LOGINKabut tipis menyelimuti seluruh Kota Angin Malam. Tapi ini bukan kabut biasa. Aura spiritual tingkat tinggi menyusup di dalamnya tanda jelas bahwa seseorang tengah mengamati dari balik tirai dimensi.
Di puncak menara batu di pusat kota, seorang wanita berdiri diam. Rambutnya sehitam malam, mata merah darah memantulkan cahaya rembulan, dan tubuhnya diselubungi jubah ungu tua bersulam simbol kepala serigala. “Lin Yue… gadis yang menyimpan Warisan Surgawi. Sudah waktunya aku menyentuh takdirnya,” bisiknya lirih. Paviliun Lin Yue Di dalam kamarnya yang sunyi, Lin Yue duduk bersila, mencoba menyeimbangkan energi tubuhnya dengan bantuan kristal hijau tua yang diberikan oleh Su Lian. Tapi malam ini, energi di sekelilingnya terasa kacau. Nafasnya berat, keringat dingin menetes dari pelipisnya. Tiba-tiba, dadanya terasa panas membakar. Tubuhnya melengkung ke belakang dan teriakan tertahan lolos dari bibirnya. Retakan tak kasatmata muncul dalam aliran nadinya segel yang selama ini tersembunyi pecah. Dari celah segel itu, kekuatan kuno merambat ke seluruh tubuhnya. Kulitnya memancarkan cahaya perak keemasan, membentuk simbol tiga pedang melingkar seperti pusaran bintang. “Apa ini…?!” Sebuah visi menyusup ke dalam benaknya: ia melihat dirinya berdiri di atas singgasana emas, mengenakan jubah bangsawan langit, sementara ribuan kultivator tunduk di hadapannya. “Penguasa Cahaya Langit… Itu aku…?” Namun, sebelum ia bisa mencerna makna visi itu, kesadarannya kembali. Nafasnya tersengal, tubuhnya gemetar. Dari luar jendela, sepasang mata memperhatikan dalam diam. Lembah Seribu Bayangan Di sebuah gua terpencil, Su Lian duduk dalam meditasi. Simbol iblis tua terpahat di dinding, dan lima kristal chi iblis berputar dalam formasi pentagram di hadapannya. Ia mengisap esensi dari tiap kristal, berusaha memulihkan kekuatannya yang telah lama tersegel. “Aku butuh lebih cepat… Setengah kekuatanku saja cukup untuk membantai satu sekte.” Tiba-tiba, formasi luar gua bergetar. DZRAAK! Seseorang menyentuh perisai spiritual pelindungnya. Su Lian membuka mata, menyipit. “Sudah mulai. Mereka datang lebih cepat dari yang kuduga.” Gerbang Timur Kota Di bawah cahaya bulan pucat, wanita berjubah ungu itu melangkah masuk ke kota. Di belakangnya, tiga pengikut membuntuti dalam diam satu membawa panji merah darah, satu tongkat tengkorak, dan satu mengenakan topeng besi. “Cari gadis itu,” perintahnya. “Bunuh siapa pun yang melindunginya.” Ketiganya lenyap ke dalam bayangan gang-gang kota. Di atas tiang rumah, seekor gagak hitam bertengger. “Su Lian… kau tidak bisa melindunginya selamanya.” Malam Hari – Lin Yue Lin Yue terbangun. Udara terasa berat, lampu minyak padam tiba-tiba, dan suara langkah terdengar dari atap. Tangannya gemetar, tapi dalam dirinya, ada sesuatu yang mulai bangkit. “Aku… tidak bisa terus takut. Jika kekuatan ini milikku, maka aku harus tahu cara menggunakannya.” Ia duduk bersila, mulai mengulang teknik pernapasan yang diajarkan Su Lian. Di atas atap, sosok bertopeng besi bersiap menusuknya dengan pedang beracun. Namun sebelum ia bergerak, suara dingin menggema di belakangnya: “Sentuh dia… dan kau tak akan sempat menyesal.” BRAKK! Tubuhnya terpental, pedangnya terlempar. Dalam sekejap, lima pukulan menghantamnya dari lima arah berbeda. Su Lian berdiri di sana matanya memancarkan kekuatan gelap yang baru saja bangkit kembali. “Mulai sekarang… aku akan membunuh siapa pun yang menyentuhnya.” Pagi – Hutan Bambu Terlarang Jauh di tepi kota, di balik hutan bambu yang dianggap berhantu, Su Lian membangun tempat rahasia. Dengan sisa kekuatan iblisnya, ia menciptakan formasi ilusi tiga lapis, menyamarkan paviliun kecil yang di dalamnya tersimpan kamar meditasi, ruang pelatihan spiritual, dan formasi pengunci jiwa. Di sana, Lin Yue menatap sebuah lukisan tua yang dibuka oleh Su Lian. “Ini ‘Tirai Bintang Keabadian’ teknik kuno milik Penguasa Langit,” jelasnya. Lin Yue menunduk ragu. “Aku… bahkan belum bisa mengendalikan energiku.” Su