Berlian menggenggam setir mobil dengan erat, tatapannya penuh amarah. "Kau mencoba menghalangiku? Maka aku juga akan menabrakmu, Luke!" geram Berlian, suara Berlian bergetar oleh emosi yang saat ini meluap-luap.
Di depan sana, Luke berdiri tegap di tengah jalan dengan kedua tangan terentang, seakan menantang Berlian untuk melaju lebih cepat. Tatapan Luke dingin dan tak tergoyahkan, seolah-olah dia yakin bahwa Berlian tidak akan berani melakukan hal itu. Berlian tersenyum sinis. "Kau ingin menantang? Baiklah!" Berlian menginjak pedal gas sedikit lebih dalam, mesin mobil menggeram keras. Namun, saat mobil mulai melaju dengan kecepatan yang semakin tinggi, pandangan mata Luke tetap tak berubah. Dia tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya berdiri. "Hentikan mobilnya, Berlian! Tolong!" teriak Luke, suara pria itu nyaris tenggelam oleh deru mesin. Berlian merasakan adrenalin mengalir deras di pembuluh darahnya. Dia tahu bahwa ini adalah titik balik, momen di mana dia harus menunjukkan keberaniannya. "Aku lelah dengan semua ini, Luke! Aku lelah dengan sikap dinginmu dan semua kebohongan ini!" teriaknya kembali, tangannya gemetar di atas setir. Mobil semakin mendekat, jarak antara mereka semakin menyempit. Berlian bisa melihat dengan jelas ekspresi tak kenal takut di wajah Luke. Hati Berlian mulai berdebar kencang, penuh dengan campuran antara kemarahan dan ketakutan. Tetapi Berlian terus melaju. "Sial!" umpat Luke, dia berlari ke samping ketika melihat aksi istrinya semakin gila. Para petugas penjaga gerbang pun segera berlari ke pinggir, menghindari mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi. Dengan satu gerakan cekatan, mereka berhasil membuka gerbang tepat waktu. Mobil Berlian melaju kencang melewati gerbang yang terbuka. "Whooaa! Aku bebas!" seru Berlian kegirangan. Namun napas Berlian masih tersengal-sengal saat ia melaju di jalan utama. "Aku tidak akan membiarkan diriku terkurung lagi," gumamnya pada diri sendiri, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang masih berdetak kencang Di belakang, Luke masih tercengang di tengah jalan masuk mansion, masih berusaha mencerna kejadian yang baru saja berlangsung. Napas Luke memburu, sementara tatapan Luke tidak lepas dari punggung mobil Berlian yang semakin menjauh. "Astaga, dia benar-benar melakukannya," gumam Luke dengan suara bergetar, campuran antara kelegaan dan ketakutan mengguncang pria itu. Luke benar-benar tidak menyangka jika Berlian melakukan hal nekad seperti tadi. Para petugas keamanan saling pandang, bingung dan panik melihat tindakan Nyonya mereka yang pendiam dan selalu menjadi gadis yang penurut. Salah satu dari mereka pun memberanikan diri mendekati Luke. "Tuan, apa yang harus kita lakukan sekarang?" Luke menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. "Biarkan dia pergi. Tapi tetap pantau pergerakan istriku. Aku ingin tahu ke mana dia pergi," perintah Luke dengan nada tegas meski hatinya masih kacau. Sementara Berlian, melaju dengan kecepatan tinggi, meninggalkan mansion yang selama ini menjadi penjara baginya. Setiap meter yang ia tempuh terasa seperti beban berat yang perlahan terlepas dari pundak. Namun, di balik kebebasan itu, ada rasa cemas yang terus mengintai. Berlian mengambil jalan menuju pusat kota, berpikir keras tentang tujuan kemana ia akan pergi. "Aku butuh tempat di mana aku bisa melupakan semua ini, setidaknya untuk sementara," gumam Berlian pelan sambil terus menyetir. Akhirnya, Berlian memutuskan untuk menuju kasino. Tempat itu selalu menawarkan