Langkah kaki Lin Yue menyentuh tanah yang hancur, melewati patahan-patahan pohon bambu dan retakan bumi yang masih mengepul. Cahaya merah di langit mulai memudar, tapi atmosfer kematian belum sepenuhnya hilang. Di depannya, Su Lian bersandar lemah pada batang pohon, darah menetes dari sudut bibirnya.
“Su Lian…” Lin Yue berlutut di sisinya, jemarinya gemetar saat menyentuh wajah pria itu. “Kau terluka parah…” Su Lian mencoba tersenyum, tapi wajahnya pucat. “Kau datang… terlalu cepat.” “Dan kau terlalu bodoh karena tidak membawaku dari awal,” jawab Lin Yue tajam, meski suaranya bergetar oleh ketakutan. Mereka saling menatap. Namun sebelum kata lain bisa keluar, tubuh Feng Luo yang semula tak bergerak, perlahan bangkit. Wajahnya dipenuhi darah, namun mata merahnya bersinar ganas. Kapak patahnya berubah menjadi bilah darah cair, mengambang di udara. “Aku belum kalah… sebelum salah satu dari kita benar-benar hilang dari dunia ini,” geramnya. Lin Yue berdiri perlahan, tubuhnya berpendar cahaya perak. Pedang tanpa bentuk di tangannya bergetar, seperti menunggu perintah. “Kalau begitu… aku akan menghilangkanmu.” Feng Luo melompat, membawa badai darah bersamanya. Namun sebelum ia sempat mendekat, Su Lian tiba-tiba berdiri. Luka di tubuhnya masih menganga, tapi aura di sekelilingnya berubah — tidak lagi terpecah, tapi menyatu. Cahaya ungu dan hitam berpadu mengelilinginya. > “Su Tian…?” tanya Lin Yue, bingung. Su Lian menatapnya. “Bukan. Aku… Su Lian, dan aku Su Tian. Sekarang aku tidak lagi terpisah.” Dalam sekejap, ia mengangkat tangan, dan dari dalam tanah muncul formasi segel kuno. Rantai cahaya melilit tubuh Feng Luo, menghentikannya di udara. “Teknik Rahasia Klan Bayangan: Penguncian Jiwa Kembali.” Feng Luo berteriak, namun kekuatan Su Lian kali ini melampaui semua batas sebelumnya. Dalam sekejap, tubuh Jenderal Darah itu meledak menjadi serpihan hitam, lenyap bersama semburat darah di langit. Keheningan menyelimuti hutan. Lin Yue memandang Su Lian dengan mata berkaca-kaca. “Kau… akhirnya…” “…menjadi diriku sendiri,” jawab Su Lian. Ia terjatuh ke lutut, dan Lin Yue langsung menyambutnya dalam pelukan. --- Dalam Hening, Tersingkap Kebenaran Beberapa jam kemudian, mereka berlindung di dalam gua kecil tak jauh dari tempat pertempuran. Su Lian duduk bersandar, sementara Lin Yue membalut lukanya dengan ramuan herbal. “Kenapa kau tidak pernah bilang kalau Su Tian… adalah dirimu sendiri?” tanya Lin Yue akhirnya. Su Lian menatap api kecil di depannya. “Karena aku takut. Dulu, saat aku masih bernama Su Tian, aku kehilangan segalanya. Orang-orang yang kucintai… murid-muridku, saudara-saudara seperguruan… semua meninggalkanku” “Jadi kau bangkit menjadi Su Lian?” “Iya. Sebagai pelindung. Sebagai kebohongan yang bisa hidup tanpa diburu masa lalu. Tapi saat aku menikah denganmu, meski hanya sebagai kontrak, kau perlahan-lahan membuatku ingin jujur.” Lin Yue menatapnya lekat. “Jadi… bagaimana sekarang?” Su Lian menoleh. “Sekarang aku tidak ingin bersembunyi lagi. Dan jika kau masih mau berada di sisiku, bukan karena kontrak… tapi karena hatimu… aku ingin tetap bersamamu.” Lin Yue menatap api, lalu tersenyum kecil. “Aku juga sudah lama berhenti memikirkan kontrak itu.” Su Lian menggenggam tangan Lin Yue. “Kau tahu, dulu aku percaya orang kuat tidak butuh siapa-siapa. Tapi sekarang, aku sadar, kekuatan yang sebenarnya… adalah saat kau tahu kau bisa hancur, tapi tetap memilih bertahan karena seseorang.” Lin Yue menunduk. “Kau pernah bertanya kenapa aku tidak takut padamu waktu pertama kali kita bertemu, bukan?” Su Lian mengangguk pelan. “Itu karena aku merasa… kau jauh lebih takut dariku. Bukan takut padaku, tapi takut kehilangan bagian dirimu sendiri.” Su Lian menunduk, matanya berkaca-kaca. “Kau benar.” Hening sesaat menyelimuti