Hari itu, pagi menjelang siang. Cuaca di luar rumah sakit mulai cerah. Angin bertiup agak kencang, turut menderitlan pintu. Akan tetapi, di dalam hati Sulaiha, langit belum sepenuhnya biru. Masih ada mendung-mendung tipis, menggantung seperti kenangan yang belum selesai diurai.
Ahmad, kesehatannya mulai membaik. Wajahnya terlihat sedikit segar. Akan tetapi, masih ada luka di tubuhnya, bukan itu yang paling dalam. Namun, yang lebih pedih adalah luka di hatinya, dan luka yang ditinggalkan di hati orang-orang yang mencintainya.
Sulaiha menyiapkan makanan bubur lembut dan menyuapi Ahmad dengan sabar. Kadang mereka saling berpandangan lama, seakan mencoba membaca kembali cinta yang dulu pernah kuat, lalu retak, lalu ingin dipungut lagi dari serpihannya.
"Dinda... " suara Ahmad pelan, nyaris tak terdengar.
Sulaiha menoleh, pandangannya lembut, teduh, tapi tegas.
"Ya, Mas?"
"Apa kau benar-benar... masih ingin bersamaku?" Ahmad menunduk. Suaranya getir. "Setelah semua ini? Setelah pengkhianatan itu aku lakukan, bahkan aku sendiri malu untuk mengakuinya di hadapan Allah?"
Sulaiha hanya terdiam lama. Hening. Ia memandang suaminya dalam. Ia letakkan sendok perlahan. Jemarinya saling mengunci di atas paha.
"Aku nggak akan bohong, Mas. Kadang aku pengen pergi. Pengen kabur dari semua ini. Tapi setiap kali aku mau melangkah keluar dari pintu itu... aku lihat wajah Akbar. Wajahmu. Dan dari situ aku sadar, mungkin Allah menempatkanku di sini bukan untuk dihancurkan. Tapi untuk membuktikan."
Sokta Ahmad menatap Sulaiha tajam. Matanya mulai basah. Seolah akan menangis.
"Buktikan apa?"
Sulaiha menarik napas panjang, lalu menghembuskannya pelan.
"...buktikan bahwa cinta bukan hanya indah di awal. Tapi kuat di ujung."
Ahmad memandang kembali istrinya dalam-dalam. Air matanya tumpah tak bisa ia tahan.
"Aku juga akan berusaha memupuk dan menjaga cinta ini, sampai akhir hayat."
Sulaiha mengusap lembut lengan suaminya, sembari berucap lirih.
"In syaa Allah, Mas. Kita pupuk dan jaga cinta ini sampai ajal yang memisahkannya."
***
Sementara di luar kamar rawat. Nurlaela sedang menenangkan Akbar yang rewel. Ia menggendong bayinya sambil mondar-mandir di lorong rumah sakit. Matanya sembab, wajahnya sayu. Banyak suster menatapnya iba, tapi Nurlaela tsk peduli.
Namun, yang lebih ia takutkan adalah tatapan penuh luka dari Sulaiha.
Tak lama, pintu kamar terbuka. Sulaiha muncul, lalu berdiri diam menatap Nulaela.
"Nur... "
Nurlaela menoleh, tubuhnya refleks menegang.
"Iya, Kak... "
"Kau ikut aku sebentar. Kita bicara, hanya berdua."
Nurlaela menelan ludah, dadanya berdebar-debar. Ia ikuti Sulaiha ke taman kecil di belakang rumah sakit. Tempat itu sepi, hanya suara dedaunan dan burung gereja yang menggetarkan suasana.
Sulaiha menatap Nurlaela agak lama. Mereka diam sejenak.
"Aku tahu kau menyesal. Dan aku juga tahu, tidak ada yang bisa menghapus masa lalu. Tapi semarang, aku ingin tanya satu hal... "
Nurlaela menunduk, air matanya mengalir tanpa bisa ditahan.
