Masuk“Lihat kamarku, Mama. Aku sudah menata kamarku dengan sempurna.”
Bocah tiga tahun itu membusungkan dada dengan bangga. Menunjukkan kamarnya di apartemen baru yang disiapkan Clara untuk Luna telah ditata dengan sempurna. Buku-buku cerita anak pun berjejer rapi dalam rak. Berbagai mainan dipajang di lemari, bederetan sejajar, tidak ada satu pun yang melenceng dari barisan, sangat sempurna, sampai Luna hampir lupa jika putranya masih tiga tahun.
“Bagus, Sayang.”
Carl tersenyum lebar mendengar pujian Luna. Ibunya tidak pernah menyuruhnya menjadi anak yang sempurna, tapi Carl tidak suka jika ada sesuatu yang tidak sesuai tempatnya.
Di usia yang masih tiga tahun, Carl selalu menunjukkan keteraturan dan kesempurnaan. Bahkan cara bermain dan bicara Carl pun sudah seperti orang yang lebih dewasa dari usianya.
“Sekarang, temani aku bermain, Mama! Paman Harvey tadi memberiku robot baru!”
Namun, Carl tetap menunjukkan sosok anak kecil pada umumnya. Dia suka bermain dan sangat tertarik dengan robot-robot canggih dengan teknologi AI.
Carl menarik Luna duduk di karpet bulu putih, kemudian mengeluarkan robot dari lemari dan tidak lupa menutup pintu. Tatapan tajam Carl menjadi berbinar-binar melihat robot baru pemberian pamannya dapat bicara dan bergerak sesuai arahan.
“Kalau aku besar nanti, aku akan membuat robot yang lebih besar dari ini!” seru Carl.
“Mama sangat menantikannya,” balas Luna lembut, namun menyimpan tatapan miris.
Selama tinggal di rumah lama, Luna tidak pernah merisaukan kebiasaan Carl. Namun, sesampainya di kota ini, Luna baru menyadari kemiripan Carl dengan ayah kandungnya.
Jordan Reed adalah pria perfeksionis, bicara dengan intonasi jelas, dan memiliki tatapan tajam … sama persis dengan putranya.
Di masa itu, Luna hampir tidak pernah berkomunikasi dengan Jordan, tapi dia bisa menilai dari kantor Jordan yang pernah sekali didatanginya. Tidak ada setitik debu dan semuanya tampak teratur.
Luna ingat, Jordan gemar mengoleksi robot-robot canggih dan miniatur yang disimpan rapi pada salah satu lemari kaca di kantornya. Cara Jordan dan Carl memilah mainan-mainan itu pun sama, dari yang terkecil sampai terbesar, tertata dalam barisan seperti anak tangga.
Mendadak, perasaan panik dan trauma kembali menghantamnya. Luna khawatir Carl akan tumbuh seperti ayahnya, pria yang dengan kejam merusak masa depan seseorang.
“Mama, kenapa melamun?”
Carl meninggalkan robot di lantai, kemudian berdiri sejajar dengan wajah Luna, memeluknya dengan erat. Dia mengira Luna masih takut pada kejadian siang tadi.
“Tidak apa-apa, Mama.” Carl menepuk-nepuk punggung Luna. “Aku akan melindungi Mama dari apa pun yang bisa menyakiti Mama dan mengusir siapa pun yang menakuti Mama.”
Rasa takut Luna berangsur menghilang begitu merasakan kehangatan dari pelukan dan kata-kata putranya. Senyuman Carl menepis perasaan buruk Luna.
Benar. Carl berbeda dari Jordan Reed. Putranya menyimpan perasaan hangat dan kasih sayang, tidak seperti Jordan Reed yang seperti patung suci yang tidak bisa disentuh siapa pun.
“Maaf, Mama cuma gugup menghadiri rapat di kantor baru besok pagi.”
Carl melepas pelukan, lalu duduk bersila di depan Luna. Tangan kecilnya memegang kedua tangan Luna seolah memberi keyakinan.
“Haruskah aku menemani Mama? Aku bisa membantu Mama kalau Mama gugup nanti.”
Luna tertawa kecil melihat kelucuan putranya yang selalu bersikap dewasa.
“Apa Carl tidak ingat janji dengan Paman Harvey berkeliling kota besok siang?”
Carl bersedekap dada sambil memejamkan mata, tampak berpikir keras dan bimbang, tidak mau melanggar janji dengan pamannya. Dia adalah anak yang selalu menepati janji, tapi semua yang berhubungan dengan ibunya dengan mudah mengacaukan keputusannya.
“Mama akan mengajak Carl ke kantor lain kali saja, ya.”
“Baiklah, aku akan menepati janjiku kepada Paman. Tapi, Mama harus segera meneleponku kalau ada seseorang atau apa pun yang mengganggu Mama,” tegas Carl. “Aku dan Paman Harvey akan selalu menjadi pelindung Mama.”
Luna tersenyum kecil melihat kedewasaan putranya.
Setelah bermain dengan Carl dan menidurkannya, Luna keluar sambil menghela napas.