Lian menyentuh dahinya lembut. “Kau tak perlu menjadi kuat hari ini. Tapi kau harus mulai hari ini.” Ia meletakkan gulungan di hadapannya. “Aku akan menahan siapa pun yang datang. Tugasmu hanya satu—bertahan dan tumbuh.” Langit Kota – Kabut Darah Kabut merah perlahan menyelimuti langit kota. Beberapa warga mulai sesak napas, sebagian pingsan. Tiga sosok berjubah merah melayang di langit mata mereka mengawasi kota seperti pemburu haus darah. “Target belum terdeteksi,” lapor salah satu. Pemimpin mereka wanita berjubah ungu muncul dari balik awan. “Kita buat kegaduhan kecil. Biarkan mereka tahu… bahwa kita serius.” Ia mengangkat tangan. Simbol bercahaya tengkorak bermata dua bulan merah muncul di langit—lambang Sekte Darah. Kepanikan pun pecah. Paviliun Rahasia – Teknik Dimulai Di dalam ruangan meditasi, Lin Yue berkeringat deras. Simbol tiga pedang bersinar di tubuhnya, dan gulungan ‘Tirai Bintang Keabadian’ terbuka sepenuhnya. Ia mengikuti tekniknya menarik energi bukan dengan paru-paru, tapi dengan roh. Untuk pertama kalinya… ia menyatu dengan energi langit. Gerbang Kota – Darah Pertama Seorang penjaga kota menghadang para penyusup. “Atas nama Kota Angin Malam kalian dilarang masuk!” Senyum sinis muncul dari wajah musuh. SLAK! Leher penjaga itu terputus. “Darah pertama. Mulai.” Ketiga penyusup masuk. Formasi pertahanan kota tak berfungsi dihancurkan dari dalam oleh mata-mata. Kekacauan meledak. Darah menyemprot, dan jeritan memenuhi udara. Perbatasan Hutan – Su Lian Berdiri Su Lian membuka matanya. “Mereka mulai.” Ia mengenakan baju tempur spiritual hitam dengan segel iblis, lalu melangkah ke depan hutan. DOOM! Tiga kultivator Sekte Darah terpental saat mencoba menembusnya. “Kau tak bisa melindunginya selamanya!” teriak salah satu dari mereka. “Aku hanya butuh waktu cukup… untuk membuatnya siap.” Chi iblis hitam mengelilingi tubuh Su Lian, membentuk pedang bayangan. Ia menatap lurus ke arah musuh musuhnya. “Kalian ingin darah? Maka hari ini… akan kuberikan darah kalian sendiri.”Langkah itu bergema—bukan di tanah, tapi di udara, di dalam ruang itu sendiri. Suara retak-retak terdengar dari langit yang perlahan terbuka, seperti cangkang dunia sedang dikupas dari luar. Cahaya keperakan mengalir turun, membentuk pusaran spiral yang memutar angin, energi, dan waktu dalam satu kesatuan tak terkendali.Su Lian menarik napas dalam-dalam, lalu berdiri di depan Lin Yue. Tangannya mengepal, bukan karena takut, tapi karena mengenali aroma yang tak asing.“Aura dimensi luar... seseorang menembus dinding dunia ini,” gumamnya. “Tapi bukan sembarang orang…”Dari celah langit yang terbelah, sosok itu muncul—melayang tenang, tubuhnya dibungkus jubah putih yang tidak bergerak meski angin meraung di sekitarnya. Wajahnya datar tanpa ekspresi, matanya seperti celah bintang mati—gelap, kosong, dan tanpa emosi.Namun yang paling mencolok adalah simbol di dahinya: spiral kembar yang bercahaya seperti dua galaksi yang saling bertabrakan.“Pengawas Dimensi…” desis Su Lian. “Mereka data
Langkah kaki Lin Yue menyentuh tanah yang hancur, melewati patahan-patahan pohon bambu dan retakan bumi yang masih mengepul. Cahaya merah di langit mulai memudar, tapi atmosfer kematian belum sepenuhnya hilang. Di depannya, Su Lian bersandar lemah pada batang pohon, darah menetes dari sudut bibirnya. “Su Lian…” Lin Yue berlutut di sisinya, jemarinya gemetar saat menyentuh wajah pria itu. “Kau terluka parah…” Su Lian mencoba tersenyum, tapi wajahnya pucat. “Kau datang… terlalu cepat.” “Dan kau terlalu bodoh karena tidak membawaku dari awal,” jawab Lin Yue tajam, meski suaranya bergetar oleh ketakutan. Mereka saling menatap. Namun sebelum kata lain bisa keluar, tubuh Feng Luo yang semula tak bergerak, perlahan bangkit. Wajahnya dipenuhi darah, namun mata merahnya bersinar ganas. Kapak patahnya berubah menjadi bilah darah cair, mengambang di udara. “Aku belum kalah… sebelum salah satu dari kita benar-benar hilang dari dunia ini,” geramnya. Lin Yue berdiri perlahan, tubuhnya b