pelarian dari realita, meski hanya sesaat. Berlian tahu risiko yang ada di sana, tapi dia tidak peduli lagi. Saat ini, yang ia inginkan hanyalah melupakan semua beban dan sakit hati yang selama ini membelenggu dirinya. Sesampainya di kasino, Berlian langsung menuju ke meja poker. Tatapan Berlian tajam. Dia pun segera duduk di salah satu kursi, menarik napas dalam-dalam sebelum memulai permainan. "Mari kita lihat seberapa jauh aku bisa melarikan diri dari kenyataan ini," pikir Berlian. Di seberang meja, Seorang pria duduk dengan tatapan tajam yang memiliki seringai yang licik. Pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Geral, namun Berlian tidak menyadari bahwa dia adalah ketua dari sebuah organisasi mafia yang terkenal. "Mari kita mulai," kata Geral dengan nada santai namun penuh ancaman terselubung. Berlian mengangguk, meneguk minuman keras di depannya untuk mengusir rasa gugup yang merayap di dalam diri Berlian. "Ya, aku ingin semua ini cepat selesai. Aku bertaruh segalanya." Geral tersenyum, menyeringai penuh kepuasan. "Segalanya? Apa itu termasuk dirimu sendiri?" Berlian menatap Geral dengan mata penuh tekad. "Ya, termasuk diriku sendiri." Suasana di meja poker semakin tegang. Para penonton yang ada di sekitar meja memperhatikan dengan penuh minat, menyadari bahwa taruhan ini lebih dari sekadar uang. Berlian memegang kartu-kartu di tangannya yang gemetar, berusaha menyembunyikan ketegangan yang merambat ke seluruh tubuh wanita itu. Dan pada setiap putaran kartu, membuat keadaan semakin mendebarkan. Geral, di sisi lain, tetap tenang dan penuh percaya diri. "Taruhanmu menarik," kata Geral, menyeringai. "Tapi apa kau yakin bisa menang?" "Aku yakin. Kerena aku harus menang," gumam Berlian, lebih pada dirinya sendiri daripada kepada Geral. Putaran terakhir dimulai, dan Berlian merasakan jantungnya berdetak semakin cepat. Kartu demi kartu dibuka, dan akhirnya tiba waktunya bagi mereka untuk menunjukkan kartu mereka masing-masing. Geral tersenyum lebar, menunjukkan kartunya. "Full house." Geral melempar kartu itu pada meja poker. Deg! Berlian tertegun, dia melihat kartunya sendiri yang tidak cukup kuat untuk mengalahkan Geral. Wajah Berlian seketika memucat, sadar akan apa yang baru saja terjadi mulai meresap. "Sepertinya kau kalah," kata Geral dengan nada dingin. "Dan sekarang, kau adalah milikku." Berlian merasa seluruh dunianya runtuh. Ia terjebak, dan tidak ada jalan keluar oleh taruhan bodoh yang ia lakukan ketika ia sedang terjebak emosi sesaat. "Sial. Aku harus kabur dari sini. Aku tidak rela jika pria ini menyentuhku," pikir Berlian, matanya liar menelisik keadaan kasino. Berharap ada cela untuk melarikan diri. --- Sementara itu, di mansion, Luke merasa gelisah. Ia mencoba menelpon nomor Berlian berkali-kali namun tidak ada jawaban dari sang istri. "Kemana dia? Berlian, jangan membuatku cemas," gumam Luke, pria itu mondar-mandir tidak tenang. Luke merasakan kekhawatiran semakin memuncak. Hingga ia teringat dengan ucapan Berlian yang ingin ke rumah kakeknya. "Ya ... Kakek. Aku harus menghubungi Kakek." Luke mulai menekan nomor kediaman Ethan, berharap Berlian ada di sana. "Ethan Kenneth di sini," suara Ethan terdengar di ujung telepon. "Kakek, ini Luke. Apakah Berlian ada di sana?" tanya Luke dengan nada cemas. "Berlian? Tidak, Luke. Dia tidak di sini. Ada apa?" Ethan terdengar bingung. "Berlian meninggalkan mansion, Kek. Dia sangat marah. Aku pikir dia akan pergi ke kediaman kalian." "Oh Tuhan, Luke. Kami belum mendengar kabar dari Berlian. Apakah