Perasaan tak nyaman kembali melanda tatkala dia jauh dari putranya. Hanya Carl yang mampu membuat Luna tenang. Namun, ketenangan itu terusik ketika teringat bahwa Jordan Reed bisa saja mengetahui tentang Carl dan merampas putranya dari hidupnya.
“Kenapa wajahmu seperti itu?” tegur Harvey yang baru keluar dari kamar. Dia menebak samar apa yang menjadi kerisauan sepupunya. “Kemarilah.” Dia memeluk Luna sebentar.
“Kamu sekarang memiliki aku, Carl, dan keluarga besar kita yang akan selalu mendukungmu. Setidaknya, percayalah pada kemampuanku mengendalikan situasi. Tidak akan ada lagi orang yang berani menyakitimu,” ujar Harvey lembut, melepas pelukan dan memegang kedua lengan Luna. “Dengar, jika ini karena pria itu, itu hanya kebetulan. Veridian tidak sekecil itu. Kemungkinan kalian bertemu lagi sangat kecil.”
Luna tersenyum. Selain putranya, Harvey selalu mampu membuat perasaannya tenang dan bisa diandalkan. “Aku tahu. Aku hanya sedikit tegang karena besok pagi.” Luna tidak sepenuhnya berbohong.
Saat Luna mulai tenang, ponsel Luna berbunyi nyaring di dalam saku celananya, membuatnya tersentak kaget. Nama “Clara” tertera di layar.
Belum sempat Luna menyapa Clara, di seberang sana sudah lebih dulu berbicara dengan penuh semangat. “Luna! Aku punya berita luar biasa! Kamu tidak akan percaya ini!”
“Berita apa, Clar?”
“Reed Tech! Mereka baru saja mengirim email!” seru Clara. “Mereka sangat, sangat terkesan dengan proposal yang kamu siapkan dan mereka langsung menjadwalkan pertemuan dengan pimpinan tertinggi mereka!”
Jantung Luna mulai berdebar. Firasatnya mulai tidak enak. “Pimpinan… tertinggi?”
“IYA!” pekik Clara, kegembiraannya terdengar jelas. “Langsung dengan CEO Reed Group sendiri! Dan dia sangat spesifik, Lun. Dia mau bertemu langsung dengan otak di balik proyek ini, sekaligus pemimpin perusahan cabang di Veridian. Itu kamu! Aku tidak mungkin kirim orang lain. Hanya kamu yang bisa menjawab semua pertanyaan strategisnya.”
Dunia Luna seakan runtuh untuk kedua kalinya dalam satu hari. Ponsel terasa licin di tangannya yang mulai berkeringat.
“Namanya…” lanjut Clara, tidak menyadari keheningan dari Luna. “Ah, ya! Jordan Reed! Bukankah ini luar biasa, Lun?! Ini kesempatan sekali seumur hidup untuk Aura Tech!”
Setelah Luna mematikan sambungan telepon, Harvey segera bertanya, “Ada apa? Mengapa kamu menyebut nama Jordan?” Tadi, Harvey sempat mendengar Luna menyebut nama Jordan Reed dalam panggilannya bersama Clara.Luna masih terdiam dengan tatapan kosong. Maniknya bergerak gelisah.“Clara bilang, aku … harus bertemu dengannya … besok.”Harvey menghela napas. Dia bisa menebak jika perusahan Jordan ingin bekerja sama dengan Aura Tech. “Kamu tidak perlu memaksakan diri kalau tidak sanggup menghadapi pria itu, Luna. Mari kita kembali dan aku akan menjelaskan situasinya kepada Clara.”Luna menatap Harvey beberapa detik sebelum akhirnya menggeleng pelan. “Tidak. Aku akan melakukannya.”Clara sudah banyak membantu Luna selama ini, menerima dirinya dan menemaninya beradaptasi dengan keluarga kaya lama yang sangat berbeda dengan keluarganya di sini. Hanya karena ketakutan dan trauma masa lalunya, Luna harus berbalik pergi dari sini setelah semua yang sudah mereka lalui?Tidak. Luna tak mau mengecewak
“Lihat kamarku, Mama. Aku sudah menata kamarku dengan sempurna.” Bocah tiga tahun itu membusungkan dada dengan bangga. Menunjukkan kamarnya di apartemen baru yang disiapkan Clara untuk Luna telah ditata dengan sempurna. Buku-buku cerita anak pun berjejer rapi dalam rak. Berbagai mainan dipajang di lemari, bederetan sejajar, tidak ada satu pun yang melenceng dari barisan, sangat sempurna, sampai Luna hampir lupa jika putranya masih tiga tahun.“Bagus, Sayang.”Carl tersenyum lebar mendengar pujian Luna. Ibunya tidak pernah menyuruhnya menjadi anak yang sempurna, tapi Carl tidak suka jika ada sesuatu yang tidak sesuai tempatnya. Di usia yang masih tiga tahun, Carl selalu menunjukkan keteraturan dan kesempurnaan. Bahkan cara bermain dan bicara Carl pun sudah seperti orang yang lebih dewasa dari usianya.“Sekarang, temani aku bermain, Mama! Paman Harvey tadi memberiku robot baru!”Namun, Carl tetap menunjukkan sosok anak kecil pada umumnya. Dia suka bermain dan sangat tertarik dengan ro
