Share

Bab 1-She is Samantha

Kala itu pertengahan tahun, saat di mana pertama kalinya Edmund menginjakkan kaki di Harbetor dengan menyandang julukan seorang pemimpin. Guliver, penguasa yang sebelumnya memberikan sambutan dan ucapan selamat besar-besaran di kastil, mengundang seluruh petinggi juga masyarakat berjasa setempat.

Pesta diadakan begitu meriah, puncaknya pada pukul sepuluh malam ketika para gadis lajang dipersilahkan menari di altar depan podium. Acara singkat yang biasanya membuat pasangan dipertemukan.

Ed hanya menatap dalam diam kemeriahan itu, ia tak begitu tertarik sekalipun para gadis menguraikan rambutnya dengan penuh pesona. Earl Martin selaku satu-satunya orang baru yang paling dekat dengannya, tiba-tiba sudah berdiri di samping sang pangeran seraya melemparkan tatapan menggoda, "Yang Mulia, apakah tidak berniat mendekati salah satu dari mereka? Para lady yang menari di tengah itu semua dijamin lajang dan masih gadis."

Sir Jake yang berada di dekat keduanya tiba-tiba menyahut, "Dekati saja mereka, mau dua, tiga, atau lebih pun kau bisa mendapatkannya, Yang Mulia."

"Ku dengar Lady Sterwiness baru saja lulus dari universitas ibu kota, dia pulang hari ini dan menyempatkan diri datang kemari karena kau, Yang Mulia. Ayahnya seorang anggota militer, kau bisa dengan mudah menakhkukannya," Sir Bragen ikut menimpali, bahkan dia terlihat paling semangat berbicara, tanpa mempedulikan perasaan tak nyaman Edmund.

Tidak, Ed bukannya tersinggung karena mereka seakan mendorongnya untuk menghilangkan gelar perjaka tua yang sudah melekat dalam raganya. Tapi karena pembicaraan ini justru dibesar-besarkan sampai merembet kemana-mana, sampai akhirnya para Lady berbondong-bondong mendekatinya sembari menyerahkan bunga, makanan, dan hadiah lain. Edmund merasa tidak sanggup menerima semua itu, ia menolak satu per satu dengan menghindari kerumunan.

Pria itu segera berlari ke halaman belakang, menghindari keramaian yang sibuk membicarakan dirinya.

"Apa salah melajang sampai tua? Lagi pula ini kan bukan diriku, bukan kemauanku menjadi tua seperti ini..." Bibirnya menggerutu lirih, tatapan matanya menuju ke bawah, tak bisa mendongakkan kepala sama sekali. Langkah lesu Edmund berhenti di dekat kebun bunga matahari, matanya berbinar mendapati jajaran lukisan yang akan dipamerkan besok pagi di museum seni kelolaan kastil. Namun yang paling menarik perhatiannya adalah seseorang yang memegang kuas di depan kanvas lebih besar dari ukuran tubuhnya sendiri.

Jemarinya sangat lincah menari di atas media lukis tersebut mengenakan beragam kuas, ia banyak mencoretkan warna-warna gelap padahal objek utamanya adalah bunga matahari.

Lama memperhatikan, Ed akhirnya paham gadis itu tengah melukis bunga matahari yang bersuasana malam gelap sehingga semua warna yang dia gunakan hanya seputar kombinasi redup untuk mendapatkan kesan tenang yang sempurna. Ia tanpa ragu mendekati gadis itu, kemudian berbicara pelan, "Cantik sekali."

Dia tampak terkejut atas kedatangan Edmund, bahkan kursi tiga kaki yang didudukinya sempat hampir jatuh. Sang Duke tertawa berkat reaksinya, karena terlalu terlarut dalam dunianya, sampai tidak memperhatikan sekeliling sama sekali.

"Lukisan-lukisan ini yang akan dipamerkan museum seni kastil besok 'kan?" Ia mulai membuka pembicaraan, ketika gadis itu menghampirinya sambil membungkuk sopan.

"Iya, Duchess Guliver—ah, Lady Guliver yang menyuruhku menaruhnya di sini. Apa ini semua terlihat mengganggu?" Dia meralat ucapannya ketika menyebut Ny. Guliver, karena sang suami sudah lengser, gelar Duchess pun sudah tidak lagi disandang.

"Tentu, tidak masalah di taruh di sini. Ngomong-ngomong, apa kau salah satu seniman di pameran itu nanti?" Ed bertanya penuh basa-basi, padahal sudah jelas matanya melihat sendiri gadis itu tadi tengah melukis dengan kedua tangan berbakatnya.

Senyumnya mengembang, kemudian mengangguk ragu, "Aku baru kali ini dipanggil kastil, jadi belum termasuk anggota seniman senior. Tapi Yang Mulia tenang saja, aku janji tidak akan membuat karya yang memperburuk citra Harbetor."

