Share

Bab 12

Selama ujian dua hari ini, Delis memaksa dirinya untuk fokus belajar.

Jangan memikirkan Kelven dan wanita itu, maka pikirannya tidak akan terganggu.

Tiba-tiba, pintu asrama terbuka. Novi menghampiri Delis sambil terengah-engah. Dengan penuh semangat berkata,

“Delis cepat! Ada yang mencarimu di bawah.”

Delis menoleh melihat Novi dan bertanya, “Siapa?”

“Kak Wiliam, dia datang mencarimu lagi.”

Delis tidak menjawab, “ … “

Wiliam …

Pria yang dijuluki siswa paling tampan di kampus mereka yang sedang menempuh program pascasarjana.

Tak disangka setelah menghilang dua bulan, dia kembali lagi.

Delis menolak tanpa ragu, “Nggak mau.”

“Kenapa? Dia adalah Wiliam loh, primadona di kampus kita. Semua perempuan di kampus ini pada antri untuk mengejarnya.”

“Tapi hanya ada kamu di hati Kak Wiliam, kenapa kamu nggak tertarik sama sekali dengannya?”

Delis menjawab, “Sudah ada orang lain di hatiku.”

“Apa? Ada orang yang kamu suka? Siapa?”

Tanya Novi langsung pada Delis.

Delis menatapnya dengan serius dan berkata,

“Nanti kalau ada kesempatan atau kami nggak berpisah, aku akan memperkenalkannya pada kalian. Tapi sejujurnya, aku memang nggak suka dengan kakak kelas ini.”

Jika dirinya tahu bahwa saat kecelakaan itu dia menyelamatkan Wiliam, akan membuat Wiliam menyukainya. Delis pasti tidak akan ikut campur saat itu dan mengantarnya ke rumah sakit.

Padahal Wiliam adalah pemuda yang sangat berbakat, tapi entah kenapa sulit ditolak dan keras kepala.

“Baiklah, aku akan menyampaikan pesanmu padanya. Sayang sekali, kakak kelas ini begitu baik, malah ditolak oleh Delis,”

Sambil bergumam sendiri, Novi berjalan keluar dari asrama.

Ketika Delis mau lanjut belajar, ponsel di sebelahnya berdering.

Panggilan dari Bibi Siti.

Delis mengangkat telepon dan bertanya, “Ada apa, Bibi Siti?”

“Nggak apa-apa. Hanya saja barusan Pak Kelven meneleponku dan menanyakan bagaimana kabarmu. Kamu baik-baik saja, ‘kan?”

Delis tidak menjawab.

Kenapa Kelven begitu peduli dengannya, tapi tidak meneleponnya sendiri?

Karena tak bisa atau karena khawatir Herli akan terganggu?

Meskipun ada kepahitan dalam hatinya, Delis tetap tersenyum pura-pura tak ada masalah dan berkata,

“Aku baik-baik saja, Bi. Jangan khawatir. Sebentar lagi sudah liburan, setelah liburan aku akan pulang dan menemanimu.”

“Iya, begitu kamu kembali ke kampus, Pak Kelven juga nggak pulang. Rumah sebesar ini, rasanya sangat sayang kalau hanya dihuni oleh nenek tua sepertiku.”

“Nggak apa-apa, aku akan menemanimu setiap hari ke depannya.”

Setelah menutup telepon, Delis kembali memaksa dirinya untuk belajar.

Baru saja dia mau memfokuskan diri, ponselnya kembali berdering.

Delis mengira bahwa Bibi Siti lupa memberitahu sesuatu, jadi dia mengambil ponsel tanpa melihat siapa yang meneleponnya dan langsung menjawab,

“Halo Bibi Siti, ada apa?”

“Kamu nggak lihat tampilan layar dulu?”

Suara maskulin yang merdu seketika membuat Delis semangat.

Dia melihat layar panggilan dan memastikan itu memang panggilan dari Kelven.

Setelah memastikan bahwa tak ada orang di kamar, Delis baru memanggil, “Kelven … ”

“Hm, sudah makan malam belum?”

“Belum.”

“Keluar, aku di depan gerbang kampus.”

Delis terkejut. “Kamu, kamu nggak di rumah sakit?”

“Harus menyisihkan sedikit waktu untuk menemanimu.”

Delis merasa hangat di hatinya, segera menutup bukunya, merapikan pakaiannya dan menjawab, “Iya, aku keluar sekarang juga.”

Setelah menutup telepon, Delis ingin lari pergi.

Namun, teringat adanya bayi di dalam perutnya, dia memperlambat langkahnya.

Ketika turun dari gedung asrama, bertemu dengan Novi.