"Apa itu, Kak?"
"Kalau aku mundur... dan menyerah. Apa kau akan tetap bertahan bersama dengan Ahmad?"
Pertanyaan itu menghantam selerti badai. Nurlaela mendongak cepat, matanya membelalak, sembari berucap.
"Kak! Jangan... jangan bilang begitu."
"Tolong jawab," suara Sulaiha tegas, tenang, tapi bergetar di dalamnya.
Nurlaela terdiam lama. Kemudian dia berkata pelan.
"Aku nggak pernah meminta dia untuk memilih aku, karena aku yang datang belakangan. Aku yang salah dari awal. Tapi kalau kakak menyerah... aku juga akan pergi."
Sulaiha menutup mata. Bibirnya bergetar. Napasnya terasa sesak.
"Jadi, kita semua meninggalkan dia? Membiarkan dia kehilangan segalanya?"
Nurlaela menangis keras. Bahunya bergoncang, terisak dalam.
"Aku nggak tahu lagi harus gimana, Kak? Aku hanya ingin ditebus. Dimaafkan. Bukan dimiliki."
Sunyi melingkupi mereka. Suasana menjadi hening. Sampai akhirnya Sulaiha mendekat, memeluk Nurlaela erat.
"Kalau kau sungguh ingin ditebus... maka mari kita tebus sama-sama. Tapi bukan dengan saling bersaing. Kita tebus ini dengan menjadi ibu yang baik, istri yang tahu batas, dan perempuan yang tahu jalan pulang ke Allah.
Tangis Nurlaela pecah di pelukan Sulaiha. Pelukan itu bukan karena mereka saling menyayangi. Tapi karena mereka saling hancur dan memilih untuk bangkit bersama.
***
Sore harinya, ketika suasana di ruang rawat itu agak tenang. Ahmad terkejut ketika melihat dua perempuan yang pernah ia sakiti duduk berdampingan di sisinya.
"Kenapa kalian... kenapa kalian bisa begini?"
Sulaiha hanya tersenyum samar. Pandangannya lembut, tapi tak lemah.
"Karena kami sadar... ini bukan lagi tentang kamu."
Ahmad bingung, matanya membelalak. Dan berucap,
"Maksudmu?"
Sulaiha menatap Nurlaela sekilas, lalu kembali menatap Ahmad.
"Ini tentang kami. Tentang bagaimana memilih menyelamatkan sisa iman di hati kami, daripada saling menghancurkan hanya karena satu lelaki yang lupa jalan pulang."
Ahmad menutup wajahnya sesaat. Ada perasaan malu dalam batinnya. Tangisnya tumpah tanpa suara. Hatinya remuk, tapi dalam remuk itu ia melihat seberkas cahaya.
Bukan cahaya pengampunan mereka, tapi cahaya dari Allah, yang tetap menunggu menuntunnya walau ia tersesat sejauh ini.
***
Malam itu, ketika semua tertidur. Ahmad terbangun, ia menulis sesuatu di buku catatannya. Tangannya masih lemah, tapi kalimat itu mengalir pelan, tinta tergores dalam kertas menyulam beberapa kata.
"Aku tak pantas mendapatkan surga. Akan tetapi, aku akan menutup setiap luka ini... agar kelak aku bisa berdiri di gerbang surga, bukan sebagai lelaki yang disambut, tapi lelaki yang akhirnya layak mengetuk."
Sejenak terlintas di benak Ahmad, ia teringat kepada kedua orang tua Sulaiha. Sulaiha sudah berusaha berdamai, berusaha menjahit luka itu agar tidak berdarah lagi, walau belum sembuh benar dan berharap ridho Allah semata.
Akan tetapi, apakah bapak dan ibunya Sulaiha juga rela menerima Nurlaela?
Ataukah dendam mereka belum usai dan akan menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar?