sesuatu terjadi?" Suara Ethan kini terdengar cemas. "Iya, kami bertengkar hebat. Aku takut sesuatu yang buruk terjadi padanya," kata Luke, suara pria itu penuh dengan rasa bersalah. "Kami akan mencari tahu. Jika Kakek mendapatkan informasi, Kakek akan segera menghubungimu, Luke." janji Ethan sebelum menutup telepon. Luke menutup telepon dan mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Pikiran tentang Berlian yang berkendara dalam keadaan emosi semakin membuat Luke khawatir. Dengan cepat, Luke mengambil blazer hitam dan bergegas menuju garasi, berniat untuk mencari keberadaan istrinya sendiri. Saat Luke menarik gagang pintu mobil, ponsel di dalam saku Luke berdering. Dengan cepat, Luke meraih ponselnya dan menggeser tombol jawab. "Halo," ucap Luke ketika sambungan teleponnya tersambung. "Tuan, kami mendapatkan informasi bahwa seorang wanita dengan ciri-ciri seperti Nyonya Berlian terlihat di sebuah kasino di pusat kota," kata suara dari ujung telepon. Luke merasa hatinya mencelos. "Kasino? Astaga. Aku akan segera ke sana. Terima kasih," jawab Luke, ia segera menutup telepon.Setelah kelahiran anak mereka yang sehat dan cantik, Luke dan Berlian menatap masa depan dengan penuh harapan dan kebahagiaan. Mereka menyadari bahwa perjalanan yang telah mereka lalui bukanlah hal yang mudah, tetapi setiap tantangan yang dihadapi telah membentuk mereka menjadi pasangan yang lebih kuat dan penuh cinta.Suatu sore, mereka duduk di teras rumah mereka yang menghadap ke taman, sambil menggendong bayi mereka yang diberi nama "Jingga". Matahari terbenam memancarkan sinar keemasan, menciptakan suasana hangat dan damai.Berlian menatap wajah kecil bayi mereka, lalu beralih memandang Luke. "Paman, pernahkah kamu berpikir sejauh ini kita telah berjalan?" tanyanya dengan suara lembut.Luke tersenyum, matanya juga tertuju pada bayi mereka. "Sering sekali, Lian. Dari pertama kali kita bertemu, hingga sekarang, rasanya seperti perjalanan panjang yang penuh dengan pelajaran berharga."Berlian mengangguk pelan. "Kita telah melewati banyak hal. Kesulitan, kebahagiaan, tantangan, dan
Malam itu terasa begitu tenang, tidak ada yang mengira bahwa hari ini akan menjadi awal dari sebuah kehidupan baru. Luke tengah bekerja di ruang kerjanya ketika tiba-tiba terdengar suara panik dari lantai atas.“Paman! Paman! Aku rasa... aku rasa aku kontraksi!” suara Berlian terdengar tergesa dari kamar tidur mereka.Luke langsung melompat dari kursinya, tanpa berpikir dua kali ia berlari ke kamar. Ia melihat Berlian duduk di tepi tempat tidur, memegang perutnya dengan ekspresi kesakitan.“Lian! Apakah ini sudah waktunya?!” Luke berusaha tetap tenang, meskipun jelas raut wajahnya tidak bisa menyembunyikan kepanikan yang mulai merayap.Berlian mengangguk lemah, menggenggam erat tangan Luke. "Ya, Paman... aku rasa ini sudah waktunya. Rasa sakitnya... semakin parah!"Dalam hitungan detik, Luke sudah mengambil ponselnya dan menelepon rumah sakit. “Ya, istri saya mulai kontraksi. Tolong siapkan ruang persalinan, kami akan segera ke sana.”Sementara itu, Vania dan Ethan yang berada di ruan
