia tidak merasakan apa-apa lagi selain kehampaan yang dingin.
Setelah waktu yang terasa seperti selamanya, pria itu mengerang panjang sebelum tubuhnya ambruk di samping Luna. Napasnya yang berat perlahan berubah menjadi dengkuran pelan. Dia tertidur.
Luna terbaring kaku, tidak berani bergerak dengan air mata yang terus mengalir tanpa suara. Dunianya, harapannya untuk memulai hidup baru, semuanya hancur dalam sekejap.
Di dalam kegelapan kamarnya sendiri, dia telah dinodai oleh seorang pria asing.
Setelah Luna mematikan sambungan telepon, Harvey segera bertanya, “Ada apa? Mengapa kamu menyebut nama Jordan?” Tadi, Harvey sempat mendengar Luna menyebut nama Jordan Reed dalam panggilannya bersama Clara.Luna masih terdiam dengan tatapan kosong. Maniknya bergerak gelisah.“Clara bilang, aku … harus bertemu dengannya … besok.”Harvey menghela napas. Dia bisa menebak jika perusahan Jordan ingin bekerja sama dengan Aura Tech. “Kamu tidak perlu memaksakan diri kalau tidak sanggup menghadapi pria itu, Luna. Mari kita kembali dan aku akan menjelaskan situasinya kepada Clara.”Luna menatap Harvey beberapa detik sebelum akhirnya menggeleng pelan. “Tidak. Aku akan melakukannya.”Clara sudah banyak membantu Luna selama ini, menerima dirinya dan menemaninya beradaptasi dengan keluarga kaya lama yang sangat berbeda dengan keluarganya di sini. Hanya karena ketakutan dan trauma masa lalunya, Luna harus berbalik pergi dari sini setelah semua yang sudah mereka lalui?Tidak. Luna tak mau mengecewak
“Lihat kamarku, Mama. Aku sudah menata kamarku dengan sempurna.” Bocah tiga tahun itu membusungkan dada dengan bangga. Menunjukkan kamarnya di apartemen baru yang disiapkan Clara untuk Luna telah ditata dengan sempurna. Buku-buku cerita anak pun berjejer rapi dalam rak. Berbagai mainan dipajang di lemari, bederetan sejajar, tidak ada satu pun yang melenceng dari barisan, sangat sempurna, sampai Luna hampir lupa jika putranya masih tiga tahun.“Bagus, Sayang.”Carl tersenyum lebar mendengar pujian Luna. Ibunya tidak pernah menyuruhnya menjadi anak yang sempurna, tapi Carl tidak suka jika ada sesuatu yang tidak sesuai tempatnya. Di usia yang masih tiga tahun, Carl selalu menunjukkan keteraturan dan kesempurnaan. Bahkan cara bermain dan bicara Carl pun sudah seperti orang yang lebih dewasa dari usianya.“Sekarang, temani aku bermain, Mama! Paman Harvey tadi memberiku robot baru!”Namun, Carl tetap menunjukkan sosok anak kecil pada umumnya. Dia suka bermain dan sangat tertarik dengan ro
Jordan tahu semua perhatian istrinya hanyalah bagian dari sebuah sandiwara. Dia melangkah ke kamar mandi, di mana uap panas beraroma lemon sudah mengepul dari bathtub. Ini adalah hal yang selalu disiapkan Olivia setiap hari. Dengan tenang, Jordan kembali ke kamar, mengambil masker dan sarung tangan lateks dari dalam tasnya.Setelah memakainya, Jordan kembali ke kamar mandi. Dia memasukkan tangannya yang bersarung tangan ke dalam air hangat itu, memutar sumbatan pembuangan hingga bathtub kosong. Dia membilasnya dengan air bersih sebelum mengisinya kembali dengan air baru. Saat akhirnya berendam, matanya tertuju pada botol minyak esensial yang isinya tersisa setengah. Jordan mengambil botol itu dan menatapnya dengan dingin. Wanita itu benar-benar ingin dia mati. Permainan mematikan ini sudah berjalan selama setahun, dan selama itu pula Jordan harus terus waspada.Minyak esensial yang dicampur dengan air dalam bathtub sebelumnya adalah salah satu rencana licik wanita itu. Bukan ha
