Home / Rumah Tangga / Pantaskah Surga Untuknya? / Bab 7 -- Akbar Sakit; Pertemuan yang Mengejutkan

Share

Bab 7 -- Akbar Sakit; Pertemuan yang Mengejutkan

last update Last Updated: 2025-07-27 07:47:43

Langit sore belum sepenuhnya gelap saat Ahmad memarkirkan mobilnya di depan rumah mertuanya. Ia baru saja mengantar Nadia kembali. Namun, belum sempat turun, suara sirine pelan dari kejauhan terdengar—sebuah ambulans datang dan berhenti persis di depan gerbang. Dari dalamnya, tampak Sulaiha turun perlahan, masih lemah setelah dirawat di rumah sakit.

Ahmad turun dari mobil, hendak menyapa. Tapi langkahnya tertahan. Sulaiha dan Pak Iskandar berjalan melewatinya tanpa sepatah kata pun. Pandangan mereka dingin. Hanya sesaat, Sulaiha sempat menoleh, namun tatapannya kosong, seolah ingin bicara, tapi luka di hati menahannya.

Ahmad menarik napas panjang. Tak ada tempat untuknya di rumah itu—setidaknya untuk saat ini. Ia memilih pergi, membawa perihnya menuju kantor tempat ia bekerja.

Sesampainya di sana, Rudi dan Randi menunggunya dengan wajah cemas. “Bro, lo harus ke kantor Pak Iskandar sekarang juga. Ada masalah yang harus diklarifikasi,” kata Rudi cepat.

Tanpa banyak tanya, Ahmad ikut mereka. Di ruang lobi perusahaan mertuanya, mereka bertemu asisten Pak Iskandar. Namun belum sempat berbicara, sosok Pak Iskandar muncul dengan wajah tegas dan dingin.

“Eh, itu Pak Bos,” bisik Rudi.

Ahmad mendekat, mencoba bersikap hormat. “Assalamu’alaikum, Pak.”

“Wa’alaikumussalam. Ada apa? Kalau perlu bicara, ke ruanganku saja,” ujar Pak Iskandar, datar tanpa emosi.

Di ruang kerja, suasana lebih dingin dari udara pendingin ruangan. Ahmad duduk di hadapan sang mertua, menyampaikan masalah pekerjaan yang sedang dihadapinya.

Namun, diskusi itu tak murni soal pekerjaan. Pak Iskandar, seperti meletuskan bom emosi yang tertahan. Ia menyerang Ahmad bukan hanya secara profesional, tapi juga pribadi.

“Masalah ini muncul karena kelalaianmu! Perhatianmu terpecah karena perempuan murahan itu. Keluargamu kau abaikan!” suaranya meninggi, penuh amarah.

Ahmad menahan gejolak di dada. “Saya hanya ingin menyelesaikan masalah ini, Pak. Jangan dikaitkan dengan hal pribadi.”

“Kalau kau ingin semuanya kembali seperti semula, tinggalkan perempuan itu. Bersihkan hidupmu!”

Ahmad menggertakkan rahang. Ia tahu, pertarungan batin ini belum usai. Ia berdiri, menunduk hormat. “Baik, Pak. Terima kasih atas arahannya. Assalamu’alaikum.”

*** 

Sementara itu, di rumah sakit, Nurlaela duduk resah di samping ranjang Akbar yang terbaring lemah. Berkali-kali ia menelpon Ahmad, namun tak ada jawaban. Hatinya terbakar. Rasa cemas dan kesal bercampur menjadi satu.

Tiba-tiba, saat Nurlaela sedang berbicara dengan dokter, seorang pasien laki-laki terluka melintas tak jauh darinya. Ia terdiam. Sekilas, wajah pria itu seperti bayangan masa lalu. Suara rintihannya pun terasa familiar, menusuk sisi paling rapuh di hatinya.

Setelah dokter pergi, Nurlaela mendekati ruangan tempat pasien itu masuk. Ia mengintip dari balik kaca pintu. Samar, ia mendengar suara keluhan lelaki itu. Hatinya bergetar—ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Namun, lamunannya buyar saat suster datang menyeretnya untuk kembali fokus pada Akbar.