Jawabannya ada di bab-bab selanjutnya
***
Sepulang dari rumah sakit, suasana di dalam mobil, mereka merasa tegang, ada perasaan berat. Akan tetapi, hujan baru saja reda, membuat jalanan menjadi licin, udara lembab, dan awan kelabu yang belum benar-benar pergi.Ahmad duduk di kursi depan, masih lemah, menatap kaca jendela dengan mata sayu. Di kursi belakang, Sulaiha menopang Akbar yang tertidur, sementara Nurlaela menunduk dalam-dalam, tak berani menatap siapa pun. Perasaannya gelisah.Tak ada yang bicara. Yang terdengar hanya bunyi mesin mobil dan tarikan napas berat yang sesekali pecah menjadi isak tertahan.Sulaiha meremas jari-jemari sendiri. Ia sudah menyiapkan diri untuk hujatan orang-orang sekitarnya. Namun, ia tak pernah membayangkan suasananya akan seberat itu.***Detik demi detik berlalu, sampailah mereka di rumah orang tua Sulaiha. Mobil berhenti perlahan. Penumpang turun satu per satu. Pak Iskandar sudah berdiri menunggu di teras. Tubuhnya tegap tapi wajahnya keras seperti batu. Bu Aminah pun di sampingnya, matany
Hari itu, pagi menjelang siang. Cuaca di luar rumah sakit mulai cerah. Angin bertiup agak kencang, turut menderitlan pintu. Akan tetapi, di dalam hati Sulaiha, langit belum sepenuhnya biru. Masih ada mendung-mendung tipis, menggantung seperti kenangan yang belum selesai diurai.Ahmad, kesehatannya mulai membaik. Wajahnya terlihat sedikit segar. Akan tetapi, masih ada luka di tubuhnya, bukan itu yang paling dalam. Namun, yang lebih pedih adalah luka di hatinya, dan luka yang ditinggalkan di hati orang-orang yang mencintainya.Sulaiha menyiapkan makanan bubur lembut dan menyuapi Ahmad dengan sabar. Kadang mereka saling berpandangan lama, seakan mencoba membaca kembali cinta yang dulu pernah kuat, lalu retak, lalu ingin dipungut lagi dari serpihannya."Dinda... " suara Ahmad pelan, nyaris tak terdengar.Sulaiha menoleh, pandangannya lembut, teduh, tapi tegas."Ya, Mas?""Apa kau benar-benar... masih ingin bersamaku?" Ahmad menunduk. Suaranya getir. "Setelah semua ini? Setelah pengkhianat
Malam itu, di rumah sakit terasa lebih sunyi daripada biasanya. Ahmad sudah tertidur, ia kelelahan oleh sakit dan air mata yang tak lagi bisa dibendung. Hanya suara alat monitor berdetak pelan, tanpa perhatian sang perawat.Saat itu, Sulaiha duduk di kursi samping ranjang, tempat Ahmad terbaring lemah. Matanya mulai redup menatap suaminya lekat-lekat. Namun, tangannya masih memegang jari-jari Ahmad yang hangat, tapi lemah. Sesaai ia menoleh ke samping.Terlihat olehnya di kursi lain, ada Nurlaela juga tertidur sambil memeluk Akbar. Bayi itu tampak tenang dalam dekapan ibunya.Sulaiha menarik napas panjang. Air matanya jatuh tanpa suara."Ya Allah... aku sudah berusaha... tapi kenapa hatiku masih sesak?"Ia menunduk lebih dalam. Hatinya berperang, tapi seolah ada seberkas cahaya harapan menantinya. Ia sudah mrngajak Nurlaela berdamai. Sudah membawanya ke sini. Tapi ia belum bisa mengusir semua amarah. Ia belum bisa sepenuhnya ikhlas. Entah, kenapa demikian?Sesaat bayangan Ahmad bersam