Jordan Reed berdiri di sisi mobilnya. Satu tangannya dimasukkan ke dalam saku celana panjangnya selagi tatapannya tajam menatap sedan hitam di hadapannya.Kening Jordan berkerut singkat ketika samar-samar melihat siluet seorang wanita yang sedang memeluk seorang bocah kecil di bangku penumpang. Jordan tidak bisa melihat rupa wanita itu karena cukup jauh dari jarak pandangnya dan terhalang sosok pria yang sedang berbalik ke arah mereka.Pandangan Jordan baru teralih ketika melihat pria itu, yang duduk di kursi penumpang depan, keluar dari mobil dan menghampirinya.“Sopirku telah membuat kesalahan. Berikan kontakmu, aku akan mengganti rugi kerusakan mobilmu.”Kedua alis Jordan terangkat mendengar nada arogan yang keluar dari pria di hadapannya ini. Arogansi yang dikeluarkan pria ini membuat Jordan mendengus dan satu sudut bibirnya terangkat, sebelum tangan Jordan merogoh saku jas untuk mengambil kartu nama dan memberikannya pada pria itu.Setelah menerima kartu nama Jordan, pria itu ber
Empat tahun kemudian.Sebuah sedan hitam mewah meluncur mulus di jalan raya, meninggalkan Bandara Internasional Veridian di belakang. Di dalam, keheningan yang nyaman menyelimuti tiga penumpangnya.Luna menatap ke luar jendela. Pemandangan gedung-gedung pencakar langit yang familier di Veridian terasa seperti hantu dari masa lalu, membangkitkan kenangan yang telah dia kubur dalam-dalam. Dia mengenakan blus sederhana namun elegan, rambutnya ditata rapi, dan ekspresi wajahnya tenang, menunjukkan kedewasaan yang tidak dia miliki empat tahun lalu.“Mama, kenapa semua gedungnya sangat tinggi? Apa mereka tidak takut jatuh?”Sebuah suara kekanak-kanakan memecah keheningan. Di sampingnya, Carl, putranya yang berusia tiga tahun, menempelkan wajahnya ke kaca jendela, matanya yang cerdas dan penuh rasa ingin tahu mengamati pemandangan kota. Wajah tampan bocah itu adalah cerminan dari wajah Luna, tetapi sorot matanya yang tajam mengingatkan pada seseorang yang sangat ingin Luna lupakan.Luna te
Wajah Robert Carter merah padam karena amarah, napasnya memburu. Di belakangnya, Nancy muncul dengan ekspresi puas yang berusaha dia sembunyikan di balik topeng kemarahan.“Anak tidak tahu diuntung!” raung Robert, suaranya menggema. “Kabur tepat setelah hari pernikahan adiknya! Dia sengaja ingin mempermalukan keluarga ini!”Olivia berbalik menghadap Jordan. Wajahnya terlihat pucat dan matanya berkaca-kaca. “Jordan, apa yang harus kita lakukan? Aku khawatir terjadi sesuatu pada Kak Luna. Bagaimana jika dia …”Namun, saat Olivia menatap Jordan, di sudut matanya yang tidak tertangkap oleh siapa pun, ada kilatan kepuasan yang dingin. Rencana gegabah ini justru berjalan lebih baik di luar dugaannya.Jordan tidak menanggapi kekhawatiran istrinya. Matanya yang dingin menatap lurus ke arah Robert Carter.“Tuan Carter,” kata Jordan, suaranya tenang namun memancarkan otoritas yang tak terbantahkan. “Mulai saat ini, Luna adalah tanggung jawab saya juga. Saya akan mengerahkan orang-orang saya unt