Pagi yang tenang di rumah mewah Luke dan Berlian tiba-tiba diwarnai oleh suara keluhan kecil dari kamar utama. Berlian, yang perutnya sudah semakin membesar, duduk di tepi ranjang sambil memegang perutnya yang buncit. Luke, yang sedang bersiap-siap di kamar mandi, mendengar keluhan manja dari istrinya itu."Paman...," panggil Berlian dengan nada manja.Luke keluar dari kamar mandi, mengusap wajahnya dengan handuk. "Ya, Sayang? Ada apa?" tanyanya, sambil berjalan ke arah tempat tidur.Berlian memutar tubuhnya, menghadap Luke dengan wajah cemberut. "Perutku sakit, kakiku pegal, dan aku nggak bisa menemukan posisi yang nyaman. Hhh... Paman, ini bayi atau bola basket sih?" keluhnya sambil mengusap perutnya.Luke tertawa kecil, lalu duduk di samping Berlian. "Hei, bola basket yang satu ini bakal jadi anak kita, Lian. Sabar ya, beberapa bulan lagi dia keluar," goda Luke sambil memeluk Berlian dengan lembut.Berlian mendengus, tapi tak bisa menahan senyum kecilnya. "Tapi Paman, aku bener-ben
Malam telah tiba setelah peluncuran besar morfin. Luke dan Berlian kembali ke rumah mereka, kelelahan namun dipenuhi rasa bangga. Berlian duduk di sofa dengan tangan mengelus perutnya yang semakin membesar, sementara Luke berjalan ke dapur untuk mengambil dua cangkir teh hangat."Bagaimana rasanya sekarang setelah peluncuran, Paman?" Berlian membuka percakapan dengan senyum tipis, meskipun kelelahan tampak jelas di wajahnya.Luke menghampiri Berlian, memberikan cangkir teh hangat kepadanya sebelum duduk di sampingnya. "Rasanya... luar biasa, Lian. Aku bangga pada kita. Tapi lebih dari itu, aku bangga padamu. Kamu yang menggerakkan semua ini. Aku hanya mendukung dari belakang."Berlian tertawa kecil sambil menyeruput tehnya. "Ah, Paman selalu rendah hati. Kalau nggak ada kamu, proyek ini mungkin sudah kacau berantakan. Kamu tahu betapa gugupnya aku selama ini.""Tapi kamu berhasil melewati semuanya. Kamu kuat," jawab Luke sambil menatapnya dengan penuh kebanggaan. Ia mengusap lembut ta
Empat bulan telah berlalu sejak kehamilan Berlian diumumkan, dan setiap harinya Luke semakin terbiasa dengan peran barunya sebagai suami sekaligus calon ayah. Ngidam aneh yang dialami Berlian perlahan-lahan mulai berkurang, meskipun sesekali ia masih meminta kombinasi makanan yang tak terduga. Namun, hari-hari mereka kini diisi dengan persiapan peluncuran produk baru dari penelitian morfin yang dilakukan Berlian bersama timnya. Di tengah sibuknya pekerjaan, Luke tidak pernah absen menemani istrinya.Pagi itu, Luke sedang duduk di ruang kerja, meneliti beberapa dokumen terkait peluncuran morfin. Berlian, yang perutnya sudah mulai membesar, berjalan perlahan masuk ke ruang kerja sambil mengusap perutnya yang semakin membuncit."Paman," panggil Berlian manja sambil berdiri di ambang pintu. "Paman sedang sibuk?"Luke mendongak dari tumpukan dokumen, senyumnya langsung mengembang melihat wajah manis Berlian. "Tidak pernah terlalu sibuk untukmu, Lian. Ada apa? Mau minta camilan lagi?" goda
Sudah beberapa minggu berlalu sejak Berlian dinyatakan hamil, dan kehidupan mereka berdua kini dipenuhi dengan suka cita dan kejutan-kejutan kecil, salah satunya adalah ngidam Berlian yang tak terduga. Seperti pagi itu, ketika Luke sedang menikmati secangkir kopi di ruang makan, Berlian muncul dari kamar dengan wajah cemberut."Paman," panggil Berlian dengan nada manja, berjalan mendekati Luke dengan tangan memegang perutnya yang masih belum terlalu terlihat membuncit.Luke menurunkan cangkirnya dan menatap Berlian dengan senyum lembut. "Ada apa, Lian? Kenapa wajahmu cemberut begitu pagi ini?"Berlian duduk di samping Luke, menyandarkan kepala di bahu suaminya. "Aku lapar. Tapi... aku nggak mau makanan biasa."Luke tertawa kecil, membelai rambut Berlian. "Kalau begitu, apa yang kamu mau? Aku bisa minta koki buatkan sesuatu yang spesial."Berlian mengerutkan hidungnya, lalu menatap Luke dengan mata berbinar. "Aku mau pisang goreng... tapi ditaburi keju... dan dimakan dengan saus cokela