Hari-hari berikutnya, Ahmad tenggelam dalam kesedihan. Ia duduk termenung di kantor. Tatapannya kosong. Wajahnya pucat. Kantong matanya dalam.Malam itu Ahmad pulang larut. Di jalan sepi, tia-tiba dua motor menghadangnya,"Berhenti!"Mereka preman kampung. Tanpa banyak bicara, mereka tarik Ahmad keluar. Tinju menghantam wajahnya. Tendangan mengenai perutnya. Ahmad roboh. Darah mengalir dari pelipisnya.Tasnya dirampas. Laptop kantor hilang. Ponsel ikut raib. Para preman kabur.Ahmad terbaring di aspal, setengah sadar. Pandangannya kabur. Hanya lampu jalan yang redup menemaninya.Tak lama, sepasang warga menemukan Ahmad. Mereka memanggil ambulance. Ia dilarikan ke rumah sakit.Kabar itu sampai ke telinga Sulaiha. Ia menggigit bibir. Matanya berkaca-kaca."Ibu... aku harus menjenguk Mas Ahmad. Dia ayah Nadia."Bu Aminah menghela napas berat. Ia akhirmya mengangguk pasrah."Baik. Tapi hati-hati."Sulaiha dan orang tuanya pergi ke rumah sakit. Begitu melihat suaminya terbaring lemah, Sula
Waktu demi waktu berlalu. Ahmad sering keluar rumah tanpa alasan yang jelas. Ia terlihat gelisah. Bahkan saat menjawab telpon pun selalu sembunyi-sembunyi.Dan pada suatu malam, seorang ART di rumah melihat Ahmad menerima telepon dengan sikap mencurigakan. Ia mengadu pada ART pria. Kabar itu kemudian sampai ke telinga Pak Iskandar dan Bu Aminah.Sehingga kecurigaan berubah menjadi penyelidikan.Sulaiha diam-diam meminta bantuan dua sahabatnya--Gita dan Sofiah. Mereka menggandeng Rudi dan Randi, dua sahabat Ahmad.***Hingga suatu siang, saat Ahmad menerima telepon dari Nurlaela yang panik karena bayinya demam tinggi, ia akan pergi ke rumah sakit.Tapi Rudi dan Randi mengikuti dari belakang.Ketika Ahmad hendak mengantar Nurlaela dan bayinya ke rumah sakit, Rudi dan Randi sudah berdiri di gerbang."Ahmad!"BRAK!Sebuah tinju mendarat di wajah Ahmad."Apa maksud semua ini?" bentak Rudi.Ahmad berdarah. Tapi ia tetap tenang. Lelah.Dan akhirnya, ia mengaku segalanya."Aku terjebak... Aku
Hujan deras disertai petir seolah menggetarkan rumah Ahmad. Tangannta gemetar memegang surat itu. Nama yang seharusnya sudah terkubur dalam ingatan Ahmad bertahun-tahun yang lalu. Akan tetapi, nama iru muncul lagi, bak bom akan meledak. Dan akan menjadi ancaman dalam diri Ahmad.Sulaiha--istri Ahmad duduk terpaku di ujung sofa, sorot matanya tajam penuh tanya dan kecemasan."Ahmad... siapa Nurlaela itu?"Ahmad hanya menunduk. Dadanya terasa sesak. Namun, ia harus menjawab dengan jujur agar perasaan istrinya menjadi tenang."Nurlaela... adalah bagian dari masa laluku yang paling sulit," ucapnya lirih.Ahmad termenung sejenak, ingatannya berkelana mengenang masa lalunya yang kelam. Awal bertemunya Nurlaela.Beberapa tahun yang lalu, jauh sebelum Ahmad mengenal Sulaiha, sebelum hidupnya berubah lewat pendidikan dan kerja keras. Ada seorang gadis yang pernah hadir dalam hidup Ahmad: bernama Nurlaela.Ia adalah putri dari seorang saudagar kaya yang tinggal di kota sebelah. Saat itu, Ahmad