Kesehatan Akbar mulai membaik. Nurlaela memutuskan pulang. Namun, amarahnya meledak ketika Ahmad masih tak merespon. Di rumah, ia melempar ponsel ke lantai, lalu menghantam semua benda di sekitarnya. Vas bunga, keramik, buku, semua berhamburan. Baby suster yang cerewet hanya terkekeh, seolah menikmati kekacauan itu.

***

Di rumah mertua Ahmad, kebencian belum juga reda. Sulaiha dan orang tuanya masih menyimpan dendam. Nama Nurlaela menjadi racun yang terus merusak kedamaian. Dan di sisi lain, Nurlaela pun makin lepas kendali.

Hingga suatu hari, karena tak tahan lagi, Nurlaela mendatangi kantor Ahmad. Namun belum sempat bertemu, ia dihadang oleh Bu Aminah. Niatnya untuk kabur gagal, ketika tangan Bu Aminah menarik bajunya.

“Apa yang kamu cari di sini, hah? Mau menghancurkan anakku lebih dalam lagi?”

Pertengkaran terjadi. Kata-kata tajam saling menghujam. Sulaiha muncul dari dalam dan sempat mengejar Nurlaela hingga ke mobilnya. Di sana, kata-kata ancaman dilontarkan—dingin, penuh ketegasan seorang istri yang terluka.

Dari kejauhan, Ahmad melihat semua itu. Ia berdiri bersama Rudi dan Randi, tubuhnya kaku. Namun sebelum bisa melangkah, Bu Aminah keluar dari kantor dan mendapati Ahmad di sana.

Dengan mata menyala, ia menghampiri. “Kau masih berani datang ke sini?”

Tangan Bu Aminah sempat terangkat, tapi terhenti di udara. Ia memilih menahan diri, lalu ia berlalu dengan langkah cepat. Ahmad menatap tanah, kepalanya tertunduk.

“Kenapa hidupku begini, Ya Allah?” gumamnya lirih, mencengkeram rambutnya sendiri. Kedua temannya menepuk bahunya,

 “Sabar, bro. Semua pasti ada hikmahnya.”

***

Di rumah, Nadia menangis tiada henti. Mbok-nya sudah kelelahan membujuk.

 Tapi tangis Nadia tak berhenti sampai ibunya datang.

“Ayah... Aku mau ketemu Ayah... Aku kangen...” rengek Nadia dengan mata sembab.

Sulaiha tak mampu berkata-kata. Hatinya remuk. Namun, ia akhirnya berjanji, akan mempertemukan Nadia dengan ayahnya.

Tak lama berselang, Ahmad muncul di depan rumah. Saat pintu dibuka, wajah Pak Iskandar langsung murka. Tanpa aba-aba, pukulan bertubi-tubi mendarat di tubuh Ahmad. Tak ada perlawanan. Ahmad hanya meringkuk, menahan sakit.

Kedua ART menjerit. Mbok-nya berlari melapor. Bu Aminah datang, melerai dengan tubuh gemetar. “Cukup, Pak! Jangan tambah dosa!”

Pak Iskandar mundur, lalu masuk ke dalam. Pintu ditutup rapat. Ahmad tertinggal di luar, tubuhnya gemetar menahan nyeri.

Namun tiba-tiba, dari balik pintu, suara lembut terdengar.

“Ayaaah!”

Nadia berlari, memeluknya erat. Ahmad menangis dalam pelukan putrinya. 

“Ayah janji akan selalu ada buat Nadia…”

Jari kelingking mereka bersatu. Satu janji kecil di tengah badai besar.

Setelah itu Ahmad beranjak akan pergi. Tapi sebelum pergi, hujan turun deras. Ahmad hanya berdiri mematung. Pergi… atau tetap bertahan?

Hujan terus mengguyur tubuh Ahmad yang berdiri terpaku di depan rumah itu. Di belakangnya, Nadia masih memanggil dari balik jendela.

Tapi Ahmad tak bergerak. Dalam dirinya, ada badai yang lebih dahsyat dari hujan manapun.

Dan ia tahu… badai yang sebenarnya baru saja dimulai.

***

 Di tempat lain, Nurlaela baru keluar dari pusat perbelanjaan. Saat hendak masuk mobil, suara dari masa lalu menyapanya.

“Nurlaela!”

Tubuhnya kaku. Ia menoleh—dan jantungnya nyaris berhenti. Lelaki itu. Lelaki yang dulu menodainya.

