Sepulang dari rumah sakit, suasana di dalam mobil, mereka merasa tegang, ada perasaan berat. Akan tetapi, hujan baru saja reda, membuat jalanan menjadi licin, udara lembab, dan awan kelabu yang belum benar-benar pergi.
Ahmad duduk di kursi depan, masih lemah, menatap kaca jendela dengan mata sayu. Di kursi belakang, Sulaiha menopang Akbar yang tertidur, sementara Nurlaela menunduk dalam-dalam, tak berani menatap siapa pun. Perasaannya gelisah.
Tak ada yang bicara. Yang terdengar hanya bunyi mesin mobil dan tarikan napas berat yang sesekali pecah menjadi isak tertahan.Sulaiha meremas jari-jemari sendiri. Ia sudah menyiapkan diri untuk hujatan orang-orang sekitarnya. Namun, ia tak pernah membayangkan suasananya akan seberat itu.
***Detik demi detik berlalu, sampailah mereka di rumah orang tua Sulaiha. Mobil berhenti perlahan. Penumpang turun satu per satu. Pak Iskandar sudah berdiri menunggu di teras. Tubuhnya tegap tapi wajahnya keras seperti batu. Bu Aminah pun di sampingnya, matanya sembab tapi tegas.
Sulaiha membantu Ahmad turun pelan-pelan. Nurlaela menggendong Akbar sambil gemetar.
Begitu mereka menapaki anak tangga teras, Pak Iskandar mendengus keras.
“Jadi dia dibawa ke sini juga?”Suara Pak Iskandar keras, tajam seperti pisau. Nurlaela menunduk makin dalam. Air matanya langsung menetes ke pipi Akbar.
Sulaiha menahan napas. Lalu berucap,
“Pak… dengarkan dulu.”Pak Iskandar melotot. Matanya membelalak.
“Aku sudah cukup mendengar! Kau bawa pulang perempuan itu ke sini?! Kau hina keluargamu sendiri!”Ahmad menunduk, tubuhnya gemetar. Suaranya serak.
“Pak, maafkan saya… jangan begini.”Pak Iskandar menunjuk Nurlaela tajam.
“Kau! Kau sudah rusak anakku, sekarang mau numpang di sini? Mau bikin aib makin dalam?”Nurlaela menangis keras. Bahunya tergoncang. Akbar terbangun, ikut menangis, tapi Nurlaela tak mampu menenangkan bayinya. Ia cuma memeluknya makin erat.
Bu Aminah mendekat, menahan lengan suaminya.
“Pak, tolong. Jangan begini di depan bayi. Di depan orang sakit.”Pak Iskandar menghardik,
“Kau yang terlalu lembek! Ini soal harga diri keluarga! Kalau dia mau tinggal di sini, aku keluar dari rumah ini sekarang juga!”Ahmad menyatukan kedua tangan di depan dadanya. Suaranya pecah.
“Pak, maaf, tolong… dia juga ibu dari anakku.”Pak Iskandar menoleh tajam, menghardik.
“Ah… Aku nggak peduli! Kalau kau lelaki, selesaikan di tempat lain. Jangan bawa aibmu ke sini!”Sulaiha menahan air mata. Ia melangkah maju, menengahi. Suaranya gemetar tapi lantang.
“Pak! Cukup!”Pak Iskandar menoleh, ia kaget mendengar nada putrinya yang tak biasa.
Sulaiha menatap ayahnya dalam-dalam, walau matanya basah oleh air mata.
“Aku nggak minta Bapak terima dia. Aku cuma minta Bapak terima keputusan kami. Kalau Bapak usir dia, aku juga akan pergi.”Pak Iskandar melongo. Ada perasaan heran.
“Apa katamu?”Sulaiha menelan ludah. Suaranya lirih tapi pasti.
“Aku istri Ahmad. Dan dia ayah dari anak Nurlaela. Aku nggak mau pura-pura ini. Nggak ada. Aku nggak mau berdosa karena pura-pura suci. Kalau dia nggak boleh di sini… aku juga nggak mau tinggal di sini.”Suasana menjadi hening sesaat, tapi menyesakkan. Hanya suara Akbar yang menangis.
Bu Aminah meneteskan air mata, menutup mulut. Pak Iskandar menunduk, napasnya memburu.
Ahmad tak mampu menahan air matanya menetes, ia gemetar. Lalu memegang tangan Sulaiha, memeluknya pelan.
Nurlaela terduduk di lantai teras, menangis sesenggukan.
“Aku… aku nggak mau bikin kalian ribut… aku mau pergi.”Sulaiha langsung berlutut, meraih bahu Nurlaela.
“Kau nggak boleh ke mana-mana. Kau di sini. Kita di sini sama-sama. Kalau harus pergi, kita pergi sama-sama. Aku nggak mau keluarga ini berdiri di atas kebohongan.”Pak Iskandar menoleh, matanya merah. Suaranya lebih pelan.