mereka. Hanya suara tetesan air gua dan desir angin dari luar yang terdengar. Tapi hening itu bukan kekosongan — melainkan kenyamanan. --- Gerbang Kedua yang Menanti Keesokan paginya, langit masih belum sepenuhnya pulih. Retakan halus masih terlihat di cakrawala, dan dari kejauhan, suara gemuruh petir sesekali mengguncang langit. Lin Yue mengeluarkan gulungan peta yang diberikan oleh klan tua sebelum mereka berangkat. “Ada empat titik lagi,” katanya pelan. “Empat lokasi retakan besar yang bisa membawa kehancuran lebih besar jika tidak ditutup.” Su Lian berdiri, meski masih lemah. “Kita tutup semuanya.” Lin Yue memandangnya. “Ini bukan lagi soal menyelamatkan dunia, ya?” Su Lian menatap ke arah langit. “Tidak. Ini soal menyelamatkan harapan. Jika langit bisa diperbaiki… maka jiwa-jiwa lain yang retak juga bisa disembuhkan.” Ia mendekati Lin Yue, lalu meletakkan tangannya di atas peta. “Retakan selanjutnya berada di Selatan. Di sana ada reruntuhan kuil tua, tempat pertama kali aku menguasai teknik bayangan.” “Masa lalu kembali menantangmu?” “Dan aku tidak akan lari kali ini.” Lin Yue menggulung kembali peta itu, lalu menatap Su Lian dengan sorot mata penuh keyakinan. “Aku bersamamu. Kali ini bukan karena kontrak, bukan karena dunia... tapi karena kau.” Su Lian tersenyum kecil. “Dan aku akan melindungimu. Bukan karena aku kuat... tapi karena aku ingin.” Mereka saling memandang, lalu melangkah bersama, meninggalkan jejak baru di jalan menuju pertempuran berikutnya. Di belakang mereka, jejak darah telah tertinggal. Di depan mereka… langit masih penuh luka. Tapi mereka tidak lagi sendiri.Langkah kaki Lin Yue menyentuh tanah yang hancur, melewati patahan-patahan pohon bambu dan retakan bumi yang masih mengepul. Cahaya merah di langit mulai memudar, tapi atmosfer kematian belum sepenuhnya hilang. Di depannya, Su Lian bersandar lemah pada batang pohon, darah menetes dari sudut bibirnya. “Su Lian…” Lin Yue berlutut di sisinya, jemarinya gemetar saat menyentuh wajah pria itu. “Kau terluka parah…” Su Lian mencoba tersenyum, tapi wajahnya pucat. “Kau datang… terlalu cepat.” “Dan kau terlalu bodoh karena tidak membawaku dari awal,” jawab Lin Yue tajam, meski suaranya bergetar oleh ketakutan. Mereka saling menatap. Namun sebelum kata lain bisa keluar, tubuh Feng Luo yang semula tak bergerak, perlahan bangkit. Wajahnya dipenuhi darah, namun mata merahnya bersinar ganas. Kapak patahnya berubah menjadi bilah darah cair, mengambang di udara. “Aku belum kalah… sebelum salah satu dari kita benar-benar hilang dari dunia ini,” geramnya. Lin Yue berdiri perlahan, tubuhnya b
Langit di atas Kota Angin Malam berubah perlahan, dari biru pucat menjadi merah gelap seperti darah kering. Angin yang berhembus membawa bisikan asing. Guntur bergema tanpa awan. Seluruh kota seakan berdetak bersama langkah kaki pasukan Sekte Darah yang mulai merangsek dari segala arah. Penjaga kota yang tersisa menarik mundur warga ke zona aman. Namun di tengah kekacauan yang mencekam itu, di balik lebatnya hutan bambu, sebuah energi lain bangkit tenang, dalam, dan purba. Dalam Kesadaran Lin Yue Tubuh Lin Yue masih dalam posisi meditasi. Tapi jiwanya telah melayang jauh, masuk ke dalam alam kesadaran leluhur. Ia berdiri di langit tak berujung, dikelilingi sungai bintang yang mengalir pelan. Sunyi. Abadi. Sebuah suara bergema di sekelilingnya. “Kau akhirnya kembali… pewaris tubuhku.” Dari cahaya, muncul sosok wanita—mengenakan jubah kerajaan langit. Wajahnya begitu mirip Lin Yue, hanya saja lebih dewasa dan dingin. Di atas kepalanya melayang tiga mahkota bintang. “Aku ad