Tanpa pikir panjang, Nurlaela masuk ke mobil dan melajukan dengan kencang, ia meninggalkan lelaki itu yang mencoba menghadangnya.

Tapi kali ini, dia kira tak akan kembali.

Mobil Nurlaela melaju kencang, tapi di kaca spion, bayangan laki-laki itu masih terlihat.

Laki-laki yang pernah menghancurkannya.

Dan kini… dia kembali.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pantaskah Surga Untuknya?   Bab 24 -- Gadis Kecil Menanjak Remaja

    Langkah Ahmad dan Nurlaela masih terhenti di depan café itu. Anak kecil yang berlari masuk sambil memanggil ibunya, kini berdiri manja di pelukan Indah. Senyum Indah mengembang, meski matanya sempat menatap tajam ke arah Ahmad. Ada sesuatu yang berat menggantung di udara—pertanyaan yang tak terucap, kebenaran yang seakan siap pecah kapan saja.Namun, sebelum Ahmad melontarkan pertanyaan, Indah menunduk, lalu meraih tangan mungil itu dan menggandengnya pergi. Tak ada penjelasan. Hanya meninggalkan bayang-bayang yang terus menghantui pikiran Ahmad dan Nurlaela.***Tak lama Ahmad dan Nurlaela akan pulang ke rumah. Ahmad meraih tangan Nurlaela,“Yuk, kita pulang.” Nurlaela pun menurut, tanpa kata-kata ia hanya mengikuti Ahmad melangkah ke mobilnya.Beberapa menit kemudian, mereka tiba di rumahnya. Mereka disambut oleh gadis kecil, imut-imut dan mungil itu. Gadis mungil yang tumbuh seperti dongeng indah layaknya Cinderella. Akan tetapi, dunia yang dimilikinya jauh berbeda. Sejak Sulaiha—

  • Pantaskah Surga Untuknya?   Bab 23 -- Pertemuan yang Mengguncang

    Langit sore itu mendung. Hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah yang menusuk hidung. Ahmad melangkah pelan menuju sebuah cafe kecil di sudut kota, tempat yang disebut Indah dalam pesannya. Ia melangkah berat, seolah kakinya terikat rantai masa lalu.Tak lama Ahmad tiba di depan café itu. Ia memarkir mobilnya lalu melangkah akan masuk. Saat pintu cafe terbuka, Ahmad berdiri sejenak di ambang pintu, pandangannya langsung tertuju pada sosok perempuan di pojok ruangan. Indah, ia duduk sendiri, kepalanya tertutup jilbab berwarna biru tua. Tatapannya tajam, tapi dalam, seakan menyimpan ribuan rahasia yang akan terbongkar.Saat Ahmad melihatnya, sepertinya tenggorokannya tercekat. Bibirnya nyaris tak mampu menyebutkan namanya.“Indah…”Perempuan itu seketika menoleh. Senyum tipis terukir, tapi justru membuat dada Ahmad semakin sesak.Indah membuka mulut,“Akhirnya kita bertemu lagi, Mas. Duduklah!”Ahmad duduk berhadapan dengannya. Perasaannya gelisah, berulang kali meremas ja

  • Pantaskah Surga Untuknya?   Bab 22 -- Pesona Perempuan Kedua

    Malam itu, ketika seorang perempuan misterius datang. Ahmad membuka mulutnya, tapi hanya satu kata yang lolos, terdengar begitu berat, seolah menyingkap rahasia yang selama ini terkubur:“Indah…”Nama itu meluncur lirih. Namun, cukup untuk membuat Nurlaela terperanjat, tubuhnya hampir goyah.Nama itu yang keluar dari bibir Ahmad, mengguncang Nurlaela seperti petir di tengah malam. Sejak malam itu, hidup Ahmad seolah memasuki lorong panjang penuh teka-teki.***Setahun sudah ia menjalani hari-hari sunyi tanpa Sulaiha—bidadari yang telah kembali ke sisi Ilahi. Kekosongan itu masih terasa, meski di rumah ada Nurlaela. Statusnya sebagai istri kedua hanya sebatas nikah siri. Secara hukum negara, hubungan itu rapuh, tak tercatat, seolah bisa runtuh kapan saja, tapi punya pesona mengguncang hati Ahmad.Namun, bagi Ahmad, tak ada satu pun yang mampu menggantikan Sulaiha. Cintanya pada sang bidadari dunia terlalu dalam. Kenangan tentangnya abadi, sementara kehadiran Nurlaela lebih sering mengh