“Laila… kenapa kau pilih jalan ini… kau hancurkan rumah tangga orang.”Nurlaela menjerit sambil menangis.
“Aku salah, Pak! Aku salah! Tapi aku nggak mau anakku tidak kenal ayahnya. Aku rela dipukul, diusir, tapi jangan rampas ayahnya dari dia…”Pak Iskandar menutup mata. Air matanya jatuh. Ia segera memalingkan wajah.
Bu Aminah menepuk bahu suaminya pelan.
“Pak… kita nggak usah kasih restu dia kalau belum bisa. Tapi jangan halangi anak-anak kita saling memaafkan. Biar mereka menanggung dosanya sendiri, dan menebusnya sendiri.”Pak Iskandar hanya mengusap wajahnya, menarik napas panjang. Akhirnya ia berbalik masuk rumah tanpa kata.
Saat itu, suasana di teras rumah itu sejenak hening, kedua orang tua Sulaiha sudah masuk ke dalam rumah. Akan tetapi, mereka masih saling pandang. Kemudian Sulaiha memeluk Nurlaela yang masih gemetar.
“Jangan takut. Allah lihat semua ini. Kita tanggung sama-sama. Kita minta ampun sama-sama.”
Ahmad jongkok pelan, memeluk mereka berdua. Akbar berhenti menangis, ia ikut tenang. Seolah ia memahami situasi orang tuanya.
Air mata mereka jatuh bersama-sama di lantai teras yang basah oleh hujan semalam.
Di balik itu semua, tak ada yang benar-benar selesai. Luka tetap ada. Tapi hari itu, mereka memilih untuk tidak lari.
Mereka tahu besok lebih sulit. Tapi mereka juga tahu, surga tidak pernah dijual murah.
Namun, malam itu, saat semua telah masuk ke dalam rumah dan lampu-lampu mulai dipadamkan. Seseorang berdiri di luar pagar. Mengintai dalam diam.
Wajahnya gelap tertutup tudung jaket. Tapi sorot matanya… menyimpan dendam yang belum selesai.
Siapa sebenarnya orang itu?
Baca lanjutan kisahnya di bab-bab berikut.
***Sepulang dari rumah sakit, suasana di dalam mobil, mereka merasa tegang, ada perasaan berat. Akan tetapi, hujan baru saja reda, membuat jalanan menjadi licin, udara lembab, dan awan kelabu yang belum benar-benar pergi.Ahmad duduk di kursi depan, masih lemah, menatap kaca jendela dengan mata sayu. Di kursi belakang, Sulaiha menopang Akbar yang tertidur, sementara Nurlaela menunduk dalam-dalam, tak berani menatap siapa pun. Perasaannya gelisah.Tak ada yang bicara. Yang terdengar hanya bunyi mesin mobil dan tarikan napas berat yang sesekali pecah menjadi isak tertahan.Sulaiha meremas jari-jemari sendiri. Ia sudah menyiapkan diri untuk hujatan orang-orang sekitarnya. Namun, ia tak pernah membayangkan suasananya akan seberat itu.***Detik demi detik berlalu, sampailah mereka di rumah orang tua Sulaiha. Mobil berhenti perlahan. Penumpang turun satu per satu. Pak Iskandar sudah berdiri menunggu di teras. Tubuhnya tegap tapi wajahnya keras seperti batu. Bu Aminah pun di sampingnya, matany
Hari itu, pagi menjelang siang. Cuaca di luar rumah sakit mulai cerah. Angin bertiup agak kencang, turut menderitlan pintu. Akan tetapi, di dalam hati Sulaiha, langit belum sepenuhnya biru. Masih ada mendung-mendung tipis, menggantung seperti kenangan yang belum selesai diurai.Ahmad, kesehatannya mulai membaik. Wajahnya terlihat sedikit segar. Akan tetapi, masih ada luka di tubuhnya, bukan itu yang paling dalam. Namun, yang lebih pedih adalah luka di hatinya, dan luka yang ditinggalkan di hati orang-orang yang mencintainya.Sulaiha menyiapkan makanan bubur lembut dan menyuapi Ahmad dengan sabar. Kadang mereka saling berpandangan lama, seakan mencoba membaca kembali cinta yang dulu pernah kuat, lalu retak, lalu ingin dipungut lagi dari serpihannya."Dinda... " suara Ahmad pelan, nyaris tak terdengar.Sulaiha menoleh, pandangannya lembut, teduh, tapi tegas."Ya, Mas?""Apa kau benar-benar... masih ingin bersamaku?" Ahmad menunduk. Suaranya getir. "Setelah semua ini? Setelah pengkhianat