Sinar fajar pertama menerobos celah pepohonan, membasuh wajah Lin Yue yang masih terpejam. Tubuhnya terguncang pelan. Napasnya belum sepenuhnya stabil, namun denyut spiritual dalam tubuhnya terasa jauh berbeda dari sebelumnya lebih hidup, lebih murni. Di sisinya, Su Lian duduk bersila. Mata tertutup, namun kesadarannya menyebar luas. Dia bukan hanya melindungi Lin Yue dari serangan luar, tapi juga memandu proses penyesuaian tubuh baru Lin Yue—mengatur jalur-jalur meridian yang tadinya tersumbat kini mulai terbuka. Su Lian membuka matanya. "Dia sudah mulai menyesuaikan diri dengan warisan itu," gumamnya lirih. "Tapi ini baru awal." Lin Yue perlahan membuka mata. Pandangannya buram, tapi sorot matanya tajam, seolah melihat lebih jauh dari dunia yang tampak. "Aku... mendengar suara," katanya pelan. Su Lian mengangguk. "Itu suara dari dalam warisan. Bukan hanya kekuatan, tapi juga ingatan. Mungkin… peringatan." Lin Yue menyentuh dadanya. "Seperti ada dua jiwa yang bersatu. Ta
Langkah kaki Lin Yue menyentuh tanah yang hancur, melewati patahan-patahan pohon bambu dan retakan bumi yang masih mengepul. Cahaya merah di langit mulai memudar, tapi atmosfer kematian belum sepenuhnya hilang. Di depannya, Su Lian bersandar lemah pada batang pohon, darah menetes dari sudut bibirnya. “Su Lian…” Lin Yue berlutut di sisinya, jemarinya gemetar saat menyentuh wajah pria itu. “Kau terluka parah…” Su Lian mencoba tersenyum, tapi wajahnya pucat. “Kau datang… terlalu cepat.” “Dan kau terlalu bodoh karena tidak membawaku dari awal,” jawab Lin Yue tajam, meski suaranya bergetar oleh ketakutan. Mereka saling menatap. Namun sebelum kata lain bisa keluar, tubuh Feng Luo yang semula tak bergerak, perlahan bangkit. Wajahnya dipenuhi darah, namun mata merahnya bersinar ganas. Kapak patahnya berubah menjadi bilah darah cair, mengambang di udara. “Aku belum kalah… sebelum salah satu dari kita benar-benar hilang dari dunia ini,” geramnya. Lin Yue berdiri perlahan, tubuhnya b
Langit di atas Kota Angin Malam berubah perlahan, dari biru pucat menjadi merah gelap seperti darah kering. Angin yang berhembus membawa bisikan asing. Guntur bergema tanpa awan. Seluruh kota seakan berdetak bersama langkah kaki pasukan Sekte Darah yang mulai merangsek dari segala arah. Penjaga kota yang tersisa menarik mundur warga ke zona aman. Namun di tengah kekacauan yang mencekam itu, di balik lebatnya hutan bambu, sebuah energi lain bangkit tenang, dalam, dan purba. Dalam Kesadaran Lin Yue Tubuh Lin Yue masih dalam posisi meditasi. Tapi jiwanya telah melayang jauh, masuk ke dalam alam kesadaran leluhur. Ia berdiri di langit tak berujung, dikelilingi sungai bintang yang mengalir pelan. Sunyi. Abadi. Sebuah suara bergema di sekelilingnya. “Kau akhirnya kembali… pewaris tubuhku.” Dari cahaya, muncul sosok wanita—mengenakan jubah kerajaan langit. Wajahnya begitu mirip Lin Yue, hanya saja lebih dewasa dan dingin. Di atas kepalanya melayang tiga mahkota bintang. “Aku ad
Kabut tipis menyelimuti seluruh Kota Angin Malam. Tapi ini bukan kabut biasa. Aura spiritual tingkat tinggi menyusup di dalamnya tanda jelas bahwa seseorang tengah mengamati dari balik tirai dimensi. Di puncak menara batu di pusat kota, seorang wanita berdiri diam. Rambutnya sehitam malam, mata merah darah memantulkan cahaya rembulan, dan tubuhnya diselubungi jubah ungu tua bersulam simbol kepala serigala. “Lin Yue… gadis yang menyimpan Warisan Surgawi. Sudah waktunya aku menyentuh takdirnya,” bisiknya lirih. Paviliun Lin Yue Di dalam kamarnya yang sunyi, Lin Yue duduk bersila, mencoba menyeimbangkan energi tubuhnya dengan bantuan kristal hijau tua yang diberikan oleh Su Lian. Tapi malam ini, energi di sekelilingnya terasa kacau. Nafasnya berat, keringat dingin menetes dari pelipisnya. Tiba-tiba, dadanya terasa panas membakar. Tubuhnya melengkung ke belakang dan teriakan tertahan lolos dari bibirnya. Retakan tak kasatmata muncul dalam aliran nadinya segel yang selama ini tersembu