Kabut tipis menyelimuti seluruh Kota Angin Malam. Tapi ini bukan kabut biasa. Aura spiritual tingkat tinggi menyusup di dalamnya tanda jelas bahwa seseorang tengah mengamati dari balik tirai dimensi. Di puncak menara batu di pusat kota, seorang wanita berdiri diam. Rambutnya sehitam malam, mata merah darah memantulkan cahaya rembulan, dan tubuhnya diselubungi jubah ungu tua bersulam simbol kepala serigala. “Lin Yue… gadis yang menyimpan Warisan Surgawi. Sudah waktunya aku menyentuh takdirnya,” bisiknya lirih. Paviliun Lin Yue Di dalam kamarnya yang sunyi, Lin Yue duduk bersila, mencoba menyeimbangkan energi tubuhnya dengan bantuan kristal hijau tua yang diberikan oleh Su Lian. Tapi malam ini, energi di sekelilingnya terasa kacau. Nafasnya berat, keringat dingin menetes dari pelipisnya. Tiba-tiba, dadanya terasa panas membakar. Tubuhnya melengkung ke belakang dan teriakan tertahan lolos dari bibirnya. Retakan tak kasatmata muncul dalam aliran nadinya segel yang selama ini tersembu
Malam itu angin berhembus lembut, namun ada sesuatu yang asing di udara. Di atas atap aula barat, seekor burung gagak hitam bertengger. Tapi matanya… bukan mata burung biasa. Dari balik kegelapan, seorang pria berjubah merah gelap berdiri. Wajahnya tertutup, tapi auranya memancarkan tekanan dingin seperti kematian. “Jadi ini tempatnya…” "Lin Yue. Gadis itu menyimpan jejak kekuatan yang tak seharusnya dimiliki klan kecil seperti ini." Ia menjentikkan jari. Di telapak tangannya muncul seuntai benang spiritual tipis, berwarna darah. “Cari dan bawa dia. Jika perlu… lumpuhkan.” Burung gagak itu mengepakkan sayap dan menghilang ke dalam malam. Paviliun Lin Yue – Tengah Malam Su Lian berdiri di halaman belakang. Dantiannya mulai stabil. Chi iblisnya kini bisa disalurkan dalam semburan kecil, cukup untuk mematahkan leher manusia biasa… atau membalik serangan para kultivator tingkat awal. Tiba-tiba ia menatap ke arah barat. Aura asing menyusup lewat angin. Bukan sekadar pengintai. Ini
Malam pertama setelah pernikahan. Tak ada peluk. Tak ada senyum. Hanya keheningan. Di dalam kamar dingin yang dibelah tirai tipis, dua orang duduk berjauhan. Di sisi kanan, Lin Yue, alkemis jenius Sekte Aliran Es. Di sisi kiri, Su Lian atau lebih tepatnya, Su Tian dalam tubuh Su Lian duduk bersila menatap jendela kecil. Bulan sabit menggantung pucat di langit malam. Tak terasa malam berlalu begitu saja dengan dingin, saat terbangun pagi hari Su Lian tidak menemukan Lin Yue di sampinnya dia merasa ini kesempatan untuk menelusuri tubuh barunya. "Tubuh ini lemah. Tapi dantian yang retak bukan akhir," gumamnya dalam hati. "Justru... ini awal dari sesuatu yang lebih besar." Ia meletakkan telapak tangan di dada. Menarik napas dalam, lalu perlahan mulai mengalirkan energi dari dalam jiwanya. Aura iblis gelap dan tajam bergerak menelusuri meridian tubuh barunya. Jalur-jalur itu nyaris mati. Retak, kotor, dan sempit. KRZZ... KRZZZ... Rasa sakit menyayat seperti seribu pisau menusu
Sebelum dunia memanggilnya Pangeran Iblis, Su Tian adalah pelindung langit. Lahir seribu tahun silam dari klan kecil yang dihancurkan oleh perang antar sekte, Su Tian tumbuh tanpa nama, tanpa tanah, dan tanpa siapa pun. Namun dari reruntuhan hidupnya, ia membentuk tekad yang tidak bisa dipatahkan. Ia mendaki jalur kultivasi dengan darah dan penderitaan, menolak untuk tunduk pada nasib. Ia memasuki Sekte Langit Merah sebagai anak jalanan dihina, dilecehkan, bahkan dijadikan bahan eksperimen oleh para tetua. Namun justru di situlah ia bertemu dua sosok yang mengubah takdirnya: Yu Fei, seorang murid alkimia dingin namun cerdas, dan Long Xuan, murid muda yang ia selamatkan dari ambang kematian. Ketiganya tumbuh bersama. Dalam waktu seabad, Su Tian menjadi legenda hidup. Ia menyelamatkan dunia dari invasi kekuatan Iblis dengan menyegel raja iblis sendiri, namun akibatnya, jiwanya tercemar oleh energi gelap yang tidak bisa disucikan. Meskipun niatnya tetap murni, aura iblis dalam