Jordan tahu semua perhatian istrinya hanyalah bagian dari sebuah sandiwara. Dia melangkah ke kamar mandi, di mana uap panas beraroma lemon sudah mengepul dari bathtub. Ini adalah hal yang selalu disiapkan Olivia setiap hari. Dengan tenang, Jordan kembali ke kamar, mengambil masker dan sarung tangan lateks dari dalam tasnya.Setelah memakainya, Jordan kembali ke kamar mandi. Dia memasukkan tangannya yang bersarung tangan ke dalam air hangat itu, memutar sumbatan pembuangan hingga bathtub kosong. Dia membilasnya dengan air bersih sebelum mengisinya kembali dengan air baru. Saat akhirnya berendam, matanya tertuju pada botol minyak esensial yang isinya tersisa setengah. Jordan mengambil botol itu dan menatapnya dengan dingin. Wanita itu benar-benar ingin dia mati. Permainan mematikan ini sudah berjalan selama setahun, dan selama itu pula Jordan harus terus waspada.Minyak esensial yang dicampur dengan air dalam bathtub sebelumnya adalah salah satu rencana licik wanita itu. Bukan ha
Jordan Reed berdiri di sisi mobilnya. Satu tangannya dimasukkan ke dalam saku celana panjangnya selagi tatapannya tajam menatap sedan hitam di hadapannya.Kening Jordan berkerut singkat ketika samar-samar melihat siluet seorang wanita yang sedang memeluk seorang bocah kecil di bangku penumpang. Jordan tidak bisa melihat rupa wanita itu karena cukup jauh dari jarak pandangnya dan terhalang sosok pria yang sedang berbalik ke arah mereka.Pandangan Jordan baru teralih ketika melihat pria itu, yang duduk di kursi penumpang depan, keluar dari mobil dan menghampirinya.“Sopirku telah membuat kesalahan. Berikan kontakmu, aku akan mengganti rugi kerusakan mobilmu.”Kedua alis Jordan terangkat mendengar nada arogan yang keluar dari pria di hadapannya ini. Arogansi yang dikeluarkan pria ini membuat Jordan mendengus dan satu sudut bibirnya terangkat, sebelum tangan Jordan merogoh saku jas untuk mengambil kartu nama dan memberikannya pada pria itu.Setelah menerima kartu nama Jordan, pria itu ber
Empat tahun kemudian.Sebuah sedan hitam mewah meluncur mulus di jalan raya, meninggalkan Bandara Internasional Veridian di belakang. Di dalam, keheningan yang nyaman menyelimuti tiga penumpangnya.Luna menatap ke luar jendela. Pemandangan gedung-gedung pencakar langit yang familier di Veridian terasa seperti hantu dari masa lalu, membangkitkan kenangan yang telah dia kubur dalam-dalam. Dia mengenakan blus sederhana namun elegan, rambutnya ditata rapi, dan ekspresi wajahnya tenang, menunjukkan kedewasaan yang tidak dia miliki empat tahun lalu.“Mama, kenapa semua gedungnya sangat tinggi? Apa mereka tidak takut jatuh?”Sebuah suara kekanak-kanakan memecah keheningan. Di sampingnya, Carl, putranya yang berusia tiga tahun, menempelkan wajahnya ke kaca jendela, matanya yang cerdas dan penuh rasa ingin tahu mengamati pemandangan kota. Wajah tampan bocah itu adalah cerminan dari wajah Luna, tetapi sorot matanya yang tajam mengingatkan pada seseorang yang sangat ingin Luna lupakan.Luna te
Wajah Robert Carter merah padam karena amarah, napasnya memburu. Di belakangnya, Nancy muncul dengan ekspresi puas yang berusaha dia sembunyikan di balik topeng kemarahan.“Anak tidak tahu diuntung!” raung Robert, suaranya menggema. “Kabur tepat setelah hari pernikahan adiknya! Dia sengaja ingin mempermalukan keluarga ini!”Olivia berbalik menghadap Jordan. Wajahnya terlihat pucat dan matanya berkaca-kaca. “Jordan, apa yang harus kita lakukan? Aku khawatir terjadi sesuatu pada Kak Luna. Bagaimana jika dia …”Namun, saat Olivia menatap Jordan, di sudut matanya yang tidak tertangkap oleh siapa pun, ada kilatan kepuasan yang dingin. Rencana gegabah ini justru berjalan lebih baik di luar dugaannya.Jordan tidak menanggapi kekhawatiran istrinya. Matanya yang dingin menatap lurus ke arah Robert Carter.“Tuan Carter,” kata Jordan, suaranya tenang namun memancarkan otoritas yang tak terbantahkan. “Mulai saat ini, Luna adalah tanggung jawab saya juga. Saya akan mengerahkan orang-orang saya unt