Malam itu, di rumah sakit terasa lebih sunyi daripada biasanya. Ahmad sudah tertidur, ia kelelahan oleh sakit dan air mata yang tak lagi bisa dibendung. Hanya suara alat monitor berdetak pelan, tanpa perhatian sang perawat.Saat itu, Sulaiha duduk di kursi samping ranjang, tempat Ahmad terbaring lemah. Matanya mulai redup menatap suaminya lekat-lekat. Namun, tangannya masih memegang jari-jari Ahmad yang hangat, tapi lemah. Sesaai ia menoleh ke samping.Terlihat olehnya di kursi lain, ada Nurlaela juga tertidur sambil memeluk Akbar. Bayi itu tampak tenang dalam dekapan ibunya.Sulaiha menarik napas panjang. Air matanya jatuh tanpa suara."Ya Allah... aku sudah berusaha... tapi kenapa hatiku masih sesak?"Ia menunduk lebih dalam. Hatinya berperang, tapi seolah ada seberkas cahaya harapan menantinya. Ia sudah mrngajak Nurlaela berdamai. Sudah membawanya ke sini. Tapi ia belum bisa mengusir semua amarah. Ia belum bisa sepenuhnya ikhlas. Entah, kenapa demikian?Sesaat bayangan Ahmad bersam
Hari-hari berikutnya, Ahmad tenggelam dalam kesedihan. Ia duduk termenung di kantor. Tatapannya kosong. Wajahnya pucat. Kantong matanya dalam.Malam itu Ahmad pulang larut. Di jalan sepi, tia-tiba dua motor menghadangnya,"Berhenti!"Mereka preman kampung. Tanpa banyak bicara, mereka tarik Ahmad keluar. Tinju menghantam wajahnya. Tendangan mengenai perutnya. Ahmad roboh. Darah mengalir dari pelipisnya.Tasnya dirampas. Laptop kantor hilang. Ponsel ikut raib. Para preman kabur.Ahmad terbaring di aspal, setengah sadar. Pandangannya kabur. Hanya lampu jalan yang redup menemaninya.Tak lama, sepasang warga menemukan Ahmad. Mereka memanggil ambulance. Ia dilarikan ke rumah sakit.Kabar itu sampai ke telinga Sulaiha. Ia menggigit bibir. Matanya berkaca-kaca."Ibu... aku harus menjenguk Mas Ahmad. Dia ayah Nadia."Bu Aminah menghela napas berat. Ia akhirmya mengangguk pasrah."Baik. Tapi hati-hati."Sulaiha dan orang tuanya pergi ke rumah sakit. Begitu melihat suaminya terbaring lemah, Sula
Waktu demi waktu berlalu. Ahmad sering keluar rumah tanpa alasan yang jelas. Ia terlihat gelisah. Bahkan saat menjawab telpon pun selalu sembunyi-sembunyi.Dan pada suatu malam, seorang ART di rumah melihat Ahmad menerima telepon dengan sikap mencurigakan. Ia mengadu pada ART pria. Kabar itu kemudian sampai ke telinga Pak Iskandar dan Bu Aminah.Sehingga kecurigaan berubah menjadi penyelidikan.Sulaiha diam-diam meminta bantuan dua sahabatnya--Gita dan Sofiah. Mereka menggandeng Rudi dan Randi, dua sahabat Ahmad.***Hingga suatu siang, saat Ahmad menerima telepon dari Nurlaela yang panik karena bayinya demam tinggi, ia akan pergi ke rumah sakit.Tapi Rudi dan Randi mengikuti dari belakang.Ketika Ahmad hendak mengantar Nurlaela dan bayinya ke rumah sakit, Rudi dan Randi sudah berdiri di gerbang."Ahmad!"BRAK!Sebuah tinju mendarat di wajah Ahmad."Apa maksud semua ini?" bentak Rudi.Ahmad berdarah. Tapi ia tetap tenang. Lelah.Dan akhirnya, ia mengaku segalanya."Aku terjebak... Aku
Hujan deras disertai petir seolah menggetarkan rumah Ahmad. Tangannta gemetar memegang surat itu. Nama yang seharusnya sudah terkubur dalam ingatan Ahmad bertahun-tahun yang lalu. Akan tetapi, nama iru muncul lagi, bak bom akan meledak. Dan akan menjadi ancaman dalam diri Ahmad.Sulaiha--istri Ahmad duduk terpaku di ujung sofa, sorot matanya tajam penuh tanya dan kecemasan."Ahmad... siapa Nurlaela itu?"Ahmad hanya menunduk. Dadanya terasa sesak. Namun, ia harus menjawab dengan jujur agar perasaan istrinya menjadi tenang."Nurlaela... adalah bagian dari masa laluku yang paling sulit," ucapnya lirih.Ahmad termenung sejenak, ingatannya berkelana mengenang masa lalunya yang kelam. Awal bertemunya Nurlaela.Beberapa tahun yang lalu, jauh sebelum Ahmad mengenal Sulaiha, sebelum hidupnya berubah lewat pendidikan dan kerja keras. Ada seorang gadis yang pernah hadir dalam hidup Ahmad: bernama Nurlaela.Ia adalah putri dari seorang saudagar kaya yang tinggal di kota sebelah. Saat itu, Ahmad