"Kau pasti sudah bekerja keras, selamat atas pencapaianmu sekarang. Siapa namamu... Lady?" Edmund bertanya ragu.

"Aku Samantha Caley, ayahku Baron Alexandru, kau mungkin mengenalnya," tatapan gadis itu mendadak sayu dan sendu.

"Baron Alexandru? Bukankah dia..." Ed mengunci mulutnya rapat-rapat, ia sadar dengan perubahan ekspresi Samantha. Batinnya sendiri berkata, 'Upacara kematian Baron Alexandru baru diadakan beberapa hari lalu 'kan?'

"Ah, Yang mulia, apakah mau menilai lukisan kami, aku punya lima karya yang akan dipamerkan minggu ini," Samantha mengalihkan topik. Ia berlari ke sudut, menunjukkan beberapa kanvas yang tertutup kain putih, "Yang di sini semua buatanku."

"Cantik sekali, tapi kenapa semua hanya gambar bunga? Ada satu gambar wanita, tapi tetap saja memegang bunga mawar," Ed mengeluarkannya dari tumpukan, memandanginya penuh kekaguman. Entah bagaimana bisa jemari kecil itu membuat goresan detil yang begitu memikat.

"Ayahku sangat suka bunga, semua lukisan ini dibuat langsung di depan objek yang ku inginkan, dan kemanapun aku pergi untuk melukisnya, ayah selalu ikut, padahal itu juga disela kesibukan bekerjanya."

Edmund mengangguk, ia mulai duduk menapak di rerumputan, obrolan ringan bersama gadis muda itu terasa menyenangkan walau sebatas mengulik seni dan karya-karyanya, "Pantas saja, semua terlihat nyata. Sejak kapan kau mulai melukis?"

"Sejak kecil aku sudah suka menggambar. Ibuku bahkan menyimpan tumpukan buku sketsa masa kecilku sampai sekarang. Sungguh memalukan," Samantha bercerita semangat, ia senang seseorang mendengarkannya, "Oh, aku punya penyakit aneh yang muncul sejak usia lima tahun. Aku mulai kesulitan tidur setiap malam, tapi suatu hari ibu menyiapkan buku gambar, akhirnya sampai sekarang aku tidak bisa tidur jika belum menggambar."

Sejujurnya dari awal, Ed tidak terlalu fokus dengan perkataan yang keluar dari bibir Samantha, ia hanya memandangi kagum wajah gadis itu serta ekspresinya yang berubah-ubah sangat menakjubkan membuatnya benar-benar jatuh hati. Ia tersenyum dalam diam, 'Dialah orangnya, bidadari yang ku cari.'

Samantha sendiri merasa nyaman bersama Edmund, mereka mengobrolkan banyak hal—awalnya menggunakan bahasa formal, tapi lama-lama santai sehingga mereka mulai mengakrabkan diri seperti teman sebaya. Entah apa yang aneh, tapi Samantha rasa sang duke punya jiwa muda seusia dengannya meski usia fisiknya sudah hampir menyentuh setengah abad.

Begitulah awal mula pertemuan mereka.

•••

Dibalik kebersamaan sang duke dengan putri sulung mendiang Baron Alexandru, seseorang mendapati mereka berdua tertawa bersama. Berita itu spontan saja menyebar ke seluruh penjuru Harbetor dalam sekejap. Apalagi tatapan Edmund yang menunjukkan begitu terpikat dengan pesona Lady Caley, semakin membuat semua orang mengerti jika dia tengah dimabuk asmara. Berita itu berlalu sudah berbulan-bulan.

Meski begitu, berita itu belum sampai pada si pelaku, Samantha Caley masih hidup tenang seperti biasanya, tidak banyak yang berubah dari kegiatan sehari-harinya, yaitu melukis dan menggambar.

Saat sibuk meraut pensil, sang ibu datang membawakannya sekotak bolu cokelat—tidak biasanya bersikap seperti itu, "Apa rumormu dengan Duke Edmund memang benar?" Tanyanya, seraya meletakkan kue tersebut di depan Samantha. Label di luar kotaknya merupakan salah satu tempat produksi makanan mahal, semua penduduk Harbetor juga tahu kalau tempat produksi bolu itu memang khusus kalangan atas.

Kedua alis Samantha sontak menukik. Bagaimana mungkin sang ibu membeli makanan mahal padahal mereka tengah dilanda krisis ekonomi setelah kepergian ayah, "Ibu tahu sendiri kita sedang tidak banyak uang, kenapa beli makanan mahal ini?"

"Ibu tidak membelinya, orang suruhan Duke Edmund yang membawakannya kemari untukmu. Jadi, apa kau memang dekat dengan pemimpin baru kita?"

Samantha menggeleng cepat, "Apa-apaan! Aku bahkan baru sekali mengobrol dengannya," ia merampas kasar kotak kue bolu tersebut, "Biar ku kembalikan!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status