Novi menatapnya dan bertanya, “Untuk apa kamu turun? Bukannya nggak mau bertemu dengan Kak Wiliam? Kak Wiliam baru saja pergi.”

Delis menggeleng dan menjawab, “Bukan, aku mau ambil barang di depan gerbang. Aku pergi dulu.”

Novi mengernyit, melihat Delis menjauh dan menggelengkan kepalanya.

Orang ini benar-benar beruntung bisa disukai oleh Kak Wiliam, sayangnya dia malah tak tertarik dengan Kak Wiliam.

Haish, kenapa nasib dirinya tidak seberuntung Delis?

Delis tiba di gerbang kampus dan langsung melihat sebuah mobil yang familiar terparkir tidak jauh di pinggir jalan.

Delis langsung mendekat.

Sopir turun dengan sopan dan membuka pintu mobil untuknya.

Ketika duduk di dalam mobil, Delis melihat pria di sebelahnya dan tidak mengenakan jas, hanya mengenakan kemeja lengan panjang, tetapi tetap terlihat tampan.

Dengan lembut Delis memanggil, “Kelven … “

“Hm, mau makan apa?” tanya pria itu dengan lembut, sambil mengulurkan tangan untuk merapikan rambut halus di depan keningnya.

Delis menjawab dengan santai, “Yang ringan saja, apapun boleh.”

Dia membaca di internet, banyak makanan yang sebaiknya dihindari saat hamil.

Jadi, makanan farvoritnya seperti hotpot, seafood dan daging harus dipilih dengan hati-hati.

Kelven memerintahkan sopir untuk ke suatu tempat.

Akhirnya, keduanya masuk ke sebuah restoran mewah dan duduk di ruang VIP standar tertinggi.

Kelven memesan makanan kesukaan Delis. Hidangannya ringan tapi lezat, sesuai dengan selera umum wanita.

Ketika melihat puluhan hidangan yang datang, Delis agak bingung. “Kelven, kamu pesan begitu banyak, bagaimana bisa kita habiskan?”

“Makan sebanyak yang kamu bisa. Aku lihat kamu tampak lebih kurus belakangan ini. Apakah karena suasana hati yang nggak baik sehingga sulit makan?”

Delis menatap pria di sampingnya, dirinya juga terlihat lelah.

Delis tahu bahwa Kelven juga sangat lelah. Dia harus bekerja di pagi hari dan malam hari masih harus pergi ke rumah sakit untuk menemani Herli. Delis tak berani menyalahkan dan merasa tak puas.

Delis tak ingin bertengkar dengannya lagi, tidak ingin terlihat seperti wanita yang cerewet.

Saat ini, Delis sangat santai. Semua hal yang harus terjadi, akan terjadi pada akhirnya.

Maka dari itu, dia mengikuti alurnya dengan santai.

Melihat ekspresi Delis yang polos, Kelven menunjukkan kasih sayangnya.

“Delis, aku tahu kamu keberatan atas kehadiran Herli. Itu semua juga salahku karena nggak memberitahumu tentang Herli dari awal. Kalau kamu merasa … “

“Apa yang mau kamu katakan?”

Seketika, Delis memiliki firasat buruk.

Meskipun dia mencoba untuk menerima semuanya, masih ada rasa takut terhadap beberapa hal yang mungkin terjadi.

Kelven menatap Delis dan berkata,

“Luka Herli sudah pulih dengan sangat cepat, tapi sampai sekarang, dia masih nggak bisa melihat. Dokter menyarankan dia untuk pulang dan istirahat dengan baik. Aku mungkin akan pindah ke rumahnya dan tinggal bersamanya.”

Delis terdiam.

Delis merasa sesak di dada, napasnya seperti hampir terhenti.

Jadi, Kelven sengaja datang ke kampus dan mengajaknya makan bersama, hanya untuk memberitahunya hal ini?

Suaminya, ayah dari anak-anaknya akan tinggal bersama wanita lain?

Delis menundukkan kepala, berusaha keras untuk menahan air matanya agak tidak menangis.

Kelven mengulurkan tangan untuk mengelus kepala Delis, menatap wajah kecilnya yang menyedihkan. Dengan tak tega, Kelven melanjutkan, “Jadi … “

“Kelven, sebenarnya kamu berhutang apa pada Herli? Kenapa orang sehebat kamu bisa begitu terikat dengannya?”

Delis memotong pembicaraan Kelven.
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Minni Minni
Itu knapa tidak cepet² ketahuan sama si kelven sih heran
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Si kelven mau² nya dibodoh2in sama nenek sihir Herli
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status