  • Pantaskah Surga Untuknya?   Bab 21 -- Kenangan yang Tak Pernah Pergi

    Malam itu Ahmad masih sulit memejamkan mata. Pertemuan tak terduga dengan sosok dari masa lalu seakan membuka kembali pintu kenangan yang telah ia kunci rapat-rapat. Di kamarnya yang sepi, lelaki itu menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Pandangannya berkelana dari sudut ke sudut, hingga akhirnya tertambat pada sebuah foto berbingkai indah di dinding.Di dalam foto itu, Ahmad tidak sendiri. Ada seorang gadis di sampingnya, dengan senyum canggung dan tatapan yang seolah enggan diabadikan kamera. Namun, bagi Ahmad, justru itulah pesona yang membuatnya jatuh cinta.Hatinya bergetar. Luka lama kembali berdarah.“Seandainya kau tahu, betapa aku mencintaimu…” bisiknya lirih, jemarinya menyentuh dinginnya kaca bingkai.Kenangan itu menyeretnya jauh ke masa lalu. Saat awal pertemuan yang sederhana, sekadar sapaan singkat di sebuah kantor. Gadis berkacamata tebal itu menunduk malu ketika Ahmad memujinya. “Ternyata di gedung ini ada makhluk cantik,” katanya waktu itu, tulus, tanpa basa-basi.Reaks

  • Pantaskah Surga Untuknya?   Bab 20 -- Gadis Kecil, Penyemangat Hidup

    Sejak kepergian Sulaiha, rumah itu tak lagi ramai. Sunyi terasa menekan, dinding-dinding seolah ikut meratap, dan setiap sudut masih menyimpan jejak kenangan yang membuat dada Ahmad sesak. Namun, di tengah kabut duka yang menyelimuti, ada satu jiwa mungil yang kini rapuh—dan sekaligus menjadi alasan Ahmad untuk tetap berdiri: Nadia, putri kecilnya.Gadis itu berusaha tegar, meski hatinya hancur. Tangannya sering gemetar, keringat dingin membasahi telapak, dan matanya sembab karena air mata yang tak pernah benar-benar kering. Ada haru, takut, dan kehilangan yang bercampur aduk dalam dirinya. Nadia kini berada di ambang masa depan—sebentar lagi ia akan tamat SMP. Namun, justru di titik inilah ia kehilangan sosok penyemangat hidupnya, sang bunda yang selama ini menjadi cahaya dalam kegelapan.Sejak ibunya tiada, Nadia kerap termenung sendirian. Nafsu makannya hilang, semangat belajarnya redup, bahkan sudah sepekan ia tak menginjakkan kaki ke sekolah. Kamar yang dulu riuh dengan tawa kec

  • Pantaskah Surga Untuknya?   Bab 19 -- Bidadariku yang Hilang

    “Dunia Ahmad Runtuh! Kehilangan Bidadari yang Dicintainya…”Lelaki itu bagaikan kaca rapuh, sewaktu-waktu bisa pecah berkeping-keping ketika terbentur musibah. Itulah Ahmad—seorang suami yang kini hatinya hancur setelah ditinggal pergi oleh belahan jiwanya.Sejak kepergian Sulaiha—sang bidadari dunianya, Ahmad hidup bagai jasad tanpa ruh. Duduk termenung sendiri, tubuhnya semakin kurus, wajahnya pucat, dan sorot matanya kosong. Nafsu makan hilang, gairah hidup lenyap. Sulaiha—cahaya yang selalu menyinari langkahnya. Kini benar-benar pergi, tak akan pernah kembali lagi.Di depan jasad istrinya, Ahmad berusaha tegar. Namun, tangis yang berusaha ia tahan akhirnya pecah juga. Air matanya tumpah, membasahi wajah yang biasanya gagah. Berlembar-lembar tisu habis, hanya untuk menyeka derasnya duka saat itu.Ketika ibunya dulu meninggal tertabrak truk, ia hanya termangu tanpa setetes air mata. Tapi kali ini… Ahmad tak mampu lagi berpura-pura kuat. Kepergian Sulaiha benar-benar merobek seluruh

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status